3 ~ Merelakan

2066 Words
Beberapa waktu berlalu, akhirnya sebuah brankar terdorong dengan tubuh wanita yang masih lemah di atasnya. Siapa lagi jika bukan Anggi. Aditya segera berdiri dan mengikuti langkah para medis menuju ke ruangan perawatan. Memang benar ucapan sang dokter apabila tak terjadi komplikasi maka waktu kuret akan berjalan lebih cepat setelah itu barulah pasien di pindahkan ke ruang perawatan. Aditya masih menatap Anggi tidak tega. Bagaimana ia harus mengatakan pada istri tercintanya bahwa barusan ia benar-benar kehilangan janinnya? Wajah pucat itu bahkan semakin membuat Aditya tak kuasa mengatakannya. "Terima kasih banyak," ucapnya pada para medis itu. Pria itu berjalan perlahan dan duduk di kursi di sisi Anggi. Menggenggam tangannya dan menatap istrinya sekali lagi. Bahkan rasa lelah yang mungkin sudah ia rasakan seharian ini hilang begitu saja berganti dengan rasa cemas dan resah. Tak lama setelah itu Anggi mulai mengerjapkan matanya, ia meneliti ruangan berdominasi warna putih itu dan pandangannya berhenti pada Aditya yang duduk di sampingnya. "Mas ...." "Syukurlah kamu sudah siuman," lirih Aditya yang mengusap kepala sang istri dengan lembut. "Mas, kenapa aku di sini?" Aditya menatap gamang, antara ingin mengatakan atau tidak. Ia tidak tega dengan Anggi tapi bagaimana pun wanita itu harus tahu mengenai kandungannya. "Saya minta maaf ya, saya lalai menjaga kamu." "Maksut Mas Adit apa?" tanyanya sembari berusaha untuk duduk. Aditya mengembuskan napasnya perlahan lalu menatap ke arah istrinya sekali lagi. "Kamu keguguran, pendarahan itu bikin bayi kita gak bisa bertahan. Itu sebabnya kamu harus di kuret tadi. Saya —" "Aa—apa Mas? Bayi aku? Anak kita —" Aditya mulai menggenggam erat tangan istrinya. Sedangkan Anggi yang tampak tak percaya mulai menitikkan air bening dari matanya. Rasa pilu itu menyeruak di batinnya. Rasa kehilangan itu mendominasi seluruh pikirannya. "Mas, kenapa? Kenapa Mas Adit ijinin, kenapa Mas Adit biarin anak kita —" Aditya langsung menarik istrinya dalam pelukannya. Tampak Anggi menangis sejadi-jadinya di pelukan pria itu. Rasa kehilangan itu membuat ia benar-benar merasa bersalah. "Saya minta maaf, tapi sudah tidak ada yang bisa dipertahankan Nggi. Ini semua salah saya, saya minta maaf," ujar Aditya. Anggi tak menjawab, ia masih terus menangis dalam pelukan pria itu. "Aku yang minta maaf Mas, aku gak dengerin kamu. Maaf gara-gara aku, bayi kita —" "Udah, kamu gak boleh mikir berat-berat. Kita ikhlasin semuanya. Mungkin kita memang belum siap. Tapi boleh tidak saya meminta satu hal sama kamu?" ucap Aditya yang saat ini menatap sang istri. Ia usap air mata yang mengalir di pipi istrinya. "Mulai sekarang, biar saya saja yang kerja. Kamu gak perlu ikut lagi, saya gak mau kamu kelelahan Nggi. Itu tugas saya bekerja bukan kamu. Kamu sekarang istri saya bukan bawahan saya lagi. Kamu mengerti?" lanjutnya. Tak ingin membantah ucapan sang suami lagi, Anggi menganggukkan kepalanya. Kembali dirinya tenggelam dalam pelukan suaminya. Setidaknya ia masih memiliki Aditya walau memang harus kehilangan sang buah hati karena kesalahannya sendiri. Tok! Tok! Suara ketukan pintu di ruang perawatan itu membuat kedua pasang mata melirik ke arah pintu bersamaan. Sedetik kemudian muncul Sandra dan Marco. Mereka sudah mendengar semuanya saat menelpon Aditya tadi, jadilah malam itu juga mereka buru-buru ke rumah sakit untuk menengok Anggi. Sandra langsung menghambur ke arah Anggi dan Aditya, wanita itu yang pertama khawatir dengan kondisi Anggi. "Anggi, kamu gak papa 'kan? Maaf ya gara-gara aku juga kamu kelelahan, kalo aku bisa handle pasti kamu gak perlu capek-capek begini. Aku gak tau kalo ternyata kamu hamil, Nggi." Sandra mengungkapkam rasa penyesalannya. Anggi masih bersedih tapi melihat raut Sandra yang merasa bersalah padahal bukan salahnya membuat Anggi tak tega. Sebisanya ia melesungkan senyumnya walau hatinya masih getir. "Kak, bukan salah Kak Sandra. Semuanya murni salahku Kak. Aku yang gak hati-hati. Tapi perhatian kalian udah cukup buat aku. Makasih," ucap Anggi yang langsung dipeluk oleh Sandra. Kedua perempuan itu yang dulunya bersitegang karena mencintai satu pria kini tampak sangat dekat. Sandra menganggap Anggi sudah melebihi dari rekan kerja bisa dibilang saudara dan Anggi pun menganggap seperti itu juga. "Lain kali kamu harus bilang kalo ada apa-apa. Biar aku ikut jagain kamu. Percuma aku jadi tangan kanan suami kamu tapi jagain istrinya aja gak becus." Anggi tersenyum tipis, bahkan memang bisa dibilang Sandra adalah orang baik yang ia temui setelah Aditya. Sandra tidak sejahat apa yang ia lakukan waktu itu, ia perempuan yang perhatian bahkan untuk hal-hal kecil sekali pun. "Emm, Marco, Sandra. Saya titip Anggi bisa? Saya pulang dulu sekalian membawakan baju istri saya. Bisa ya?" "Bisa Tuan." Marco menjawab sedangkan Sandra hanya menganggukkan kepalanya. Aditya pun segera berlalu setelah berpamitan pada istrinya. Melangkahkan kakinya keluar rumah sakit tersebut sambil memijit dahinya. Rasa pusing beralih menjalar kepalanya, entah rasanua kondisi badannya akhir-akhir ini sedikit melemah. Kesibukkannya di dunia pekerjaan membuat ia juga lalai menjaga kesehatannya sendiri, ditambah kehilangan sang buah hati membuat dirinya sedikit tak bersemangat. "Aditya," sapa seseorang. Aditya menolehkan kepalanya ke sumber suara dan didapati Angela berdiri di belakangnya. "Angela, kamu di sini?" tanya Aditya sedikit terkejut dengan kehadiran wanita itu. "Aku habis jenguk temenku. Kamu juga di sini? Siapa yang sakit?" tanya Angela balik. "Oh itu, istriku," balasnya singkat. Angela hanya menganggukan kepalanya saja. Ia masih tidak percaya jika perempuan di sisi Aditya tadi siang benar-benar istrinya bahkan ia masih mengelak jika istri Aditya bukan seperti yang ia lihat di restoran tadi.Kesempatan bertemu Aditya secara personal sangat jarang ia temui, maka ini saat yang tepat untuk berbicara berdua dengan pria di depannya itu. "Angela, aku pul—" "Dit, ada waktu gak? Bentar aja, kita ngobrol di cafe itu yuk," ajak Angela seraya menunjuk sebuah cafe yang tak jauh dari rumah sakit tersebut.. •°•°•°•° Suasana ramai mulai memadati sebuah cafe bertema vintage. Secangkir cappucino latte hangat masih tak tersentuh oleh sang pemilik sejak 10 menit yang lalu. Ia masih mengamati wanita di depannya yang tampak tak terganggu dengan acara diamnya sejak tadi. Padahal, Aditya menunggu wanita itu berbicara perihal ajakannya ke tempat ini. "Angela, sebenarnya ada apa?" tanya Aditya tak lagi sabar menunggu. Angela justru tersenyum manis pada Aditya. Ia pun meletakkan segelas orange juice di meja depannya dan saat ini justru menatap Aditya dengan lekat. "Kamu gak berubah ya ...," ucap Angela. "Maksutnya?" "Tetap sama. Tetap misterius tapi mempesona." Aditya memutar bola matanya sembarangan. Terkesima? Mungkin bukan saatnya melambung tinggi hanya karena ucapan Angela. Bahkan ia terlalu bosan mendengar ucapan itu dari wanita-wanita seperti Angela. "Kalau tujuanmu tidak jelas seperti ini, lebih baik aku pamit saja. Urusanku masih banyak." Aditya mulai beranjak dari kursinya dan berniat meninggalkan Angela. "Eits, mau ke mana sih Dit?" Angela mencoba mencegah kepergian Aditya dengan menarik tangannya. "Memangnya begini ya cara kamu bersikap sekarang. Aku salah satu klienmu loh, masa sikap kamu begini?" Aditya lupa, wanita di depannya ini bukan Angela yang dulu ia kenal. Ia bahkan tidak tahu bagaimana bisa ia mendapatkan seluruh apa yang ia miliki saat ini, tapi ia tak akan pernah ingin tahu hal itu lagi. Sedangkan, Angela menatap dengan mata yang berbinar, seolah apa yang ia ucapkan mampu menahan langkah Aditya agar tak pergi begitu saja. Ia sudah percaya diri dengan dirinya yang sekarang bahkan ia tak peduli jika pria di depannya sudah beristri. "Lepas Angela! Aku akan tinggal jika kamu membicarakan perihal pekerjaan, jika tidak maka aku akan pergi." Tarikan tangan Angela pada Aditya pun mengurai. Ia kembali duduk dan mengambil orange juice-nya. Menahan gelas itu di udara sembari menatap Aditya yang masih tampak berdiri di tempatnya. "Santai saja dulu, lagipula kita 'kan sudah gak ketemu 10 tahun. Memangnya gak boleh apa ngobrol aja tanpa ada unsur pekerjaan?" tanya Angela yang kini menyesap orange juice-nya dengan santai. Tak habis pikir. Bahkan dulu wanita di depannya lah yang tak memberinya kesempatan. Padahal dulu ia sudah mampu menerima apapun masa lalu Angela tapi wanita itu tetap pergi setelah membuatnya menjatuhkan hatinya pada sosok perempuan lagi. Sekarang, bahkan sudah sama sekali tidak ada rasa apapun untuk Angela, hatinya sudah terpatri nama Anggi yang menurutnya jauh lebih baik dari siapa pun yang pernah mengisi hatinya. "Sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Jika kamu ingin membicarakam tentang pekerjaan, kita bisa bertemu lagi nanti. Tapi di luar itu, maaf, aku rasa itu tidak perlu, permisi." Aditya pun melangkahkan kakinya keluar cafe tersebut. Meninggalkan Angela yang masih tercengang dengan penuturan Aditya. Bahkan wanita itu hanya bisa menatap kepergian Aditya tanpa mampu mencegahnya. Sungguh, sangat memalukan. Ia mendengkus kesal terhadap perlakuan Aditya kali ini. Ia pikir, dengan siapa dirinya saat ini mampu menarik perhatian Aditya, tapi nyatanya bahkan Aditya semakin tak tergapai sedikit pun. "Aku gak akan tinggal diam, Dit. Lihat saja nanti," ucapnya dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Lima belas menit waktunya terbuang percuma demi meladeni Angela. Bukannya tak sopan meninggalkan klien bisnisnya begitu saja di cafe tersebut. Tapi seharusnya hal itu tak akan berpengaruh jika urusan pribadi tak dicampur adukan dengan urusan bisnis mereka. Ia berjalan sedikit cepat, kembali ke parkiran rumah sakit yang untungnya tak terlalu jauh dari cafe tersebut dan mencari mobilnya. Sesampainya di sekitar mobilnya, ia segera masuk dan melajukan sedan itu meninggalkan rumah sakit. •°•°•°•°• Di jalanan yang masih terbilang ramai walaupun tak sepadat saat jam pulang kerja, Aditya setengah melamun. Untung saja lampu merah baru saja menyala. Entah, kenapa pula ia harus kembali dipertemukam dengan seseorang yang sudah lama menghilang. Dan sejak kapan ia peduli dengan sosok Angela? Ia mengenyahkan pikirannya. Mungkin ia hanya terlalu lelah dengan segala rutinitasnya hari ini. Kabar buruk itu pula mungkin mempengaruhi perasaannya. Tin! Ia tersentak kala suara klakson mobil di belakangnya berbunyi. Ia melihat sejenak lampu lalu lintas di sisi kanannya dan sesegera mungkin melajukan mobilnya karena lampu sudah menunjukkan warna hijau. Selang beberapa menit, ia pun sampai di kediamannya. Ia klakson gerbang tinggi di depannya itu dan otomatis gerbang itu terbuka. Segera Aditya memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Setelahnya ia melangkah tanpa semangat ke dalam rumah. "Tuan, nyonya mana?" tanya Bi Suin, pembantu Aditya yang biasa menyambut Aditya dan Anggi. "Di rumah sakit Bi," balas Aditya sekenanya. "Loh, nyonya kenapa?" Aditya tak langsung menjawabnya justru terduduk di sofa empuknya. Entah, dirinya benar-benar merasa kehilangan buah hatinya. Perasaan kecewa dan sedih itu ternyata mampu merubah mood-nya. Benar, ia mampu tampak baik-baik saja di depan Anggi, tapi di belakang istrinya itu boleh kan ia merasa kecewa dan menyesal? "Anggi keguguran Bi," ucap Aditya pada pembantu yang sudah ia anggap ibu kedua baginya itu. Sontak saja Bi Suin terkejut mendapati kabar itu. Ia langsung terduduk di sisi Aditya, bukannya tak sopan tapi bahkan Aditya yang tak suka jika pembantu dan dirinya berjarak seperti majikan dan bawahan. Sudah ia tekankan dari dulu bahwa mereka semua keluarga jadi duduk bersebelahan tak akan mengganggu dirinya. Wanita paruh baya itu mengusap punggung Aditya yang tertunduk menatap lantai. Selama di rumah sskit ia menahan agar rasa kesal, kecewa dan sedihnya tak terlampiaskan. Buah hati yang ia harapkan selama ini menjadi salah satu semangatnya sehari-hari dalam bekerja. Bahkan ia merindukan celotehan anak kecil sejak anak perempuannya dulu telah meninggal dan anak lelakinya tak tahu di mana. Ia rindu dengan suara bocah kecil yang akan memanggilnya papa. Ia menginginkan suasana bahagia itu. Namun, rasanya semuanya harus kembali tertelan oleh takdir. Aditya harus kembali menelan kebahagiaan dan mengalah pada takdir Tuhan. "Tuan sabar, Tuan ingat kan kalo semuanya punya pemilik. Mungkin Tuan dan nyonya belum siap saja tapi suatu hari nanti jika kalian sudah siap pasti diberi lagi sama Tuhan. Tuan Aditya harus ikhlas ya, gak boleh terlarut dalam sedih." Aditya menganggukkan kepalanya, rasanya ucapan sang pembantu selalu berhasil menenangkannya. Sebab itu Aditya tak pernah menggantikan Bi Suin dengan pembantu yang lain. Sejak kecil, pria itu di bawah asuhan sang pembantu. Saat semua orang rumah dulu bersitegang dengannya, hanya pembantunya lah yang merangkulnya dan tak turut menyalahkannya. Jika ia menyayangi sang ibu lebih dari apapun, rasanya Bi Suim juga pantas mendapatkan banyak penghotmatan dari Aditya. "Nyonya kondisinya baik-baik saja kan Tuan? Terus di sana siapa yang jagain?" tanya Bi Suin lagi. "Iya Bi. Anggi udah gak papa walaupun memang syok sebelumnya. Di sana sudah ada Marco sama Sandra. Saya pulang buat ambil baju dia. Sebentar lagi saya kembali ke sana." "Ya sudah, nanti bibi bantu siapkan keperluan nyonya. Tuan Aditya mandi saja dulu." Aditya kembali menganggukkan kepalanya dan mulai bangkit dari sofanya. Berjalan dengan gontai ke arah kamarnya sembari memijit kepalanya. Sedangkan Bi Suin hanya menghela napasnya, perihatin dengan kabar duka yang menyertai Aditya karena ia paham bagaimana Aditya selalu berjuang menekan rasa kehilangan berlebihan setelah kejadian di masa lalunya. •°•°•°•
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD