Bukan Mimpi, Melainkan Kenangan Masa Kecil

1141 Words
“Hati-hati Halim, nanti istananya runtuh. Kita sudah susah payah membangunnya!” Lea memperingatkan Halim saat hendak meletakan sebuah bendera Indonesia di atas istana pasir yang mereka bangun bersama. Lea yang berusia sembilan tahun menatap Halim. Hanya mereka berdua sebab Hamish lebih tertarik main layangan bersama Kaflin sementara Aurora sedang tidak enak badan jadi tetap di Villa bersama Amira. “Awesome! Bagus… bagus banget!” Decak Lea ceria. Meski tidak tinggal bersama Putra. Sejak usianya lima tahun, Putra meminta khusus sekali setahun menghabiskan waktu liburan dengan Lea. Ibunya menurunkan ego, setuju untuk permintaan tersebut dan berharap bisa mendekatkan Lea dengan ayahnya. Halim juga tersenyum, lalu meraih telapak tangan Lea dan membersihkan pasir yang menempel. “Kita cari sesuatu yang bisa diletakan. Biar makin indah!” ajak Halim. Lea mengangguk. Mereka menelusur bibir pantai sekitar. Mencari benda laut yang terhempas ke pantai. Tidak jauh-jauh, masih dekat sana. “Aku menemukan ini, Halim! Lihat, Beautiful!” Lea menunjukkan sebuah cangkang siput yang ia temukan. “Ya, ini bisa. Ayo, aku rasa sudah cukup!” Halim meraih satu tangan Lea, mengajak kembali ke istana mereka. Keduanya berhenti berjalan saat melihat Hamish yang tengah fokus pada layang-layangnya hingga bergerak mundur, dan tidak lihat-lihat. Hamish sendirian, tadi dia bersama Kaflin. “Oh, tidak! Hamish bisa menghancurkannya!” Lea menjatuhkan cangkang siput yang ia bawa serta melepaskan tangan dari genggaman Halim dan berlari secepat mungkin. “HAMISH AWAS!” Peringatan Lea dengan lantang tetapi terlambat bersamaan Hamish yang jatuh menimpa istana mereka sampai hancur. Wajah Lea memerah, matanya berkaca-kaca. “Apa yang kamu lakukan?! Kamu merusaknya!” tangisnya pecah. Hamish berdiri, menepuk-nepuk pasir yang ada di belakang tubuhnya. Menatap istana pasir yang sudah mengenaskan. Lea lalu beringsut maju, dan mendorongnya kasar. “Tanggung jawab!” “Apaan sih, kamu berlebihan banget! Cuman mainan pasir doang!” balas Hamish tanpa merasa bersalah. “Buatnya tidak mudah! Aku dan Halim—” “Buat lagi aja!” gampang Hamish dan berlalu. Tapi, Lea yang sudah terlanjur kesal tidak terima, dia bergegas mendekat dan menjambak rambut Hamish, “AKH! LEA LEPAS!” “Biarin, rasain kamu pantas mendapatkannya!” Halim langsung berusaha menghentikan mereka, dan detik itu Hamish terpancing dengan kasar membalas. Mendorong Lea hingga terjungkal. “Tidak lucu ya, tarik-tarik rambutku! Aku akan adukan ke Bunda—” “Aku yang akan mengadukanmu, Hamish!” balas Halim, bantu Lea berdiri. Hamish menatap kembarannya, “kamu memihak dia daripada aku?!” “Ya. kami bangun istananya bersama. kamu merusaknya dan bersikap tidak baik, bahkan tidak meminta maaf!” “Dia menjambak rambutku, Halim! Kalau aku harus minta maaf, Lea juga!” “Aku tidak akan meminta maaf juga tidak akan pernah memaafkan kamu, kecuali kamu kembalikan istanaku!” Lea sudah terisak, kemudian dia berbalik pergi. Berlari ke Villa. “Di Villa ada Bunda dan Om Putra. Melihat Lea datang menangis begitu, apalagi kamu membuat tangannya terluka, pasti Bunda akan marah.” Hamish terdiam kaku. Hari itu memang dia ditegur bunda. Dengan memberi pengertian jika perbuatannya sudah menyakiti Lea. “Laki-laki yang gentleman, tidak akan pernah mengangkat tangan untuk menyakiti perempuan. Hamish sayang Bunda, sayang Mbak Aurora kan?” “Sayang Bunda dan Mbak Aurora.” “Hamish tidak bisa lihat kami terluka, harus begitu juga ke Lea. Jaga dia dengan baik. Bukan menyakitinya.” “Lea juga salah, dia balas dengan menjambakku!” “Lea begitu karena kamu merusak sesuatu yang sudah dia buat susah payah dan kamu tidak ada upaya untuk meminta maaf.” Hamish menatap Bunda, mereka bicara berdua. Bunda selalu melakukannya bila ada kesalahan yang dilakukan anak-anaknya, hampir tidak pernah menegur dan menasihati depan yang lain. “Hamish, kita bertemu setahun sekali dengan Lea. Harusnya jadi moment liburan yang menyenangkan untuk kita semua, terutama Lea.” “Karena Lea tidak tinggal bersama kedua orang tuanya?” “Hm, ya… jadi, jangan membuatnya sedih.” Hamish mengangguk, “tapi aku nggak suka, Bun. Lea lebih senang main sama Halim dibanding aku!” “Oh ya?” “Iya, dia memilih bangun istana padahal aku sudah mengajaknya main layangan. Dia bilang main layangan tidak menyenangkan.” “Setiap orang punya selera yang berbeda. Coba Hamish temui Lea, ajak bicara dan minta maaf. Terus besok, ajak Lea membuat istana pasir lagi—” “Bun, aku tidak suka duduk dan membangun istana pasir itu!” “Kali ini kamu tetap harus lakukan walau tidak suka, karena kamu harus bertanggung jawab pada milik Lea yang sudah dirusak.” Sayangnya Lea terus menghindar darinya, sampai pagi-pagi semua orang panik mencari Hamish yang hilang. Mencari keberadaannya hingga ada yang memberitahu jika Hamish di bibir pantai. Lea yang penasaran ikut melihatnya. Semua orang melihat Hamish bersusah payah mengganti istana pasir yang dia rusak. “Lea, Hamish sudah berupaya menebus kesalahannya.” Kata Putra, “jangan marah lagi pada Hamish, dia pasti tidak sengaja.” Halim kemudian mendekati Hamish, membantunya. Lea dengan ragu mendekat, Hamish menatapnya. Lea tersenyum, mengulurkan tangan, “aku minta maaf sudah menjambak rambutmu kemarin.” Hamish mengangguk, menerima uluran tangan Lea, “maaf aku bersikap tidak baik dengan mendorongmu juga. Apa tanganmu terluka parah?” Lea menunjukkan plester di telapak tangannya, “Uncle Kaflin yang mengobati, pasti cepat sembuh. Papa juga memeriksanya. Kita tidak perlu cemas kalau terluka, karena punya dua dokter pribadi.” Hamish dan Halim tertawa mendengarnya, begitu juga Putra dan Amira yang menyaksikan kepolosan anak-anak. *** Lea terbangun di ruangan kerjanya, sudah pukul empat sore. Dia masih berpakaian yang sama digunakan operasi satu setengah jam lalu. Setiap habis melakukan operasi besar, memang sangat menguras tenaga. Dia duduk, termenung. Mimpi yang baru dia dapatkan, bagian dari kenangan yang terjadi, masa anak-anaknya. Saat liburan di Bali, Resort milik Papa dan keluarga Kaflin pun bergabung. Lea memutuskan mengganti baju dan bersiap pulang. Jadwalnya sudah selesai untuk hari ini. Besok jadwalnya libur. Memiliki jam kerja rata-rata 51 jam per minggu. Terkadang bahkan jam kerja ini bisa lebih panjang jika ada kasus-kasus yang membutuhkan tindakan bedah segera, buat Lea harus tetap menjaga kondisi tubuhnya tetap bugar. [Lea, aku sedang dekat RMC Hospital. Kamu masih di sana?] Satu pesan dari Inez masuk, Lea seolah mendapat kesempatan. Sesuatu yang bisa membuat ia mungkin akhirnya dapat informasi tentang Hamish. Ya, Lea ingin sangat tahu sekarang. Dia harus menemukan sesuatu yang bisa membalas perbuatan Hamish hari ini. Lea pilih menelepon Inez dibanding membalas pesannya. “Aku kebetulan sudah selesai kerja, ayo kita bertemu. Katakan kamu di mana? Aku akan ke sana.” “Aku sudah dekat RMC. Apa ada tempat mengobrol yang enak, atau mau kita berjalan-jalan? Akan kutunjukkan tempat yang bagus untuk berbelanja,” Lea tersenyum, “boleh deh. Aku menunggumu depan RMC ya?” Lea bergegas memastikan tidak ada yang tertinggal, keluar rumah sakit dan tidak lama melihat mobil yang dikendarai Inez. “Masuk, Lea!” Inez menyetir sendiri, Lea segera masuk. Penuh harap Inez mau membantunya untuk mengorek informasi dari Dokter Giyan tentang Hamish.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD