3. Isolasi

912 Words
"Kamu yang bawa ini, Ka? Berarti kemarin kamu mampir ke warung baso Nuri? Anak Mama gercep juga," tanya Bu Widya saat mereka tengah sarapan berdua. Ya, hanya berdua saja karena Tika gak boleh sarapan bersama mereka karena aroma busuk Tika sangat pekat. "Iya, Ma, mampir lihat Nuri. Kayaknya udah bisa nerima keadaan dan mungkin karena saya juga yang memberikan perhatian sebagai mantan. Dika yakin sekali, sebentar lagi Nuri akan kembali pada Dika." Bu Widya tertawa cekikikan mendengar ucapan putra sulungnya yang sangat konyol. Dika belum pernah se-alay ini sebelumnya. Untuk itu Bu Widya merasa lucu. "Kenapa Mama ketawa? Orang saya jujur," tanya Dika heran. "Mama geli lihat kamu ngomong gitu. Bukan kamu banget kayaknya. Apa kamu kesambet Tika?" Bu Widya menyantap baso Nuri yang rasanya masih tetap enak, meskipun buatan kemarin dan menurutnya tidak ada baso enak yang pernah ia makan seperti enaknya baso buatan mantan menantunya itu. "Nih, Ma, ngomong-ngomong soal Tika, katanya hari ini Tika katanya mau ke dokter untuk mengobati baunya," ujar Dika memberitahu. Sekilas Bu Widya menoleh ke kamar yang ditempati menantunya itu. "Terus, apa hubungannya dengan Mama?" tanya Bu Widya sambil menekan hidungnya. "Mama mau gak nemenin Tika? Tanya yang jelas gitu ke dokter kenapa bau sekali badan si Tika? Minta obat paten sekalian, Ma." "Ogah, Mama bisa mati kebauan kalau berdekatan dengan Tika. Pokoknya gak maulah!" Bu Widya menolak tegas. Wanita itu bergidik ngeri karena semakin hari, aroma tubuh menantu Jadi-jadianya itu semakin bau saja. "Harusnya istri kamu itu diisolasi mandiri di rumah sakit. Di wisma atlet juga bisa kayaknya. Dari pada begini, semua menderita karena baunya. Ck, kamu ini entah bikin dosa apa Dika, istri pertama minta cerai karena kamu galak dan gak cinta. Sekarang udah nikah lagi, istri kamu malah bau bangkai. Astaghfirullah, aduh ... baso Nuri jadi bikin Mama eneg karena sambil bayangin aromanya Tika." Dika hanya menghela napas berat mendengar omelan mamanya. Sebagai suami dan lelaki, ia pun sudah tidak tahan dengan aroma tubuh Tika, tetapi ia belum ingin menalak Tika. Ia ingin wanita itu sendiri yang pergi darinya karena marah dan menyerah. "Dika, denger gak?!" Suara Bu Wodya meninggi. "Eh, i-iya, Ma. Nanti akan saya tanyakan tempat isolasi yang pas untuk Tika. Tapi biar Tika ke rumah sakit dulu saja." Bu Widya mencebik. "Terserah kamu saja, pokoknya Mama gak mau istri kamu itu ada di rumah Mama! Dan jangan pulang juga ke rumah kamu, nanti dia keenakan!" Dika mengangguk paham. Tanpa berpamitan pada Tika, Dika pun langsung berangkat ke kantornya yang ada di kebun binatang dengan sepeda motor. Meskipun ia memiliki kendaraan roda empat, tetapi Dika lebih nyaman ke sana-kemari dengan kendaraan roda dua matic itu. Sesampainya di kantor, ia bertanya pada teman-temannya tentang tempat isolasi yang ada di Jakarta Selatan. Tidak banyak yang tahu. Diantara mereka mengarahkannya untuk pergi ke wisma atlet. "Siapa yang kena HIV, Pak Dika?" tanya Elis, staf pendataan satwa yang kebetulan ikutan gabung rumpi di mejanya. Ada empat orang di sana dan Elis satu-satujya staf wanita. "HIV?" Dika menatap Elis dengan bingung. "Itu nyari tempat isolasi bukan untuk pasien HIV?" tanya Elis yang juga ikutan bingung. Dika tertawa, kemudian ia menggeleng. "Untuk pasien bau, ha ha ha.... " staf yang lain akhirnya ikut tertawa. Dika memperhatikan satu per satu wajah segar staf-nya. Ada sepuluh orang di ruangan itu dan tidak ada satu pun yang tahu bahwa ia sudah bercerai dari Nuri. Ia masih merahasiakannya. Apalagi Tika baru ia nikahi secara siri saja, sehingga jika ia berbohong, tidak terlalu kentara. "Siapa yang bau?" tanya Pak Asep. "Sodara saya, Pak. Dia bau banget, udah ke dokter, udah mandi air mawar kayak batu nisan, tetap aja masih bau," jawab Dika diiringi gelak tawa orang-orang di sekitarnya. "Bawa ke orang pintar coba. Siapa tahu sodara Pak Dika diguna-guna orang supaya bau," jawab Pak Asep memberikan ide. Siapa yang mau mengguna-guna Tika? Apa manfaat dan juga keuntungannya? Tika gak cantik, orang kampung, hanya tamatan SD pula. "Hanya orang gila kali yang mau mengguna-guna sodara saya itu," jawab Dika tak percaya. Pembicaraan seru tentang pasien bau terus saja berlangsung, padahal mereka semua sudah membuka laptop masing-masing. Dika pun sampai tidak mendengar panggilan dari Tika. Wanita itu hendak pergi ke dokter, tetapi tidak bisa karena ojek online tidak ada yang mau membawanya ke dokter. Baru sampai di depan pagar rumah mertuanya saja, tiga ojek online yang ia pesan bergantian, langsung mual dan muntah. Ketiganya pergi begitu saja, saat mencium aroma busuk. Bukan itu saja, para tetangga kanan kiri rumah mertuanya juga pada pindah karena tidak tahan dengan bau busuk yang berasal dari rumah Bu Widya. Kring! Kring! Kali ini telepon kantornya berdering. Dika yang tengah fokus menatap laptop, memanjangkan tangannya untuk mengangkat panggilan itu. "Halo." "Halo, Dika, assalamualaikum." "Eh, Mama, wa'alaykumussalam. Ada apa, Ma?" "Ka, istri kamu tambah bau, Ka. Mama udah gak tahan. Pak RT juga barusan komplain, karena bau busuk dari rumah kita. Mama akhirnya pesan truk kontainer untuk menganggut Tika ke luar dari rumah Mama. Biar dibawa ke kapal aja. Siapa tahu dengan kena angin laut, bau badan Tika bisa hilang." "A-pa? Truk kontainer? Itu kan mahal, Ma." "Ya, Mama tinggal potong dari jatah warisan kamu saja. Udah ya, pokoknya truk itu sebentar lagi sampai dan Tika biar langsung diangkut saja." "Mama gak packing dulu? Nanti sopir truk muntah loh. Maksudnya apa Tika tahu kalau Mama sewa truk untuk membawanya pergi ke laut?" "Mama gunakan cara halus biar Tika mau. Kamu tenang saja. Udah Mama pesan go-s3nd untuk kirim bubble wrap. Tika dibungkus itu saja biar sopir truk ga kebauan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD