MONTIR BENGKEL

1116 Words
Sekarang nama kontak Aprilia di ponsel Athaya juga sudah bukan gurunya Çakti.Tetapi dia tulis montir bengkel agar bila ada telepon atau pesan masuk yang terlihat adalah montir bengkel dan profil foto profil Aprilia tidak bisa terlihat di ponselnya Athaya karena mereka mengatur profil itu diblokir untuk dilihat nomor Athaya. Sehingga tak ada yang bisa melihat bila April mengirim pesan atau pun menghubungi Athaya. Montir bengkel nama yaang mereka berdua sepakati. Karena gara-gara ban pecah mereka mulai bersama. Memang mereka kalau hari Sabtu dan Minggu selalu tidak bisa bertemu karena Athaya tak mungkin keluar rumah tanpa Zahra atau tak ada alasan apa pun untuk keluar di week end. Malah bisa bahaya kalau week end mereka ketemuan. “Lho, Papi sakit?” tanya Zahra saat dia pulang kerja sore menjelang malam. Dia lihat suaminya terbaring di ranjang mereka. “Iya,” jawab Athaya lemah. Dia tadi pulang sudah minta dibuatkan bubur juga teh panas pada pembantu di rumah. “Kok orang rumah nggak ada yang ngabarin aku ya? Papi juga kenapa nggak kasih tahu aku?” protes Zahra. “Papi memang larang para pembantu ngasih tahu kamu dan aku memang sengaja nggak lapor kamu biar kamu kerja nggak keganggu,” jawab Athaya dengan penuh pengertian. “Oh begitu. Bagaimana tadi makan siangmu dengan Bosmu itu?” tanya Zahra tanpa ingat kalau bosnya Athaya tadi makan siang dengan dirinya. “Ya Papi nggak jadi dateng. Papi nggak tahu bos ngajakin Papi bertemu dengan siapa. Papi cuma diajak lalu, Papi bersedia tapi pas saat mau keluar perutku sakit. Jadi Papi langsung pulang,” kata Athaya. “Tapi sudah minum obat?” tanya Zahra dia tidak melihat ada obat di sana. “Belum. Papi lupa,” jawab Athaya. Zahra langsung mengambilkan obat khusus untuk buang-buang air dan masuk angin. “Ini diminum dulu sekarang,” kata Zahra. Dia menunggu Athaya minum dua kapsul anti buang-buang air juga nanti masuk angin. “Semoga bisa buang angin dan men-cretnya langsung berhenti sehabis minum obat itu. Nanti tiga jam lagi minum lagi biar cepat berhenti,” kata Zahra. Athaya tak bisa berkutik karena Zahra menunggunya minum obat untuk memberhentikan buang-buang air. Dan seperti kebiasaan mereka memang kalau minum langsung dua agar cepat sembuh dan tidak dehidrasi. “Owh iya, tadi Ruben makan siang denganku, dia bilang enggak pernah janjian denganmu buat bertemu klien. Mungkin sekarang kamu punya bos lain? Apa manager HRD bukan langsung di bawah Ruben? Tadi June juga bilang kamu enggak ada jadwal lain,” ucap Zahra tanpa menuduh. Dia hanya memberitahu sambil lewat. Tanpa ingin melanjutkan bertanya dengan siapa sebenarnya Athaya jaanjian siang ini. ‘Mati aku!’ batin Athaya. “Besok kalau belum sembuh enggak apa-apa kok ditunda perginya. Aku akan menemanimu di rumah enggak berangkat kerja,” kata Zahra sehabis bersiap akan mandi. “Kalau malam ini minum obat lagi, pasti sembuh kok,” jawab Athaya dia tak bisa membayangkan hanya berdua dengan Zahra tanpa bisa saling berkirim kabar dengan Aprilia. Karena dia bisa saling kirim khabar saat jam kerja saja. Selama ini memang Athaya tak pernah berkirim kabar saat di rumah, takut ketahuan Zahra. Dia intens berhubungan dengan Aprilia kalau di kantor. Di rumah sama sekali tak pernah kirim chat atau telepon pada Aprilia. Baik sore malam atau pun tengah malam. Tak pernah dia melakukan itu agar tak ada yang curiga. “Ya sudah kalau enggak mau istirahat. Besok kita tetap jalan ya. Mudah-mudahan malam ini penyakit Papi sudah sembuh,” jawab Zahra. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepanjang malam Zahra sibuk dengan Çakti. Athaya hanya duduk memandang keduanya dari jauh. Tak pernah dia memegang ponsel. Ponsel diletakkan saja di meja. Memang itu kebiasaannya sejak dulu. Tak terlalu suka dengan ponsel. “Wah anak Mami makin pintar saja ya. Semuanya bagus. Nggak sangka ya kamu sudah mau empat tahun.” Zahra sangat senang putranya sehat dan pintar. Sehabis Çakti tidur Zahra mulai membuat list siapa saja yang akan diundang di acara ulang tahun Çakti, dan kebutuhan apa saja yang diperlukan baik sebagai souvenir buat yang datang maupun hadiah kejutan atau door prize buat undangan. Saat sedang sibuk membuat list ada notif pesan masuk di ponselnya Zahra. ‘Apa kabar?’ tanya pengirim pesan. ‘Baik Pak pilot. Pak pilot apa kabar?’ jawab Zahra. ‘Saya sangat baik dan kebetulan besok saya mau ke Bandung. Bisa kita ketemuan?’ ‘Wah kalau besok saya nggak bisa. Saya dan suami akan mempersiapkan pesta ulang tahun anak kami. Nanti datang ya di ulang tahun anak saya,’ tulis Zahra pada kenalan barunya itu. ‘Kapan itu?’ ‘27 November,’ balas Zahra. ‘Oke. Aku akan atur waktu sejak sekarang. Sehingga 27 November aku bisa datang di ulang tahun anakmu!’ ‘Terima kasih,’ tulis Zahra. Dia jadi ingat dua minggu lalu berkenalan dengan Callief Mahesa Hadipraja. ( Callief dibaca KHALIF ) Zahra berkenalan tak sengaja. Saat perjalanan dari Bandung ke Bali kemarin penumpang di sebelah Zahra akan melahirkan atau mengalami kram perut karena kehamilannya baru enam bulan. Saat itu tentu saja pramugari meminta pilot untuk turun tangan sehingga co-pilot yang menangani penerbangan itu. Zahra membantu pramugari dan pilot untuk menangani penumpang di sebelahnya hingga turun sampai di Denpasar. Itu membuat Zahra sedikit agak tertunda tiba di hotel membuat Franda sekretarisnya ngamuk-ngamuk. Setiba di bandara dan penumpang ditangani dokter maskapai, Zahra mohon pamit lebih dulu sebelum terlalu lama di bandara. Dia meninggalkan kartu nama pada pramugari bila diperlukan untuk saksi. Dia bisa memberi kesaksian bila sedang tidak sibuk bekerja. Itu yang Zahra bilang kemarin sehingga akhirnya malamnya pilot mengajak Zahra makan malam bersama sebagai ucapan terima kasih. Zahra minta waktu sesudah dia selesai meeting malam itu. Malam pertama di Bali memang terjadi makan malam sebagai ucapan terima kasih dari pilot tersebut. Zahra mengajak Franda, tapi gadis itu menolak dengan alasan dia tak ikut dalam penerbangan itu jadi tak layak menerima ucapan terima kasih. Selanjutnya hingga Zahra kembali ke Bandung tak pernah bertemu lagi dengan pilot itu. Zahra ingat pada kesempatan pertama kali itu Callief sudah bertanya soal pengalaman Zahra melahirkan. Zahra mengakui bahwa dia sudah punya satu anak berusia empat tahun. Dengan bangganya Zahra memperlihatkan foto dan video Çakti yang ada di ponselnya. Callief melihat dengan antusias. ”Anak Anda berapa?” tanya Zahra ketika itu. “Aku tiga tahun menikah dan belum punya anak. Habis itu aku bercerai. sudah tujuh bulan kami bercerai, sebelumnya lima bulan pisah ranjang. Jadi total satu tahun aku sudah tak punya pendamping,” balas Callief sambil memandang mata bening Çakti. Dia sebagai anak tunggal sangat mendamba punya banyak anak. Sayang Claudia tak ingin mewujudkan impiannya. Istrinya pergi mengejar impiannya. “Oh maaf,” kata Zahra. Dia tak ingin melukai perasaan pilot sebagai kenalan barunya itu. “Tak apa. Sudah biasa kok,” jawab Callief dengan senyum getir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD