Kembar, tapi Berbeda

1267 Words
Sabtu ini Lea lebih luang. Tidak ada jadwal operasi kecuali tiba-tiba ada panggilan darurat. Dia bangun lebih pagi, sikat gigi dan cuci muka saja. Kemudian berganti pakaian yang nyaman untuk berolahraga. Beberapa menit saat ia sudah siap, sudah berdiri di depan rumah dan sedang akan memutar lagu favoritnya. “Lea,” sebuah seruan membuatnya menoleh. Halim dalam penampilan siap berolahraga juga. “Pakai sepeda Aurora, aku sudah mengecek kondisinya.” Semalam mereka memang buat janji akan olahraga pagi bersama, tapi tidak menyangka akan bersepeda. “Masih bisakan?” Lea tersenyum sembari mendekat, “mana mungkin lupa. Kamu yang pertama kali mengajariku pas kita liburan bersama.” Saat itu usia Lea masih sembilan tahun, Hamish dan Halim sudah sepuluh tahun. Sepulang dari liburan, Lea belajar bersepeda sampai benar-benar bisa. Liburan tahun berikutnya, mereka sudah bisa ikut para Ayah bersepeda di sekitar Vila. Momentum berharga dan indah akan sangat mudah dikenang. “Pakai pelindung kepalamu,” Lea memakainya, kemudian mencoba satu puteran di halaman rumah Lais. Merasa cocok, mereka berdua memilih bersepeda cukup jauh. Sepagi ini udara cukup nyaman. Berselang beberapa jam, saat Lea dan Halim berolahraga. Mereka belum kembali, Hamish baru bangun jam setengah delapan pagi. Dia bangun dan mandi. “Bunda, morning.” Hamish dapat usapan lembut pipinya dari sang Bunda. “Pagi, tumben udah bangun.” Hamish menyengir, “kok sepi, pada ke mana? Apa belum ada yang bangun?” “Mereka bersepeda.” Gerakan tangan Hamish yang akan meminum air putih tertunda, “siapa yang bersepeda, Bun?” tanyanya. Mengulang agar lebih jelas. “Lea dan Halim, mereka berangkat dari setengah enam dan belum kembali.” “Hanya berdua?” “Ya, memang. Jika ada Ayah, pasti Ayah ikut bersama mereka.” “Lou ikut juga?” Bunda mengedikan bahu, “sepertinya tidak, tapi entah kalau mereka menyusul Lou ke rumahnya lalu pergi bersama.” Hamish pun berharap begitu, Lou bergabung dengan mereka. “Kenapa?” tanya Amira. Selalu peka, mengenali sekali anak-anaknya terutama Hamish, paling dekat dengannya. “Oh, tidak bun. Hanya berpikir seharusnya aku ikut.” Amira terkekeh, “yakin mau ikut? Bunda kenal lho kamu, kalau Sabtu-Minggu susah dibangunkan. Ini aja tumben banget sudah bangun.” Hamish bukan tidak olahraga sama sekali, tapi dibanding yang lainnya harus bangun pagi, dia lebih suka berenang di siang atau sore, lalu Gym beberapa jam saat sempat. “Ya, belajar hidup sehat kayak yang lain.” “Hm, oke juga wacanamu.” “Bunda…” keluhnya tahu Amira meledeknya. Amira terkekeh bersamaan kedatangan pekerja rumah, “itu Bu, Mas Halim sama Non Lea sudah datang. Saya mau ambilkan minum.” “Oh sudah datang?” pertanyaan Amira bersamaan Hamish yang meletakan gelas dengan cepat, kemudian berbalik pergi. Hamish mencari keberadaan mereka, ternyata keduanya sedang duduk di undakan tangga. Meluruskan kaki. Suara tawa Lea yang lepas, membuat langkah Hamish berhenti. Entah pembahasan seperti apa yang sedang dibahas keduanya. Sampai wanita kaku sepertinya itu bisa tergelak renyah, memegangi perut lalu mendorong bahu Halim yang juga tampak menikmati kebersamaan. “Ck!” dengkus Hamish. Sejak kecil ia tahu kedekatan keduanya. Walau mereka teman, bisa saja timbul perasaan yang harus dicegah sebab Halim sudah bertunangan dengan Lou. Hamish ingat sekali beberapa waktu lalu, melihat Halim dan Lea bersama di Gazebo. Padahal posisinya Lou masih belum pulang. Hari-hari berikutnya semakin sering melihat Lea dekat dengan Halim. Lea menoleh saat merasakan kehadiran orang lain, Hamish muncul di belakangnya ada pekerja rumah yang mengambilkan mereka minum. “Makasih ya Mbak,” ujar Halim. Meneguk air putihnya, begitu juga Lea. Hamish tetap berdiri, “bersepeda ke mana? Pasti jauh, karena Bunda bilang kalian pergi dari setengah enam.” “Seputar sini saja,” Halim yang menjawab. “Kalian tidak mengajakku—” “Oh, kamu mau ikut?” heran Halim, mengenal kembarannya dengan baik. “Sejak kapan kamu bisa bangun pagi pas libur, apalagi punya keinginan olahraga pagi.” Hamish mendengkus, dibanding Halim, gaya hidup Hamish memang bebas dan kurang sehat. Lea diam saja sepanjang pembicaraan keduanya. “Jangan karena kalian dokter, merasa hidup kalian sangat sehat dan orang sepertiku tidak sehat.” Halim menggeleng pelan, “kami tidak bawa-bawa gelar, hidup sehat bukan hanya karena kami seorang dokter. Setiap orang memang harus melakukannya, untuk tubuhnya sendiri.” Sebutan ‘kalian’ yang disebut Hamish tentu juga dipanahkan pada Lea. Mungkin Hamish mengingat komentar Lea saat melihat pria itu makan tengah malam. Hamish hanya bersedekap, “Lea, aku akan ambilkan bolanya.” “Ya, jadinya basket aja? Nggak mau coba meditasi?” “Hm, sepertinya enak meditasi ya? tenang.” Halim berubah pikiran, kemudian menatap Hamish, “mau ikut?” Hamish terdiam, dia tidak tahu apa manfaatnya hanya diam duduk di atas matras seperti yang sering dilakukan Lea. Pasti mengantuk, tapi membiarkan mereka tetap berdua, Hamish akan merasa bersalah pada Lou jika suatu hari— ‘Oke stop memikirkan suatu hari mereka berdua akan jatuh cinta, menyakiti Lou. Itu tidak akan terjadi! Aku tidak akan membiarkan.' Batin Hamish. “Aku akan ikut!” “Sayangnya aku hanya punya satu matras lain,” balas Lea sambil berlalu. 'Itu sih pasti alasan dia aja, mau berduaan sama Halim!' pikir Hamish lagi. “Memang harus pakai matras ungumu itu?!” saut Hamish saat Lea akan berlalu. “Jadi, kamu mau duduk di bawah tanpa alas?” “Iya, atas rumput pun tidak masalah!” sanggup Hamish. Lea sampai melongo, “yakin?” Namun, beberapa saat mereka menuju halaman belakang. Tempat Lea biasa meditasi. Hamish tetap diam. Menatap Lea menggelar matras yoganya yang berwarna ungu itu. “Ayo, katanya mau ikut dan duduk—” “Matras milikmu lebih lebar dari yang Halim pakai, jadi aku akan duduk satu matras denganmu!” “Apa—” Kalimat Lea terhenti saat Hamish duduk begitu saja di sisi matrasnya dan melipat kaki, “seperti ini, kan? Biasanya kau duduk mematung dan tidak terusik.” Hamish mencontohkan Lea yang duduk bersila dan menegak, lalu kedua tangan di atas masing-masing pahanya dan menutup mata. Lea dan Halim saling pandang, merasa aneh dengan tingkah Hamish. “Mau tukar posisi? Biar aku yang satu matras dengan Hamish?” tanya Halim lembut. Hamish mengintip interaksi mereka. “Aku tidak apa, matras ini memang cukup untuk berdua.” Kata Lea. Kemudian duduk menghadap Hamish. Halim pun mulai ikut meditasi, mereka mendengarkan penjelasan pemula dari Lea yang sudah melakukannya tiga tahun belakangan. Kini Halim tahu mengapa tingkat ketenangan Lea luar biasa, meditasi sangat berguna untuk mengatur emosinya. Tidak ada yang bersuara, Hamish buka mata perlahan saat keheningan itu terjadi kemudian yang pertama ia pandang adalah wajah Lea yang tenang. Tiba-tiba angin berembus, membuat bagian sedikit rambut yang tidak ikut terikat, bergerak-gerak mengenai pipinya. Tapi, Lea tidak terusik. Ketika Halim pun menikmati waktu meditasi, Hamish justru sudah menguap beberapa kali. Ide untuk ikut mereka meditasi adalah satu hal yang Hamish sesali. Tidak cocok dengannya. Hingga sebuah suara membuat Hamish kembali membuka mata, juga Lea dan Halim. “Kamu buang gas?!” tebak Lea dengan pupil mata melebar dan ia menutup hidungnya. Hamish langsung berdiri, memegangi perutnya, “tidak tahan. Sakit perut,” kemudian langsung berlari secepat mungkin. Halim tergelak sementara Lea berdecak, “astaga, Hamish! Tidak ada sopan-sopannya!” “Hamish.. Hamish!” decak Halim. Tingkahnya terkadang tidak mencerminkan usia mereka sekarang. Tapi, Hamish bisa serius saat bekerja. “Kalian yakin kembar? Kenapa dia berbeda sekali darimu, sih?!” lanjut Lea pada Halim yang masih tertawa mengingat kelakuan kembarannya. “Entahlah, kamu bukan orang pertama yang meragukan kami kembar walau wajah kami identic sekali.” Ya, apalagi sikap. Halim sangat berbeda dengan Hamish. “Kita lanjut?” Lea justru bangun, “tidak deh, Hamish benar-benar sudah merusak keinginan meditasiku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD