7. Renata's Dark Side

2194 Words
“Heh, Mbak Murni bukan anak aneh, kowe-kowe sing aneh! Isone mung ngenyek!” Bentakku tidak terima. Tentu saja aku kesal karena Mbak Murni dibilang anak yang aneh. Bocah-bocah dan warga kampung ini hanya bisa menghina, bukannya malah berteman dengan Mbak Murni. “Na... ta, pu lang yuk. A… ku ta kut.” Mbak Murni menarik tanganku, memintaku menghindar dari bocah-bocah ini. Tapi aku bergeming. Kutepis tangan Mbak Murni. Bocah-bocah ini yang mulai, bukan aku! “Waah adine ngamuk ki, ra terimo mbakyune dienyek.” (Wah adiknya marah, tidak terima kita menghina kakaknya.) Aku dengar salah satu anak perempuan berkata seperti itu, membuatku mendelik dan menantangnya. “Kalau berani, jangan keroyokan. Sini satu lawan satu. Kowe… (kamu)” aku menunjuk ke satu anak perempuan yang terakhir bicara, “ke sini! Kita berantem!” Tantangku. Sayangnya, karena aku hanya gadis kecil yang tidak bisa bela diri, kami berdua hanya bisa menjambak rambut masing-masing. Saat itu rambut lawanku panjang, jadi aku bisa lebih leluasa menarik dan menjatuhkannya. Wajahnya terjerembab dan basah oleh lumpur. Membuatku tertawa kesenangan. “Rasakno!” (Rasakan!) Tentu saja bocah itu menangis, wajahnya kotor terkena lumpur, hidungnya yang pesek mungkin terluka karena ada lecet. Rupanya tangisan temannya itu membuat keempat yang lainnya tidak segan mengeroyokku. Dengan sekuat tenaga aku melawan, tapi apalah dayaku? Walau beberapa kali aku berhasil melawan bahkan menendang mereka, tetap saja aku kalah tenaga dan jumlah. Sekarang gantian aku yang jatuh terjerembab. Wajahku juga terkena cipratan air lumpur berwarna coklat. Tapi aku tidak menangis! Aku tidak boleh menangis. Kasian Mbak Murni. Aaah, Mbak Murni, aku teringat dirinya. Aku berteriak padanya untuk lari dan mencari pertolongan, karena tubuhku dipukuli oleh kayu pemukul kentongan itu, membuatku tidak mampu bergerak. Sekujur tubuhku sudah terasa sakit dan linu, aku meringkuk, berusaha melindungi perut dan wajahku. Perutku ditendang tapi masih bisa aku lindungi karena kakiku yang menekuk. Pandangan mataku kabur, hingga tiba-tiba saja aku tidak merasa sakit lagi. Kupikir mereka berhenti memukuliku, tapi kenapa aku masih mendengar suara bak buk? Aku membuka mata, terlihat Mbak Murni yang melindungi diriku. Dia memeluk tubuhku yang sudah lebam dengan tubuhnya. Pantas saja aku tidak merasa sakit lagi karena dipukul. “Na.. ta, te… rima ka… sih.” Aku masih dengar suara sengau Mbak Murni berkata terima kasih dengan senyum khasnya. Senyuman yang akan aku ingat sampai kapanpun. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Keesokan hari, saat aku membuka mata, yang kudengar pertama kali adalah suara tangisan ibu dan bude. Aku meringis dan merintih pelan. Sakiit dan perih. Semua tubuhku terasa ngilu dan tidak bisa digerakkan. Bau ini, adalah bau khas rumah sakit. Kenapa aku ada di rumah sakit? “Ibu…” Aku berkata lirih, mencari ibu. “Nduuuk, kamu sudah sadar nduk?” Ibu dan Bude Harun heboh memelukku. “Aaduuh, sakit. Ibu, ini di mana? Mana Mbak Murni? Kok tidak ada?” Tanyaku setelah coba melirik kanan kiri mencari keberadaan Mbak Murni. “Mbakmu ada ruangan terpisah, nduk. Alhamdulilah kamu sudah sadar. Ibu lega.” Ibu memelukku sambil menangis tersedu. Bude Harun sampai menepuk pundak ibu, kemudian sedikit menariknya, agar tidak membuatku susah nafas. “Kamu tidak sadarkan diri semalaman, nduk. Murni sampai sekarang masih dalam keadaan kritis. Kemarin itu, alhamdulilah ada beberapa pegawai pakdemu yang melihat kalian sedang ditendang dan dipukuli oleh anak-anak nakal. Mereka segera membawa kalian ke rumah sakit ini.” Ibu bercerita keesokan harinya padaku, karena aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Setelah Mbak Murni memeluk tubuhku, untuk melindungiku. “Bagaimana kondisi Mbak Murni bu? Aku hanya ingat terakhir kali Mbak Murni melindungiku dengan memelukku.” Aku bertanya dengan terbata. Ibu menyuapiku secara perlahan, bubur nasi hambar, membuatku semakin tidak nafsu makan. Ibu menghela nafas panjang, tampak senyum lemah di bibirnya. Wajah cantik ibu terlihat kuyu dan lelah, mungkin karena menjagaku dan Mbak Murni semalaman. “Mbakmu dalam kondisi kritis. Kamu kan tahu, kondisi kesehatan Murni bagaimana. Selain sindroma down, mbakmu itu kan juga kena bronchitis. Itulah kenapa ibu melarang kalian untuk main lama di hari hujan. Sekarang ada masalah dengan paru-parunya, itu membuat kondisinya semakin memburuk. Sekarang saja nafasnya dibantu alat bantu pernafasan. Ditambah lagi kemarin itu dia menjadi tameng untuk melindungimu. Kita berdoa untuk mbakmu ya nduk, minta yang terbaik untuknya.” Aku mengangguk, tubuhku masih terasa ngilu. Bagi anak seusiaku, sanggup menahan tendangan dan pukulan kayu yang dilakukan bocah-bocah nakal itu, aku sangat kuat. Itu yang aku dengar dari Bude dan Pakde Harun saat mereka berbicara pada Pak Lurah yang datang menjenguk. Karena Bude dan Pakde Harun adalah orang yang cukup berpengaruh di kampung, saat mendengar keponakannya masuk rumah sakit karena dianiaya, para perangkat desa berbondong-bondong datang menjenguk. Hendak bertanya apa yang sesungguhnya terjadi, kenapa bisa aku dan Mbak Murni dianiaya. Ibu tidak mau memperpanjang masalah. Tapi tidak dengan Bude dan Pakde Harun. Mereka bilang agar hal ini menjadi pembelajaran bagi bocah-bocah nakal yang ada di kampung agar tidak mengulang lagi tindakan itu. Memang tidak akan dipenjara, tapi Pakde Harun minta agar lima anak penganiaya ini dipanggil ke kantor polisi beserta orang tua mereka. Mendengar kata kantor polisi, untuk orang kampung merupakan momok, apalagi jika dikaitkan dengan melakukan tindakan kejahatan. Aku tidak peduli apa yang akan dilakukan pada kelima bocah itu. Yang aku pedulikan adalah kondisi Mbak Murni sekarang ini. Ini sudah hari ketiga di rumah sakit. Kondisiku sudah semakin membaik, aku sudah bisa duduk walau masih terasa nyeri dan berjalan memakai kruk tapi tubuhku sakit semua. Suatu sore, aku meminta ibu untuk menemaniku melihat Mbak Murni. Ibu meminjam kursi roda agar aku tidak perlu berjalan tertatih karena letak kamar Mbak Murni yang cukup jauh dari kamarku. Aku menangis tersedu di sebelah brankar Mbak Murni. Di tubuhnya ada banyak selang dan alat bantu. Nafasnya terlihat tersengal. Seperti sangat susah untuk bernafas. “Mbak… Mbak Murni bangun. Ini aku, Nata. Bangun mbaaaak. Nanti kalau sudah sembuh, kita main lagi di lapangan ya Mbak. Mbak Murni mau main apa nanti Nata temani. Bangun mbaaak, jangan tinggalin Nata sendirian. Banguuuun huhu…” Aku mengguncang lengan Mbak Murni, bermaksud membangunkannya. Ibu mencegahku melakukan itu. “Jangan ganggu Mbakmu nduk. Kita boleh di sini tapi jangan berisik ya.” Kata ibu. Aku hanya mampu menggenggam tangan Mbak Murni. Tangannya entah kenapa terasa dingin. Aku takut Mbak Murni kenapa-napa. Aku gerakkan tanganku ke lengannya, ke atas dan ke bawah, bermaksud untuk menghangatkannya. Tiba-tiba aku merasa jemari tangan Mbak Murni bergerak. Aku kaget dan berteriak karena kegirangan. “Ibu, ibu, Mbak Murni bangun bu. Lihat nih, tangan Mbak Murni gerak-gerak.” Kataku, sambil menunjuk ke arah tangan Mbak Murni yang bergerak lemah. Ibu dan seorang perawat segera mendekati kami, benar saja, Mbak Murni memang tersadar. Matanya sedikit terbuka, dan mengalirlah tetes air mata di sudut matanya. “Na… ta…” Tangan Mbak Murni sedikit terangkat, seperti ingin menggapai agar aku tidak jauh-jauh darinya. ”Ya Mbak, aku di sini.” Jawabku segera. “Na... ta anak ba… ik, ja… ga ibu. Te.. rima ka… sih.” Sungguh, aku tahu betapa perjuangan Mbak Murni untuk berucap kalimat sependek itu dengan kondisi sakitnya sekarang. “Iya Mbak. Nata akan jaga ibu, jaga Mbak Murni juga. Nata sayang sama ibu dan Mbak Murni.” Kataku, memaksakan tersenyum. Tapi aku heran, kenapa ibu malah menangis sesenggukan. “Ibuuu, te.. rima ka… sih.” Kata Mbak Murni pada ibu. Ibu tidak menjawab tapi mencium kening Mbak Murni penuh sayang. “Na… ta, nga.. ji…” Suara sengau khas Mbak Murni kembali terdengar lemah. Ha…? Ngaji? Sekarang banget? Aku bingung dengan permintaan Mbak Murni. Aku melihat ke arah ibu yang semakin deras menangis. Tapi kemudian ibu berbisik di telinga Mbak Murni. “Pergilah Murni, ibu dan Nata ikhlas.” Pergi?? Pergi ke mana? Kenapa aku dan ibu harus ikhlas? Apakah...? Kemudian aku dengar ibu men-talqin Mbak Murni, sebuah kalimat tauhid bagi kami kaum muslim yang aku tahu akan diperdengarkan di telinga kanan seseorang saat akan meninggal. lâ ilâha illallâh Aku dengar ibu men-talqin kalimat tauhid itu tiga kali. Berhenti sejenak, melihatku dengan mata yang sudah sembab oleh air mata. “Nata kembali ke kamar diantar perawat ya. Ibu di sini sebentar menemani Mbakmu ya nak. Ikhlaskan Mbakmu.” Kata ibu. Aku bingung, kenapa aku harus ikhlaskan? Apakah itu artinya Mbak Murni akan pergi selama-lamanya dari dunia ini? Aku tidak mau meninggalkan ibu dan Mbak Murni, aku juga mau di sini, aku tidak ingin berjauhan dari Mbak Murni dan ibu. Tapi seorang perawat mendorong kursi rodaku agar aku keluar dari ruangan itu. Aku tidak mampu menolak, untuk terakhir kali aku melihat ke arah Mbak Murni yang tampak tenang, seperti kembali tertidur. “Suster, apakah Mbak Murni akan meninggal? Kenapa ibu tadi bacakan lâ ilâha illallâh? Itu kan untuk orang yang mau meninggal.” Tanyaku pada perawat yang mendorong kursi rodaku. Seorang perawat muda yang ramah. “Kita lihat nanti ya dek. Sekarang adek berdoa saja buat Mbaknya. Nah istirahatlah. Coba tidur yaa.” Aku menuruti apa kata perawat tadi. Tidak hanya fisik, tapi nyatanya mentalku juga sangat lelah. Tidak perlu waktu lama, aku sudah tertidur lelap. Aku merasa baru sebentar tertidur, tapi badanku terasa berguncang. Kubuka mataku, agak sedikit menyipit untuk menyesuaikan dengan cahaya. Pertanyaan pertama yang terlintas adalah kenapa Bude Harun ada di sini? Kenapa bukan ibu? Kenapa mata Bude Harun sembab? “Bude, kenapa bude menangis? Ibu mana?” Tanyaku sedikit panik, aku berusaha untuk duduk, tapi tidak bisa. “Ibumu ada di kamar jenazah, Mbakmu baru saja di-pundut (diambil) Yang Maha Kuasa. Sekarang ibumu sedang mengurus surat-surat yang diperlukan untuk pemakaman. Tadi kami sudah berdiskusi dengan dokter, karena kamu belum boleh pulang dari rumah sakit, usai dari pemakaman Murni, kamu akan kembali lagi dirawat di rumah sakit ini.” Apa yang diucapkan Bude Harun, bagaikan petir di siang terik tanpa ada mendung atau hujan di telingaku. Mataku mengerjap beberapa kali. Aku takut aku salah dengar. “Bude, siapa yang di-pundut? Tadi aku ke kamar Mbak Murni, aku malah diminta mengaji. Bukan Mbak Murni kan yang dipundut? Aku belum mengaji untuk Mbak Murni, bude.” Aku coba memastikan. “Nata, nduk... Kita tahu kan kalau selama ini almarhum Mbakmu punya masalah dengan jantung, paru-paru dan pencernaan, layaknya anak-anak sindroma Down pada umumnya. Sepertinya karena kejadian kemarin itu, ada masalah pada paru-parunya. Entahlah, bude juga tidak tahu pasti. Sekarang kamu bersiap ya, sebentar lagi jenazah akan dimandikan biar ibumu, kamu dan bude bisa melihat.” Seketika aku menangis tersedu, Bude Harun sampai memelukku dan mengelus rambutku perlahan untuk menenangkanku. Aku tidak rela kenapa ini terjadi. “Bude, kalau kemarin aku menuruti apa kata Mbak Murni untuk langsung pulang, Mbak Murni gak akan begini. Mbak Murni akan baik-baik saja.” Kataku sambil tersedu. “Sudahlah nduk, tidak baik berandai-andai. Ikhlaskan kepergian Mbakmu ya.” Usai dari pemakaman dan kembali ke rumah sakit, aku diam merenung. Aku sungguh menyesal karena tidak mengikuti keinginan almarhum Mbak Murni waktu itu untuk langsung pulang. Tapi aku akan lebih menyesal lagi jika aku tidak melakukan apapun untuk memberi pelajaran pada bocah-bocah nakal itu. Kalau tidak sekarang, mungkin akau akan memberi pelajaran pada mereka di masa depan. Aku bukanlah orang yang sempurna, aku juga bukan malaikat yang selalu berjalan lurus. Aku hanya manusia biasa, yang punya nafsu, amarah dan juga benci. Entah sampai kapan aku akan membawa dendam ini. Yang aku inginkan hanyalah mereka juga ikut bertanggung jawab atas kepergian Mbak Murni. Hanya perlu membuat satu dan dua kekacauan maka kelima anak ini akan mendapatkan akibatnya! Aku tahu bahwa dua dari tiga anak lelaki itu kalau ulangan suka mencontek. Aku mengancam anak perempuan yang bertubuh paling kecil untuk merekam keduanya saat mencontek saat ulangan di kelas. Satu anak lelaki lagi aku laporkan ke guru karena ketahuan mengintip toilet perempuan. Sedangkan dua anak perempuan itu, gampang sekali! Aku tahu mereka takut cicak dan kecoa. Aku sudah siapkan satu cicak dan satu kecoa yang dengan sengaja aku taruh di baju seragam jadi usai jam pelajaran olah raga mereka akan memakai seragam plus bonus cicak dan kecoa. Karena panik, bukannya diusir, mereka malah menginjak kecoa dan cicak tersebut. Tentu saja darah mereka ada di baju seragam membuat mereka tidak mau memakainya lagi dan rela tidak memakai seragam sampai akhirnya guru-guru memberi baju ganti baru dan mereka harus membayar seragam pengganti itu. Hingga beberapa hari kemudian mereka tidak mau masuk sekolah. Kejadian yang paling aku ingat saat tiga anak lelaki itu bermain layangan. Aku lewat tidak jauh dari situ. Saat itu hari sedang mendung. Di tanah lapang itu tidak ada pohon tinggi, satu-satunya yang paling tinggi adalah layangan itu. Mungkin karena banyak angin berhembus, membuat anak-anak kecil di desa malah suka bermain layangan saat hari mendung. Aku bukanlah dukun, tapi aku tahu bahwa petir bisa menyambar layangan karena listrik yang merambat di konduktor. Aku tersenyum puas, segera berlari pulang agar tidak kehujanan dan tidak perlu melihat kejadian sambaran petir itu. Yang aku dengar beberapa hari kemudian, bocah lelaki itu mengalami lumpuh. Ini memang tidak sebanding dengan nyawa Mbak Murni, tapi setidaknya, ada rasa kepuasan padaku karena telah membalas dendam. *** Karakter Renata adalah salah satu karakter female lead yang aku buat sangat berbeda dari kebanyakan ceritaku. Cenderung gelap karena masa lalu yang juga gelap. Nah, jadi next part gimana nih enaknya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD