AWAL KEHANCURAN
“Iya ada apa Mi?” tanya Athaya Muliawan Siswodihardjo dengan lembut pada Azzahra Bestari Prawira atau yang biasa dipanggil Zahra, namun di keluarganya dia dipanggil Alla mungkin karena saat kecil tak bisa mengeja namanya Zahra sehingga dia menyebut dirinya Alla.
“Bukannya Mami tadi sudah kasih tahu ya bahwa Mami sudah sampai bandara. Apa sekarang sudah sampai hotel? Langsung ke tempat meeting ya Mi?” Athaya lanjut saja bertanya.
“Iya Pi. Ini sudah di hotel. Baru mau turun ke ruang meeting di bawah karena kami memang disediakan hotel yang ada ruang meetingnya. Jadi tak ada alasan peserta terlambat datang,” Jelas Alla.
“Lalu kenapa telepon, enggak mungkin karena kangen Papi kan?” tanya Athaya.
“Enggak Pi. Barusan ada telepon dari sekolahnya Çakti ( bacanya Çakti ya ). Gurunya hubungi Mami katanya Çakti sakit panas. Mami juga sudah tanya ke Endah, Endah bilang kalau memang sejak tiba di sekolah tadi dia agak hangat, tapi saat berangkat sekolah belum. Papi tahu kan Mami nggak mungkin bisa balik lagi dengan cepat. Perjalanan ke bandara saja berapa lama, belum lagi harus cari tiket dan segala macamnya. Papi bisa ke sekolahan nggak? Kalau bisa langsung dibawa ke rumah sakit saja biar langsung dikontrol dokter Zaenal. Kalau cuma sama Endah dan sopir kan kasihan,” ucap Zahra yang sedang touch up untuk mulai bekerja.
“Ya sudah kamu tenang saja, nggak usah pulang buru-buru. Paling dia cuma demam karena kecapean. Kemarin kamu ajak berenang enggak berhenti-berhenti. Kamu kalau mau pergi dinas tuh selalu begitu. mengajak dia main sampai puas, jadi dia sakit,” jawab Athaya.
“Kok aku yang salah? Aku jadi beban kalau disalahin kayak begini,” keluh Zahra sedih.
“Eh enggak Sayank. Enggak salahin Mami koq. Tenang saja. Sudah pokoknya Papi langsung on the way ke sekolah Çakti. Kamu tenang saja ya. Urus saja meetingnya. Enggak apa-apa kok. Papi sama Endah akan bawa dia ke rumah sakit, nanti kita video call langsung biar kamu tahu kalau kamu bisa terima telepon ya. Kalau nggak bisa ya sudah enggak apa-apa.”
“Kayaknya aku nggak bisa deh Pi, ini aku sedang touch up, akan langsung ke ruang meeting, karena sudah ditunggu. Barusan Franda sudah ngomel saja karena aku baru datang,” jelas Zahra menceritakan kalau Franda sekretarisnya yang sudah sejak semalam tiba di Bali mengingatkan Zahra agar cepat.
Zahra tak mau berangkat kemarin sore. Dia tak mau membuang waktu berharga untuk Çakti dan Athaya. Maka Zahra memilih penerbangan pertama pagi ini.
“Ya sudah, Papi langsung berangkat ya,” kata Athaya.
Çakti atau Bhimaçakti Maulana Siswodihardjo adalah anak mereka yang baru berusia hampir empat tahun. Dua bulan lagi tepatnya Çakti akan ulang tahun ke-empat. Zahra dan Athaya sangat bahagia ketika di pernikahan mereka yang kedua Çakti lahir.
Rumah tangga mereka sangat manis, tak ada gangguan apa pun. Zahra adalah Marketing Manager sebuah perusahaan kosmetik yang sangat besar, sedang Athaya adalah manager HRD di perusahaan konstruksi. Walau keduanya sibuk mereka tetap bahu membahu untuk membina keluarga mereka agar harmonis. Tak pernah ada keluhan dari Athaya soal kesibukan Zahra.
Sehari-hari Zahra berangkat ke kantor bersama dengan Çakti berangkat sekolah. Dia tak langsung meninggalkan Çakti di sekolah. Dia akan menunggu beberapa saat hingga putranya mulai belajar, baru dia tinggal. Çakti pulang dijemput oleh sopir dan selama pelajaran berlangsung ditunggu oleh baby sitternya yaitu Endah.
Endah ini sudah sangat lama bekerja di keluarganya Athaya dulu dia babysitter anak kakaknya Athaya yaitu Dipta Pradana Siswodihardjo. Dua anak Dipta memang dirawat oleh Endah. Endah perawan tua umurnya sudah 35 tahun. Dia sangat menyayangi anak-anak, tapi tak mau menikah.
“Bagaimana Mbak Endah, ada kabar baru dari bundanya Çakti?” tanya guru kelasnya Çakti yang bernama ibu Aprilia Dewi.
“Sudah Bu. tadi saya sudah mengabari maminya Çakti. Tadi nyonya sih bilang kemungkinan yang akan datang papinya karena akan langsung dibawa ke rumah sakit. Nyonya memang sedang dinas luar, baru berangkat tadi subuh,” jelas Sarwendah.
“Iya tadi saya juga sudah telepon bundanya Çakti, ternyata dia sedang berada di Bali,” jawab bu Aprilia.
“Benar Bu. Nyonya sedang di Bali, baru berangkat subuh tadi dan akan kembali tiga hari lagi.
“Tinggal saja tidak apa-apa kok Bu. Saya dengan pak sopir. Nanti begitu tuan datang kami akan bawa ke rumah sakit,” kata Endah kepada ibu gurunya Çakti.
“Sudah, tenang saja. Saya sudah beri tugas pada guru bantu untuk menggantikan saya,” jawab ibu guru manis tersebut. Çakti duduk di pangku oleh Endah. wajahnya pucat dan memang agak demam.
“Ibu tinggal saja Bu. Nggak apa-apa. Ibu masih ada kelas kan?” ucap nanny-nya Çakti itu.
“Tidak apa-apa kok Mbak Endah. Ini soalnya Çaktinya tidak mau melepas tangan saya, kasihan kalau saya tinggal,” jelas sang ibu guru. Memang Çakti memegang jari ibu gurunya. Dia terus memanggil maminya lirih walau tak menangis.
“Sebentar ya. Sebentar lagi papi datang. Nanti kita video call sama mami kalau pas mami lagi istirahat makan siang,” bujuk Endah. Karena biasanya memang seperti itu. Begitu bisa, kapan pun, pasti Zahra akan menelepon Endah untuk video call dengan anaknya setiap dia dinas luar. Pasti seperti itu. Walau Çakti masih baayi dulu, Zahra pasti akan mengajak putranya bicara. Bahkan tia siang dari kantor juga seperti itu. Jadi Çakti sangat dekat ikatan batinnya dengan sang mami.
“Çakti kenapa Nanny?” tanya seorang lelaki gagah yang datang ke situ. Aprilia baru satu kali ini melihat ayahnya Çakti. Lelaki ini tak pernah ikut mengantar putranya yang baru tiga bulan sekolah di tahun ajaran baru ini.
“Demam Tuan. Mungkin kecapean berenang kemarin sama nyonya,” jawab Endah.
“Ya sudah. Ayo kita bawa ke rumah sakit. Tadi maminya pesan harus dibawa ke rumah sakit untuk memastikan bahwa dia tidak apa-apa dan benar hanya kelelahan,” ajak Athaya.
“Baik Tuan,” jawab Endah. Dia langsung bersiap berdiri sambil menggendong Çakti.
“Sini, biar saya yang gendong,” pinta Athaya.
“Nanti Tuan kasihkan ke saya lagi saat sampai mobil. Repot kan Tuan. Kasihan den Çakti dioper-oper seperti itu,” kata Endah.
“Ya sudah,” kata Athaya, dia pun berjalan kembali ke mobil tanpa menyapa bu guru Aprilia yang berdiri di sebelah kursi yang Endah duduki.
Rupanya Çakti tak mau melepas jari ibu gurunya, dia masih menyebut mami walaupun matanya terpejam.
“Kalau begitu saya ikut saja deh, nggak apa-apa. Ayo mbak Endah antar sebentar saya pamit pada kepala sekolah dan mengambil tas saya,” kata ibu guru tersebut.
“Tidak perlu Bu. Nanti malah merepotkan,” jawab Sarwendah.
“Kasihan kalau Çakti malah menjerit. Ayo Mbak ke kantor dulu, ambil tas saya dan saya akan pamit kepada kepala sekolah. Kasihan dia kalau tidak ditemani. Tangannya nggak mau dilepas,” bu guru tersebut memberi alasan logis. Maka dengan terpaksa Endah mengikuti guru itu untuk pamit ke kepala sekolah sekalian mengambil tasnya.
“Nanti Ibu harus kembali lagi ke sini dong? Kan motor Ibu di sini,” ucap Endah saat mereka menuju mobil Athaya. Dia lihat tuannya sedang ngobrol dengan sopir yang bertugas menjemput Çakti sekolah.
“Iya nggak apa-apa. Gampang itu sih, dari rumah sakit nanti naik ojek online saja,” kata ibu April.
Athaya menyuruh sopirnya Çakti untuk pulang.
“Maaf ya Bu, jadi merepotkan Ibu,” ucap Athaya saat melihat ada seorang guru yang ikut mengantar putranya.
‘Ngapain nih ibu guru? Kan Çakti sudah bersama aku, ayah kandungnya?’ batin Athaya.
“Tidak apa-apa Pak. Kan juga tidak setiap hari dan tidak setiap anak sama seperti ini. Sudah menjadi tugas kami untuk selalu memperhatikan semua anak satu persatu,” jawab ibu April.
April, Endah dan Çakti duduk di belakang sedang Athaya sendirian di depan.