Bab 02. Fantasi Liar Majikan

1051 Words
Pagi di hari libur. Elwin tidak sadar jika hari ini adalah waktunya bersantai, ia hampir berburuk sangka karena pembantunya tidak membangunkan di jam yang sudah terbilang sangat siang. Pria itu beranjak dari tempat tidur, dan ingin melihat kondisi di luar hari ini. Namun ternyata, semua orang-orang yang ia cari sedang berada di sebuah kolam. "Astaga apa ini?" Elwin membatin di kala melihat Gendis sedang mengajari anak-anaknya berenang dengan pakaian di luar pekerjaan. Ya, gadis itu tidak mengenakan seragamnya, justru memakai baju yang layak digunakan untuk renang. Sudah tentu sangat seksi hingga membentuk setiap lekukan tubuhnya. Apa salah mengagumi pembantu seperti itu? Apa suatu kesalahan juga jika majikan menyukai sesosok pekerja di rumahnya? Gadis yang memberikan pelayanan layaknya seorang istri yang taat pada suami, selalu membuat Elwin merasa beruntung memiliki pembantu sepertinya. "Aku kehilangan sosok Bella, tapi aku bersyukur dia justru memberikan penangkal rasa kesepianku. Jangan salahkan aku jika nanti aku bisa saja lebih mencintai pembantuku ketimbang istriku sendiri," batin Elwin. "Makin hari gadis itu semakin cantik, dan menggoda," gumamnya. "Papa!" Tiba-tiba teriakan seseorang membuat fantasi liar di pikirannya itu buyar seketika. Kini pria tersebut terciduk sedang memandangi dua orang di sana. Sekarang, mau tidak mau ia harus menghampiri. "Senang main air?" Elwin mengangkat tinggi-tinggi putrinya dari kolam, lalu wajahnya ia cium di berbagai sisi. "Diajal Bibik syantik lenang!" Anak berusia 4 tahun saja dapat menilai jika pembantu itu cantik, jadi sudah tak ayal kenapa ayahnya sangat mengangumi. "Pak, maaf tadi saya dipaksa main air sama Non Ninu, jadi saya lepas seragam saya!" Gendis yang masih di dalam kolam merasa tidak sopan karena ia tidak memakai seragamnya. "Gak apa-apa, santai saja!" balas Elwin. Ia kembali menuruni putrinya, dan gadis mungil bernama Nisya Nuria yang kerap dipanggil Ninu itu kembali bermain dengan Gendis. Kini, dengan tersenyum Elwin menyaksikan mereka berenang kembali. Gendis tampak gemulai tanpa merasa risih jika saat ini tubuhnya menjadi tontonan Elwin. Perempuan itu terlalu polos untuk mengenal kepribadian majikannya. "Andai wanita yang seperti ini ada di club, mungkin aku lebih sering ada di sana untuk bersenang-senang dengan tubuhnya. Memang seharusnya aku tidak menyangkal jika semalam aku benar-benar ingin mengajak Gendis untuk menjadi selingkuhan. Aku justru berdalih seakan-akan itu bercanda," batin Elwin. Elwin sedang membayangkan bagaimana merasakan pembantunya yang super memesona itu. Ia dapat menerka apa saja yang ada di dalamnya, sampai terkadang pikiran itu merusak konsentrasi. "Pak ...." Tiba-tiba Elwin terkejut melihat pembantunya datang menghampiri. Pria tersebut mengira jika Gendis sedang bercanda mencoba menggodanya, karena ia tampak berjalan mendekati dengan pakaian yang dibuka setengah, dapat ia lihat bagaimana bentuk tubuhnya yang begitu menggoda. "Bapak ganteng banget!" Elwin mulai berdegup, terlebih saat pembantu itu menatapnya dengan tatapan yang aneh. Namun, Gendis langsung tersenyum sampai keterkejutan hadir saat di mana Elwin merasakan tubuhnya menyatu. Elwin mendapat serangan mendadak, ia merasakan ciuman yang super dahsyat nikmatnya serta sentuhan yang membawanya pada puncak gairah. Pria itu jadi melunjak, lebih menuntut di kala pembantunya semakin berani menggoda. Ia bahkan nekat membuka baju di hadapannya, tetapi belum sampai terjadi tiba-tiba .... "Pak, ngapain ngelamun di situ? Sambil senyum-senyum pula!" Seseorang pembantu bertugas membersihkan kolam, menegur. Seketika imajinasi liar yang tak sengaja singgah di pikiran itu buyar. "Sial pikiranku semakin rusak karena pembantu itu!" Akhirnya Elwin tersadar dari khayalannya. Betapa malunya ia jika yang menegur tahu alasan kenapa ia tersenyum sendiri seperti itu. "Di mana Gendis dan anakku?" tanya Elwin. "Sudah dari tadi masuk ke dalam, Pak!" Elwin mengusap-usap wajah, heran dengan isi kepalanya itu. "Lama-lama aku bisa gila gara-gara dia!" *** Menjadi seorang ayah harus pintar-pintar membagi waktu, apalagi anaknya sudah dua. Yang satu harus dijaga ketat karena mulai dewasa, sementara yang satu masih butuh banyak kasih sayang. Terkadang Elwin merasa sedih, dalam perkembangan mereka tidak ada sosok ibu yang menjadi pendamping. "Dis saya berharap kamu benar-benar bisa jadi ibu pengganti untuk anak saya!" Pria itu sedang mengempuk-empuk putri bungsunya yang sedang tidur di pangkuan. "Jadi maksudnya Bapak ajak saya nikah?" Elwin terkekeh geli, padahal ia ingin sekali serius saat berbicara, tetapi pembantunya yang polos itu ternyata sulit mengerti. "Ya sudah kamu mau enggak?" Elwin bergurau. "Gak Pak, saya gak mau jadi madu!" "Ya, sudah kamu jadi lebahnya aja. Sengat saya sampai bengkak!" Candaan itu berhasil membuat Gendis tertawa. Namun, suasana kembali canggung, apalagi saat Elwin berhenti tersenyum. "Saya mau kamu jadi pembantu sekaligus ibu untuk anak saya. Berapa pun uang yang kamu mau akan saya bayar, bahkan saya akan sering kasih kamu tip kalau kamu terus menggantikan peran istri saya seperti ini!" "Tapi Pak, saya gak akan selamanya di sini, saya juga punya kehidupan di kampung yang sewaktu-waktu akan kembali lagi ke sana. Apalagi, waktu pernikahan saya semakin dekat!" balas Gendis bertutur sedih. "Kamu mau menikah?" Elwin tentu terkejut, entah kenapa merasa kecewa dan tidak rela. "Iya Pak, dijodohkan dengan budhe. Aku yang punya hutang budi menurut saja, walaupun aku gak suka." "Ternyata dijodohkan. Sepertinya harus diberantakin," batin Elwin. "Pria mana yang mau dijodohkan denganmu?" "Anak dari juragan padi, tapi tenang aja kok Pak, itu masih lama masih sempat sampai nunggu ibu pulang!" "What? Sampai istri saya pulang?" Menurut Elwin Bella pergi tidak akan lama meski dalam hitungan bulan. Namun, untuk kepergian gadis itu Elwin mengira sangat cepat karena ia ingin Gendis bekerja bertahun-tahun di rumahnya. Kekecewaan Elwin semakin menjadi saat melihat pembantunya mengangguk sebagai tanggapan. "Kalau sudah tau mau dijodohkan kenapa terima tawaran istri saya untuk kerja di sini?" Elwin mulai mengorek pembantunya. "Karena saya butuh uang, gak mau selalu bergantungan sama budhe. Saya yatim piatu, cuma budhe sama pakde yang mau rawat sampai saya besar begini." "Kalau saya saja yang menikahi kamu, bagaimana? Saya akan kasih uang banyak nanti!" Senyuman intrik yang terlihat dari bibir majikannya itu, membuat Gendis tertawa, meski sempat terkejut. "Bapak bercanda mulu!" Elwin tidak menanggapi, ia hanya terus tersenyum seakan ucapannya tidak serius. "Aku tidak bisa serius meski sebenarnya itu yang aku inginkan," batin Elwin. Melihat kepolosan wajah Gendis membuat Elwin gemas, tetapi ia juga iba. Gadis yang masih terbilang labil itu harus menjadi pembantu di saat anak seusianya sedang menempuh pendidikan yang tinggi. "Mungkin setelah saya keluar dari rumah ini, saya yakin ibu bakal berubah. Nanti saya akan bilang perlahan-lahan apa yang dirasakan Bapak sekarang. Menurut saya bukan cuma Pak El, anak-anak juga butuh ibu setiap saat," tutur Gendis. "Tapi kalau saya maunya cuma kamu yang selalu layani kebutuhan kita, bagaimana?" "Maksud Bapak?" "Saya gak mau kamu resign!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD