Hari ini hari Jum’at sore. Aliesya sudah mandi dan menunggu Mas Rendra datang. Dia bahkan tidak mau makan, katanya biar bisa makan bersama sang papa. Sekarang aku bisa merasakan anak-anak di luaran sana yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Bertemu dengan salah satu, entah papa atau mamanya, hanya 2-3 hari dalam satu minggu. Kadangan malah dalam satu bulan.
“Liesya sayang, ini sudah magrib. Kita sholat magrib dulu berjamaah dan menunggu di dalam ya sayang.” Bujukku pada Aliesya. Awalnya dia enggan menuruti, tapi saat nadaku sudah berubah menjadi lebih tegas, akhirnya dia menurut.
Bahkan hingga kami menyelesaikan sholat Isya, belum nampak tanda-tanda kehadiran Mas Rendra. Aku tidak mau Aliesya sakit, masuk angin sekalipun. Kondisi tubuhnya berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya.
“Mungkin papa sedang rapat penting dan tidak bisa ditinggal. Kita makan dulu setelah itu telpon papa ya. Liesya tanya baik-baik pada papa, tapi ingat, jangan memaksa kalau papa tidak bisa datang hari ini. Mungkin papa baru akan datang besok.” Bujukku pada Aliesya. Bersyukur dia menurut apa yang aku instruksikan.
“Ibu, aku mau telpon papa.” Rengeknya padaku. Matanya sudah memerah, menahan tangis.
“Boleh. Pakai hp ibu saja ya.” Jawabku.
Aku mengeluarkan ponsel dan menelpon Mas Rendra. Sudah dua kali tidak ada respon. Kulihat jam di ponselku. Sudah hampir jam sembilan malam. Mungkin saja Mas Rendra sudah tidur. Akhirnya aku berinisiatif untuk mengirim pesan.
“Liesya sayang, mungkin papa sudah tidur. Tapi ibu sudah mengirim pesan agar besok papa menelpon Liesya ya. Jangan sedih, jangan menangis. Nanti ibu juga ikut sedih loh.” Aku merubah raut wajahku menjadi sedih. Aliesya tidak suka melihatku bersedih. Benar saja, dia memaksakan diri untuk ceria.
“Iya ibu. Liesya mau tidur. Besok telpon papa lagi.” Katanya, kemudian memelukku erat. Aku bisa mendengar dia coba meredam isak tangisnya.
“Iya sayang, tidurlah.”
Aku sengaja tidak mau menemani Aliesya tidur. Ini untuk membantunya agar sedikit demi sedikit menjadi mandiri. Agar tidak selalu tergantung padaku. Usai mencium kening Aliesya, aku juga memutuskan untuk tidur. Aku merasa tidurku belum lama, tapi aku mendengar ponselku berdering.
Tanpa melihat siapa si penelpon, kujawab dengan malas, “Halo, siapa sih nelpon jam segini? Gak sopan tahu.”
“Ini aku. Renata, tolong buka pintunya dong. Maaf aku lupa hari ini bertemu dengan Liesya. Aku di depan pintu nih, buruan buka dong. Dingin.” Aku mendengar suara Mas Rendra, entah nyata atau tidak, aku tidak tahu. Langkah kakiku menurut saja mendengarnya memerintahku untuk membuka pintu. Setelah kubuka, aku balik badan dan kembali ke kamar.
Tapi mendadak aku teringat, pendingin ruangan yang ada di kamar yang biasa dipakai Mas Rendra sedang rusak, menetes air. Tukang servis ac belum sempat datang, artinya Mas Rendra tidak bisa tidur di kamar itu.
“Mas, ac kamar tengah sedang error, sepertinya bocor. Tukang servis ac langganan belum bisa ke sini.” Kataku dengan langkah kaki tetap melangkah menuju kamarku.
“Hmm, terus aku tidur di mana?” Aku mendengar Mas Rendra bertanya. Langkah kakiku terhenti seketika.
“Terserah Mas Rendra saja. Di sofa di ruang tivi bisa, kan ada pendingin ruangan juga di situ. Atau ke kamarku juga boleh.” Baiklah, mungkin saja otak dan mulutku tidak sinkron karena rasa kantuk yang luar biasa.
Aku merasa itu seperti sebuah undangan dari seorang istri yang merasa putus asa karena tidak mendapatkan nafkah batin dari suami. Itu seperti aku menawarkan diri dengan suka rela padanya. Aah biarkan saja, aku tidak peduli dengan apa yang dia pikirkan. Yang aku pedulikan sekarang adalah kasur dan bantalku yang empuk.
Aku tahu Mas Rendra masuk ke kamarku dan langsung menuju ke kamar mandi. Ngapain juga sih? Yang rusak di kamar tengah kan pendingin ruangan, bukan kamar mandi. Mataku kembali terpejam. Aku sungguh mengantuk dan memang aku merasa ada pergerakan di kasurku. Tapi aku tidak peduli, biar saja besok aku lihat apakah benar Mas Rendra menghabiskan malam ini denganku di kamar ini setelah sebulan kami menikah. Menghabiskan malam tanpa berbuat apapun layaknya sepasang suami istri normal pada umumnya.
***
Aku terbiasa bangun pagi dan langsung beraktivitas di dapur menyiapkan sarapan untukku dan Aliesya. Bersyukur Aliesya tidak ada pantangan karbohidrat, jadi masakan yang aku buat bisa lebih bervariasi. Tapi tiap akhir pekan aku harus menyiapkan menu tambahan untuk Mas Rendra. Selera makannya tidak aneh-aneh kok, bahkan mau makan semua masakanku tanpa rewel. Sepertinya dia sangat menyukai menu masakan rumahan.
Seperti pagi ini, aku melihat dengan senyum puas ke arah meja makan. Menu sarapan lengkap kesukaan Aliesya, yaitu nasi uduk, tempe goreng tepung, kerupuk udang dan sambal telor. Tubuhku berkeringat, gerah karena kepanasan di dapur usai memasak.
Aku membalik badanku, hendak ke kamar untuk mandi. Tapi kakiku terhenti, mataku terpaku pada sosok Mas Rendra yang entah sejak kapan sudah berada di dapur. Mata kami bersirobok, tapi karena tidak tahan aku yang memutus pertama kali. Dia melihatku seperti singa kelaparan melihat anak rusa! Aku memberi senyum terbaikku. Dia juga membalas dengan senyum kecil. Suasana menjadi canggung karena kami sama-sama bingung harus bagaimana. Tapi terselamatkan oleh kehadiran Aliesya yang menjerit kegirangan melihat papanya di pagi ini.
“Papaaaa….” Aku lihat Aliesya langsung berlari dan memeluk papanya dengan heboh. Dia bahkan melompat-lompat karena terlalu gembira.
“Hai sayaang.”
Aku masih terpaku di tempatku semula. Terharu melihat Mas Rendra yang terlihat sangat menyayangi Aliesya. Dia mengelus rambut Aliesya penuh sayang. Suatu hal yang sangat aku rindukan karena aku tidak pernah merasakan hal itu dari bapak kandungku sendiri.
“Papa telat. Ini Sabtu, papa janji tiap hari Jum’at ketemu Liesya sama ibu.” Rajuk Aliesya pada papanya. Aku tersenyum miris, aku ingin bisa juga seperti itu. Bermanja pada bapak. Tapi aaah sudahlah, itu masa lalu. Bapak di mana aja aku tidak tahu, masih bernyawa atau tidak, aku juga tidak tahu.
“Maaf sayang, semalam papa sampai di sini Liesya sudah tidur. Tapi ini kenapa matanya kok bengkak?” Aku lihat Mas Rendra mengusap mata Liesya yang sedikit menghitam karena kurang tidur dan agak bengkak karena bekas menangis.
“Kemarin Liesya menangis karena menelpon Mas Rendra tidak dijawab. Dia sedih karena menyangka Mas Rendra ingkar janji.” Jawabku karena Aliesya tidak mau menjawab. Dia masih saja memeluk erat papanya.
“Liesya sayang, papa minta maaf ya sudah membuat Liesya menangis. Tapi Liesya kan tahu, papa sayang banget sama Liesya, papa pasti datang kok setelah selesai dengan semua urusan papa.”
“Iya, papa sayang Liesya. Ibu juga sayang Liesya. Mama Felicia tidak sayang Liesya. Dia jahat.” Aku melihat Mas Rendra menghela nafas, sepertinya ingin menyanggah apa yang diucapkan putrinya itu. Tapi aku cegah, aku berdehem dengan sengaja agar dia paham kode yang kuberikan. Benar saja, Mas Rendra langsung melihat ke arahku dan mengangguk saat melihat aku menggeleng, tanda agar sebaiknya dia tidak memperpanjang topik itu.
“Kami semua sayang Liesya kok.” Kalimat itu diucapkan Mas Rendra.
“Papa akan tetap sayang Liesya walau Liesya nanti pergi ya?” Keningku berkerut mendengar ucapan Aliesya yang tiba-tiba itu. Sebagai anak dengan kemampuan spesial yang tidak dia pahami, aku takut jika putri sambungku itu bisa merasakan sesuatu yang kami tidak tahu.
“Memangnya Liesya mau pergi ke mana? Gak boleh pergi tanpa seijin ibu atau papa ya sayang.” Jawab Mas Rendra yang kebingungan kenapa Aliesya berkata seperti itu.
“Liesya mau pergiii jauuuuh pah. Tapi masih nanti kok. Liesya mau sama ibu dulu, mau sama papa, mau ketawa sama ibu dan papa.”
Deg, tiba-tiba saja terasa seperti jantungku berhenti berdegup sepersekian detik. Apakah maksudnya itu? Apakah dia….
“No…. no… Liesya sayang tidak boleh pergi tanpa ijin ibu atau papa ya sayang. Dekat saja tidak boleh apalagi jauh. Duuh papa lapar, kita sarapan yuk.” Pikiranku terpotong karena Mas Rendra yang mengajak kami sarapan.
“Euum aku mandi dulu ya, sebentar. Kalau mau sarapan duluan silakan, tidak usah menungguku.” Aku melangkah sesegera mungkin tapi Mas Rendra malah berkata akan menungguku hingga selesai mandi.
“Kami tunggu saja Nata, mandinya jangan lama-lama ya.”
***
Bel pintu berbunyi. Asisten rumah tangga segera membuka pintu dan ternyata yang datang adalah ibu dan bapak mertuaku. Kami sempat berbasa-basi sebentar. Mama Mayang ke kamar Aliesya untuk melepas rindu pada cucunya. Sedangkan papa dan Mas Rendra mengobrol di taman samping.
“Papa mau minum kopi atau teh? Biar saya buatkan sekalian mau goreng pisang.” Tawarku pada mereka berdua.
“Boleh, tapi papa teh tawar saja. Sudah mengurangi asupan gula.” Jawab papa mertuaku.
“Mas Rendra mau kopi hitam dengan sedikit gula?” Tanyaku, memastikan. Mas Rendra mengangguk.
Aku membawa baki yang berisi teh, kopi dan pisang goreng ke taman samping. Tapi langkah kakiku terhenti saat mendengar percakapan Mas Rendra dan papa, ada namaku tersebut, membuatku penasaran.
“Papa lihat Aliesya lebih banyak tersenyum sejak tinggal bersama Renata. Berbeda sekali saat dia masih tinggal denganmu dan Felicia. Papa dan mama bersyukur Renata mau menikah denganmu walau secara siri dan mau merawat Aliesya dengan ikhlas. Jaga Renata baik-baik. Pergauli dia dengan baik, layaknya seorang istri. Renata memang kuat, tapi dia tidak terbuat dari baja. Baja saja bisa meleleh kan?” Aku dengar papa mertuaku berkata seperti itu.
“Iya pah.” Jawaban singkat Mas Rendra. Haruskah aku berteriak dan lapor pada papa mertuaku bahwa aku hanyalah pajangan saja? Tiada cinta dan sayang dari Mas Rendra kepadaku. Tapi aku yang setujui pernikahan siri ini. Aku dan Mas Rendra sudah menyetujui semua persyaratan yang kami buat sebelum kami menikah.
“Bagi waktumu baik-baik Ren. Kamu sudah berjanji pada Aliesya kalau tiap hari Jum’at sore sampai Minggu akan bersamanya dan tentu saja bersama Renata kan? Semalam kamu telat sekali datang ya? Liesya cerita itu saat mamamu video call semalam.”
Aah pantas saja, mama dan papa langsung datang hari ini. Ternyata karena hal ini.
“Iya pah, aku sampai sini Liesya sudah tidur. Pah, tiap kali mau bertemu Renata aku harus memuaskan diriku dulu bersama Felicia.” Suara pelan Mas Rendra terdengar. Aku mengerjap mata karena kaget.
Heeii emang ada apa dengan diriku? Apa hubungannya dengan pemuasan Mas Rendra? Aku penasaran ingin mendengar apa jawaban Mas Rendra.
“Sampai sekarang Keyna satu-satunya perempuan yang aku cintai, bahkan setelah dia meninggal. Renata sangat mirip dengan almarhum Keyna.” Suara Mas Rendra terdengar berat, seperti ada beban yang dia ingin keluarkan.
“Loh terus apa masalahnya?” Aku dengar papa bertanya seperti itu. Iya, apa masalahnya coba?
“Aku takut kelepasan dan ingin menyentuhnya. Ingin memilikinya.” Jawab Mas Rendra.
“Kalian sudah sah menikah secara agama Ren, tidak berdosa jika kalian melakukan hubungan suami istri kan?” Aku dengar suara papa masih bernada heran.
“Kami berdua kan terikat perjanjian pah. Aku tidak akan menyentuhnya jika bukan karena dia yang memintaku atau karena aku mencintainya. Masalahnya belum ada sama sekali hal itu pada kami.”
Ooh akhirnya aku tahu alasan Mas Rendra tidak mau menyentuhku. Benar saja, karena perjanjian yang kami sepakati sebelum menikah. Aku ini kenapa jadi plin plan sih? Kami sudah menyepakati perjanjian tapi kenapa pula aku seperti ingin disentuh oleh Mas Rendra? Aku jadi kesal pada diri sendiri jika plin plan seperti ini.
“Makanya kan papa dari dulu bilang, baca baik-baik lagi itu kesepakatan kalian. Dibatalkan saja emang gak bisa? Biar kehidupan pernikahan kalian normal gitu loh.” Papa memberikan usul.
Aku ingin dengar apa jawaban Mas Rendra, tapi telingaku mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Mungkin itu mama dan Aliesya. Lebih baik aku kembali ke dapur dan berpura sibuk di situ.
“Ibu bikin apa? Harum sekali.” Aliesya sudah berada di depanku yang berpura memindahkan pisang goreng ke piring baru, piring yang tadi aku letakkan di tempat cuci piring.
“Pisang goreng kipas ditaburi sedikit gula aren. Enak loh. Liesya mau? Nanti ibu siapkan teh sekalian untuk Liesya dan eyang ya, kita mengobrol di taman samping bersama papa dan eyang kakung.” Jawabku. Aliesya dan mama mertuaku mengangguk.
Aku menghela nafas panjang, bersiap membawa pisang goreng dan minuman ke taman samping agar kami bisa mengobrol. Untuk kehidupan rumah tanggaku dan Mas Rendra di masa depan, biarkanlah waktu yang akan menjawabnya. Aku sudah berkomitmen untuk menjalani rumah tangga ini dengan segala konsekuensinya. Semua karena aku teringat pesan almarhum ibu yang tertanam di otakku sebelum beliau meninggal bahwa aku harus berbakti dan membalas budi pada ayah dan bunda yang merawatku menggantikan ibu.