"Apa? Selingkuh? Sama kamu? Idih, males!" Nuri segera bangun dari duduknya, tetapi Dika kembali berhasil menahan tangan wanita itu.
"Nuri, denger dulu. Aku udah ijin sama mama untuk balikan sama kamu dan mama kasih ijin." Nuri tertawa geli.
"Kamu udah punya istri dan aku masih punya suami. Jadi jangan mengada-ada!"
"Kamu bukannya akan berpisah dengan suami kamu?" kali ini Dika tidak mau kalah. Ia terus mendesak agar Nuri setuju degan syaratnya.
"Iya, tapi bukan berarti aku mau balikan sama kamu, Mas Dika. Sudah, sekarang pulang ya, aku mau tutup warung." Nuri bergegas berdiri dan langsung menuju gerobak bakso yang melihat isi panci kuah yang sudah tersisa sedikit saja.
"Dika, kamu masih tinggal sama mama?" tanya Nuri tiba-tiba. Dika mengangguk.
"Bawain baso untuk mama ya." Dika tersenyum sambil mengangguk.
Nuri dengan cekatan membungkus baso sebanyak delapan butir dengan kuah sedapnya. Ditambahkan dengan mi kuning dan bihun. Tak lupa saus dan sambal.
"Ini, khusus untuk mama ya. Bukan untuk istri kamu." Dika menerima kantong plastik dari Nuri.
"Dih, saya juga gak mau kasih dia. Ya udah, saya balik ya. Kamu jangan malam-malam tidurnya."
"Jadi, saya harus tidur subuh-subuh, gitu?" Nuri mulai kembali sewot karena Dika belum juga pulang dan masih betah mengeluarkan celotehan tidak jelas.
"Jangan begadang maksud saya," balas Dika sambil tertawa.
"Memangnya saya Haji Roma? Udah sih, sana pergi!" Nuri mengibaskan tangannya mengusir Dika. Pria itu akhirnya mengalah dan langsung naik ke atas motornya.
"Yang tadi pikirkan lagi aja, Nuri. Seru loh, kalau selingkuh sama saya!" Suara Dika tentu saja menggelegar. Nuri mendelik dan refleks melemparkan centong ke arah Dika. Untung saja tidak kena. Pria itu menggeber motor dan langsung pergi dari sana.
"Dia kira selingkuh itu seperti pergi liburan ke Dufan? Otaknya ada di mana suami si Tika itu?" gumam Nuri kesal. Dua karyawannya ada di sana menyaksikan perdebatan menggemaskan antara bos dan tamu warung. Mereka tertawa sambil menutup mulut.
"Kalian sedang apa? Jangan cekikikan aja di sana, cepat bantu saya!" keduanya pun bergegas membantu Nuri untuk merapikan warung. Semua selesai tepat pukul tujuh tiga puluh malam. Nuri kembali ke kontrakannya untuk beristirahat. Tubuhnya sebenarnya amat lelah, tetapi jika ia tetap di rumah saja, maka masalahnya dengan Daniel bisa menganggu mentalnya.
Kring! Kring!
Ponselnya berdering begitu ia masuk ke kamar setelah mandi. Ada nama Daniel muncul di sana. Sebenarnya ia malas untuk mengangkat panggilan itu, tetapi masalahnya dengan Daniel harus segera diselesaikan. Jika ia terus menghindar, maka urusan ini akan semakin larut.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Wa'alaykumussalam, Sayang. Kamu baru selesai dari warung ya? Aku telepon gak diangkat-angkat."
"Langsung saja, ada apa telepon? Saya mau tidur."
"Saya rindu."
Nuri tertawa miris mendengar ucapan Daniel.
"Kamu bilang rindu, tapi kamu bisa tidur dengan wanita lain? Sudahlah, aku cuma minta kalimat talak dari kamu, apa susahnya sih?"
"Aku gak mau. Siapa yang bilang aku mau talak kamu?" Nuri kembali tertawa dengan amat menyedihkan.
"Tapi aku gak mau jadi istri dari lelaki yang mudah sekali tidur dengan wanita lain."
"Itu urusan kamu, bukan urusan aku, Sayang. Aku gak akan mengucapkan kalimat talak karena aku masih mencintai kamu."
"Lalu Angel?"
"Angel akan aku nikahi, tapi jadi istri kedua."
"Ha ha ha... gila!"
Nuri langsung memutus panggilan itu. Bahkan nomor Daniel pun terpaksa ia blokir demi menjaga kewarasan otaknya. Wanita itu mengambil mukena untuk melaksanakan solat Isya.
Sementara itu, Dika baru sampai rumah mamanya. Ia memang sengaja tidak langsung pulang ke rumah setelah dari warung baso Nuri. Pria itu berkeliling dahulu, lalu singgah sebentar ke toko buku. Dika membeli dua buku tentang tips menaklukan mantan.
Pintu pagar belum terkunci, saat ia mendorong pagar itu pelan. Ada wanita yang mengintip dari dapur. Ia mengira adalah Tika;istrinya, tetapi rupanya Fitri. Fitri membuka pintu samping sambil membawa kunci.
"Fit, istri saya udah tidur?" tanya Dika berbisik.
"Belom kayaknya, Pak."
"Aduh, kenapa belum tidur sih?" gerutu Dika yang masih dapat didengar oleh Fitri.
"Pengen dikelonin kali, baru bisa tidur Pak." Dika mendelik sebal pada ART mamanya. Fitri terkikik geli. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Dika tidur di ruang TV dengan kasur lipat, bukan dengan istrinya.
"Kunci pagar tuh, jangan makan gaji buta doang!" Fitri kembali menertawakan Dika.
"Eh, iya, ini panaskan dulu, bisa dimakan besok. Mama udah tidurkan?" Dika memberikan bungkusan baso pada pembantunya.
"Siap, Pak."
Dika pun masuk ke rumah. Ia bernapas lega, saat melihat pintu kamar yang tertutup rapat. Ia berdoa dalam hati agar istrinya sudah tidur. Namun, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan orang yang paling tidak ia harapkan bertemu, malah muncul di depannya dengan baju amat seksi.
"Mas, boboknya di kamar aja, saya kedinginan kalau tidur sendirian." Suara Tika yang merengek membuat Dika merasakan isi perutnya akan segera keluar.
"Kamu kedinginan?" tanya Dika dengan suara lembut, sambil menjepit hidungnga agar tidak menciun aroma tubuh Tika yang berbau busuk.
"Sebentar ya." Dika menaruh tas ranselnya di sofa, lalu pria itu meninggalkan sebentar Tika yang masih berdiri di depan pintu kamar.
"Eh, Pak Dika mau apa?" tanya Fitri yang bingung, saat melihat Dika amat sibuk.
"Udah, kamu tenang saja." Dika bergegas kembali menghampiri Tika sambil membawa kompor gas beserta tabung gas tiga kilogram.
"Nih, biar kamu gak kedinginan lagi. Sini, biar aku bantu nyalain kompornya!" Dika benar-benar masuk ke kamarnya untuk menyalakan kompor.
Bersambung