Bab 4. Ingin bercerai

1100 Words
Esok hari ... Langit yang terlihat cerah tampak mulai menunjukkan sisi gelapnya, birunya awan kini semakin menghitam diiringi suara jeritan yang berdentum dibalik awan hitam tersebut. Elsa dan Bu Salwa terlihat bersabar sekali menunggu Nailah yang masih saja menangis di pusara bayi tampannya, bayi yang dia beri nama Zayd Malik. “Nailah, langit sudah mulai mendung sebaiknya kita pulang Nak,” pinta Bu Salwa sembari mengusap lengan anaknya tersebut. Sungguh Nailah sangat enggan untuk bangkit dari pusara anaknya, hatinya masih belum rela menerima kenyataannya jika anaknya sekarang sudah berada diliang lahat seorang diri. “Kenapa anak Mama cepat perginya Nak? kenapa tidak bertemu dengan Mama dulu, Nak?” batin Nailah terasa perih dan sangat terpukul. Di satu sisi, Elsa sangat menyesali melihat sahabatnya kehilangan anaknya, andai waktu bisa berjalan mundur ingin sekali Elsa memperbaiki keadaan untuk tidak mengajak sahabatnya mengikuti Haidar. Mungkin saja bayi tampan itu akan terlahir dalam keadaan hidup, namun Allah berkehendak lain. Rintik-rintik air dari atas langit mulai berjatuhan membasahi permukaan bumi, terpaksa Bu Salwa dan Elsa sama-sama menuntut Nailah untuk bangkit dari bersimpuhnya sebelum rintikan itu semakin deras, ya sederas air mata Nailah yang masih mengalir. Dengan langkahnya yang tergontai, Nailah terpaksa mengikuti langkah ibu dan sahabatnya, namun sebelumnya dia kembali menatap pusara buah hatinya. “Tunggu Mama di surga Nak, nanti kita akan kembali bertemu kembali,” gumam Nailah bermonolog. Kepedihan yang amat menyiksa seorang wanita salah satunya adalah kehilangan anaknya, seberat apa pun masalah yang menghujamnya, tetap kehilangan anak membuat hatinya hancur berkeping-keping. 20 menit berlalu, tibalah mereka bertiga di kediaman yang sangat sederhana. Dan sesampainya mereka di rumah, terlihat mobil berwarna silver terparkir rapi di rumah Bu Salwa, mobil yang sangat dikenal oleh Nailah. “Assallamualaikum,” sapa Bu Salwa ketika mereka bertiga masuk ke rumah, dan tampak kakak Bu Salwa mendongakkan wajahnya. “Waalaikumsalam,” jawab Pakde Yanto, diikuti oleh Papa Irwan mertua Nailah bersama Haidar. Nailah terlihat memutar malas bola matanya ketika melihat kehadiran suaminya, dan dia tidak ingin bertemu dengannya. “Maaf Nailah, Papa baru sempat menjenguk kamu,” ucap Papa Irwan sembari beranjak dari duduknya karena ingin menyapa menantu kesayangannya. Nailah salam takzim pada papa mertuanya tapi tidak dengan suaminya, jika dulu dia sering mencium tangan suaminya, kini tak ada keinginannya untuk menghormati suaminya. Haidar juga terlihat malas untuk menatap wanita yang sudah selama 3 tahun hidup bersamanya. Bu Salwa kembali menuntun Nailah untuk duduk bersama-sama di ruang tamu berukuran kecil tersebut. Dan terlihat suasana agak terasa aneh, sesaat tercipta keheningan di antara mereka semua, sementara Elsa berpamitan ke dapur untuk mengambil minum. “Bu Salwa, Pak Yanto mohon maaf jika saya terlambat mengetahui keadaan menantu saya, sampai saya tidak tahu jika cucu saya sudah meninggal,” ucap Papa Irwan sembari mengembuskan napas beratnya. Mata yang masih terlihat sembab, berusaha menajamkan tatapannya kepada pria yang duduk di hadapannya. Sedangkan Bu Salwa juga terlihat tidak menyukai kehadiran menantu bejaatnya itu. “Dan maksud kedatangan kami kesini sudah saya utarakan pada Pak Yanto untuk menjemput Nailah, biar kami yang mengurus Nailah, apalagi Nailah istri Haidar, sudah sepatutnya Haidar yang mengurus Nailah,” lanjut kata Papa Irwan. Sepertinya Papa Irwan tidak tahu kelakuan anak pertamanya selama ini, jika sudah berselingkuh dibalik pernikahan yang indah tersebut. “Iya Nailah, aku menjemputmu. Kamu masih tanggung jawabku,” sambung Haidar terkesan tenang. Lidah Nailah pun berdecak kesal, begitu pula Elsa yang mendengarnya saat menaruh cangkir teh di tas meja tamu, kemudian turut bergabung di sisi Bu Salwa. Nailah menatap dalam pria yang selalu memberikan perhatian dan ungkapan cintanya, seakan dirinya hanya satu-satunya yang sangat dicintai, tapi kenyataan bullshit. Lalu tatapan dia berpaling ke Papa Irwan yang sejak awal memang mertua yang paling baik terhadapnya ketimbang Mama Layla yang selalu berkata pedas padanya. “Papa terima kasih berkenan datang ke rumah ini, dan terima kasih atas niat baiknya untuk menjemputku. Tapi mohon maaf aku tidak bisa ikut pulang dengan Papa, karena aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Mas Haidar, aku ingin bercerai,” jawab Nailah dengan tegasnya memutuskan. Haidar tampak terkejut mendengar keputusan istrinya, sementara itu Papa Irwan terlihat kecewa dengan jawaban menantunya. “Sebenarnya ada masalah apa antara kalian berdua? Kalian hanya bertengkar biasa saja, kan? Lagi pula Papa sudah memberikan pelajaran buat Haidar agar tidak menyakiti kamu lagi.” Papa Irwan mengalihkan tatapan pada putranya. Kedua tangan Haidar saling bertautan, dan bisa dibayangkan sebentar lagi akan terkuak kelakuannya jika Nailah dan Elsa mengungkapkannya, apalagi selama ini Papa Irwan tidak pernah tahu. “Mungkin Mas Haidar bisa menceritakan apa yang telah dilakukan selama 3 tahun ini, atau perlu aku yang bercerita Mas?” tanya Nailah dengan mengangkat dagunya ketika menatap suaminya. Haidar tampak bungkam, belum membuka suaranya, sementara Papa Irwan sudah menanti ungkapan dari Haidar atau Nailah. Sepertinya sia-sia menunggu Haidar untuk membongkar rahasianya, Nailah pun membuka suaranya. “Sebelum aku kehilangan anakku, aku melihat dengan mata sendiri suamiku sedang berhubungan intim dengan Sarah, dan Mas Haidar mengakui sudah berselingkuh sebelum kami menikah. Dan gara-gara Mas Haidar juga aku kehilangan bayi yang aku kandung, karena dia mendorongku hingga terjadi pendarahan! Elsa salah satu saksi yang melihatnya.” Sontak saja Papa Irwan membeliak mendengarnya, lantas dia berdiri dari duduknya dan menarik kerah kemeja Haidar. Tanpa belas kasihan tangan pria paruh baya itu meninju wajah anaknya. “BRENG-SEK! ANAK GAK PUNYA OTAK! KAMU SENDIRI YANG TELAH MELENYAPKAN ANAKMU SENDIRI! PAPA HAPUS NAMA KAMU SEBAGAI AHLI WARIS!” Maki Papa Irwan sembari menghajar anaknya. “PAH!” Haidar dibuat terkejut dengan ucapan papanya, bayangan ingin memiliki tanah yang berhektar untuk dijual dan akan jadi modal usahanya bersama Sarah, lenyap seketika itu juga. Dikala Papa Irwan menunjukkan kemarahan serta kekecewaannya pada Haidar, tidak ada satu pun yang menolongnya, semuanya hanya menjadi penonton. Nailah hanya bisa meringis ngilu melihatnya. Andaikan suaminya tidak ketahuan berselingkuh mungkin dia akan menolong suaminya. Usai puas, Papa Irwan meraup wajahnya dengan kasar. Kemudian dia kembali duduk, sedangkan Haidar menepi dengan wajahnya yang kembali terluka. Nailah kembali menatap kedua pria berbeda usia tersebut. Papa Irwan mengembuskan napas kecewanya dan berkata, “Maafkan saya Bu Salwa, Pak Yanto ... saya telah gagal mendidik anak saya. Pastinya almarhum Pak Yadi sangat kecewa dengan saya.” Papa Irwan menarik napas sejenak sembari menatap sendu menantunya. “Dengan berat hati saya akan mengabulkan permintaan Nailah, dan dengan ini juga secara tidak langsung saya kembalikan Nailah pada Bu Salwa dan Pak Yanto.” Amat berat kata yang diucapkan oleh Papa Irwan, tapi amat berat bagi Nailah yang menerima kenyataannya. Sejenak wanita itu menundukkan kepalanya, hati dan mulutnya memang ingin berpisah dengan suaminya, namun ternyata tetap ada kesedihan yang mendera relung hatinya yang paling dalam, karena hatinya pernah terisi dengan nama suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD