bc

KUTUKAN LUCIFER: TERJEBAK DOSA DENGAN SANG IBLIS

book_age18+
303
FOLLOW
2.5K
READ
billionaire
HE
playboy
arrogant
badboy
bxg
kicking
detective
campus
office/work place
war
friends with benefits
seductive
like
intro-logo
Blurb

[21+] Ruby Cornelia Hale mengidap insomnia akut, harus menemukan lelaki pemilik rekaman suara yang menjadi satu-satunya hal yang mampu membuatnya tidur di malam hari.

Ekspektasi Ruby hancur begitu mengetahui pemilih rekaman suara yang ia dengarkan selama 4 tahun belakang adalah cowok sombong, dingin dan angkuh, yang sialnya sangat tampan.

Demi bisa tidur, Ruby rela berbagi atap dengan musuh sekaligus obat insomianya.

Dengan satu syarat:

"Jangan pernah gigit bibirmu di depanku, Ruby. Atau aku akan menciummu, tidak peduli jika kau pacar CEO kita!"

chap-preview
Free preview
Prologue
Aku baru kenal pria ini. Tidak lebih dari 5 hari, jika aku tidak salah hitung. Sudah lama aku tidak tidur cukup, jadi susah mempercayai otakku saat ini. Mari kita panggil dia Lucifer—karena jelas pria sombong, angkuh, dan berhati dingin ini adalah utusan iblis. Dia tidak seperti pria gentleman yang ada di n****+-n****+ yang sering aku baca—justru kebalikan dari kata gentleman. Pria ini kasar. Bahkan ketika bibirnya bergerak di bibirku, aku bisa merasakan kemarahannya. Bagaimana lidahnya menyusuri mulutku seperti aku properti miliknya. Tangannya tidak pernah diam, selalu bersarang di leherku. Melingkar begitu erat dan sedikit mencekik. But damn, I love it! Aku tidak pernah dicium seperti pria asing ini menciumku. Dia merampas segalanya dariku; nafasku, tenagaku, bahkan pikiranku. Aku sepenuhnya gila ketika dia menghimpitku, menekan berat tubuhnya pada titik paling sensitif dari diriku. Tangannya yang bebas menggoda pahaku. Bermain-main dengan jemarinya—ke atas dan ke bawah, lalu memutar. Sengaja mengganggu aku, membuatku hilang akal. Dan iblis itu berhasil. Darahku berdesir hebat akibat sentuhan lembutnya. Lalu tiba-tiba, dia tidak lagi menciumku. Namun wajahnya hanya beberapa senti di depanku. Aku masih bisa merasakan nafas beratnya berhembus di pipiku. Genggamannya pada leherku semakin mengerat, sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk menarik nafas. Sudut bibirnya naik sebelah, penuh dengan ejekan dan kesombongan. “Oh, Sunshine. Lihatlah dirimu, merona begitu merah hanya karena ciuman.” Aku ingin membalasnya dengan ketus. Ingin memaki di depan wajah tampannya yang seperti hasil pahatan. Tapi aku tidak bisa menemukan suaraku. Bagaimana bisa seseorang berbicara setelah ciuman sebuas itu?! Bahkan bernafas pun masih susah! Aku hanya diam, memperhatikan mata hitamnya yang semakin menggelap. Memperhatikan bibir merahnya yang membengkak, rahangnya yang mengatup keras. Iblis sialan ini punya rahang yang begitu tajam—oh, betapa aku sangat ingin menjilat rahang itu, tidak peduli jika lidahku akan terluka. “Kau… kau tidak boleh menciumku!” Aku ingin terdengar tajam, tapi justru gemetar. “Kau pikir aku mau menciummu?” Ia mendekat, hingga hidungnya menyentuh pipiku, “Kau melanggar kesepakatan kita, Sunshine. Kau tidak ingat?” Ah, sial. Kesepakatan bodoh itu: Ruby Cornelia Hale dilarang gigit bibir di depan Lucifer. “Ya, tapi kau tidak perlu menciumku juga, bodoh! Kau bisa bilang baik-baik. Apa mulut sampahmu hanya bisa kau gunakan untuk melakukan hal yang jorok saja?!” Dia tertawa, singkat dan sinis. Persis seperti sang iblis. “Oh, jangan munafik, Sunshine.” Jemarinya berpindah menangkup pipiku, ibu jarinya bersarang di bibir bawahku, menekan dengan kasar, “Kau tahu aku tidak tahan setiap kali kau menggigit bibirmu. Dan peraturannya sudah jelas, kau tidak boleh melakukan itu. Tapi kau tetap nakal dan melanggarnya." Ia mendekat, hingga bibirnya berada tepat di depan telingaku, lalu berbisik serak, "Apa kau sangat ingin kucium, Sunshine? Apa kau sangat ingin aku menghukummu?” Arrogant son of a bitc— “Tidakhh!” Aku berusaha berteriak, tapi justru terdengar seperti rintihan, karena salah satu tangannya masih di pahaku. Bernari-nari, membuat buluku meremang. “Aku sudah punya pacar...” “Oh, CEO kita?” Senyumnya naik semakin lebar, “Hm, aku penasaran bagaimana reaksi Mr. Boss saat tahu betapa kau menyukainya saat aku menciummu?” Apa yang baru saja si bodoh ini bilang?! “Kau lagi halu, ya? Kau menjijikkan, Lucifer! Aku ingin cepat-cepat mencuci mulutku tujuh kali habis ini dan tidak lupa pakai air tanah supaya bau jigongmu hilang!” Bohong. Lucifer wangi sekali. Kali ini Lucifer benar-benar tertawa. Hingga kedua matanya tertutup. Oh, sialan! Dia bahkan terlihat sangat indah ketika tertawa. Tidak lagi seperti iblis, seperti malaikat malahan. Malaikat pencabut nyawa! Pada akhirnya, Lucifer melepasku. Ia mundur satu langkah, tapi mata hitamnya tidak pernah berpaling dari wajahku. Dan meskipun aku masih merindukan kedekatan bersamanya, tatapannya saja sudah cukup untuk membuat tubuhku kepanasan. “Kau sangat lucu saat sedang membohongi dirimu sendiri." Kali ini dengan lembut, Lucifer mengacak rambutku. "Good night, Sunshine. Aku akan menelponmu dari kamarku.” Setelah mengatakan itu, ia mulai berjalan pergi. “I hate you!” Lucifer berhenti, berbalik dengan senyum angkuh di bibirnya, “Tidak, Sunshine. Kau berharap bisa membenciku. Tapi sayangnya, kau tidak akan pernah bisa.” Baru kemudian, dia benar-benar pergi. Menghilang ke balik pintu kamar biru dongker yang berada tepat di sebelah pintu kamarku. Ya, benar, kalian tidak salah dengar. Lucifer dan aku tinggal di bawah atap yang sama. Dia musuhku, teman kantorku, dan roommate-ku. Kalian pasti bingung, kan, kenapa hidupku sedrama ini? Biar aku ulang sedikit. Aku, Ruby Cornelia Hale, alumni salah satu kampus Ivy League, yang cukup sukses membangun karir hingga mampu menyewa unit apartemen yang cukup layak di tengah Kota New York, sebelum usia 25 tahun. Sebelum ada yang berspekulasi, jawabannya adalah tidak—aku bukan ani-ani simpanan om-om. Aku hanya… gila kerja. Dan seperti penduduk Amerika penggila kerja lainnya, hanya dalam kurun waktu 2 tahun sejak bergabung, aku berhasil dipromosikan sebagai kepala divisi Public Relation dan Marketing di sebuah perusahaan Start-Up bernama Wolverhythm—remaja zaman sekarang biasa menyingkatnya menjadi Wolvy: aplikasi berbagi musik bergenre metal-rock. Karena itu… atau mungkin karena kebetulan aku pacaran dengan sang CEO. Well, aku gadis yang sederhana dan tidak munafik. Jika seorang CEO—yang literally adalah pria paling seksi di planet bumi, billioner kaya raya, dan masih di usia 30 awal—ingin menjadikan aku pacarnya, maka siapa aku yang berani menolak nikmat sebesar itu? Kau mungkin akan bertanya:“Nggak bahaya, tah, pacaran sama boss sendiri?” Tenang, aku sudah memikirkan semuanya matang-matang. Bahkan aku sudah memikirkan masa depanku dua puluh tahun ke depan matang-matang. Berkencan dengan CEO sudah dipastikan akan menjadi gosip terpanas di kantor. Dan meskipun egoku akan melesat tinggi jika satu dunia tahu aku berkencan dengan manusia Tuhan yang paling seksi, aku juga tidak bodoh. Aku tidak ingin darah dan keringat yang kuhabiskan selama dua tahun belakang membangun karir dari nol hanya dianggap omong kosong karena kebetulan aku tidur di kasur yang sama dengan sang CEO. Jadi, kami backstreet. Hanya aku, sahabatku, pacarku, dan Tuhan yang tahu tentang hubungan penuh skandal itu. Karena meskipun berat untuk kuakui, aku adalah seorang people pleasure. Sudah naluriku untuk selalu ingin dicintai oleh orang-orang disekelilingku. Jika aku menjadi gadis yang dikucilkan di kantor, maka aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak di malam hari. Dan sisi baiknya, aku tetap bisa menjadi seorang social butterfly yang dicintai semua orang di kantor sekaligus memiliki pacar terhebat secara private. Hidup yang sempurna, bukan? Well… hampir. Kecuali satu hal. Aku pengidap insomnia akut. Ya, penyakit konyol yang biasanya dialami oleh remaja pubertas. Tapi tampaknya, insomnia sangat mencintaiku sampai terus mengikutiku hingga aku dewasa. Sejak sekolah menengah, aku tidak pernah bisa tidur di malam hari. Ibu dan ayah sudah mencoba segala cara—bahkan membawaku ke psikiater—tapi tidak ada yang mempan padaku. Hingga satu malam. Aku sedang mencari bahan penelitian untuk proyek kuliah, saat tanpa sengaja menemukan sebuah rekaman suara di website kuno bernama soundcloud—web berbagi musik yang mulai jarang dikunjungi warganet sejak Spotify rilis. Ajaibnya, aku langsung tertidur mendengarkan suaranya. Itu adalah pertama kali dalam hidupku aku bisa tidur sebelum tengah malam. Suara itu milik seorang lelaki dengan username Hail-to-Lucifer (Translate: Salam untuk Lucifer)—yang sebenarnya sangat creepy dan terdengar seperti seorang penyembah setan—namun lelaki itu memiliki suara paling menenangkan di seluruh dunia. Sedikit mirip suara Harry Styles. Sedikit. Dan, ya, selama lebih dari 4 tahun, suara itu sudah menjadi obat rahasia paling ampuh yang merubah hidupku. Kunci dari lulusan sekolah Ivy League, predikat kepala divisi terbaik tahun ini, dan kehidupan social butterfly. Aku tidak pernah sadar jika tidur cukup selama 8 jam adalah hal terpenting di hidupku, hingga tiba-tiba… aku kehilangan suara itu. Ponsel dan laptopku dicuri—beserta suara Hail-to-Lucifer di dalamnya. Dan ketika aku hendak mengunduhnya lagi, suara itu sudah tidak ada di web soundcloud dan di mana pun. Begitu saja, dunia sempurnaku… perlahan runtuh. Jadi, aku memutuskan mencari lelaki ini. Lelaki misterius pemilik suara terindah yang pernah kudengar. Yang sudah menemani tidurku selama 4 tahun terakhir. Tapi siapa sangka, cerita ini ternyata punya plot twist yang gila. Aku menyesal telah bertemu dengannya, dengan Hail-to-Lucifer. Karena meskipun suara iblis itu adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki hidupku, dia juga lelaki paling sombong, dingin, dan paling angkuh yang pernah kutemui. Dan bagian terburuknya, kami harus tinggal di atap yang sama!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dokter Jiwaku Membuatku Menggila

read
15.7K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
4.3K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
7.0K
bc

CINTA ARJUNA

read
18.4K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
4.8K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
2.7K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
26.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook