Bayi laki-laki dengan paras yang begitu tampan, kini sudah ditutup dengan kain jarik, Bu Salwa masih saja menangis tersedu-sedu melihat cucunya yang baru saja lahir.
Haidar hanya bisa menatap saja dari posisi yang agak jauh, tak ada niatan untuk mendekat dan melihat anaknya yang kini sudah tak bernyawa. Sementara itu Mama Layla sejak tadi menarik napas kecewanya, entah dia mau berkata apa lagi, padahal cucunya itu salah satu harapannya untuk mengambil hati suaminya, namun kini sudah tiada.
Elsa yang masih merangkul bahu ibu sahabatnya ikutan sedih melihat anak Nailah, namun dibalik tatapan sedihnya itu ada sorot tajam yang dia berikan pada suaminya Nailah.
“Kalau saja tadi Mas Haidar tidak mendorong Nailah, mungkin bayinya tidak akan seperti ini!” gumam Elsa terdengar ada emosi yang terlintas.
“Apa yang harus Ibu katakan sama Nailah, Elsa? Bayinya telah tiada,” kata Bu Salwa dibalik tangisannya.
Bukan hal yang mudah untuk menyampaikan berita duka cita, apalagi Elsa sangat teringat bagaimana bahagianya Nailah mengabari jika dirinya berbadan dua, setelah dua tahun penantiannya. Namun, kini pasti kebahagiaan itu akan pupus ditambah kejadian perselingkuhan suami dan sahabatnya.
Elsa mengusap-usap bahu Ibu Salwa. “Kita pelan-pelan memberitahukannya pada Nailah, Bu, dan harus siap-siap menghadapi reaksinya.” Ya, tidak ada pilihan lain selain tetap memberitahukannya, dan tak mungkin menutupinya.
Saat ini Nailah masih ada ruang pemulihan, pihak keluarga belum boleh menjenguknya, apalagi kondisi Nailah masih dalam pengaruh bius total karena mengalami pendarahan hebat.
“Jadi bayi ini siapa yang akan mengurus pemakamannya?” Tiba-tiba saja Mama Layla bertanya dengan pertanyaan yang aneh, secara logika yang seharusnya mengurus pemakaman bayi ya ayahnya, berarti Haidar yang bertindak, dan tak perlu bertanya lagi.
Bu Salwa memutar balik badannya dan menatap kedua orang tersebut yang berdiri di belakang mereka, begitu juga Elsa.
“Tante oh Tante, ya jelas suaminya Nailah yang mengurus pemakaman anaknya, sungguh pertanyaan yang aneh!” celetuk Elsa jengkel, agak menyunggingkan sudut bibirnya.
“Tidak perlu!” timpal Bu Salwa.
Wanita paruh baya itu mengusap ujung ekor matanya, lalu mengatur napasnya yang masih naik turun karena sedang menangis.
“Saya yang akan mengurus jenazah cucu saya, tidak perlu ayahnya yang telah membunuh darah dagingnya sendiri!” pungkas Bu Salwa dengan tegasnya.
Mama Layla terlihat tidak senang dengan ucapan besannya tersebut, sampai-sampai dia berkacak pinggang.
“Eh, apa maksudnya bilang anak saya bunuh darah dagingnya sendiri. Kalau punya mulut itu dijaga ya!” sentak Mama Layla.
“Tante tanyakan saja pada Mas Haidar, apa yang telah dilakukan sebelum kejadian Nailah pendarahan! Saya adalah saksi matanya, dan masih ada bukti cctv juga jika memang mau diperkarakan ke kantor polisi,” celetuk Elsa dengan gaya santainya.
Jelas Haidar nampak tak suka dengan Elsa, hingga dia menarik lengan Mama Layla agar tidak mendekat dengan Bu Salwa dan Elsa.
“Sudahlah Mah, jangan ditanya ... hanya kejadian kecil saja tapi dibesar-besarkan. Kalau anak itu sudah tidak bernyawa lagi, ya sudah, lagian Nailah sendiri yang terjatuh,” tanggap Haidar tanpa ada rasa sedikit bersalah, padahal hatinya sangat kecewa dengan kematian anaknya itu, karena harapan untuk dapat warisan dari papanya pupuslah sudah.
Elsa memutar malas kedua bola matanya dengan hatinya yang memanas, lalu dia menaikkan salah satu tangannya ke atas pinggangnya.
“Dasar cowok gak punya perasaan, tega banget lo jadi suami kayak begitu sama Nailah. Anak lo meninggal gara-gara lo ya! Dan hebat sekali ... anak lo meninggal tapi gak ada kelihatan sedih-sedihnya!” maki Elsa dengan kasarnya.
Bu Salwa menepuk bahu Elsa, hingga wanita itu menoleh bahunya. “Cukup Elsa, kita yang waras, kitalah yang mengalah, di sini ruang bayi jangan bikin keributan,” pinta Bu Salwa langsung meminta mengakhiri perdebatan yang tidak akan ada ujungnya. Mungkin sudah garis takdir anaknya memiliki suami buruk tapi berkedok baik selama ini, dan sekarang sudah terkuak tabiatnya.
Elsa akhirnya hanya bisa menarik napas dalam-dalam sembari meredamkan emosinya, lalu tak lama salah satu perawat datang membawa berkas administrasi agar jenazah bisa langsung dimakamkan.
Berkas tersebut yang akan diurus oleh Bu Salwa langsung diraih oleh Elsa lalu dia berikannya pada Haidar.
“Ibu cukup mengurusi pemakamannya, tapi masalah administrasi masih ada suaminya Nailah yang harus bertanggungjawab!” Sengaja Elsa meninggikan suaranya, agar Haidar tahu jika Nailah masih punya harkat dan martabat yang harus dijaga.
Bu Salwa hanya mengangguk pelan, lalu dia kembali menatap jenazah bayi tersebut. Usai administrasi selesai, Bu Salwa menghubungi kerabat dekatnya untuk datang ke rumah sakit mengambil bayi tersebut, karena dia harus mengurus keadaan Nailah.
Sedangkan Haidar dan Mama Layla setelah merasa tidak ada kewajiban lagi, mereka menghilang entah ke mana. Tega sekali Haidar, terkesan membuang Nailah begitu saja setelah tahu anak mereka telah tiada.
***
Dua jam kemudian, di ruang perawatan.
Bu Salwa tampak menatap sendu Nailah, dengan tangannya yang sesekali mengusap kening putri pertamanya itu. Menurut informasi dari Dokter Bedah, Nailah akan segera siuman dan sudah bisa ditemani oleh keluarganya. Dan yang menemaninya adalah ibunya sendiri, bukan suaminya yang seharusnya ada di sisinya.
“Malang sekali nasibmu Nak ... Nak, Ibu juga jadi sakit hati mendengar cerita dari Elsa, Ibu benar-benar sangat kecewa dengan suamimu,” gumam Bu Salwa seorang diri, dan begitu lirih dia berkata.
Kelopak mata Nailah mulai terlihat bergerak di dalam sana, melihat hal itu Bu Salwa mencoba menenangkan dirinya dan menyiapkan dirinya untuk menghadapi Nailah dengan kondisi saat ini. Pelan namun pasti wanita itu mengerjapkan kedua kelopak matanya, pandangannya yang agak suram semakin lama terlihat jelas. Bola matanya pun mulai menggeliat ke segala sudut dari tempat dia berbaring.
“Bu.”
Terdengar suara sapaan yang tak bertenaga, dan terlihat juga tangan kirinya mengusap perutnya yang terasa sedikit kempes.
“Bu, anakku?”
Inilah pertanyaan pertama yang pasti terlontarkan dari mulut Nailah. Wanita itu pun menatap ibunya dengan tatapan ingin tahunya, sementara itu Bu Salwa kembali terlihat berkaca-kaca netranya.
“Bu, anakku ... bagaimana dengan anakku?” Sudah terdengar menuntut sebuah jawaban, walau sebenarnya hati Nailah terasa berdenyut melihat raut wajah ibunya yang tampak sedih.
Tangan Bu Salwa terulur menyentuh tangan anaknya itu, dan dia menarik napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab. “Anakmu laki-laki, sangat tampan mirip Haidar dan dirimu.” Ini kalimat awal yang diucapkan oleh Bu Salwa, dan hal itu menerbitkan senyuman tipis di bibir ranum Nailah.
Kembali lagi Bu Salwa menghela napas panjangnya. “Ibu harap kamu bisa bersabar ya Nak, Allah lebih sayang dengan anakmu,” lanjut kata Bu Salwa berusaha pelan dan hati-hati saat akan menyampaikan berita duka tersebut
.
Netra Nailah sudah pasti langsung berkaca-kaca dan tak bisa dibendung oleh siapa pun. “M-maksud Ibu, anakku sudah meninggal. Jadi anakku sudah meninggal!” seru Nailah, tapi tertahankan karena rasa sakit di bagian perut bawahnya yang habis di operasi.
Bu Salwa mengangguk pelan, pecahlah sudah tangisan Nailah, tak peduli dengan rasa sakit yang mulai mendera di bagian perutnya. Kehilangan seorang anak lebih sakit ketimbang memergoki suaminya berselingkuh, tubuh Nailah terasa dicabut ruhnya dari raganya saat tahu buah hati yang selama ini dia tunggu, bayi itu telah kembali pada Sang Maha Pencipta.
Ingin marah pada suaminya, itu sudah pasti, tapi dengan kemarahan itu juga tidak akan mengembalikan anaknya ke dunia. Yang jelas hati Nailah sudah hancur sehancur-hancurnya!
“Aku benci denganmu, Mas Haidar! Kamu pembunuh anakku!”