Hari ini bunda datang dari kampung. Kata bunda, beliau kangen dengan Aliesya dan aku. Ada banyak oleh-oleh yang dibawa bunda terutama makanan khas kampung kesukaannku. Tentu saja aku senang, kerinduanku akan makanan khas kampungku bisa terobati.
“Gimana kabarmu nduk? Sehat-sehat kan? Rendra memperlakukanmu dengan baik kan?” Tanya bunda padaku, bunda menyelidik tubuhku dari atas sampai bawah, bahkan lengan dan tanganku dicek, entah mencari apa.
“Bunda cari apa di tubuhku? Mas Rendra memperlakukanku dengan sangat baik kok.” Kataku agar bunda bisa lega. Benar saja, lolos desah nafas kelegaan dari mulut bunda, berganti senyum manis dan wajah yang berubah ceria.
Sangking baiknya bun, aku sampai tidak dianggap sebagai seorang istri. Lelaki itu tidak pernah mau menyentuhku, seperti aku terkena sakit kulit sangat menular.
“Kamu tidak bohong kan nduk? Maaf bunda memaksamu untuk hal ini. Bunda mengabaikan kebahagiaanmu dan egois memaksakan kehendak bunda demi Aliesya.”
“Iya bunda, tidak apa-apa. Aku sedang berusaha untuk mendapatkan kebahagiaanku bersama Mas Rendra. Bunda tidak usah khawatir ya. Aku bisa menjaga diri.” Aku menyenderkan kepalaku kepada bunda, bermaksud bermanja. Bunda tahu itu, karena dia kemudian mengelus rambutku dengan penuh sayang.
“Ada yang ingin bunda ceritakan padamu. Tentang suatu kebenaran yang selama ini bunda dan ibumu simpan. Bunda rasa karena sekarang kamu sudah dewasa, sudah saatnya kamu tahu hal ini.” Tiba-tiba saja bunda merubah pembicaraan menjadi hal yang sangat serius. Tubuhku menegang. Sepertinya ini hal yang penting.
“Tentang apa bunda? Kenapa aku merasa ini hal yang sangat penting?” Tanyaku dengan hati was-was.
“Tentang almarhum Murni, mbakmu. Hubungannya denganmu dan ibumu.”
“Mbak Murni? Ada apa dengan almarhum Mbak Murni bunda? Aku jadi khawatir.”
“Kamu dan Murni bukanlah saudara sekandung, kalian memang satu bapak, tapi beda ibu. Ibumu bukanlah ibu biologis Murni.” Bunda mulai bercerita.
“Maksud bunda apa? Selama ini ibu tidak pernah menyinggung hal itu, bahkan ibu selalu berpesan agar aku selalu menjaga Mbak Murni dengan ikhlas, karena aku satu-satunya keluarga Mbak Murni sejak bapak pergi meninggalkan kami.”
Usai berkata hal itu, seketika aku tersadar maksud dari ucapan ibu bahwa aku satu-satunya keluarga Mbak Murni. Ternyata itu maksud ibu dulu berpesan seperti itu.
“Ibumu dan ibu kandung Murni bersahabat. Bunda juga kenal karena rumahnya ada di kampung sebelah. Tapi tiga tahun usai melahirkan Murni, dia meninggal karena rasa malu dan tertekan karena kondisi Murni. Sebelum meninggal, dia berpesan pada ibumu untuk mau menggantikan posisinya, menjadi ibu sambung bagi Murni dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kami, bunda dan mbahmu tentu saja menolak ide ini. Itu artinya ibumu menggadaikan masa depannya demi orang lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengannya. Tapi ibumu bersikeras dengan alasan kemanusiaan, bersedia menjadi ibu sambung bagi Murni. Kami mengalah. Dulu, mbah kakungmu sempat sangat marah dan tidak mau bertemu dengan ibumu sampai setahun lebih. Sampai akhirnya kamu lahir dua tahun kemudian, barulah mbah kakung reda emosinya. Bisa menerima pilihan ibumu. Sayangnya bapakmu itu emang lelaki yang tidak tahu diri. Padahal kamu lahir sempurna nduk, tiada kekurangan. Saat umurmu sembilan tahun, tiba-tiba lelaki tidak tahu diuntung itu kabur, meninggalkan kalian berdua, Murni dan kamu, menjadi tanggung jawab penuh ibumu. Mulai dari sini kamu sudah tahu kelanjutannya kan? Ibumu harus banting tulang demi bisa menghidupi kalian berdua.” Bunda bercerita panjang lebar dengan penuh emosi saat bercerita tentang bapak yang tega meninggalkan kami.
“Sungguhkah itu bun? Jadi ibu rela mengorbankan dirinya demi bisa merawat Mbak Murni yang tidak ada hubungan darah apapun dengan ibu?” Tanyaku dengan mata yang memerah menahan tangis. Mataku terasa panas, tanda sudah berkolam dan sebentar lagi mungkin bendungan itu akan jebol.
“Iya nduk. Sekarang, sejarah itu berulang. Apa yang terjadi pada ibumu, juga terjadi padamu. Kamu harus merawat Aliesya, yang tidak ada darahmu mengalir di situ. Maafkan bunda ya nduk.” Bunda menangis tergugu, membuatku tidak tega untuk tidak memeluk tubuh ringkihnya.
“Iya bunda, semua sudah berlalu. Biarkan Mbak Murni dan ibu tenang di surga. Lagipula, Aliesya kan keponakanku, walau tidak ada darahku mengalir di tubuhnya tapi kami ada hubungan kan? Bunda tidak usah khawatir, aku akan menyayangi Aliesya."
“Maaf karena bunda sangat memaksamu nduk. Saat pemakamam Keyna, Aliesya sama sekali tidak mau beranjak dari makam. Dia menolak diajak pulang, ingin menemani mama katanya.”
“Maaf bunda, aku tidak bisa hadir saat pemakamam Mbak Keyna. Bunda tahu sendiri aku tidak bisa mendadak pulang karena harus mengurus visa, surat ini itu juga.” Aku berkata dengan nada penuh penyesalan.
Saat Mbak Keyna meninggal, aku masih berada di Hiroshima untuk studi S2 yang mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah. Selain tidak bisa seenak hati pergi ke Indonesia, uang yang aku miliki juga terbatas untuk ongkos pesawat. Beruntung bunda bisa paham dan memintaku untuk pulang saat studiku sudah selesai. Mbak Keyna meninggal karena positif COVID, dan itu sangat mendadak. Setahuku Mbak Keyna pengidap asma, mungkin itu yang membuat kondisinya memburuk dengan sangat cepat.
“Kamu kan tahu Aliesya susah berkomunikasi. Dia hanya diam, tidak menangis saat Keyna dibawa dari rumah sakit ke pemakaman di dalam peti. Baik Aliesya ataupun kami, tidak bisa melihat Keyna untuk terakhir kali. Tidak ada pesan terakhir juga dari Keyna. Itu yang membuat Rendra sangat syok. Dia memang mencoba kuat, tapi bunda tahu, itu sangat dipaksakan. Sedangkan Aliesya, tidak mau pulang setelah gundukan tanah terakhir menutupi makam Keyna. Setelah kayu penanda makam terpasang, dia malah memeluk kayu itu. Menggeleng dan menolak diajak pulang. Kasian mama, sendirian di sini, aku akan temani mama. Eyang dan papa pulang saja. Berkali-kali Aliesya berkata itu. Itu adalah kalimat pertama terpanjang Aliesya yang pernah bunda dengar. Sayangnya merupakan perpisahan dengan mamanya.”
Bunda terdiam, mengambil selembar tisu dan mengusap air mata yang menetes. Aku tahu bunda berusaha menahan emosi agar tangisnya tidak meledak. Sekarang gantian aku yang memeluk bunda.
“Tujuh bulan kemudian, Rendra memutuskan untuk menikahi Felicia. Yang bunda tahu Felicia adalah teman kuliah Rendra dan berjanji akan merawat Aliesya layaknya putri sendiri. Sayangnya itu hanya perangkap saja agar Rendra mau menikahinya, karena Aliesya semakin kurus dan pendiam selama setahun lebih pernikahan Rendra dengan Felicia. Pernah bunda mendadak datang menjenguk Aliesya, ada banyak bekas lebam di tubuhnya. Bunda memaksa Aliesya untuk cerita tapi dia takut. Setelah dibantu Eyang Mayang, akhirnya Aliesya hanya bilang bahwa dia tidak suka pada Felicia. Lalu kamu pulang dari Hiroshima dan menjadi guru di sekolah Aliesya. Kemiripanmu dengan Keyna membuat Aliesya merasa mendapatkan mama baru. Apalagi tahu bahwa kamu adalah tantenya, dia memaksa bunda agar kamu menjadi ibunya. Setelah itu, heeeuh….” bunda mengambil nafas panjang, melihat ke arahku dengan mata penuh penyesalan, “kamu ada di sini, menjadi istri siri Rendra dan merawat Aliesya. Tadi bunda mendadak teringat pada Murni dan ibumu. Maaf ya nduk, kamu harus menjadikan dirimu sebagai istri siri Rendra.” Bunda menarik nafas panjang tanda lega, sudah berhasil mengeluarkan segala yang disimpan selama ini.
Aku tersenyum kecil, coba menyembunyikan apa yang aku rasakan. Hidupku sudah tergadai pada bunda sejak hari pertama kakiku melangkah ke rumah bunda setelah ibu meninggal, menjadikanku anak piatu tanpa tahu di mana sang ayah.
***
Aku duduk menyendiri di taman samping. Hari sudah malam, tapi aku tidak bisa tidur. Aku memegang bandul kalung yang berisi foto ibu dan Mbak Murni. Tiap kali memegang ini, aku pasti akan menangis dan menyesal. Sebuah penyesalan yang percuma. Baik ibu atau Mbak Murni, tidak akan bisa kembali lagi ke dunia ini walau sedalam apapun penyesalanku.
Aku merenung. Apakah sejarah memang bisa berulang? Aku kagum pada pengorbanan ibu yang rela merawat dan melindungi Mbak Murni dengan kasih sayang yang tulus. Apalagi kondisi Mbak Murni tidaklah sempurna tapi almarhum ibu sangat sabar pada almarhum Mbak Murni. Sekarang itu terjadi padaku. Aku harus merawat seorang anak yang juga spesial, bedanya aku dan Aliesya masih mempunyai hubungan karena dia adalah keponakanku.
Sedikit banyak, aku ada andil dalam meninggalnya Mbak Murni. Aku masih ingat dengan sangat jelas, saat kami pulang dari rumah Bude Harun, hujan turun dengan derasnya. Bukannya berlari agar cepat sampai rumah, kami berdua malah tertawa gembira. Hari itu ulang tahunku. Bude memberiku kalung emas berbandul bentuk hati dan ada fotoku di satu sisi, satu sisi lagi foto Mbak Murni.
Aku sangat bahagia. Walau bukan kalung emas 24 karat, tapi ini adalah benda termewah yang aku punya. Kami berlarian dengan sangat hebohnya. Tapi tentu saja aku harus menyesuaikan dengan langkah kaki Mbak Murni yang tubuhnya kecil.
Tiba-tiba ada beberapa anak kampung yang aku tahu mereka sering melakukan perundungan pada Mbak Murni. Kami berhenti, Mbak Murni bahkan memegang pundakku dengan gemetar karena ketakutan. Aku kesal sekali pada bocah-bocah pengganggu ini. Ada tiga anak lelaki dan dua anak perempuan. Mungkin mereka lebih tua beberapa tahun dariku. Tubuhku yang bongsor, membuatku berani untuk menghadapi mereka, seperti biasanya. Tapi biasanya mereka hanya berdua atau bertiga saja, bukan berlima seperti ini.
Aku melihat ada dua anak lelaki yang membawa kayu untuk memukul kentongan bambu. Untuk apa mereka membawa bilah kayu? Sebenarnya perasaanku sudah tidak enak, tapi aku mencoba tidak takut. Kalau aku takut, kasian Mbak Murni. Kelima bocah itu tertawa terbahak melihat Mbak Murni yang tubuhnya gemetar ketakutan di belakangku.
Aku masih ingat apa yang mereka katakan, dan itu tidak akan aku lupakan seumur hidupku.
“Wah asek iki, dewe iso dolanan karo bocah aneh iki.” (Wah asik nih, kita bisa bermain-main dengan anak aneh ini.)
Sialan! Apa maksud mereka dengan berkata bisa bermain-main dengan anak aneh? Mereka menghina Mbak Murni ya? Baiklah, mereka yang memulai, aku akan layani!