4. Kelakuan Dika

1011 Words
Tok! Tok! "Tika, buka! Truk udah datang. Ayo, cepat kamu berkemas. Truk itu akan bawa kamu ke tempat isolasi!" Bu Widya berteriak di depan kamar Tika. Tentu saja wanita itu kalang kabut karena ia tidak mau dipisahkan oleh Dika.; suaminya. Satu hal yang perlu dan harus segera ia lakukan adalah pergi ke dokter untuk meminta obat. "Tika, buka!" Tika yang dari awal memang memiliki sifat licik, tentu saja tidak mau menyerah. Ia memasukkan beberapa helai baju ke dalam kantong totte bag, lalu ia keluar dari jendela kamar suaminya yang memang belum dipasang besi teralis. Sengaja ia memakai baju panjang dan juga penutup kepala. Selain untuk menyamarkam bau, ia juga tidak mau sampai dikenali tetangga. Untunglah saat ia melompar keluar dari jendela, tidak ada seorang tetangga pun yang melihat. Merasa tak ada jawaban dari menantunya, Bu Widya pun nekat melubangi tembok dengan mesin bor. Karena jika ia dobrak pintu, maka pintunya akan rusak. Beli pintu baru mahal, lebih murah nenambal dinding tembok dengan semen. "Eh, ke mana itu orang?" tanya Bu Widya bingung. Saat ia mengintip dari lubang yang ia buat, tidak ada Tika di dalam sana. "Wah, kabur itu bocah!" Bu Widya berlari keluar rumah. Ia bahkan berjalan cepat menuju jalan besar untuk mencari Tika. Namun, ia tidak menemukan jejak wanita itu. "Bu, ini jadi gak ngangkut orangnya?" tanya sopir truk pada Bu Widya, saat ia kembali ke rumah. "Gak jadi, udah pergi. Ini, saya ganti ongkos bensin aja." Bu Widya mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu untuk sopir truk itu. "Makasih Bu." Bu Widya masuk ke rumah untuk segera memberitahu Dika, bahwa Tika pergi dari rumah. Dua kali menelepon Dika, belum juga diangkat. Bu Widya akhirnya memutuskan untuk menghubungi putranya beberapa saat lagi saja. "Fitri, kamu pesankan di aplikasi utuk bersih-bersih rumah. Kamar Dika harus dibersihkan. Saya mau ke rumah Pak Haji, minta kamar itu didoakan." Fitri tertawa melihat berapa repotnya dan gak tenangnya sang Majikan setelah memiliki menantu bernama Tika. Belum lagi makhluk buruk rupa serba hitam itu terus berjaga di depan kamar Dika. Aura rumah sangat tidak nyaman, tetapi ia tidak berani bercerita lengkap pada Bu Widya, khawatir majikannya takut. "Iya, Bu, saya pesankan." Fitri pergi ke kamarnya untuk mengambil ponsel, sedangkan Bu Widya pergi ke rumah salah satu pemuka agama di tempat tinggalnya. "Buru-buru amat Bu Widya, mau ke mana? Kebauan sama rumah sendiri ya?" sindir Bu Hesti, tetangga yang selisih empat rumah saja darinya. "Mau ke Pak Haji, Bu Hesti. Mau minta didoakan rumah saya. Mari, Bu." Bu Widya bergegas melanjutkan kembali langkahnya. Ia sama sekali tidak marah ataupun tersinggung dengan ucapan tetangga, karena memang benar apa adanya. Wajar saja para tetangga merasa tidak nyaman dengan bau yang menguar dari dalam rumahnya. Ia saja rasanya ingin mati kebauan. Untunglah Tika pergi dengan sendirinya, sehingga ia bisa bernapas lega. Kring! Kring! Fitri berjalan cepat saat dering telepon rumahnya itu nyaring terdengar "Halo, assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam, Pak Dika ya?" "Iya, Fit, mama mana? Saya mau bicara." "Ibu ke rumah Pak Haji Slamet, Pak. Mau minta didoakan kamar Pak Dika. Bu Tika udah pergi dari rumah Pak." "Apa? Tika pergi? Naik truk apa terbang?" "Ha ha ha ... kabur dari jendela kamar." "Alhamdulillah akhirnya. Makasih informasinya Fitri. Nanti saya telepon balik deh. Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Bukan main senangnya hati Dika, begitu mendengar istrinya akhirnya menyerah. Ia tidak perlu bertengkar hebat karena kalimat talak, cukup wanita itu tahu diri dengan penyakitnya saja. Semua pekerjaan di kantor ia kerjakan dengan semangat karena ia sudah memutuskan, mulai hari ini, ia akan selalu mengunjungi warung baso Nuri, sepulang ia bekerja. Pokoknya setelah masalahnya dan Tika selesai, maka ia akan terus mendekati Nuri agar mau kembali bersamanya. Sore harinya, tepatnya pukul lima lebih dua puluh menit. Dika sudah kembali memarkirkan motornya di warung baso Nuri, tetapi ia tidak melihat keberadaan mantan istrinya itu. Hanya ada karyawannya wanita dan lelaki yang tengah menyajikan baso pada pembeli. "Permisi, Nuri ke mana?" tanya Dika pada Winda, sambil memandangi sekeliling warung. "Oh, Bapak yang kemarin ya. Bu Nuri ada di kontrakan. Ada suaminya datang." Wajah pria itu langsung menegang. Mau apa Daniel mengunjungi Nuri? Bukankah mereka akan berpisah? "Ya sudah, saya titip motor ya. Saya mau ke kontrakan." Dika berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Winda. Pikirannya tidak menentu saat mendengar Daniel ada di rumah Nuri. Rencana rujuknya dengan Nuri bisa berantakan kalau sampai Nuri balikan lagi dengan Daniel. Semakin dekat dengan rumah Nuri, detak jantungnya semakin tidak beraturan. Dika menelan ludah saat pintu rumah wanita itu tertutup, tetapi ada sepasang sepatu mahal di depan pintu rumah kontrakan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada tetangga yang melihat dirinya. Dengan mengendap-endap, Dika berjalan menuju jendela kamar Nuri. Ia berharap tidak menemukan suara apapun di dalam sana. Dika menempelka telinga di tembok rumah Nuri dengan pelan dan hati-hati. Tentu saja ekor matanya terus mengawasi gerak-gerik tetangga yang mungkin saja saat ini tengah melihatnya. Tidak ada suara. Apa jangan-jangan, Nuri dan Daniel tidur karena kelelahan itu? Batinnya cemas. Wajahnya pun semakin berkeringat. Dika menyeka wajah basahnya dengan tangan, lalu ia pergi dari rumah Nuri untuk segera ke warung baso. "Mbak, suami Nuri datang dari jam berapa?" tanya Dika tiba-tiba saat Winda sedang menuangkan kuah baso ke dalam plastik. "Apa?" tanya wanita itu sembari menatap wajah Dika dengan bingung. Dika berdecak. "Itu suami Nuri datangnya dari jam berapa?" tanya Dika sambil memperhatikan mobil mewah yang parkir persis di samping motornya. "Baru sepuluh menit, Pak." "Kamu yakin?" tanya Dika meragukan. Pelayan Nuri itu mengangguk yakin. "Wah, baru dong! Cepet banget kalau gitu, ha ha ha... " Winda semakin bingung dengan tamu bos-nya. Apa maksudnya baru dan cepat? "Oke, makasih." Dika kembali berjalan masuk ke dalam gang rumah kontrakan Nuri. Ia mengulum senyum sepanjang jalan karena menertawakan betapa loyonya Daniel yang ternyata baru lima menitan, tapi udahan. Dika kembali menempelkan telinganya di dinding kamar Nuri. Benar-benar tidak ada suara di dalam sana. "Dika, apa yang kamu lakukan di situ?" suara teguran itu membuat Dika mematung. Jantungnya seperti baru saja dicabut oleh sang Maha Pencipta. Ia tidak menemukan cara lain untuk berkilah, kecuali dengan pura-pura pingsan. Brugh! "Ya Allah, malah pingsan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD