Bab 04. Perbuatan Elwin

1105 Words
Sepulang dari sekolah, acara rapat orang tua berjalan dengan lancar. Namun, Gendis pulang dalam kondisi menangis. "Andai mama yang hadir bukan dia!" ketus Amora. "Sudah keterlaluan kamu Amora, selama kamu hidup aku tidak mengajarimu seperti itu. Kalau begini Papa terpaksa pindahkan kamu ke sekolah biasa!" tegas Elwin. Pria itu pergi meninggalkan anaknya yang mulai menangis histeris. Ia lebih memilih untuk menghampiri Gendis. "Gendis maafkan anak saya!" Elwin melihat Gendis masih menangis di kamarnya. Pembantu itu dimaki habis-habisan oleh sang anak majikan. Bukan sebab mempermalukan, melainkan karena Amora mendapat ledekan dari teman-temannya. Di saat memamerkan orang tua serta jabatannya, mereka bilang, Gendis bukanlah ibunya, Gendis lebih diyakini sebagai kakak, bahkan mereka blak-blakan mengatakan gadis itu lebih cantik dari Amora. Namun siapa sangka, bukan karena itu yang membuat Amora marah besar. Ya, Amora murka karena Gendis diledek sebagai istri muda ayahnya, dan sang ayah pun dituding memiliki istri dua. Alhasil, amarah itu ia luapkan kepada Gendis yang tidak tahu apa-apa. "Gak apa-apa, Pak. Saya gak marah, saya cuma sakit hati sama ucapan non Amora," balas Gendis. Amora memaki Gendis dan mengatakannya sebagai w*************a sang ayah, ia juga mencemoohkan pembantu itu sebagai orang kampung yang mencari pria kaya. Padahal, sebelumnya Amora sempat kagum melihat penampilan Gendis tadi. "Saya gak akan lagi minta kamu ikut ke acara kayak gitu. Tolong maafkan, Amora ya!" Gendis mengusap air matanya, ia tetap memaksakan senyum kepada Elwin. "Saya mau pulang besok, tolong segera cari pengganti saya, Pak. Saya mau menikah!" "Gendis saya 'kan, bilang mau bantu kamu batalkan pernikahan itu. Jangan karena masalah ini kamu marah sampai mau resign. Istri saya belum pulang, siapa yang melayani kebutuhan kita?" Seketika Elwin ketar-ketir. "Maka dari itu saya minta Bapak segera carikan pengganti saya, tolong kali ini keputusan saya untuk pulang sudah bulat. Saya sudah memikirkan matang-matang, dan saya sudah menerima pernikahan itu dengan baik!" Akhirnya Elwin tidak bisa berkutik untuk mengeluarkan kata-kata sebagai cegahan. Ia mengira jika keputusannya itu memang karena masalah tadi. "Mau bagaimana juga dia memang marah karena anakku," batin Elwin. Elwin lebih memilih keluar dari kamar, berharap suasana pembantunya itu adem kembali dan mau merubah keputusannya. Namun, kini ia justru diperlihatkan dengan sang putri yang tengah membawa koper. "Dengan kamu pergi seperti itu, gak buat Papa merubah keputusan tadi!" "Papa jahat. Apa sebegitu pentingnya pembantu penggoda itu? Papa lebih mengutamakan dia daripada aku, anak Papa! Aku tau Papa suka 'kan, sama dia?" teriak Amora masih ditanggapi santai oleh Elwin. "Papa sudah berkhianat sama Mama. Aku yakin pembantu itu pasti menggoda Papa, atau mungkin sudah menyerahkan tubuhnya ke Papa?" sambung Amora dan itu berhasil membuat amarah ayahnya keluar. "Mulutmu gak sesuai dengan usia, Amora. Pikiranmu saja yang jahat, jangan terus menjelek-jelekkan dia. Sekarang cepat pergi kalau memang kamu mau pergi!" Dengan bergelimang air mata, Amora menyeret kopernya menuju pintu keluar. Ia terus mengumpat yang terdengar kata-kata buruk tentang ayahnya dan juga sang pembantu. "Astaga ... apa ini, hari yang sangat buruk. Pembantuku marah, sementara anakku makin tidak terdidik." Elwin tidak menyangka kenapa anak yang ia tahu sangat polos dan penurut itu tiba-tiba berubah sombong semenjak masuk di sekolah barunya. Namun, ada yang lebih ia khawatirkan, pembantunya saat ini sedang berusaha untuk pergi dari rumah. Hal yang tidak henti-henti dipikirkan. "Bagaimana caranya agar pembantu itu tidak pergi? Aku tidak mau dia digantikan yang lain!" *** Malam hari, meski melepas sang anak pergi begitu saja Elwin tetap menanyakan kabarnya. "Ke mana Amora pergi?" "Ke rumah Nyonya Sania, Tuan. Saya mendapat kabar dari pembantu di sana," ucap si kepala pelayan yang merupakan orang terlama bekerja di rumah ini. Sudah diduga sebelumnya, sang anak memang tidak jauh-jauh dari mertuanya, terkadang hanya untuk mengadu dan menginginkan sesuatu yang tidak dapat darinya, Amora selalu pulang ke rumah sang nenek, yaitu ibu dari Bella. "Kalau begini aku tenang. Sekarang Ninu di mana?" "Tadi sudah ditidurkan Gendis, tapi sekarang Gendis sepertinya mau berberes. Dia meminta saya untuk segera mencari penggantinya." Pusing, ya itu yang semakin dirasakan oleh Elwin. Ada hasrat ingin menghampiri, tetapi ia takut membuat suasana pembantu cantiknya itu semakin memburuk. "Biarkan saja. Tolong siapkan minuman di bar, saya mau santai di sana!" Elwin lebih memilih cuek, ia hanya ingin menetralkan sakit kepalanya dengan minuman yang justru membuat pusing. Percayalah, sebenarnya ada ketakutan besar di hati pria itu, saat di mana pembantu cantiknya akan benar-benar angkat kaki dari rumah. "Beri aku satu cara saja untuk menahan dia agar tetap di rumah. Gendis terlalu baik untuk dilepas." Dua botol bir akan menjadi teman di dalam bar pribadi. Jika malas keluar untuk menghibur diri dengan minum-minuman, bagi Elwin mabuk di rumah pun jadi. Semua hanya di saat ia sedang dalam masalah. "Gendis itu idaman para lelaki di masa depan, termasuk saya," gumamnya. Tiba-tiba muncullah sebuah notifikasi di ponsel, atensinya pun teralihkan. [Jemput aku di bandara Mas, aku landing besok.] Tidak ada hasrat untuk sekedar membalas, bahkan membacanya saja malas sampai akhir ponsel itu kembali ke posisi semula. Elwin melanjutkan acara membuat kepala pusingnya, ia hanya ingin tenang dengan pikiran yang hilang sesaat. Setidaknya sampai benar-benar ia mengantuk. Namun, belum sampai dua botol itu habis matanya sudah merasa lemah, pikirannya pun kabur, dan tinggal tersisa sedikit kesadarannya. Ia pun memutuskan untuk menyudahi kegiatan meminumnya itu dan memilih kembali ke kamar agar efek alkohol dari minuman tersebut tidak menumbangkan kesadaran diri sepenuhnya. Namun karena bar berdekatan dengan ruang kamar pembantu, Elwin tak sengaja mendapati Gendis sedang berkemas. "Apa dia benar-benar akan pergi?" tanya Elwin pada dirinya. Reaksi minuman sudah mampu menguasai tubuhnya, kini pria itu sudah merasakan pusing meski baru sedikit. "Bapak ada apa masuk ke kamar saya?" Elwin tidak menjawab ia hanya menatap dengan pandangan sayu-sayu. "Pak ...?" Sekali lagi Gendis memanggil. "Kamu benar mau resign?" "Saya kan, sudah bilang sebelumnya. Saya mau menikah, dan untuk berhentinya saya sebagai pembantu di sini bukan karena kejadian tadi, tapi memang karena mau mengundurkan diri. Saya harus pulang kampung!" "Kalau saya melarang, bagaimana?" Gendis membuat ekspresi jutek, ia merasa tuan majikannya itu tampak aneh dan mengatur. "Bapak gak ada hak mengatur seperti itu. Kalau saya ingin pulang, ya sudah berarti itu yang saya lakukan. Saya pulang juga gak minta apa-apa kok!" Ucapan itu berhasil menciptakan amarah, pikiran dan hati yang tidak mendukung untuk sabar, membuat Elwin bertindak di luar dugaan. "Bapak mau apa?" Gendis mulai ketakutan, saat di mana Elwin mengunci pintu kamarnya. "Kamu harus tetap di sini Gendis!" Gendis bagai segumpal daging yang siap disantap harimau. Bagi pandangan Elwin, pembantu itu sudah saatnya menjadi penyalur hasrat. "Pak, jangan, Pak! Saya mohon ... jangan lakukan ini!" Gendis sudah berada di kukungan Elwin, bahkan gadis desa itu sudah hampir bugil. "Ini satu-satunya cara agar kamu gak pergi, Dis. Saya gak mau kamu resign hanya untuk menikah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD