Kelana 10

1130 Words
Kelana tiba di kantor dan ia melihat satu kotak bekal makanan dan satu gelas minuman instan diatas meja kerjanya, Kelana menoleh dan melihat Panji yang saat ini tak menoleh melihatnya dan masih bermain ponsel karena jam kerja belum tiba. Kelana menautkan alisnya dan melihat memo diatasnya. (Aku tahu kamu sering tak sarapan karena harus berburu waktu agar tak terlambat, selamat makan ya) Tulisan itu berhasil membuat Kelana tersenyum, karena ternyata masih ada orang yang memahami dirinya, mengapa ia tidak pernah sarapan, karena berburu waktu agar tak sampai telat. Orang yang saat ini ada di ruangan staf hanyalah Panji, jadi kemungkinan yang memberikannya ini adalah Panji. Panji kan selalu berusaha mendekatinya. “Apa ini darimu?” tanya Kelana menoleh melihat Panji. Panji tak menjawab dan mengabaikannya. Kelana menggeleng. Panji kesal pada Kelana, karena ikut pulang bareng Adnan, sementara dengan dirinya, Kelana menolak. Memangnya siapa pria itu? Itu lah yang membuat Panji tak bisa tidur, karena harus memikirkan seorang pria yang berhasil mengantarkan Kelana pulang. Itulah alasan Panji tak menjawab pertanyaannya. Panji kesal dan tak suka. Meskipun Kelana tak akan perduli dengan perasaannya. “Pagi, Kelana,” ucap Iza menghampiri sahabatnya itu dan melihat kotak berisi sandwich. “Kamu bawa sarapan? Tumben.” “Aku gak bawa sarapan, ini—” “Aku udah kenyang sih, andaikan belum sarapan, aku pasti akan memakan sandwichmu itu,” kekeh Iza. “Syukurlah kalau lo udah sarapan, gua gak akan rela kalau lo yang makan sandwich buatan gua,” gumam Panji tanpa menoleh. Untung saja dua gadis itu tidak mendengarnya, jadi aman. Panji pura-pura sibuk dengan ponselnya, ia sebenarnya ingin sekali memberitahu Kelana bahwa itu adalah darinya, namun ia masih marah dan kesal, ia tidak boleh terlalu agresif, cuek sedikit agar Kelana peka sepertinya lebih baik. “Enak ya yang sarapan di rumah,” kata Kelana. “Hooh. Gini lah ada pembantu, ‘kan?” kekeh Iza. “Astagfirullah. Jangan bilang pembantu, Iz. Gak enak didengar, bilang aja ART lebih sopan, ‘kan?” kata Kelana menggelengkan kepala. “Pembantu dan ART kan sama, apa bedanya?” “Bedanya ada pada pengucapannya,” sambung Kelana. “Ya udah. Aku salah, hehe.” Iza lalu duduk di kursi kerjanya dan menyalakan monitornya. “Tapi kok ngomong-ngomong tumben Panji cepet datang?” Panji mengabaikan dan pura-pura fokus pada layar ponselnya, meskipun ia mendengar perkataan Iza barusan. Iza menoleh dan melihat Kelana, Kelana mengangkat kedua bahunya dan menggelengkan kepala karena ia juga tidak tahu kenapa Panji mengabaikan mereka. Panji biasanya paling gercep menjawab pertanyaan. “Semalam aku gak tidur enak, Lan,” kata Iza. “Emang kenapa? Tumben.” “Asam uratku naik,” kata Iza. “Ya udah jaga pola makan aja, supaya normal terus asam urat kamu,” sambung Kelana. “Apanya bisa jaga pola makan, masakan pembantu eh maksud aku ART ku enak semua, jadinya aku hantam aja semuanya.” “Ya udah. Nanti dijaga aja, namanya kesehatan kan emang harus diusahain lebih dijaga. Jangan sampai makanan kita malah yang membuat kita makin sakit,” jawab Kelana. “Smart women,” gumam Panji tersenyum. Kelana dan Iza menoleh dan menatap Panji yang saat ini masih bermain ponsel. Tak lama kemudian, semua karyawan berbondong-bondong masuk dan menekan absen. “Hai, Lana,” ucap Dion. Kelana menautkan alisnya, sementara Panji terkejut mendengarnya dan menoleh melihat Dion yang sok akrab dengan Kelana. Apa maksud Dion? Biasanya juga Dion tidak terlihat berusaha mendekati Kelana. Apakah Panji memiliki saingan baru? Ah Panji tidak akan terima. Tora datang dan langsung duduk disebelah Panji, lalu berkata, “Lo mau tahu gak, gua denger sesuatu.” “Apaan?” “Dion suka sama Kelana.” Panji membulatkan mata. “Pantas aja sok akrab banget.” “Makanya. Gua denger dia ngomong sama temen yang lain bahwa dia pasti akan dapetin Kelana. Wah wah. Kayaknya lo ada saingan nih,” bisik Tora membuat Panji menggelengkan kepala. “Sekelas Dion mau nyaingin gua? Gak akan lah. Lo kan tahu gua terkenal playboy, dan gua gak akan jadi sadboy. Lagian antara gua sama Dion, lebih gantengan gua lah.” “Tapi yang lo hadapin saat ini bukan cewek lo yang udah-udah. Tapi ini Kelana, Bro. Wanita yang gak mudah ditaklukkan.” Tora mengingatkan Panji kembali. “Andaikan lo pakai cara lo kayak dulu. Lo pasti udah dapetin Kelana, ‘kan? Buktinya belum.” “Udah udah. Entar ada yang dengerin. Intinya Kelana hanya akan jadi milik gua.” “Buktiin dong.” Panji mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. Panji juga sudah mulai kehilangan akal, karena Kelana terus mengabaikannya. Kelana harus menjadi miliknya, ia sudah menekankan dalam hati tentang hal ini. Jadi, Panji tidak boleh kalah. Masalah saingan ia pasti bisa memikirkannya nanti. “Eh kamu udah sarapan ya?” tanya Dion melihat Kelana yang saat ini mencicipi makanannya. “Hem?” “Padahal aku juga udah beliin kamu roti bakar. Lebih enak dan sehat,” kata Dion lalu meriah sandwich itu. “Kamu makan ini aja. Dijamin enak dan menyehatkan karena isinya kaya protein.” Panji mengepal tangan kanannya. Ia marah besar karena Dion mengambil sandwich buatannya sendiri yang sudah susah payah membuatnya bangun subuh, hanya demi membuatnya, berharap Kelana mau makan semuanya, namun nyatanya itu dihancurkan oleh Dion. Panji ingin sekali meremas wajah Dion. “Tapi itu kan—” Kelana hendak mengatakan sesuatu. “Udah. Kamu makan itu aja. Kan sayang aku udah beli buat kamu, kalau ini biar aku yang makan,” kata Dion lalu melangkah menuju meja kerjanya. Panji makin kesal dan bangkit dari duduknya, ia tak perduli tatapan semua orang. Dion terlihat transparan mau mendekati Kelana, sementara Panji kalah oleh itu, Panji tak mau ketahuan oleh temannya yang lain, karena Panji memiliki impian sendiri di tempat ini. Panji mendekati meja kerja Dion dan merebut sandwich buatannya. “Kelana, tadi kamu nawarin ini kan buat aku? Aku makan ya. Kalau kamu udah nawarin seseorang yang malah memberikannya pada yang lain,” kata Panji memasukkan semua sandwich itu kedalam mulutnya. Agar Dion tidak mencicipinya. Kelana mengelus leher belakangnya yang tak gatal, ia bingung dengan sikap Panji dan Dion saat ini. “Mereka kenapa sih?” “Iya. Gue juga gak tahu mereka kenapa.” “Rebutin Kelana?” “Kalau Dion sih udah ketahuan suka sama Kelana, tapi kan Panji gak mungkin suka sama Kelana, Panji itu seleranya bukan kayak Kelana ketutup gitu.” “Iya ya. Ah udah kita kerja aja.” Tora tertawa dan berusaha tak membuat semua orang menyadari tawanya yang mengejek. “Apa sih lo. Jangan buat gua emosi,” kata Panji. “Duh telan dulu sandwich itu terus lo ngomong, soalnya gua gak bisa paham apa yang lo omongin kalau mulut lo full gitu.” Tora masih tertawa. Panji kesal sekali karena usahanya membuat sandwich itu malah gagal dimakan oleh Kelana. Dan, Kelana diam saja? Bikin makin kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD