Harapan Bunda Amira

1489 Words
Hamish sebenarnya malu harus muncul lagi depan Lea, jika Halim sih saudaranya sendiri. Sudah saling tahu kelakuan baik maupun nyelenehnya masing-masing. Bisa-bisanya dia tidak bisa menahan buang gas, mana depan wanita. Itu karena perutnya sakit di tambah pagi itu dingin, memaksakan diri ikut meditasi yang baginya konyol. Berbeda dengan Lea yang sudah biasa saja saat melihatnya bergabung breakfast. “Jangan naik taksi, biar aku saja yang antar kamu.” Kalimat Halim menarik atensi Hamish, menatapnya, “memang mobilnya kenapa?” “Waktunya cek, servis, ganti oli.” Lea yang menjawab. “Bukannya libur?” “Dia dapat telepon dari rumah sakit, menggantikan satu dokter yang kurang sehat untuk tindakan operasi dalam kasus pasien yang alami apendisitis.” Halim yang menjawab, seolah tahu semua tentang kegiatan Lea. “Jangan pakai istilah medis kalau denganku,” “Usus buntu,” jawab Lea. “Ya sudah, Halim yang antar—” “Jangan Halim!” Hamish langsung menyela Bunda, hal itu menarik atensi semua orang. Hamish mengusap tengkuknya, “begini, maksudku biar aku saja. Kebetulan aku akan keluar. Satu arah dengan RMC Hospital.” Hamish berbohong. Alasan tersebut yang paling masuk akal. Tentu saja Lea merasa aneh, tidak pernah Hamish ada inisiatif sendiri mengantar-jemputnya. Selalu atas perintah Bunda Amira. Tapi, hari ini, tingkah pria itu memang sudah sangat aneh sejak Pagi tadi. “Ya sudah, sama Hamish aja. Ya, Lea?” “Ya, Aunty,” Lea mengangguk, sama siapa pun atau dia pergi sendiri pun bukan masalah untuknya. “Makannya dihabiskan, nanti Bunda buatkan minuman sehat untuk stamina kamu. Resep mbahnya Hamish-Halim. Semua orang menyukainya, dan cocok.” “Pahit, Aunty?” tanya Lea. “Tidak, hangat dan enak.” Amira meyakinkan. Semua lanjut makan, Amira tersenyum menatap Hamish, Halim dan Lea. Mengingatkan ia pada laporan dari pekerjanya tadi pagi. “Selama saya tidak di rumah, semua berjalan baik, Mbak?” tanya Amira pada Intan, salah satu senior Asisten rumah Lais. “Baik, Bu. Cuman Mas Hamish pernah dua hari tidak pulang,” “Tidak pulang?” “Iya, Bu.” Angguknya. “Paling menginap di apartemen Rayan. Nanti biar saya tanyakan ke Aurora.” Rayan adalah adik dari suami putrinya, tidak sulit mengorek informasi tersebut. “Lainnya, bagaimana? Saya harap tidak ada keributan antara Hamish dan Lea.” Amira memang sering memantau kejadian selama tidak di rumah, menanyakan pada pekerjanya. “Sempat lihat mereka berdebat, tapi Non Lea ngalah.” Kening Amira mengernyit, “debat?” “Iya, saya tidak tahu masalah apa tapi, kemudian malam berikutnya anu.. Bu…” Tanpa ragu untuk menyampaikan informasi yang di milikinya. “Apa, Mbak? Apa terjadi sesuatu?” Amira harap-harap cemas. Intan malah tersipu malu-malu, “Ih Mbak buat saya penasaran aja deh!” “Itu, Bu… Sewaktu mereka pulang, Mas Hamish bawa makanan. Burger, kentang goreng gitu. Nonton bola, tapi pas Mbak sempat lihat Non Lea gabung. Ikut makan. Terus ketiduran di sana, tidur pelukan berdua sampai pagi.” “Oh Ya ampun!” Amira tidak bisa menahan senyumnya dengan senang. “Kabar baik ini! sesuatu yang saya harapkan, aduh mana ponsel saya, Mbak. Tolong ambilkan.” Amira langsung menelepon suaminya, menceritakan dengan semangat. Kemudian ia juga cerita pada sang Kakak ipar. Amira memang sangat mengharapkan Lea menjadi salah satu istri dari anak laki-lakinya. Halim yang sudah bersama Lou, bertunangan, merencanakan pernikahan sejak lama, berarti pilihannya hanya ada Hamish. “Bunda, kenapa?” tanya Hamish mendapati ibunya senyum-senyum sendiri sambil menatap Lea yang menjauh. “Menurutmu, Lea bagaimana?” Kening Hamish mengernyit, begitu juga Halim yang sedang membalas pesan tunangannya sampai menoleh pada ibunya. “Bagaimana maksudnya, Bunda mau aku menilainya?” Hamish memperjelas. Amira mengangguk, “hampir dua bulan Lea tinggal di sini, pasti kalian semakin dekat—” “Dekat karena Bunda memintaku menjaganya. Itu saja. Bunda mengharapkan apa sih dariku dan Lea?” “Seperti Vanya dan Aric,” jawab Amira. Menyebut keponakannya yang akhirnya menikah dengan teman sedari kecilnya. Hamish justru terkekeh, “kami tidak cocok, jadi mana mungkin bisa saling jatuh cinta dan menikah.” “Tidak cocok? Sudah mencoba sampai bilang tidak cocok?” Senyum Amira lenyap. Putranya mengangguk, “sudahlah, Bun. Sabar ya, nanti kalau sudah ada pun aku bawa calon menantumu kok.” “Kapan itu? Janji terus kamu, Bunda udah siap gendong cucu,” “Minta sama Mbak Aurora lah, Bun!” “Mereka menunda karena kontrak kerja Aurora.” “Mbak yang nunda, aku yang jadi sasaran. Bunda udah mau banget ngasuh cucu?” Amira mengangguk, “ya,” “Ya udah nanti aku bikin—Aduh Bunda!” Amira langsung mencubit lengannya. Hamish mengaduh, “main bikin aja, emangnya adonan roti!” Halim menggeleng pelan, sangat kalem menyaksikan drama antara kembaran dan ibunya. “Nah, itu Bunda tahu. Jadi sabar ya, sampai Halim nikah sama Lou—“ “Kok jadi aku?!” Kata Halim menatap kesal kembarannya yang tergelak. “Kamu udah punya tunangan, iya kan Bun?!” Hamish berdiri, mengedipkan satu matanya dengan tengil khasnya kemudian berlalu. Tapi, dia berhenti di dekat Halim dan iseng menoyor kepalanya hingga Halim hampir melemparnya dengan serbet. “Hamish, jangan usil!” tegur Amira. Menarik napas dalam melihat tingkah usil Hamish pada kembarannya. “Setia sama Lou, jangan coba tertarik sama perempuan lain.” Sindirnya. Membuat kernyit alis Halim dan Amira pun. “Dia bicara apa?” “Bun, jangan di anggap. Hamish sedang eror.” Halim menggelengkan kepala kecil. *** “Ayo, masuk. Apa yang kamu tunggu sih?!” gerutu Hamish saat Lea ragu untuk masuk. Lea menghela napas sembari masuk. Duduk dan menutup pintu, “awas kalau buang gas di sini!” Hamish melirik malas, “kamu dokter, harusnya paham kalau buang gas itu normal. Jusru berbahaya kalau tidak bisa buang gas.” “Aku tidak melarangmu buang gas, tapi dikondisikan. Bukan depan orang yang tengah meditasi, berharap tenang malah kebauan!” Hamish tergelak puas mendengar kalimat Lea yang sarkasme tapi lucu. “Hahah… Funny untukmu?” “Tentu, kapan lagi lihat ekspresimu yang terkejut. Tidak kaku terus.” Lea bersedekap. Mobil melaju meninggalkan kawasan perumahan elite tersebut. Ia menatap Lea sekilas, “jangan terlalu dekat dengan Halim,” “Sorry?” Lea menoleh, mempertanyakan maksud dari larangannya. “Halim sudah bertunangan dengan Lou. Cari pria lain yang masih available.” “Maksudmu ini apa sih?” “Kamu yang terus dekat-dekat dengan Halim, itu bisa menimbulkan salah paham. Lou bisa cemburu, dan jangan sampai kamu memang menyimpan perasaan pada Halim.” “Sepicik itu kamu menilaiku?” tanggap Lea. Hamish menoleh, “aku hanya—” “Di depan ada halte, turunkan aku di sana!” “Lea—” “Aku tidak tahan dekat-dekat dengan pria yang bisa menuduhku seburuk itu.” “Aku hanya mengingatkan.” Hamish tidak mau berhenti sesuai keinginan Lea. Mereka terus berkendara. “Halim saudaraku, dan Lou sudah kuanggap iparku. Tidak akan ada wanita lebih baik darinya yang jadi pasangan Halim.” “Keterlaluan kamu, Hamish!” tepat mobil berhenti karena traffic light, Lea membuka sabuk pengaman. “Aku turun di sini!” tidak tahan ia terus berlama-lama di mobil. Bersama Hamish yang sedang bicara sembarangan. “Lea—” Brakkk! Pintu di tutup kencang, Hamish memukul roda kemudinya. “Biarkan saja, itu pilihannya. Dasar dokter sensitif!” Hamish menatap Lea yang terus berjalan ke bahu jalan. Menunggu taksi kosong yang lewat. Hamish dengan sama bersikeras, tak merasa bersalah tetap melajukan mobil. Niatnya tidak mau membujuk Lea. “Ah, sial!” tapi, ternyata Hamish tidak bisa benar-benar mengabaikan saat mencari tempat putar arah untuk kembali ke tempat Lea turun. Sayangnya, begitu sampai di sana. Lea sudah naik taksi. Hamish mengikuti, keinginan memastikan taksi itu benar membawa Lea menuju rumah sakit tempat tujuannya. Lea yang turun setelah membayar secara digital, saat akan melangkah sempat menoleh lihat mobil yang tadi dikemudikan Hamish. Tahu jika Hamish mengikutinya. “Lea…” Hamish turun, memarkirkan sembarang. Mengejarnya. “Kalau kamu mau lanjutkan omong kosongmu, lebih baik kamu urungkan dan segera pergi. Aku tidak punya waktu untuk menanggapimu, Hamish!” tegas Lea. Berdiri bersedekap. Memberi tatapan dinginnya. Hamish tetap menatapnya, kemudian menyengir, “jangan bilang ke Bunda yang terjadi tadi—” Lea mengibaskan rambutnya dan berbalik. Dia melangkah cepat, Hamish mengejarnya tapi penjaga rumah sakit memanggilnya. “Pak, mobilnya tolong di pindahkan dulu!” cegah keamanan rumah sakit. Hamish menatapnya, “saya tidak lama, ini sudah mau pergi!” Hamish masuk mobil dan sebelum melaju mengirimkan pesan. Lea tidak lama membacanya. [Jangan mengadu pada Bunda, awas saja kalau kamu melakukannya!] Apakah ada yang lebih menyebalkan dari Hamish Benedict Lais? Lea rasa tidak ada! “Tarik napas, Lea… tenang, sekarang fokus pada pekerjaanmu. Abaikan Hamish dan ucapannya tadi! Jangan terpancing apalagi jadi ikut sinting!” Lea menenangkan diri, kemudian menyimpan ponsel dan ia bersiap-siap untuk melakukan visite lalu meeting dengan tim dokter yang akan menangani operasi sore nanti. Tapi, tetap saja dia kesal di tuduh punya niat mendekati Halim dan akan merusak hubungan mereka. Bisa-bisanya Hamish punya pikiran ke sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD