Pagi harinya, ketika suara burung mulai bersahutan dengan indahnya. Udara pagi mampu menyegarkan paru-paru, Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kembali ia menyapu seluruh ruangan perawatan VVIP itu dan pandangannya berhenti pada sofa di ujung tempat tidurnya. Sosok pria dengan setelan kaos berkerah dan celana jeans-nya tengah tertidur di atas sofa. Anggi menghela napasnya perlahan.
Sekali lagi, ia merasa bersalah tak mendengarkan semua ucapan Aditya. Ia tahu Aditya pasti kecewa, ia tahu Aditya sangat menginginkan anak dari rahimnya. Tapi, semuanya hancur karena kesalahannya sendiri. Tanpa terasa air matanya mengalir menyusuri sudut luar matanya. Anggi mengusapnya cepat.
"Aku minta maaf, Mas." Anggi mulai bergumam lirih.
Jujur saja ia sangat kehilangan janinnya. Andai ia mau mendengar ucapan suaminya. Andai ia tak memaksakan kondisinya, semuanya tak akan pernah seperti ini. Ia pun berusaha duduk. Harusnya ia sudah tidak kenapa-napa, hanya saja Aditya yang menginginkan Anggi untuk bed rest di rumah sakit.
Ia langkahkan kakinya perlahan ke arah jendela rumah sakit. Sembari mendorong tiang infusnya, ia menatap seluruh gedung-gedung pencakar langit beserta suasana Jakarta pagi itu. Ia menghela napasnya sekali lagi, matanya masih berkaca-kaca saat teringat kembali janin yang sudah tidak ada di rahimnya.
"Kamu sedang apa?" tanya Aditya yang tiba-tiba terbangun entah sejak kapan.
Pria itu melangkahkan kakinya ke arah sang istri yang belum bergerak dari tempatnya. Justru Anggi menatap ke luar jendela tanpa terganggu suara Aditya sama sekali. Aditya pun menghela napasnya dan seraya memeluk tubuh wanita itu dari belakang. Menaruh kepalanya di salah satu sisi pundak Anggi dan menautkan kedua tangannya yang bertemu.
"Kamu kenapa?" tanyanya lagi.
"Aku bodoh banget ya, Mas. Harusnya aku dengerin kamu, harusnya aku gak egois. Kalo aku nurut sama Mas Adit, kita gak akan kehilangan bayi kita."
"Kenapa masih di bahas. Kan saya sudah bilang, semuanya sudah takdir. Kalau pun bukan karena kemarin, kalau memang kita tidak siap, bayi kita juga pasti akan di ambil sama Tuhan, kan?"
"Tapi seenggaknya aku masih bisa pertahanin, Mas, kamu boleh marah sama aku, karena memang aku ceroboh," ucap Anggi dengan nada yang mulai bergetar. Tampak bahunya berguncang dan isak tangis menyertai.
Aditya semakin mengeratkan pelukannya. Rasanya ia hanya mampu menenangkan istrinya dengan cara ada di sampingnya seperti sekarang. Ia juga tidak tahu bagaimana harus bersikap.
"Sudah, jangan menangis. Kamu gak salah kok, ikhlasin ya." ucap Aditya yang kini beralih menuju ke hadapan sang istri.
Kini Aditya mampu menatap wajah sendu itu, air mata yang masih mengalir justru membuat hatinya juga ingin menangis. Ia usap air mata Anggi, dan menangkup kedua pipinya sembari menatapnya lekat.
"Saya tidak marah sama sekali. Saya lebih khawatir kalau kamu kenapa-napa. Karena saya gak akan pernah bisa kalau kehilangan kamu. Sekarang jangan nangis lagi, kamu harus ikhlas, kamu harus kuat. Masih ada saya di sini. Lagi pula ...," Aditya menggantungkan ucapannya, hingga, "kita masih bisa dapetin gantinya 'kan? Apa kamu mau sekarang?" goda Aditya menyairkan suasana.
Sebuah pukulan lemah mendarat di dadanya dan hal itu mampu membuat Anggi tertawa walau sangat tipis. Aditya pun mulai tersenyum juga dan mengecup dahi sang istri lalu turun ke bibir tipis milik Anggi. Ciuman singkat yang membuat Anggi tenang, membuat Anggi merasa dicintai dan membuat Anggi benar-benar bergantung pada pria yang ber-title suaminya itu.
"Mas, gak bakal ninggalin aku 'kan?" tanya Anggi.
"Ninggalin apa sih? Saya beruntung memiliki istri sepertimu, lagipula kamu masih bisa hamil, Sayang. Dan tidak ada alasan saya untuk meninggalkan wanita cantik seperti kamu."
"Kok pinter gombal sekarang," sindir Anggi.
Aditya hanya tertawa kecil mendapati respon Anggi yang sudah seperti biasanya. Ia memang menginginkan seorang putra sebagai pewarisnya kelak tapi tanpa Anggi di sisinya, ia juga tak akan memiliki alasan untuk tetap bahagia.
"Mas, Mas Adit gak pergi ke kantor?" tanya Anggi yang kini menatap jarum jam di pergelangan tangan Aditya.
"Enggak, saya bakalan tetap di sini nemenin kamu sampai kamu keluar dari rumah sakit," balas Aditya.
"Loh tapi 'kan Mas, jadwal Mas Adit bukannya padet?"
Aditya hanya tersenyum dan mengusap pucuk kepala Anggi dengan gemas. "Sekali saja kamu pikirin diri sendiri bisa gak? Kamu itu prioritas saya, sekali-kali kamu harus pikirin diri kamu sendiri sebelum orang lain."
Anggi hanya memandang pria tampan di depannya sembari kembali naik ke ranjangnya yang tentunya dibantu oleh sang suami. Bahkan pria itu tampak sibuk memerhatikan dirinya daripada membutuhkan jawaban darinya tentang pernyataan tadi. Anggi menghela napasnya dan tersenyum mendapatkan waktu utuh bersama suaminya selain di tempat kerja dan bukan dalam naungan pekerjaan.
Perhatian Aditya, kasih sayang pria itu ditunjukkan sedemikian rupa dalam satu hari selama bersama Anggi. Sehingga senyum dan tawa tak luput dari bibir Anggi selama satu hari penuh. Hingga sore harinya, tampak Anggi kembali memeluk sang suami dan menatapnya dengan tatapan manjanya.
"Mas, aku pengen pulang, pulang sekarang ya ...," pinta Anggi tiba-tiba.
"Memangnya kamu sudah sehat?"
Anggi menganggukkan kepalanya, rasanya ia tak bisa jika menolak permintaan Anggi dengan wajah manja seperti itu. Melihat kondisi Anggi pun Aditya juga yakin jika istrinya sudah tampak sehat dan stabil seperti yang sudah disampaikan sang dokter. Beruntungnya, untuk saat ini keguguran yang dialami istrinya tak berdampak berlebihan dan keputusannya untuk menyerahkan seluruh pekerjaan pada Marco adalah hal yang tepat untuk saat ini.
"Ya sudah, saya temui dokternya dulu biar kamu bisa pulang hari ini."
Anggi tersenyum lebar mendapati permintaannya dikabulkan oleh sang suami. Sedangkan Aditya beranjak dari kamar perawatan itu dan berniat menemui sang dokter.
^^^
Sementara di perusahaan Kencana Mas, sosok perempuan berkacamata mulai memasuki sebuah ruangan dengan luas 14 meter persegi. Ruangan berdesain modern dengan d******i warna putih yang terkesam rapi, bersih dan elegant memuat sosok perempuan yang tengah menghadap ke jendela besar yang menampakkan wujud Kota Jakarta pada sore hari.
"Permisi, Bu, ini nomor Pak Aditya yang Ibu minta kemarin," ucap Inez, sekretaris Angela sambil menyerahkan secarik kertas pada atasannya itu.
Angela lantas membalikkan kursinya dan tersenyum sembari mengambil secarik kertas itu. "Makasih ya Nez, kamu boleh pergi."
"Ibu, gak pulang?" tanya Inez lagi, karena memang jam kantor sudah berakhir beberapa menit yang lalu.
"Sebentar lagi, kamu boleh pulang dulu. Saya masih ada urusan lain. Sekali lagi makasih ya, Nez."
Inez pun menganggukkan kepalanya dan segera beranjak dari ruangan Angela setelah menuntaskan tugasnya untuk mendapatkan nomor pribadi milik Aditya. Ternyata, cukup sulit mendapatkan kontak pribadi pemilik perusahaan Artha Group itu, tak sembarangan orang pula yang mengetahuinya bahkan rekan bisnisnya pun. Mereka cenderung hanya memiliki nomor official sang CEO melalui sekretarisnya daripada kontak pribadi pria itu. Namun, bukan Inez namanya jika ia tidak bisa mendapatkan nomor itu dan hal itu yang selalu membuay sang atasan kagum dengan semua usahanya selama ini.
Angela menatap secarik kertas berisikan deret angka yang tercetak jelas di matanya. Sebuah senyum tertarik dari bibirnya begitu saja. Pertemuannya semalam dengan Aditya sangat mengecewakan dan ia tidak ingin rasa kecewanya tak terbalas. Bagaimanapun ia harus kembali mendapatkan perhatian pria itu. Bukannya tak ada pria lain yang dapat menggantikan Aditya, tapi Angela mampu seperti sekarang itu juga karena keinginannya memantaskan diri untuk Aditya.
"Dit, kamu harus ngelihat aku. Masa aku sia-sia berubah jadi kayak gini tapi hasilnya sama aja sih," gumamnya bermonolog.
Angela mulai mengambil ponselnya dan mencatat nomor Aditya tanpa basa-basi. Sebuah senyum kembalo tercetak tanpa peduli bahwa pria yanh masoh ia kagumi sampai detik ini audah memiliki istri. Ia hanya ingin pria itu, pria yang membuatnya jatuh cinta dengan semua perlakuannya sejak pertama bertemu.
****
Semuanya bermula tepat 10 tahun lalu, saat Aditya kembali mengejarnya setelah salah paham yanhlg terjadi. Pria yang secara terang-terangan menauatakan perasaanya padanya, pria yang tak peduli bagaimana masa lalu kelamnya dan pria yang yak peduli bahwa ia pernah menggoreskan luka dalam keluarganya. Ia mengutuk dirinya saat meninggalkan Aditya dengan keputusannya yang pergi dari kehidupan pria itu. Semuanya hanya karena rasa tidak pantas dan malu atas dirinya sendiri.
"Maafin aku, Dit. Aku cuman malu sama kamu, aku gak pantes buat kamu."
Kembali Angela menangis di depan pelataran teras rumahnya. Suara serangga malam hari itu pun menjadi saksi betapa pilu di hatinya belum mampu terobati sampai beberapa minggu setelah ia meninggalkan Jakarta. Sang ibu yang melihat anaknya selalu menangis tampak khawatir. Ia senang sang anak akhirnya pulang ke kampung halaman, lagipula uang-uang yang dikirim Angela satu tahun ini sudah mampu ia manfaatkan untuk membuka warung kecil-kecilan yang menopang ekonomi keluarga.
"Neng, kenapa atuh nangis terus?" tanya sang Ibu yang tiba-tiba duduk di kursi bambu di mana Angela sering menghabiskan waktunya di sana.
Angela menggelengkan kepalanya, rasanya ia tak sanggup menceritakan segalanya pada sang ibu. Dadanya masih sesak mengingat Aditya, pria yang sudah membuat jatuh cinta bahkan memotivasinya menjadi lebih baik. Ia benar-benar mencintai pria itu tapi semuanya terpentok oleh keadaan dan masa lalu yang menyakitkan.
"Neng, cerita sama Ambu, siapa tau Ambu¹ bisa bantu Neng," ujar sang Ibu lagi.
Angela mulai menengadahkan kepalanya dan sekarang justru menumpu pada kedua lutut yang ia tekuk begitu saja. Melamun lagi dan menatap rerumputan hijau di depam terasnya.
"Ambu, apa cinta sama orang itu sesakit ini?"
Sang ibu yang sekarang tercengang dengan pertanyaan anak gadisnya. Ia baru sadar bahwa sang anak tumbuh dengan cepat. Pastilah ia merasakan jatuh cinta, tapi tampaknya rasa itu justru menyakitinya.
"Neng suka sama orang? Siapa, Neng? Orang Jakarta?"
Angela menganggukkan kepalanya lemah. Ia masih memandang lurus ke depan. "Tapi gak mungkin terjadi Ambu, kita itu berbeda. Dia anak orang kaya sedangkan Angela biasa aja."
Angela tampak menenggelamkan wajahnya pada lututnya kali ini. Sebaliknya, sang ibu justru menghela napasnya. Bukan salah Anglea juga jika keadaan keluarga menjadi berantakan seperti ini. Salahkan sang suami alias ayah kandung Angela yang membuat semuanya runyam. Dulu, mereka keluarga yang termasyur ekonominya di desa. Sang ayah yang berprofesi sebagai kepala desa sekaligus pemilik kebun teh membuat hidup Angela bergelimang kekayaan sejak kecil.
Semuanya berubah sejak sang ayah mulai khilaf dan terljbat perselingkihan dengan sekretaris desa. Ditambah kasus suap yang ternyata melibatkan sang kepala desa membuat rumah gedongnya di sita oleh pihak yanh berwenang. Hidup keliarga Angela mendadak jatuh dari langit menikuk ke bumi dengam cepat. Sang ayah yang terlibat segala kasus tak kuat menghadapi kenyataam san akhirnya mengembuskan napas terakhirnya saat Angela berusia 17 tahun.
Sejak saat itu, Angela memutuskan untuk pergi ke Jakarta dengan menerima tawaran seseorang. Alih-alih bekerja sebagai asisten rumah tangga nyatanya justru ia ditipu begitu sampai di Jakarta. Ongkos pulang yang tidak ada membuat perempuan itu terlontang-lantung di Jakarta, hingga ...
"Siapa nama lo?"
Angela menatap pria yang ia taksir berusia 25 tahun ke atas dengan setelan jaket kulit dan celana jeans sobek-sobek di bagian lututnya. Tampang yang garang justru membuat Angela berkidik, bukannya menjawab pertanyaan sang pria ia justru berdiri dari tempatnya duduk dan pergi. Namun, naas pria itu audah menarik lengan Angela terlebih dulu.
"Le—lepas. Saya mohon, lepas," ucap Angela yang tampak menangis saking takutnya.
"Hei, gue gak bakal nyakitin lo asal lo gak kayak gini. Gue cuman kasihan sama lo, gue perhatiin dari sana," Dodi menunjuk sebuah tempat, "lo sendirian, makanya gue niat bantu," lanjut pria itu.
Angela tampak menatap pria itu dengan lekat tapi detik berikutnya berontakkannya mulai merenggang. Ia percaya pada Dodi. Perempuan itu pun akhirnya turut mengikuti Dodi yang membawa ke sebuah tempat yang benar-benar asing. Namun, karena niat Dodi di pikiranya baik jadilah ia menurut saja.
"Wisshh, Bang Dodi bawa anak baru nih," celetuk salah satu anak buahnya yang memandang Angela dengan seringainya.
Tampak Angela sedikit ngeri dengan orang-orang yang mencoba menyentuhnya, tanpa sadar tubuhnya lebih merapat ke arah Dodi. Hingga beberapa langkah kemudian, mereka telah sampai di sebuah ruangan. Tampak beberapa wanita di dalamnya, mereka semua cantik bahkan terbilang sangat seksi dengan pakaian minim.
"Kalian keluar!" titah Dodi pada perempuan-perempuan di dalamnya.
Seketika perempuan-perempuan itu pun menghambur keluar. Pandangan penuh penasaran pada sosok Angela mulai menyorotinya bahkan ada yang terang-terangan menatapnya tajam. Tapi, rasanya perintah pria di depannya ini membuat mereka langsung pergi.
"Nah, Angela. Kalau lo emang mau kerja, lo bisa kerja di sini. Simple aja lo bisa kan jadi pelayan? Kelab gue butuh waitress, tugasnya gampang, lo tinggal tawarin tuh tamu-tamu mau minum apa, gimana?"
Angela tampak berpikir, seumur-umur baru kali ini ia masuk ke sebuah kelab malam. Sejujurnya ia risih dengan semua ini tapi mengingat sang ibu yang berharap ia mendapatkan pekerjaan seperti pamitnya tempo hari akhirnya ia pun menganggukkan kepalanya menyetujui tawaran Dodi. Sebuah senyum tercetak di bibir Dodi dan sekali lagi matanya menyusuri Angela seolah mangsa baru siap ia terkam begitu saja.
Angela bekerja dengan giat dan selama sati bulan tidak ada hal aneh yang terjadi. Semuanya tampak normal hingga hari di mana ia mendapatkan gaji pertamanya hal gak di inginkan mulai terjadi.
"Angela ini duit lo satu bulan. Gue kasih bonus, gara-gara lo kelab gue makin rame."
"Ah, makasih Bang. Padahal aku gak ngapa-ngapain. Tapi, makasih ya, Bang."
Dodi hanya tersenyum mengangguk. Memang, sejak Angela menjadi waitress di tempat Dodi, gadis itu banyak menarik perhatian para lelaki hidung belang. Bahkan Dodi pun menahan dirinya sedemikian rupa. Kecantikan alaminya justru yang membuat para pria menginginkannya hingga ....
Brugh!
"Aduh ...," keluh Angela yang terjatuh akibat dorongan Dodi.
Ia lantas menoleh ke belakang dan tampak Dodi sudah di sana. Matanya menggelap, tatapannya berbeda dari beberapa detik lalu. Ia mengangkat tubuh Angela, dirasakannya tubuh gadis itu tampak menegang dan ketakutan. Hal itu justru membuat Dodi semakin menyeringai, ditariknya tubuh gadis itu dan dilempar ke sofa ruangannya.
"Bang, ma—mau apa?"
"Nyobain lo! Kalo oke, lo bisa dapet duit banyak!"
Dodi langsung menubruk tubuh Angela, mengunci kedua tangannya karena pasti perempuan itu akan memberontak. Dodi paham konsep ini. "Sudah diam, jangan banyak berontak kalo lo gak mau gue main kasar."
Mata Angela terlihat membulat sempurna, bulu kuduknya meremang, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia tidak ingin semuanya hancur di tangan Dodi, ia tidak menginginkan hal ini. Bukan, bukan ini yang ia mau tapi nyatanya nafsu sudah membutakan mata Dodi. Dan Angela menjadi salah satu korban kebejatan sang pemiliki kelab malam itu.
Semuanya tampak membuat Angela tak memiliki kesempatan untuk hidup normal. Setelah menjadi pelampiasan nafsu k*****t Dodi, ia justru langsung di jual kepada bos-bos besar yang meminta perempuan baru. Sejak saat itu nama Angela tersohor sebagai gadis kupu-kupu malam. Menggeser tahta primadona sebelumnya dan seiring berjalannya waktu ia terbiasa dengan pekerjannya. Uang yang mudah ia dapatkan dalam semalam membuatnya masa bodoh lagi dengan harga diri.
Sampai, Aditya datang dan Angela melihatnya. Pemuda yang masih polos tampaknya telah salah memilih jalan. Angela bersimpati padanya bahkan ia langsung jatuh hati pada Aditya. Sorot mata pemuda itu membuat Aditya tampak menarik di matanya. Hingga ia mencoba segala cara agar bisa dekat dengan Aditya termasuk menajdi penghangat ranjang pemuda itu dengan cuma-cuma.
*****
Tring!
Angela terkejut seketika saat mendengar panggilan pada ponselnya. Detik itu juga ia kembali ke dunia nyata yang sempat menariknya ke masa lalu pahit. Ia mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir membasahi pipinya. Aditya dan segala tentangnya masih tersimpan rapi dalam ingatannya.
"Iya, Mas. Di mana? Udah sampai Indonesia ya, iya aku udah pulang kok, lagi mau keluar kantor."
"....."
"Iya kamu tunggu di apartemen ya, see you ...."
Angela segera menyabet tas kecilnya berikut berkas-berkas yang harus ia tanda tangani kemudian berjalan keluar dari ruangannya.