Kelana 11

1103 Words
“Bro, gua tadi ada lihat proposal yang lo kasih, itu kayaknya bukan kerjaan gua deh,” kata Dion yang menghampiri Panji. “Emang harus gua yang kerjain?” “Gua bawa dimana emang? Di meja lo kan? Artinya itu kerjaan lo.” “Tapi gua—” “Apa? Mau milih kerjaan? Semua orang punya kerjaan dan lo juga kerjaannya gak berat-berat amat,” kata Panji yang memiliki dendam pribadi karena Dion sudah berani menyenggolnya dan membuat mimpi indahnya buyar seketika. “Gua kasitau ya, kalau kerjaan di sini itu gak ada yang mudah, kalau lo bilang ini bukan kerjaan lo dan itu bukan kerjaan lo, itu bukan karyawan profesional. Kalau lo bilang gitu lagi mending gak usah kerja di sini, cari kerjaan di luar sana, jaga foto copy mungkin, itu kayaknya lebih cocok sama orang yang suka ngeluh.” “Gua gak ngeluh. Gua hanya bertanya.” “Bertanya? Bertanya tentang bukan kerjaan lo?” Panji mendongak dan melihat wajah Dion. “Oke oke gua kerjain,” kata Dion kembali ke meja kerjanya. Tora tertawa, membuat Panji menyadari ia tertawa dan Panji langsung menendang kursi kerja Tora, membuat Tora diam dan tidak lagi tertawa. Panji terlihat marah saat ini, jadi tidak boleh ada yang berani menyenggolnya. Kelana yang heran melihat Panji, hanya bisa diam saja, karena Panji sudah membuat Dion terlihat tak bisa apa-apa. Panji memang orang yang lebih senior di tempat ini, dan sudah seharusnya Dion menghargainya. Beberapa jam berlalu, akhirnya jam makan siang berlalu, Panji langsung bangkit dari duduknya dan meraih peci didalam tasnya. Tora menoleh dan melihat Panji yang terlihat seperti orang sholeh sekarang. “Lo mau kemana?” tanya Tora. “Shalat. Kenapa?” “What? Lo mau shalat? Seriusan?” tanya Tora. Panji menendang kaki Tora, membuat Tora meringis kesakitan. “Diam lo.” Tora mengangguk masih dengan wajah meringis. Panji lalu menoleh sesaat melihat Kelana yang juga saat ini meraih totebagnya dan melangkah meninggalkan ruangan staf, seperti biasa Panji dan Kelana akan ke musholah. Sudah satu minggu ini, Panji mendekati Kelana, namun usahanya sia-sia. Panji tidak mendapatkan perhatian dari Kelana. Panji juga sudah perhatian dan melakukan shalat lima waktu sehingga teman-temannya terkejut melihat perubahan sikap Panji, tapi hasilnya tetap nihil. Setibanya mereka di musholah seperti biasa mereka masuk ke pintu berbeda, Panji juga seperti biasa menoleh melihat ke arah shaf wanita dimana Kelana saat ini sedang shalat sunnah. Seisi divisi sedang membicarakan Panji yang berubah dan lebih taat shalat, sementara biasanya Panji hanya lah islam KTP. Rumor itu sudah menyebar kemana-mana sehingga Panji menjadi bahan omongan, tak ada yang tahu kalau Panji melakukan ini demi perhatian Kelana. Panji melakukan ibadah shalat dzuhur seperti biasanya dan setelah selesai langsung duduk di area tangga menunggu Kelana yang belum juga selesai. Dua wanita yang melihatnya langsung menghampirinya. “Kak Panji ngapain di sini?” “Iya.” “Ngapain di sini?” “Hem? Oh gua lagi ….” Panji sejenak berpikir, ia tidak mungkin menjawab bahwa sedang menunggu Kelana, itu akan menjadi gosip yang tak akan usai. “Gua lagi duduk aja.” “Kak Panji udah shalat?” “Udah.” “Ayo kita ke kantin. Aku yang traktir,” kata wanita cantik itu yang juga baru selesai shalat dzuhur. “Oh tidak. Gua lagi gak pengen makan siang, gua bawa bekal,” jawab Panji berbohong. Mana ada dia bawa bekal. “Oh gitu ya. Kalau gitu, aku boleh gak minta nomor WA Kak Panji?” tanya wanita itu. Sementara Kelana melihat hal itu dan tidak mau melintasi mereka, jadi Kelana menunggu sampai Panji dan dua wanita itu pergi, namun mendengar penolakan Panji yang diajak makan siang bersama, membuat Kelana merasa adem sekali. Entahlah, ia mulai terusik oleh Panji. “Maaf ya, gua gak hapal nomor gua, ponsel gua juga gak bawa,” dusta Panji. Mana ada orang yang tidak menghafal nomor ponselnya. “Oh gitu. Ya udah lain kali aja kak kalau gitu,” kata gadis itu. Panji mengangguk. Kedua wanita itu lalu pergi dan meninggalkan Panji yang masih duduk di tangga, Panji sebenarnya malu terlihat di sini, apalagi kalau ada yang melihatnya shalat, Panji bukan orang yang mudah berubah, namun kehadiran Kelana dalam pikirannya membuatnya cukup tekun. Panji meraih ponselnya dan melihat jam makan siang belum lewat. Tak lama kemudian, Kelana lalu melangkah hendak melintasi Panji. Panji yang melihatnya langsung menuruni tangga dan menghampiri Kelana. “Kelana, gak makan siang?” tanya Panji. “Aku—” “Kenapa? Kamu menolakku lagi? Padahal kan hanya makan siang, apa mukaku ini sangat jahat ya? Sampai kamu menolakku?” tanya Panji. Kelana menggelengkan kepala. “Makan siang di kantin, ‘kan?” “Makan siang di resto depan. Kamu mau gak?” Kelana tidak enak menolak Panji, kalau ia menolak Panji lagi, entah sudah berapa kali ia menolak, hal itu juga membuat Kelana tak enak hati. “Baiklah. Kita makan siang di resto depan,” kata Kelana. Panji berseru didalam hati, akhirnya Kelana mau makan siang dengannya, sudah lama ia mendambakan hari ini. Keduanya lalu keluar dari gedung kantor mereka dan melangkah menuju jalan besar, mereka lalu menyeberang jalan. Setibanya di resto depan, keduanya masuk dan memilih duduk di meja pojok kanan. Panji menerima buku menu dari waiters. “Kamu mau pesan apa?” tanya Panji. “Kamu pesan aja. Aku makan semuanya kok,” jawab Kelana. “Maksud aku, apa pun itu akan aku makan.” “Kalau gitu saya pesan Steaf Macaron rice 2 ya,” kata Panji. “Kalau minumnya?” “Minumnya aku jus jeruk aja,” jawab Kelana. “Jus jeruk dua, botol mineral dua, dan juga cemilan browss vanila wears dua.” Waiters itu menerima pesanan Panji dan berkata, “Silahkan tunggu ya. Saya akan segera mengantarkannya.” Waiters itu lalu melangkah meninggalkan Kelana dan Panji yang masih duduk berhadapan. Sesekali Kelana mendongak dan melihat Panji, lalu tak lama kemudian menurunkan lagi pandangannya karena ia harus mengingat bahwa Panji bukan mahromnya. “Kelana, aku seneng banget akhirnya kamu mau menerima tawaranku,” kata Panji. “Aku gak enak nolak terus,” jawab Kelana. “Syukurlah kalau kamu merasa gak enak karena dengan cara itu, kamu bisa menerima ajakanku,” kata Panji mengelus leher belakangnya. Kelana mengangguk dan melihat seluruh penjuru ruangan resto yang terlihat sangat estetik. Kelana melihat jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 1, artinya jam istirahat hampir usai. “Ini udah hampir jam 1. Apa gak seharusnya kita bungkus aja dan makan di pantry?” tanya Kelana. “Gak apa-apa. Aku udah izin sama Pak Manager.” “Kapan kamu izin?” Panji lalu memperlihatkan isi chatnya kepada Kelana dan Kelana membacanya. Kelana mengangguk dan tidak bertanya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD