2 ~ Sudah Kukatakan

1483 Words
Anggi sudah kembali dari acara mengantar Angela sampai depan restoran. Ia menuju ke arah Aditya yang masih termenung di tempatnya. Bahkan kehadiran Anggi belum mampu menyadarkan pria itu dalam lamunannya. "Mas Adit," panggil Anggi. "Eh, iya Sayang. Ada apa? Sejak kapan kamu di sini?" "Ish Mas Adit tuh kenapa sih dari tadi aneh tau gak? Mas Adit kenal sama klien kita itu?" Aditya tampak terdiam, Angela menyeretnya ke 10 tahun hidupnya yang ingin ia lupakan. Masa yang membyat tabiatnya tak karuan, membentuk sisi buruk dalam hidunya dan masa di mana semua rasa sakit atas penghianatan tepat di sana. Aditya menghela napasnya, mungkin memang Anggi harus tahu semua tentangnya. "Duduk dulu, Sayang. Kamu mau berdiri terus?" Anggi langsung duduk di samping Aditya, rasanya ia juga penasaran dengan siapa wanita itu. Penasaran apakah ia akan menjadi ancaman dalam rumah tangganya atau tidak, walaupun ia sudah menjadi istri sah Aditya tapi waspada pun boleh bukan? "Jadi, dia itu namanya Angela, dia—" Tring! Tring! "Ck!" Anggi mendecak saat panggilan lagi-lagi bersumber dari ponselnya. Di nana itu artinya ia harus menelan lagi rasa penasarannya. Tapi tak mungkin ia mengabaikan panggilan itu karena setelah dilihat benar saja nama klien Aditya menelponnya. Ia mendengkus kesal tapi tetap mengangkat panggilan dari kolega Aditya yang lain. Sedangkan Aditya hanya menghela napasnya dan menatap istrinya kembali profesional dalam pekerjaannya. "Mas, Pak Henry minta ketemu di daerag Kemang? Gimana?" ucap Anggi sedijit berbisim serta menjauhkan ponsel itu dari dirinya. Aditya hanya mengangguk setuju. "Iya terserah saja, bilang aja alamatnya di mana nanti kita ke sana." "Oke, Mas." Anggi pun kembali berbicara dengan seseorang di ujung panggilan itu dan beberapa saat kemudian panggilan itu berakhir. "Nggi, kamu beneran gak papa? Gini deh, untuk ketemu sama Pak Henry biar saya sendiri saja. Kamu pulang aja ya ...," ujar Aditya khawatir. "Mas, aku baik-baik aja. Udah gak papa ya ... aku beneran gak papa." Senyum itu kembali Anggi tunjukkan untuk meyakinkan Aditya. •°•°•° Sementara di tempat lain, Angela tengah melihat-lihat berbagai berita tentang Aditya di internet. Ia yang baru saja berada di Indonesia satu minggu lalu bahkan tak menyangka bahwa perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaannya adalah milik Aditya. Ia men-scroll layar ponselnya hingga berhenti pada kabar pernikahan pria itu. Ternyata udah punya istri ya, tapi gak ada salahnya 'kan? Angela membatin. Ia lantas menoleh ke arah Inez, perempuan berkaca mata yang tengah memandangi layar ipadnya untuk mengecek perihal pekerjaan. "Nes, kamu tau siapa istrinya Aditya?" tanya Angela pada asisten pribadinya yang sudah lama dekat dengannya bahkan bisa seperti keluarga baginya. "Maksut Ibu, Anggi? Itu tadi Anggi, Bu. Sekretarisnya Pak Aditya yang presentasi tentang skema proyeknya itu istrinya." Mata Angela membulat mendapati hal itu. Ia mengingat lagi rupa sekretaris Aditya dalam ingatannya. Wanita itu tampak sederhana walau memang cantik dan pintar tapi sepertinya tidak pantas dengan Aditya. "Kamu bercanda Nes? Mana mungkin?" "Sebentar Bu saya bisa menunjukkan kebenerannya." Tampak Inez berkutat dengan ponselnya tengah menaik turunkan layar itu. Sampai beberapa detik kemudian, Inez menyerahkan ponselnya pada Angela. Dan benar saja, di foto yang ada di ponsel Inez lebih jelas daripada foto yang beredar di media. Gak mungkin 'kan? Tapi ini .... Angela membatin lagi masih dengan menatap foto itu. "Nez, cari tahu nomer pribadi Aditya, jangan sekretaris atau istrinya itu. Aku tunggu sampai besok. Bisa?" "Bisa, Bu." Angela tersenyum ramah tapi hatinya tengah tersenyum penuh arti. Inez memang paling mengerti keinginannya dan tanpa banyak bicara ia selalu berhasil mendapatkan apa yang ia butuhkan. Dan saat ini yang ia butuhkan adalah kontak pribadi Aditya. Bagaimana pun caranya ia harus bisa mendapatkan kontak pribadi pria itu. •°•°•°•° Senja mulai menampakkan keindahannya. Semburat warna jingga dan biru yang bercampur memanjakan mata yang memandang. Aditya masih berkutat dalam senyum karena meyakinkan salah satu dari beberapa kolega agar tetap terjalinnya kerja sama yang sudah terjadi. Di sebuah cafe bergaya modern di daerah Kemang, duduklah Aditya, Anggi beserta Henry yang sejak 30 menit lalu membicarakan segala hal tentang kerja sama sampai ke hal di luar pekerjaan. "Maaf ya Pak Aditya saya mengajak bertemu sore begini," ujar Henry basa-basi. "Ah, tidak masalah Pak Henry. Jadi untuk kesepakatan nanti saya akan kirim lewat email saja, yang terpenting kita sudah setuju untuk hal mendetail lainnya." "Iya Pak Adit, saya tidak meragukan perusahaan Pak Aditya. Sudah tiga kali kita bekerja sama dan hasilnya fantastis," puji Henry pada kinerja perusahaan Aditya. Aditya hanya tersenyum menimpali pujian Henry. Semuanya memang butuh proses dan Aditya cukup berbangga atas hasil capaiannya karena memang perjuangannya tak main-main untuk mengangkat perusahaannya hingga ke taraf seperti sekarang. Selagi senyum terus terpancar di bibir Aditya, hal itu tak berlaku bagi Anggi. Peluhnya sudah meleleh di dahinya. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri di perutnya. Kepalanya menunduk sambil meringis dalam diam. Tak ingin mengganggu acara bercengkerama antara Aditya dan koleganya, ia terpaksa menahan rasa sakit itu sendiri sedari tadi. Tapi semakin lama rasa itu menimbulkan sedikit kram di perutnya. Hingga tanpa sadar ia meremas tangan Aditya yang berada di atas pahanya. Sontak saja Aditya menoleh ke arah sang istri, menatap wanita yang tengah menunduk tanpa ia tahu mengapa. "Anggi, kenapa? Kamu baik-baik saja?" tanya Aditya. Anggi menoleh ke arah Aditya perlahan, bibirnya sudah pucat dsm matanya sudah sangat sayu tapi ia masih saja menggelengkan kepalanya. Hingga akhirnya ia memutuskam untuk berdiri, berniat ke kamar mandi karena mungkin ia butuh mencuci mukanya agar terlihat segar. Namun, ada yang aneh. Ada sesuatu mengalir perlahan dari pangkal pahanya. Jantungnya seolah berhenti mendadak sampai ia memberanikan diri melirik ke arah bawah. Dan benar saja, darah mengalir perlahan dari pangkal pahanya. Air mata tatkala membendung di pelupuk matanya. "Mas Adit," lirihnya. Tubuhnya mematung di tempatnya sambil tetap menunduk. Kepalanya pusing dan pandangannya kabur. Aditya menatap Anggi bingung lantas ia melirik ke arah bawah kaki milik Anggi dan betapa kagetnya Aditya dengan kondisi istrinya. Segera ia berdiri dari duduknya dan tepat saja Anggi terhuyung begitu saja tanpa aba-aba. Serangan panik menyerang Aditya begitupun kolega pria itu tampak panik pula. Tak banyak berpikir lagi, Aditya segera melesat ke arah mobilnya untuk membawa sang istri ke rumah sakit. Sebelumnya ia meminta maaf pada koleganya karena tak menyelesaikan pertemuan tapi beruntungnya sang kolega memahami dan membiarkan Aditya membawa Anggi ke rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, rasa khawatir itu terus bersarang di benaknya, kadang ia sampai harus menggebrak setir mobil sampai memaki jalanan yang macet hanya karena khawatir kondisi Anggi dan kandungannya. Pikirannya sudah berkelana tentang hal-hal yang tidak diinginkan, tapi ia mencoba untuk berpikir positif. "Semoga gak kenapa-napa," ungkap Aditya yang melirik ke arah Anggi. Hingga, beberapa saat kemudian ia sampai di rumah sakit dan segera menghentikan mobilnya tepat di depan halaman gedung IGD. Kemudian ia menggendong tubuh istrinya dan berlari ke arah ruang IGD. Melihat kedatangan Aditya, para tebaga medis langsung sigap menyuruh Aditya menaruh Anggi di brankar menuju ke ruang IGD. Sedangkan ia masih menunggu di depan dengan cemas. Beberapa menit kemudian ~ Seorang dokter keluar dari ruangan IGD tersebut yang tampak celingukan mencari seseorang dan Aditya langsung berdiri dari tempat duduknya serta memberondong berbagai pertanyaan. "Dokter bagaimana istri saya? Dokter yang menangani istri saya di dalam 'kan? Dia baik-baik saja 'kan, Dok?" "Bapak, suami pasien di dalam atas nama Anggi?" Aditya langsung mengangguk cepat. Namun, tampak raut sang dokter yang sedikit berubah itu. Aditya menyadari hal itu dan entah apalagi yang akan ia dengar dari mulut sang dokter. Akankah menyakitkan atau justru melegakan? "Begini Pak, sebelumnya saya minta maaf tapi kami sudah mengusahakannya. Istri Bapak keguguran, kandungannya sangat lemah. Pendarahan yang terjadi menimbulkan lepasnya jaringan janin itu sendiri. Dan saya meminta surat persetujuan unyuk tindakan kuret Pak, ini ...," ucap snag dokter yang memberikam beberapa halaman untuk Aditya. Bukannya langsung mengambil lembaran-lembaran persetujuan di depannya, Aditya justru mematung. Mendadak duri tajam menusuk tepat di jantungnya. Kehilangan sang buah hati membuat pikiran Aditya tak fokus. "Benar-benar sudah tidak bisa dipertahankan, Dok?" Dokter hanya menggelengkan kepalanya. Kehamilan muda memang sangat rawan menurutnya, bahkan hal ini biasa terjadi jika sang ibu melakukan hal berat, itu yang menjadi patokan bahwa ibu hamil apalagi masih di bawah tiga bulan tak boleh melakukan pekerjaan berat. Dengan berat hati, tangan Aditya mulai menandatangani surat persetujuan itu. Ia tahu ini tak akan disetujui oleh Anggi, tapi semuanya tak lagi bisa dipertahankan. "Dok, bisa saya saja yang memberitahu istri saya tentang ini nanti?" "Boleh, Pak, silakan saja karena memang peran Bapak sangat penting di sini. Kalau begitu kami akan lakukan tindakan setelah ini." Aditya menganggukkan kepalanya. Selepas sang dokter kembali masuk ke dalam ruang IGD, Aditya duduk di kursi ruang tunggu dan menunduk dalam-dalam. Rasa kehilangan itu kembali menyeruak batinnya. Andai Anggi mau menuruti ucapannya, andai istrinya tak lagi bersikeras membantunya, semuanya tak mungkin seperti ini. Tapi, ia juga tidak bisa menyalahkan Anggi, semuanya sudah takdir dan ia mulai mempercayai bahwa semuanya hanya titipan dan bisa saja sewaktu-waktu di ambil kembali oleh pemiliknya. Aditya menghela napasnya, setelah ini ia harus mampu menenangkan Anggi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD