Sunshine’s POV
Aku berjalan keluar kamar, sang iblis mengekor di belakangku.
Kaitlyn Elizabeth Bennet sedang di dapur dengan teflon di tangannya, memindahkan pancake yang baru saja matang ke piring. Gadis itu memicingkan mata ke arahku, sebelum tersenyum ramah pada iblis di belakangku.
Sangat tidak adil!
Tanpa dipersilahkan, sang iblis mengambil tempat pada salah satu kursi di meja makan. Pandangannya menyisir ke sepanjang ruangan.
“Apartemen yang bagus.” Celetuknya, terdengar begitu bosan. “Jadi, apa kalian berdua pacaran?”
Aku dan Kaitlyn serentak lihat-lihatan.
“Ew! No!” Bantah Kaitlyn cepat dengan ekspresi jijik. Gadis itu menghampiri meja makan dengan piring penuh pancake di tangannya.
“Ew, no?!” Sergapku—tercengang, dan sedikit tersinggung. Aku mengambil tempat duduk tepat di seberang sang iblis, “Aku tahu kau tidak lesbi, tapi 'ew, no'?! Kupikir kita bestie, Kaitlyn!”
Kaitlyn tertawa lalu mengambil tempat di sebelahku, “Love, kau memang sahabat terbaikku di seluruh dunia. Tapi kau terlalu perfectionist. Kau terlalu peduli pada pendapat orang lain. Dan terkadang… agak sedikit kepedean.” Kaitlyn membelai rambut pirangku sambil cemberut, “I love you so much, tapi kau bukan tipeku.”
Sang iblis menyeringai, “Girl got a point.”
“Excuse me, sir?” Aku melotot ke arahnya, “Kita baru bertemu tadi malam. Jadi kau tidak punya hak untuk menghakimiku!” Aku mengalihkan tatapan tajam ke arah sahabatku, “Dan aku tidak perfectionist!”
“Ruby…” Kaitlyn menatapku prihatin, “Kau mengenakan gaun rancangan Chanel di pagi hari, padahal kau tidak kemana-mana.”
Pandanganku jatuh pada gaun selutut berwarna khaki yang sedang kukenakan, “Tidak ada yang salah dengan berpenampilan menarik dan tampil fashionable!!”
Sang iblis meringis pada Kaitlyn, “Apa dia selalu tempramental seperti ini?”
“Hanya jika dia tidak mendapatkan tidur nyenyak selama 8 jam.” Kaitlyn memberikan dua pancake ke piring lelaki itu, “Dan itu terjadi hampir setiap malam selama seminggu ini. Dia mengidap insomnia akut.”
“Ouch! Aku turun prihatin denganmu.” Kata lelaki itu, pura-pura sedih. “Kau pasti cukup tersiksa tinggal di sini.”
Kaitlyn tertawa pada Sang iblis, “Kau boleh juga.” Lalu menambahkan satu pancake lagi ke piring lelaki itu.
Sang iblis tersenyum sebagai gantinya, senyum yang sama sekali tidak pernah ia berikan padaku. Aku—yang menyelamatkan hidupnya dari terjangkit demam tinggi jika dia tidur di trotoar yang dingin.
Sang iblis menyirami piringnya dengan sirup, membelah pancake dan menyendokkan ke mulutnya, “Oh… wow! Kau chef yang hebat.”
“Terima kasih.” Kaitlyn membalas dengan senyum yang lembut.
Apa-apaan ini?! Bagaimana mereka bisa langsung seakrab ini?!
“Sudah, cukup basa-basinya!” Ujarku menyela, aku menatap lelaki di hadapanku, “Sekarang karena kau sudah makan, apa kau sudah siap mendengarkanku?”
Dia tidak menjawab hanya mengangguk.
Lihat, kan, kelakukannya?
Apa salahku hingga dia bersikap seperti iblis hanya kepadaku?!
“Well…” Aku menarik napas panjang, “Aku mengidap insomnia akut sejak sekolah menengah. Tidak ada yang bisa membuatku tertidur di malam hari, bahkan pergi ke psikiater pun tidak mempan. Hingga suatu malam aku menemukan suaramu di SoundCloud. Dan secara ajaib, aku mulai tertidur mendengarkan suaramu. Selama 4 tahun aku sudah mendengarkan suaramu—“
“Tunggu sebentar!” Lelaki itu memotong, dengan tatapan horor, “Kau tertidur mendengar suaraku? Setiap malam? Selama 4 tahun?” Ia meringis ngeri, “Tidakkah menurutmu itu agak sedikit... creepy?”
Ouch!
Cowok dengan username creepy memanggil AKU creepy?!
Aku menatapnya sebal, “Kupikir kau hanya akan mendengarkan tanpa berbicara?!”
“Oke, lanjutkan.” Ia menyerah dan kembali menyendoki pancake.
Aku menarik napas panjang sekali lagi, “Jadi… seperti yang tadi kubilang..." Bilang apa, ya?
Otakku mendadak tidak bisa berpikir. Belakangan ini sering terjadi karena aku tidak tidur nye—
"Kau mengidap insomnia. Dan sembuh sejak mengdengar suaranya," Sahut Kaitlyn, mengerti kesulitanku.
"Thank you, honey." Aku tersenyum pada sahabatku, lalu melanjutkan, "Seperti yang tadi kubilang, aku mulai bisa tertidur sejak mendengar suaramu. Namun ponselku dan laptopku dicuri seminggu lalu. Unduhan suaramu ada di ponsel dan laptop itu. Dan saat aku mencoba untuk mengunduhnya lagi, kau ternyata… sudah menghapusnya.”
Lelaki itu memasang wajah bosan, “Jadi?”
Aku mencoba menahan amarahku, “Jadi… insomniaku kembali kumat. Dan kehidupanku mulai kacau karena tidak bisa tidur. Aku hampir dipecat karena tidak bisa fokus kerja.”
Ia masih menatapku dengan tatapan yang sama, “Dan aku harus peduli karena….”
UGH!
Tahan, Ruby.
Tahan dirimu.
Jangan memukulnya.
Lelaki ini adalah obatmu. Kunci kesuksesanmu.
Dan kau bisa terkena pasal kekerasan terhadap binatang jika memukulnya.
“Aku tidak berharap kau untuk peduli,” Ucapku, berusaha bersuara selembut mungkin. “Tapi jika kau punya hati—barang sedikit saja—kau mungkin bisa memberiku rekaman suara itu lagi supaya aku bisa kembali tidur nyenyak.”
“Pertama-tama,” Sang iblis mengacungkan jari telunjuk di udara, mengunyah pancake di mulutnya. Setelah menelan, dia melanjutkan, “Memikirkanmu mendengarkan suaraku sampai tertidur, setiap malam, selama 4 tahun, agak membuatku merinding. Dan kedua, sindiran tidak terlalu bekerja jika kau ingin membujuk seseorang.” Ia bangkit dari kursinya, “Dan terakhir, kau bisa mulai melupakan rekaman suara bodoh itu karena aku sudah juga sudah menghapusnya. Jadi kesimpulannya, selamat tinggal dan semoga beruntung mencari suara lain sebagai dongengmu—“
"KAU MENGHAPUSNYA?!” Aku bangit dengan cepat hingga kursiku jatuh ke lantai, menciptakan bunyi bedebam yang keras dan membuat suasana menjadi mencekam.
“Apa aku belum bilang padamu kalau aku bukan morning person?” Ringisnya, menatapku dengan tatapan terganggu, “Pelankan suaramu, Sunshine. Seisi Kota New York bisa mendengarmu.”
Lalu ia tersenyum ketika menoleh ke arah Kaitlyn, “Terima kasih atas sarapannya. Pancake-mu sungguh sangat lezat. Tapi aku harus pergi dari sini.”
Hail-to-Lucifer mulai berjalan ke arah pintu.
Aku berlarian ke arahnya dan berhenti tepat di depannya. Ia menatapku dengan tatapan yang sama, terganggu—seolah aku permen karet yang menempel di sepatu barunya.
“Sir, kau tidak tahu seberapa penting suaramu untukku,” Aku nyaris merengek saat mengatakan itu, “Aku rela melakukan apa saja untukmu jika kau memberikan rekaman suara itu kembali. Apa saja. Jadi, kumohon...”
Alisnya naik sebelah, “Apa saja?”
“Not s*x!” Ujarku, menyilangkan kedua tanganku di d**a, menyembunyikan belahan payudaraku yang menyembul dari balik kerah gaunku yang rendah, “Apa saja kecuali tidur denganmu!”
Dia tertawa sinis, menatapku geli, “Jangan terlalu menyanjung dirimu, Sunshine. Kau sangat pasif saat kita berciuman tadi malam. Dan aku tidak punya niatan untuk tidur dengan patung.”
Dia berjalan mengitari tubuhku, ke arah pintu. Ketika membukanya, dia mengatakan, “Tawaran yang sangat menarik. Tapi sayang sekali, aku tidak punya rekaman itu. Jadi, semoga beruntung.”
Aku tidak pernah membenci satu pun makhluk hidup.
Aku selalu berusaha agar tidak membenci supaya orang-orang mencintaiku.
Kecuali, padanya.
Aku membencinya, dengan seluruh jiwa dan ragaku!