Chapter 6 || Secret Admirer

1064 Words
Hari-hari yang sibuk pun di mulai. Renata dan beberapa tim dokter dari Indonesia mulai berkumpul di Rumah Sakit. Seharian itu tidak ada yang mereka lakukan selain duduk manis mendengarkan penjelasan dari pihak rumah sakit mengenai Rumah Sakit mereka. Mereka juga di ajak berkeliling rumah sakit, melihat seluk beluk rumah sakit dan segala peralatan canggihnya. Barulah mereka di bagi kelompok untuk melakukan tugas bersama-sama. Seperti biasa Rifki selalu mengajukan diri untuk satu grup dengan Renata karena sudah klop bekerja bareng. Lagi-lagi kasak kusuk pun terdengar karena Rifki selalu ingin satu grup dengan Renata yang anaknya pemilik Rumah Sakit. Renata tak mau ambil pusing. Ia lebih memikirkan bagaimana membagi waktu antara bekerja dirumah sakit dan mencari seseorang. Seseorang yang sangat ia rindukan. "Capek?" tanya Rifki saat keduanya baru keluar dari ruang operasi. Hari kedua disana mereka langsung mendapat pasien urgent yang harus segera di operasi. Renata bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri pada operasi pertamanya. "Capek mah ngga begitu, cuma ngantuk." Renata menguap lebar, matanya tampak sayu. Rifki tersenyum. "Mandi dulu sana, habis itu istirahat diruang staff." *** Tubuhnya yang lelah kembali segar bugar setelah mandi dan keramas. Setelah mengganti bajunya Renata masuk ke ruang staff untuk beristirahat. Ia melihat beberapa orang rekan kerjanya tengah berkumpul menikmati sesuatu. "Pada ngapain sih? Heboh banget," seru Renata celingukan. "Ya ampun Re, sorry ya keduluan. Abis laper banget ini." "Makasih ya Re pizzanya. Enak banget. Beda banget pizza Amerika sama Indonesia rasanya. Enakan ini," "Jiir ini juga enak loh pastanya." "Setahun disini kudu rajin cek timbangan ini gue gara-gara makan enak mulu," Renata tampak kebingungan melihat setumpuk dus berisi pizza, berbagai macam jenis pasta, garlic bread serta minuman ringan tersaji disana. Ia juga melihat Amanda tengah menikmati menu tersebut. Seperti biasa ia menyunggingkan senyum ke arahnya karena mendapat makanan gratis. "Makasih banyak ya, Re. Sumpah sering-sering ya traktir kita-kita," "Traktir? Traktir apaan sih?" Renata semakin bingung. "Loh bukannya elo yang beliin ini buat kita semua ya?" Tanya Fakhrul sambil mengambil pizza dengan toping yang lain. "Bukanlah. Dari tadi gue mana sempet pesen-pesen beginian. Ini saja baru kelar dua operasi," Mereka celingukan. "Lah terus ini dari siapa?" Renata mengendikkan bahunya. Ia mengambil piring dan garpu, lalu mengambil jatah makannya. "Siapa saja yang belom makan?" tanya Renata. "Kita semua sudah, yang belom Rifki kayaknya." "Ck... kalian semua egois ya. Bok ya simpenin dulu begitu buat temennya. Cuma Rifki doank yang belom dapet?" "Iya cuma dia doank." "Ya sudah ini buat gue sam Rifki ya jatahnya." Renata mengambil keseluruhan sisa Pizza dan pasta untuknya dan Rifki. Tak lama Rifki pun datang. "Kak, sini makan dulu. Ada yang kirim makanan buat aku," "Asyik ini kebeneran laper banget. Dari siapa?" Renata mengangkat kedua bahunya. "Lah?!" "Sudah ngga usah banyak tanya. Tinggal makan saja ribet." Rifki tak melihat nama pengirim makanannya. Ia jadi bertanya-tanya siapa gerangan yang mengirimkan makanan untuk Renata. *** Setelah tidur kurang lebih satu jam, Renata pun bersiap mengunjungi pasien-pasien yang harus ia datangi. Karena merasa tinggal cukup lama di sini, Renata pun segera mengakrabkan diri dengan semua personil di rumah sakit. Renata tak sungkan untuk berbaur dengan perawat maupun dokter bule disana. Ia juga senang berbagi ilmu dengan mereka, apalagi banyak sekali yang penasaran dengan indahnya alam Indonesia dan Renata dengan senang hati menjabarkan betapa indahnya negaranya tercinta. “So, your dad is a doctor in Indonesia?” tanya Suster Matilda, seorang kepala perawat di ruang perawatan pasca bedah. Renata mengangguk. “Yups, my Daddy is a doctor.” “Are you living in Bali? Hearing the name Indonesia, I immediately thought of Bali.” Renata tersenyum. “Itu karena banyak sekali wisatawan mancanegara yang berkunjung setiap tahunnya ke Bali. Tapi pulau di Indonesia tak hanya Bali. Banyak sekali pulau-pulau indah di Indonesia selain Bali. Datanglah ke Indonesia dan aku akan mengajak kalian berwisata ke pulau-pulau indah disana.” Sementara itu seorang kurir datang membawa sebuah buket bunga yang sangat indah. Ia bertanya kepada pihak keamanan yang berada di lobby rumah sakit. Rifki yang kebetulan baru selesai membeli kopi segera menghampiri si kurir karena mendengar nama Renata disebut. Rifki pun membawakan buket bunga misterius itu untuk Renata. “Eh kalian liat Renata?” tanya Rifki diruang staff. Mereka menggelengkan kepala. “Kenapa? Wow elo bawain dia bunga segala,” “Bukan gue, ada kurir yang bawain. Tapi ngga ada yang kenal Renata wong kita masih baru disini. Ya udah gue bantu bawain.” Amanda nyaris mengalami tensi tinggi jika Rifki benar-benar membelikan Renata buket bunga. “Terus siapa yang kirim?” “Kepo lu!” Hardik Rifki. “Gaya nih Renata baru tiga hari disini udah dapet buket bunga.” Rifki menatap buket bunga yang tak ada nama pengirimnya. “Beneran nih ngga ada yang liat??” Mereka semua menggeleng. “Oke deh. Gue cari dia ke ruangan lain.” "Mungkin Kak Renata lagi visit pasiennya Kak. Coba deh ke ruang tulip. Aku kayaknya lihat dia lagi periksa pasien di ruang tulip.” “Oke thanks, Man.” Wajah Amanda langsung memerah saat mendapatkan senyum Rifki. *** "Ya ampun kamu kemana saja sih. Aku cari kamu tahu." Rifki mengagetkan Renata yang tengah minum di dapur. Air yang tengah ia teguk hampir saja muncrat. "Kenapa?" "Nih!" Rifki menyodorkan buket bunga dengan kasar kearah Renata. Gadis itu tidak menyadari perubahan raut wajah Rifki yang sangat cemburu. "Tumben kasih kembang. Dalam rangka apa kasih kembang?" Renata penasaran. Tumben banget ini orang kasih gue kembang, ucap Renata dalam hati. "Bukan dari gue. Ngga usah ge-er," ucap Rifki ketus "Lah terus ini kembang dari siapa?" "Au ah gelap!!" Rifki keluar dari dapur dengan perasaan dongkol. "Lah dia ngambek," Renata segera mengejar dan menahan tangan pria yang tengah cemburu itu. "Apalagi?!" ucapnya tak bersahabat. "Tunggu dulu dong. Ngambekan deh jadi cowok." "Bodo!!" "Aku ngga tahu kenapa aku harus jelasin ini. Aku disini masih baru dan ngga kenal siapa-siapa. Aku ngga tahu kenapa dari tadi banyak banget yang kirim aku sesuatu termasuk ini. Mana ngga ada nama pengirimnya lagi." "Terus gue peduli gitu?! Ngapain dijelasin kalo sama-sama ngga jelas." Renata sudah tak tahan ingin ketawa melihat tingkah Rifki yang cemburu berat gara-gara ada orang misterius yang mengiriminya bunga. "Kalo ngga peduli kakak ngga akan se-cemburu itu," ucap Renata menahan tawanya. Wajah Rifki memerah karena ketahuan cemburu berat, tapi ia masih mengelak. "Dih malesin banget. Sapa pula yang cemburu. Sorry la yaw," Renata merangkul lengan Rifki dengan erat "Udah donk ngambeknya. Kayak bocah saja. Pokoknya aku pada mu, Kak." Renata tersenyum lebar membuat Rifki tak kuasa ikut tersenyum juga. "Nah begitu donk kan cakep itu kelihatannya. Pulang yuk. Kakak sudah beres kan kerjanya," Keduanya berjalan beriringan keluar rumah sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD