Bab 03. Saat Tengah Malam

1053 Words
Sudah memasuki bulan kedua semenjak kepergian Bella dari rumah. Elwin masih anteng karena Gendis masih bekerja untuknya. Pembantu seksi itu belum memberikan tanda-tanda jika ia akan berhenti dengan alasan menikah. Namun, tiba-tiba keresahan itu datang untuk Elwin. "Baik budhe, tapi nanti dulu tunggu majikan Gendis pulang. Kasihan anak sama suaminya gak ada yang rawat." Elwin memergoki pembantunya sedang menelepon di dapur saat tengah malam begini. Namun, tampak berbeda kali pertama Elwin melihat Gendis menggunakan piyama tidur yang terlihat seksi. "Ada apa?" "Eh Bapak!" Tentu saja secara spontan Gendis memutuskan sambungan teleponnya. Ia kaget dan merasa risih dengan pakaiannya sendiri. Lagi-lagi ia merasa tidak enak. "Maaf saya kira gak ada yang ke dapur, jadi saya berpakaian seperti ini. Maaf kalau saya lancang!" "Santai saja, ini bukan jam kerja kamu," balas Elwin. "Bapak mau apa ke dapur? Apa tiba-tiba lapar? Atau ingin kopi?" Elwin tersenyum sambil menggeleng, kemudian menuntun pembantunya itu untuk duduk di meja, dengan tampang lugu Gendis pun menurut saja. Kini, tanpa mengelak tangannya digenggam oleh majikannya. "Kamu bicara sama siapa tadi?" "Sama budhe, dia malam-malam telepon," balas Gendis. Entah kenapa, lama kelamaan dirinya mulai risih, terlebih dengan tatapan Elwin yang berkelana ke seluruh tubuhnya. Pasalnya saat ini kondisi pakaian Gendis sangat terbuka di bagian d**a. "Dia bilang apa?" tanya Elwin. Pria itu masih betah menggenggam tangan pembantunya. "Waktu pernikahan saya semakin dekat. Budhe minta segera berhenti, tapi saya bilang tunggu sampai ibu pulang. Saya khawatir nanti siapa yang melayani kebutuhan orang rumah," balas Gendis. "Bagaimana caranya agar pembantu ini tidak jadi pulang? Aku gak mau kehilangan dia di rumah. Sial sekali kenapa dia harus menikah?" Gendis merasakan tangannya semakin diremas kuat. Namun, ternyata itu di luar kesadaran Elwin. "Bapak tangan saya sakit!" Akhirnya Gendis mengeluh. Dengan spontan, Elwin melepaskan tangannya dan baru tersadar apa yang baru saja ia lakukan itu. "Ah, maaf Gendis!" "Gak apa-apa, Bapak lagian ngelamun terus. Ada apa si?" Dari gaya bahasa Gendis berkomunikasi terlihat dan terdengar bagai seorang teman. Ya, itu karena Elwin selalu memperlakukannya seperti keluarga atau orang paling dekat. "Saya lagi mikirin kalau kamu pergi nanti gimana? Anak-anak sudah seperti kedagingan, lepas dari tangan kamu saja mereka teriak. Meski ada Bella saya yakin gak akan sama, kamu tetap ibu untuk mereka. Apalagi Ninu, anak itu jauh banget sama ibunya," balas Elwin. "Nanti terbiasa kok Pak, saya juga gak mungkin kayak gini terus 'kan? Mau bagaimana pun mereka harus dekat dengan ibu, orang tua yang sesungguhnya." Helaan napas berat terdengar begitu kasar. Elwin menatap lemah. "Apa gak bisa tunda pernikahan kamu sampai beberapa tahun lagi? Masalahnya kamu masih terlalu kecil untuk berumah tangga apalagi sama laki-laki yang tidak kamu cintai. Saya rasa kamu dengan Amora hanya terpaut beberapa tahun saja, jadi menurut saya kamu lebih pantas kuliah bukan menikah!" "Masalahnya juga ini bersangkutan dengan budhe Pak, kalau dipilih kerja atau enak jadi istri orang, saya tentu pilih bekerja!" "Kamu mau saya bantu?" "Bantu apa?" "Batalin pernikahan kamu!" *** Keesokan pagi saat sedang menyiapkan sarapan, tiba-tiba Amora si gadis sulung Elwin datang dengan wajah cemberutnya. "Kenapa ...?" Elwin yang mengerti ada masalah selalu bertanya dengan nada yang lembut. "Di sekolah ada pemanggilan orang tua ...." "Ya sudah biar hari ini Papa gak ngantor dulu." Ekspresi anak itu semakin lemah, ia memang selalu merutuki keadaan saat di mana harus bersangkutan dengan orang tua. "Papa ... tapi harus lengkap. Ini rapat siswa baru. Nasib banget punya orang tua sibuk!" Elwin pun menghela napas, karakter anak sulungnya yang keras kepala itu terkadang sulit diatur. Amora memang judes cenderung sombong karena hidupnya dari kecil selalu diistimewakan dengan harta. "Biar nanti Bibik sama Pak Anton ya sebagai perwakilan saja," sahut Gendis. Anton merupakan supir pengantar-jemput Amora. "Gak mau, orang tua aku orang terpandang bukan pembantu!" "Mora mulut kamu!" tegur Elwin membentak. Amora pun merengek. "Papa ... tapi aku gak mau!" "Ya sudah, biar nanti Papa sama Bibik Gendis. Kalau gak mau, terserah gak usah ada yang datang sekalian!" Mendengar itu, Amora terpaksa menerima meski sedikit menggerutu dalam hati. "Kalau kamu malu biar nanti Bibik tolak keputusan ayah kamu," ucap Gendis. "Gak usah yang ada nanti aku yang kena omel, ujung-ujungnya gak ada yang dateng. Pokoknya Bibik jangan sampai buat malu, dan tolong berdandan lah seperti mama!" cetus Amora. Seketika Gendis dibuat sadar akan dirinya. Ia sudah sering mendapat perlakuan seperti itu, jadi tak ayal lagi. "Sebenarnya yang dibilang Bapak kalau saya dekat dengan anak-anak itu salah, mungkin cuma Ninu. Untuk nona Amora ini lebih kritis dengan orang-orang di bawahnya," batin Gendis. Gadis itu pun beranjak memasuki kamar, berniat mencari pakaian yang bagus dan layak untuk dikenakan di tempat umum. Ia akan berperan menjadi nyonya Bagasarya beberapa jam nanti. "Gak ada yang bagus ...," keluhnya. Tak lama kemudian tiba-tiba datang sang majikan ke dalam kamar, dan terlihat ada sesuatu di tangannya. "Pakai ini ya. Saya gak sempat beli baju, jadi pakaian Bella ini saya rasa muat di kamu!" ucap Elwin. "Pak, ini gak sopan namanya." Gendis belum mau menerima pakaian itu. "Kalau kamu yang ambil sendiri, cari sendiri, tanpa izin dan langsung pakai, itu baru gak sopan. Ini 'kan, saya yang bawa. Santai saja, baju itu sudah lama gak dipakai!" Gendis melihat aneh dress mini berenda tipis itu dengan warnanya yang cukup mencolok, tetapi terkesan elegan dan mewah. "Kalau saya pakai ini ke sekolah yang ada saya dibilang mau fashion show, Pak!" celetuk Gendis. Elwin terkekeh. "Enggak ... kalau kamu tau, di sana lebih banyak orang-orang tua yang hadir seperti mau kondangan. Kebanyakan pamer kasta, bukan niat untuk anak!" Tak heran, sekolah baru anaknya itu memang dikenal sangat elit, mungkin lebih banyak diisi dengan anak-anak pejabat tinggi. Termasuk Elwin sebagai orang terpandang. "Baiklah, saya pakai deh!" "Saya tunggu di luar!" Elwin keluar dari kamar dengan hati yang tak sabar menyaksikan bagaimana gadis seksi itu memakai pakaian ketat. Sambil menunggu ia menghampiri anaknya. "Pah, aku gak mau ya dia dandan kayak orang udik. Teman-teman aku mamanya keren-keren semua, jangan sampai buat malu!" tegur Amora. "Tunggu sebentar sampai dia keluar, setelah itu terserah kamu mau menilai apa. Kamu gak mau diwakili dia berarti Papa juga gak akan datang!" balas Elwin dingin. Sementara itu, sesosok gadis yang mereka tunggu-tunggu sedang berjalan menghampiri. Terlihat kesusahan karena high heels yang digunakan berukuran tinggi. "Wahh kalau kayak gini gak bakal malu-maluin!" Akhirnya, Amora terkagum. "Gak sia-sia aku pilihkan gaun ketat itu, bahkan dia lebih cantik mengenakannya dibandingkan Bella," batin Elwin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD