Bab 3. Kebencian Nailah

1092 Words
Rasa benci mulai tertanam di hati Nailah, sudah kehilangan anak yang ditunggu selama 2 tahun, ditambah juga dengan fakta yang baru dia ketahui. Begitu bodohnya dia baru mengetahui suaminya telah berselingkuh selama dia membina rumah tangganya dengan Haidar. Sangat pintar sekali suaminya memainkan peran sebagai suami yang baik, serta menutupi perselingkuhannya dengan Sarah. Dan begitu sempurna sekali Sarah sahabatnya selalu menampilkan sikap seperti biasanya tanpa ada rasa beban sudah bermain api. Nailah pun tampak menggigit bibir bawahnya, tatapannya juga terlihat kosong, menerawang entah ke mana. Air matanya pun sudah mengering, dan tak kuasa untuk meneteskannya kembali, yang ada kini rasa sesak yang belum bisa pergi dari dirinya. Andai waktu bisa dimundurkan kembali, ingin sekali dia merubah semua cerita kisah cintanya, kalau bisa dia pasti akan menolak perjodohannya dengan Haidar, namun sudah takdirnya untuk melewatinya. “Ibu harap kamu bisa kuat, Nak. Jangan berlarut dalam kesedihan.” Bu Salwa terdengar agak memohon karena melihat anaknya sejak tadi membisu. “Ibu juga menyesal menuruti kemauan almarhum bapakmu untuk menerima perjodohan bapaknya Haidar. Andaikan tahu seperti ini, Ibu pasti akan menolaknya.” Nailah menolehkan wajahnya dan menatap sendu Bu Salwa yang masih meneteskan air mata. Dia sedang tak sanggup berkata-kata lagi, hanya usapan lembut ditangan wanita paruh baya itu, dan berharap sang ibu mengerti maksudnya. 2 hari pun sudah terlewati, selama 2 hari itu juga Haidar tidak menemani Nailah di rumah sakit, hanya Bu Salwa dan Elsa bergantian menemani dan mengurus Nailah. Sore ini Nailah sudah diizinkan untuk pulang ke rumah, dan sore itu juga Haidar datang menemuinya dengan wajahnya penuh memar di rumah sakit. Melihat wajah suaminya tampak memar, tidak terketuk hati Nailah untuk bertanya, “Kenapa Mas wajahnya kok memar? Sini Mas, biar aku obati wajahnya.” Yang ada wanita itu menatap penuh dengan rasa kebenciannya. “Jika sudah siap kita pulang sekarang,” ucap Haidar begitu dingin. “Gak salah ajak aku pulang Mas! Dasar pembunuh, pergilah kamu dari sini! Aku tidak butuh kedatangan kamu di sini! Aku bisa pulang sendiri!” sentak Nailah. Selama menikah, Nailah belum pernah dia meninggikan suaranya pada suaminya, dia selalu berkata lembut dan hormat. Tapi kini semuanya berbanding berbalik, kelembutannya serta rasa hormatnya entah pergi kemana. “Papa yang minta aku menjemputmu, dan membawa pulang ke rumah. Tolong kerjasamanya dan jangan cari perkara baru,” balas Haidar nada suaranya kasar. Nailah berdecak kesal mendengarnya, dia yang masih duduk di tepi ranjang memalingkan pandangannya ke arah yang berbeda. Jadi suaminya datang karena atas perintah papanya, bukan dari hatinya sendiri. Memang kalau sudah b******k tetap saja b******k. “Oke kita akan kerjasama, bilang pada papamu aku akan pulang tapi tidak sekarang!” Dengan tegasnya Nailah berkata, dan dia menunjukkan jika dirinya tidak selemah yang Haidar sangka. Haidar tampak mengertakkan gigi gerahamnya, baru kali ini melihat istrinya yang penurut berubah jadi pelawan. “Mas sangka aku akan pulang bersamamu, setelah apa yang terjadi padaku! Tentu tidak Mas! Cukup Mas telah mengkhianatiku selama tiga tahun, dan gara-gara Mas juga aku kehilangan anak kita ... oh bukan ... dia anakku ... kelihatan ternyata Mas tidak merasa kehilangan anaknya.” Nailah berusaha untuk tidak menangis di hadapan suaminya walau suaranya sudah terdengar bergetar. Haidar meraup wajahnya dengan kasar. “Oke aku memang salah, dan sebaiknya kita lupakan saja. Sekarang kamu pulang bersamaku ke rumah, aku sudah gak mau ribut dengan papa. Kamu lihatkan wajahku sudah penuh memar begini.” “Aku tidak peduli wajahmu mau memar, atau Mas mati sekalipun aku tidak peduli!” sahut Nailah dengan entengnya berucap. Haidar pun meradang mendengarnya. “NAILAH!” sentak Haidar. Bu Salwa dan Elsa yang baru saja kembali dengan salah satu perawat membawa kursi roda sempat berjingkat mendengar suara Haidar yang meninggi. “Berani sekali kamu membentak anak saya ... huh!” Bu Salwa tersulut emosi melihat kehadiran Haidar. Pria itu menoleh ke belakang bahunya dan sedikit memundurkan langkah kakinya. “Bu ....” Hanya sapaan yang keluar dari mulut Haidar, untuk kelanjutan katanya mulai tidak enak hati. Bu Salwa yang sengaja menajamkan matanya pada menantunya kini teralihkan ke anaknya. “Obat-obatnya sudah Ibu ambil, sekarang kita pulang. Pakdemu sudah menunggu di bawah,” ajak Bu Salwa. Nailah menganggukkan pelan, Elsa dibantu perawat membantu memapah Nailah dari atas ranjang untuk duduk di kursi roda. “Bu, aku sengaja datang ke sini untuk menjemput Nailah,” sergah Haidar yang merasa dilewati begitu saja. Bu Salwa pun menolehkan wajahnya. “Masih punya muka kamu meminta Nailah untuk pulang bersama setelah Nailah melihat kamu berhubungan intim dengan Sarah, dan telah menghilangkan nyawa yang tak berdosa ... huh! Gak punya otak kamu!” bentak Bu Salwa. Haidar bergeming, mau menyanggah tapi memang sesuai fakta. Dia pun menarik napasnya dalam-dalam, sementara kursi roda yang membawa Nailah pun sudah keluar begitu saja dari kamar. “Shitt!! Argh!! Kenapa juga papa menyuruhku menjemput Nailah segala sih!” gumam Haidar, kesal sendiri. Sebenarnya Nailah juga sedang berusaha menguatkan hatinya dan tidak ingin luluh pada suaminya. Pengkhianatan dalam rumah tangga yang sangat tidak Nailah maafkan adalah perselingkuhan apalagi melihat dnegan matanya sendiri, ditambah lagi dengan sikap kasar Haidar membuat dia kehilangan anaknya. Rasa cinta pada suaminya memang masih terpatri di hatinya, tapi dia harus sekuat mungkin mengikis perasaan tersebut, dan mencoba melupakan kenangan indah yang dia miliki selama bersama Haidar. Ya, mungkin kenangan itu hanya milik Nailah, bukan milik Haidar. Sungguh miris mengingat kebenarannya itu. Lagi-lagi Nailah mengusap air matanya yang kembali terjatuh, apalagi tak sengaja ketika turun ke lobby, dia melihat wanita yang sama dengannya baru melahirkan dan tampak senyum sumringah saat memangku anaknya. Pemandangan yang sangat menyedihkan untuk Nailah. Seharusnya posisi dia sama seperti wanita yang dia lihat. “Maafkan Mama, Nak. Seharusnya anak Mama ada dipangkuan Mama sekarang,” gumam Nailah begitu lirih. Elsa yang sempat mendengar mengusap bahu sahabatnya itu. “Sabar, Nailah.” Sabar, mungkin kata yang sering diucapkan untuk keadaan yang kurang baik, walau kenyataannya buat mereka yang mengalami tidak butuh kata sabar, namun butuh sesuatu yang membuat hatinya kembali tenang, karena mau bagaimanapun keadaan yang kurang baik tetap pahit rasanya. Kehilangan anak adalah kenyataan yang sangat pahit, dan butuh waktu untuk menerima kenyataan tersebut dengan penuh keikhlasan. Nailah menatap nanar gedung rumah sakit tempat dia melahirkan buah hatinya ketika mobil yang dia tumpangi mulai melaju meninggalkan. “Maafkan Mama, Nak,” batin Nailah kembali terasa sesak, tangannya pun mengusap perutnya yang kini telah kosong. Manusia punya rencana yang begitu sempurna, namun Allah lah yang menggariskan segala ketentuan yang sudah menjadi takdirnya. Mungkin dengan kehilangan anak ada hikmah yang tersembunyi, namun terkadang manusia belum menangkap maksud dari sebuah kejadian, yang ada hanya rintihan, teriakan kesal yang diucapkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD