1 ~ Angela Kembali

2003 Words
"Kamu kenapa masih kerja aja sih, Sayang? Kamu kan lagi hamil, jangan capek-capek lah." Aditya mulai membeo lagi kala melihat istrinya yang sudah sibuk mempersiapkan pekerjaanya. Padahal sejak menyandang nyonya Aditya empat bulan lalu, Aditya sudah menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Biar saja dirinya yang bekerja. Anggi tersenyum mendapati perhatian suaminya itu. "Mas, perusahaan itu lagi banyak banget project 'kan? Lihat nih kegiatan Mas Adit aja padet banget. Gimana aku diem aja, lagian Marco juga pasti gak cuman urusin jadwal Mas Adit 'kan? Apalagi Kak Sandra, dia juga pasti sibuk banget. Udah gak papa ya, aku hati-hati kok." Aditya menghela napasnya. Anggi memang seperti itu, tidak bisa di kalahkan untuk urusan pekerjaan. Alasannya simpel, ia tak ingin vakum sekalipun sudah menikah. Karena katanya lagi, ia terbiasa bekerja jadi rasanya aneh jika hanya berdiam diri di rumah. Dan bagaimana pun kuasa Aditya, pria itu tetap saja menuruti keinginan sang istri. Jadilah sekretaris Aditya adalah sang istri sendiri. Tapi, sekarang kondisinya berbeda, Anggi tengah hamil muda. Ia tak ingin istrinya itu terlalu lelah mengurus segala keperluannya. Meeting dengan beberapa perusahaan patner, harus ke luar kota bahkan berpikir saja Aditya sudah tidak sanggup membiarkan tubuh sang istri kelelahan. "Sayang, sekali ini saja ya, kamu berhenti kerja ya ..., kasihan calon anak kita kalau kamu terus-terusan kerja, capek-capek terus." Aditya mulai mendekati Anggi dan menghentikan kegiatannya yang tengah merapikan dokumen untuk ia bawa ke kantor hari ini. Pria itu menatap wanita itu dengan raut cemas. "Mas, aku bakalan baik-baik aja. Percaya ya Mas," ujar Anggi bahkan sebelum Aditya mengucapkan satu patah kata pun. Kembali Aditya hanya menghela napasnya dan mulai mengambil jas kerja yang berada di atas ranjangnya. "Ya sudah ayo berangkat ke kantor." Anggi tersenyum kali ini, bukan lagi melalui bibirnya tapi juga melalui matanya. Aditya memang sangat mendukung sang istri apa pun yang ingin ia kerjakan. Bahan ketika Anggi masih meminta bekerja, Aditya hanya mengiyakan saja tanpa debat lagi. Tapi, keadaan berbalik bukan Anggi yang lagi-lagi memerhatikan pria itu tapi justru Aditya yang lebih posesif terhadap istrinya sendiri. **** Mobil SUV keluaran terbaru itu terparkir di depan halaman gedung Artha Group. Seperti biasa, Anggi langsung turun bersamaan dengan Aditya. Kedatangan Aditya ke kantornya sendiri selalu menjadi pusat perhatian, apalagi saat ini sekretaris yang biasa mendampingi pria mapan itu bukan lagi hanya sekedar sekretaris tapi sudah berubah menjadi nyonya Kavindra. Sikap Anggi tak pernah berubah, ia selalu baik terhadap semua karyawan. Tanpa membedakan status mereka atau Anggi yang sudah berubah status menjadi istri pemilik perusahaan properti itu. Sikap positif itu nyatanya memengaruhi kepribadian Aditya. Ia lebih terbuka terhadap lingkungannya, tak lagi otoriter dan mau mendengar apa pun penjelasan. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa Sandra pada Aditya dan Anggi yang kebetulan baru saja datang bersama Marco. "Selamat pagi Sandra," balas Aditya, sedangkan Anggi menimpali dengan tersenyum. Saat ini mereka berempat masuk ke sebuah lift untuk menuju ke lantai sembilan. Di dalam lift tersebut tak ada kegiatan lain selain Aditya yang sudah sibuk dengan ponselnya guna melihat beberapa agenda hari ini. "Kak Sandra sama Marco kapan nikah?" celetuk Anggi. Sontak saja seluruh pandangan kini tertuju padanya. Seolah pertanyaan Anggi sangat berbahaya melebih teroris yang tertangkap. "Aku salah nanya ya?" Aditua lantas tertawa tak tahan lagi dengaj kecanggungan yang menghampiri Sandra dan Marco. Istrinya emmang terlalu polos dan asal bunyi untuk hal-hal yang ingin ia ketahui. Sedangkan Sandra dan Marco hanya tersenyum kecut, dan membiarkan pertanyaan Anggi mengambang dengan sendirinya. "Kamu harus cepat Marco, siapa cepat dia dapat. Jangan sampai kamu menyesal. Segerakan jika sudah merasa cukup memghidup keluarga kecilmu." Aditya meneruskan pertanyaan Anggi tadi. Ting! Pintu lift terbuka, Sandra dan Marco sontak bernapas lega saat pertanyaan 'kapan nikah' itu sedikit teralihkan. Bukan mereka tidak siap. Tapi kesibukan masing-masing membuat mereka bahkan belum sempat memikirkan semuanya. Walau tetap saja hati mereka sudah terpatri oleh masing-masing nama dan tak dapat di ganggu gugat. "Oh iya Bu —" "Panggil Anggi aja, gak usah pake embel-embel 'Bu'. Jangan berubah Kak, aku tetep Anggi, asisten pribadi Mas Adit kalo di kantor." Sandra tersenyum saja menanggapi ucapan Anggi. Ia pun meneruskan pembicaraannya tadj terkait beberapa hal yang harus saling berkesinambungam terhadap prohect baru yang harus segera di tangani Aditya. "Jadi kamu ngerti ya Nggi, apa aja yang perlu di siapin? Jadwal Pak Adit padet 'kan hari ini?" "Iya Kak, sampai malam." "Ya sudah kamu handle ya, sebentar lagi aku mungkin keluar untuk bertemu yang lain." Anggi menganggukkan kepalanya dan mereka terpisah di tengah-tengah koridor di mana Sandra berbelok lebih dulu ke ruangannya dan Anggi masih berjalan lurus ke ujung koridor tersebut. Sekalipun ia tengah hamil, tapi semangatanya tampak seperti biasa. Setelah ia sampai di mejanya, ia pun memulai pekerjaannya sebelum meeting-meeting di luar kantor dilakukan. **** Pukul 12 siang tepat jam makan siang, Aditya dan Anggi keluar dari kantor. Selain untuk makan siang, mereka juga akan menemui kliennya di kuar kantor sath jam setelah makan siang berakhir. "Kamu gak papa?" tanya Aditya di balik kemudinya yang menatap Anggi tampak menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. "Gak papa Mas, memangnya kenapa?" "Kamu capek? Kalo capek saya anter pulang ya," ujar Aditya yang mulai khawatir lagi. "Ihh jangan, enggak ... aku gak papa kok Mas, aku cuman laper." Anggi mulai memutar topik. Padahal memabg ia sedikit kelelehan. Nyatanya, semuanya hak tak seindah ekspetasinya ketika kehamilannya mulai menginjak 2 bulan lebih, tenaganya seakan melemah dengan sendirinya. Sepertinya emmang benar, ia butuh makan tiap ia ingin agar staminanya juga kuat untuk bekerja sehari-hari. Mobil SUV itu berhenti tepat di halaman parkir sebuah restauran ternama di Kota Jakarta yang tak lain adalah restoran milik Aditya sendiri. Setelah memarkirkan mobil dengan benar, Aditya segera turun dari mobilnya dan memutari depan mobil itu untuk membukakam pintu mobil istrinya. "Makasih, Mas." Aditya segera menutup pintu itu kembali dan digandengnya tangan itu menuju ke dalam restauran. Mereka pun memilih tempat yang nyaman, hingga Aditya kembali menarik tangan istrinya setelah memutuskan akan duduk di sebelah mana. "Nah di sini, di sofa ... jadi kamu gak perlu capek-capek duduk di kursi yang keras." Anggi pun langsung terduduk di sofa empuk itu disusul Aditya. Setelahnya pria itu melambaikan tangan ke arah waitress restoran. Tak butuh waktu lama, satu orang waitress sudah menghampirinya berikut memberikan sebuah menu padanya. "Mas, aku pengen ini dong," tunjuk Anggi pada menu hidangan laut. "Tumben?" "Ya lagi pengen sih," balasnya cepat. Aditya hanya tersenyum. Belum sempat ia bicara pada si pelayan, Anggi sudah berbicara terlebih dahulu memesan apa yang ingin dia makan dengan segala teknisnya. Aditya hanya memakuminya saja, orang hamil memang begitu adanya. "Tadi kamu pesen banyak gitu pasti ke makan?" "Gak tau, orang pengen doang, Mas." Anggi menimpali sambil tertawa kecil. Aditya kembali mengusap pucuk kepala Anggi. Semakin lama ia semakin gemas dengan istrinya itu. Anggi yang apa adanya bahkan setelah menikah dengannya membuat Aditya turut nyaman dengan sikapnya. Anggi tidak jaim dan juga tidak memalukannya. Wanita itu pandai menempatkan dirinya di situasi apa pun. Dan satu lagi, ia sangat pintar dalam urusan pekerjaan dan hal itu yang selalu membuat Aditya berhasil mendapatkan proyek-proyek besar. Beberapa menit kemudian makanan itu pun datang dan cukup lumayan memenuhi meja mereka. "Nggi, kamu yakin mau makan ini semua?" Anggi hanya tersenyum lebar sambil mencicipi cumi bakar saos tiram. Sungguh! Menggugah selera Anggi untuk segera melahap pesanan utamanya itu. Begitu pun Aditya yang mulai memakan pesanannya. Sampai Anggi menyerah tak bisa menghabiskan apa yang ia pesan di depannya. "Aku nyerah ah, Mas, kenyang banget."_ Anggi mulai menyandarkan tubuhnya di sofa. "Ya udah bawa pulang aja ya ...," ucap Aditya. Anggi hanya menganggukkan kepalanya sedangkan Aditya hanga tertawa kecil melihat tingkah istrinya. Hingga selang beberapa menit kemudian, ponsel Anggi berdering dan tercetak nama kolega Aditya yang akan menemuinya. Sontak saja Anggi terperanjak dan langsung mengangkatnya. Mode serius kembali Anggi tunjukkan, ia berbicara sembari sesekali menatap ke sekelilingnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan ke luar untuk menemui klien Aditya. Dan sampai detik itu juga, Aditya benar-benar khawatir dengan istrinya. Tapi semua yang dilakukan Anggi memang terbentur oleh keprofesionalan pekerjaannya. Hingga beberapa detik kemudian Anggi kembali ke arah meja Aditya yang kini sudah bersih dari makan siang mereka. Aditya yang sedari tadi fokus ke layar ponselnya bahkan tak mengetahui jika Anggi sudah datang hingga ... "Aditya," sapa seseorang itu. Aditya lantas menoleh begitu panggilan namanya terdengar di telinganya. Ia pun menoleh ke arah depan dan bukannya langsung menjabat tangab koleganya seperti biasa justru ia terkejut bukan main dengan siapa yang ada di depannya. Hal itu jelas tertangkap oleh mata Anggi yang sedari tadi diam dan memerhatikan. Aditya bahkan masih membisu kala melihat wanita di depannya. "Senang bertemu kamu lagi, aku tidak menyangka ternyata kamu pemilik perusahaan properti ini." "Kamu —" Wanita dengan style modis dan mahal itu lantas duduk di depan Aditya yang justru kelu hanya untuk menyebutkan namanya. Di sampingnya ada sosok perempuan yang di yakini adalah asisten pribadi wanita itu. Sudah lebih dari 10 tahun yang lalu dan bahkan wanita di depannya bukan sosok yang biasa lagi. Menatap sosok wanita di depannya seolah menyeret Aditya kembali ke masa lalu yang tiba-tiba datang begitu saja tanpa ia mampu cegah. Bahkan sampai Anggi yang sudah duduk di sisinya memegang tangan Aditya, barulah pria itu tersadar. "Mas, gak papa? Mas kenal?" bisik Anggi. "Nanti akan kujelaskan di rumah ya," timpal Aditya berbisik. Anggi menganggukkan kepalanya dan kembali ke arah profesionalisme dalam pekerjaannya. Sepanjang satu jam pertemuan mereka yang hanya membahas pekerjaan yang berakhir dengan kerja sama tertulis, setelah itu tampak Aditya meminta izin untuk berlalu ke toilet sejenak. Di dalam toilet restoran itu hanya mencuci mukanya sebentar dan menatap dirinya ke arah kaca di toilet itu. Bisa-bisanya patnernya kali ini adalah sosok masa lalu yang sudah terkubur sangat lama. Ia menepiskan semuanya dan kembali berjalan ke arah luar guna menghargai pertemuan mereka. "Dit," sapa seseorang. Sontak saja Aditya terkejut saat wanita itu berada tepat di depannya. "Angela, kamu —" "Sudah berubah, selama ini aku berjuang untuk bisa jadi seperti ini. Bekerja dengan benar hingga kembali kuliah dan menduduki posisi ini. Oh iya, apa kabar kamu?" "Baik." Aditya hanya membalas satu kata karena ia bingung harus berkata apa lagi pada wanita di depannya ini. Angela hanya tersenyum mendapati pria di depannya yang sudah lama tak ia temui hanya untuk memantaskan diri untuk pria itu. Sepuluh tahun lalu ia terpaksa meninggalkan seluruhnya, termasuk hatinya yang berbalas dari pria itu karena ia belum pantas bersansing dengan Aditya. Tapi, saat ini rasanya mereka di posisi yang sama dan Angela merasa ia sudah pantas untuk bersanding dengan pria itu tanpa Angela tahu bahwa Aditya sudah tidak mungkin kembali padanya. "Aku kembali dulu," pamit Aditya yang berjalan meninggalkan Angela. Angela hanya tersenyum lagi, pria itu masih sama seperti dulu. Penuh kharismatik apalagi saat ini dengan jabatan yang tak main-main membuat pria itu semakin bersinar. Ia pun kembali menuju ke arah toilet restoran itu. Di mejanya, Anggi sedang menunggu bersama sekretaris Angela. Ia segera menuju ke meja tersebut dan kembali duduk di sisi Anggi. Sebuah senyum kembali tercetak di bibir Aditya pada sekretaris Angela. Demi sebuah profesionalisme pekerjaan Aditya membuang segala bentuk masa lalunya dan menaruhnya sejauh mungkin karena saat ini ia sudah memiliki istri dan calon anak yang ada di kandungan Anggi. Dua puluh menit kemudian, Angela akhirnya berpamitan pada Aditya dan Anggi. Aditya pun hanya membalas sewajarnya. "Terima kasih atas kerja samanya, lain kali kita bisa bertemu," ucap Angela yang menjabat tangan Aditya. Aditya menyambut jabatan tangan itu tapi ternyata terselip sebuah kertas kecil yang terasa di tangan Aditya. Pria itu kemudian menggenggamnya. Bukan ia tak ingin memberitahu Anggi tapi bukan hak yang tepat ia membicarakan tentang Angela di tempat seperti ini. Anggi pun kembali mengantarkan Angela dan sekretarisnya hingga keluar restoran itu. Sedangkan Aditya kembali terduduk dan membuka secuil stiki note di tangannya. Call me, 081xxxxxxx4 , i'm waiting you .... Aditya hanya memandanganya sebentar tanpa perlu harus mengiyakan atau tidak. Karena jelas jawabannya adalah tidak. ia sudah tidak akan berurusa dengan wanita manapun secara personal. Ia sudah memiliki Anggi dan itu sudah benar-benar cukup untuknya. Pria itu lantas meremat stiki note itu dan membuangnya ke tumpukan piring bekas hidangan yang di pesan Angela tadi. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD