Bromance?

1241 Words
“Aku tidak terlalu tahu detailnya, suamiku hanya bilang seperti yang aku sampaikan. Hanya dua kali datang untuk konsultasi, selanjutnya tidak pernah lagi datang.” “Waktunya itu kapan?” “Sekitar empat bulan lalu, kenapa sih Lea? Kok kamu kelihatan jadi penasaran?” “Ya, tentu penasaran. Kamu memang tidak tahu aslinya Hamish bagaimana? Dia itu Playboy.” “Astaga, serius?” Lea mengangguk, “ya.” bahkan selama dua bulan menetap di rumah Lais, Lea sudah melihat Hamish menggandeng tiga hingga empat wanita berbeda. “Atau mungkin sesuatu yang parah, karena dia hidup bebas, suka hinggapi burungnya di mana aja. Iya gak sih—” “Uhuk!” Lea terbatuk. “Minum dulu!” Inez menatap temannya. Lea segera minum. “Burungnya?” “Penisnya, kalau kurang jelas.” Lea melotot. Meski tidak ada Hamish di sana, rasanya membicarakan sesuatu yang terlalu pribadi itu membuatnya tidak nyaman. Inez dokter Obgyn. Sudah biasa membahas alat reproduksi dan masalahnya. Tapi, Lea dan yang mereka bicarakan adalah Hamish. “Inez!” “Apa? suamiku dokter Andrologi, Lea. Memang apa lagi masalah pasien yang datang berobat ke sana jika bukan masalah peni—” “Pelankan suaramu!” Lea melirik meja sebelahnya, sampai ikut menoleh saat Inez menyebutnya dengan jelas. Inez tertawa, “oke, kebiasaan.” Tidak ada risi sama sekali. “Jadi, bisa minta tolong kamu tanya-tanya dokter Giyan. Siapa tahu dia mau cerita.” Inez meneguk minumnya lebih dulu sebelum menjawab, lalu tatapan mata mereka beradu, “tidak janji ya, Lea. Kalau penyakit lain mungkin tidak sensitive dibicarakan, beda dengan sesuatu yang mengarah ke alat reproduksi dan kesuburan.” Lea paham yang Inez katakan dua hari lalu saat bertemu. Lea bahkan mencari tahu lebih detail kasus-kasus yang ditangani dokter Andrologi. “Dua kali konsultasi. Mungkin sudah sembuh, maka Hamish tidak datang lagi. bisa jadi—” “Lea!” sebuah teguran dari hadapannya membuat Lea terkesiap dan menutup layar laptopnya. Halim muncul dan langsung begitu saja duduk di sisinya. Sebelum Lea melepas earphone, Halim mengulurkan tangan mengambil earphone miliknya. Saling satu dan mendengarkan musik yang Lea dengarkan. Lagu-lagu K-pop. “Kerjanya sudah selesai?” Halim menatap laptopnya. “Oh, bukan pekerjaan.” “Lalu apa?” “Baca-baca artikel medis terbaru.” “Harus rajin ya, calon Ibu direktur RMC Hospital.” “Apa sih, tidak lah... Uncle Kaflin masih sangat lama di posisi itu. Minimal sampai aku jadi Professor sepertinya dulu.” Halim mengangguk, “aku ingat banget pas Ayah lagi menyelesaikan penelitian untuk gelarnya itu. Tanpa Bunda, Ayah sudah hampir menyerah.” “Karena itu Papa tidak selesai-selesai sampai sekarang.” Paham Lea. Gelar tertinggi yang sudah Kaflin dapatkan memang tidak mudah. “Sekarang kamu bisa bedain aku dan Hamish?” “Kalau sikap kalian sama, mungkin sangat susah.” “Oh jadi bedain dari sikap kami? Kentara banget?” Lea mengangguk, ikut bersandar setelah meletakan laptop di sisi tubuhnya. Ia menoleh dan begitu juga Halim. “Wajah kalian sangat mirip, tapi Hamish jelas tidak akan menyapaku dengan hangat sepertimu. Kemudian duduk bersamaku dan mendengarkan musik yang kuputar tanpa menyelanya.” Halim tersenyum, “Hamish memang sebrengsek itu?” “Entah, mungkin sikap baik dan manisnya hanya ke Bunda, saudarinya atau para wanita yang dia kencani. Bukan padaku.” “Jika dia macam-macam, sampai melakukan atau mengatakan sesuatu yang melukai, katakan padaku. Aku akan bicara padanya.” Sikap Halim begini, baik padanya disalah artikan oleh Hamish. Kedekatan mereka hanya karena Lea merasa nyaman dengan Halim. Perasaan suka, tentu tidak ada. Menganggap Halim seperti saudara laki-lakinya. Hamish terlalu picik menilai ia menyukai Halim dan akan jadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Karena itu, beberapa hari ini saat bertemu pun Lea pilih menghindar dan tidak bertegur sapa sama sekali. “Halim,” “Ya?” “Kamu sangat mencintai Lou?” “Tumben mau bahas hal pribadi, percintaan? Biasanya yang kamu ingin bahas tentang dunia medis, pekerjaan dan penelitian.” Lea tersenyum. “Sangat. Kalau aku tidak mencintainya, mana mungkin aku bertahan selama ini bersamanya.” “Pernikahan kalian sudah sekali dimundurkan.” “Ya, sampai sekarang kami belum mengatur ulang dan bicara. Lou akan menunggu sampai sekolahku selesai dan kembali ke Jakarta. Tahun depan.” Lea mengangguk-angguk singkap. “Lalu kamu, gimana? Mau aku kenalkan pada teman-temanku? Kamu sebagai pewaris RMC berikutnya sangat populer di kalangan teman-temanku,” Lea terkekeh, “aku tidak punya waktu, Halim. Sejujurnya, sekarang selain ingin fokus pada kerier, ada sesuatu yang lebih penting dari kepindahanku ke Jakarta.” “Pasti Om Putra dan Tante Tari, ya?” Bicara dengan Halim selain membuat nyaman, Lea seolah menemukan satu kesempatan untuk membagi apa pun yang ia rasa terhadap hubungan orang tuanya. Ini yang tidak Lea temukan pada diri Hamish. “Ya, aku ingin berada dekat Papa. Mengurusnya setelah kami tinggal bersama nanti.” “Om Putra akan sering di Semarang dan ke luar kota, kan?” “Ya, tapi dalam sebulan ada beberapa hari berharga yang pasti dia luangkan untukku walau hanya satu-dua hari.” Halim mengusap puncak kepala Lea, tepat Hamish muncul dan menatap itu semua. Dia semakin tidak suka dengan kedekatan mereka. Di mata Hamish, posisi Lea bisa merusak hubungan Halim dan Lou. Hamish muncul dan tiba-tiba mengambil posisi di tengah-tengah, “geser-geser! Ini tempat favoritku!” “Apaan sih kamu?!” tegur Halim. Lea pilih berdiri, mengambil Laptop. Namun, sebelum beranjak dia mendengar kalimat yang jelas-jelas ditunjukkan padanya. “Di larang berduaan, kalian tahu yang ketiga itu setan. Bisa buah lupa—” “Setannya kamu!” sindir balik Halim. Lea malas menanggapi, mencari keributan. “Tidak ada wanita yang cocok denganmu selain Lou, Halim.” “Kenapa tiba-tiba jadi sok mengamati aku dan Lou?” Halim tentu tidak menyadari kalimat-kalimat penuh maksud kembarannya itu. Lea pura-pura menulikan pendengarnya, terus berjalan kembali ke kamarnya. Hamish muncul, merusak hari tenangnya. Lea harus cari kesibukan, keluar dari rumah ini. Sedangkan Papa baru pulang besok. Lea menelepon Vanya, untuk melihat hasil renovasi Penthouse miliknya. entah sudah sejauh apa tempat tinggalnya. “Boleh, bertemu di sana aja ya, Lea.” “Ya, jam sepuluh.” “Oke, nanti kita lunch bareng aja.” Vanya sangat ramah dan mudah sekali membuat Lea dekat dengannya sejak awal dikenalkan. Maka Lea langsung setuju renovasi dan interior Penthouse ditangani oleh Vanya. Lea turun satu jam berikutnya, pamit pada Amira. “Nanti lunch di rumah?” “Kayaknya tidam bisa, Aunty. Udah ada janji.” “Ya sudah, yang penting jangan telat makan. Kamu terlihat agak kurusan belakangan, nanti Aunty malu sama Papa dan mamamu, tidak bisa memerhatikan dengan baik.” “Aunty justru yang terbaik memerhatikanku, Mama dan Papa berhutang banyak.” Lea memeluk Amira, mendapat ciuman di keningnya sebelum pergi. “Mau diantar Hamish?” “Oh, jangan Aunty. Lea bawa mobil sendiri. Jangan ganggu Hamish terus, dia pasti sudah punya rencana sama kekasihnya.” Amira terkekeh, “tidak ada, Hamish terlalu seringnya sama Arrayan. Temannya, sampai Aunty khawatir mereka menjadi Bromance saking dekatnya.” Lea hanya baru bertemu beberapa kali dengan Arrayan Hutama, teman sekaligus kerabat baik yang dekat dengan Hamish dan Aric. Tapi, pembicaraan dengan Aunty Amira tadi jadi satu jalur menuju overthinking lainnya. Tidak mungkin Hamish dan Rayan punya hubungan Bromance begitu kan?! Menggelikan membayangkan Hamish punya seksualitas yang menyimpang—“Ah, mana mungkin! Playboy lebih cocok dengannya daripada membayangkan dia dan Rayan menjalin hubungan Bromance!” Asumsi dikepalanya tidak akan pernah selesai sampai Lea menemukan jawaban, mengapa Hamish datang ke dokter spesialis Andrologi empat bulan lalu?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD