5. "Ciuman di toilet bersamamu cukup menyenangkan."

1194 Words
Sunshine's POV “APA KAU SUDAH TIDAK WARAS?!” Jawabannya, iya. Aku sudah tidak waras. “Kau sadar, kan, ini ilegal?! Perbuatanmu adalah contoh nyata psikopat! Kau menguntit dan membawanya ke apartemen saat dia sedang mabuk, Ruby!” Uh-huh. Kalian tidak salah dengar. Hail-to-Lucifer di apartemenku. Tepatnya, terbaring tidak sadarkan diri di ranjangku. Menggunakan satu-satunya pakaian pacarku yang tertinggal di tempatku. Ngomong-ngomong, tadi malam dia muntah. Dan aku tidak punya pakaian seukuran tubuh besarnya, kecuali kemeja putih milik pacarku. Kaitlyn sudah lama hilang di dunia mimpi saat aku tiba di apartemen sambil menggendong HailtoLucifer di punggungku Cukup menyiksa ternyata, mengganti pakaian pria yang sedang mabuk sendirian. Pertama, tubuhnya dua kali lipat tubuhku. Kudua, Hail-to-Lucifer bukan bocah kutu buku penyembah setan yang aneh. Lelaki ini memiliki tubuh yang terbentuk dengan sempurna—tidak besar mengerikan, melainkan otot yang terbentuk secara natural. Syukurlah, muntahannya tidak sampai kena celanan. Karena akan seberapa canggung jika aku harus mengganti celananya juga? Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu kebera— “Ruby!” Teriakan Kaitlyn menghempasku dari lamunan kotor. “Fokus!” Aku mengalihkan pandanganku ke arah lelaki yang berbaring di ranjangku, “Dia mabuk dan pingsan di trotoar. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan.” “Kau tidak bisa atau tidak mau?” Bisa jadi keduanya. “Dan bagaimana kalian bisa bertemu, sih? Kita tinggal di tengah kota terpadat di muka bumi dan bisa-bisanya kau bertemu dengan cowok misteriusmu ini?!” Aku sedang duduk di bar. Lelaki ini kebetulan berada di sebelahku dan mulai berbicara. Aku menyemburkan air ke wajahnya karena terkejut. Dia ke pergi berberes ke toilet, aku mengikutinya, mendorongnya, dan kami berciuman. Dengan sangat buas. Tidak, tidak! Kaitlyn sudah dipastikan akan membunuhku jika aku memberitahunya. “Ternyata… ucapanmu ada benarnya, Kathy. ‘Jodoh pasti bertemu’. Hail-to-Lucifer kebetulan berada di sampingku saat aku sedang memesan minuman, jadi…” “Kalian bertemu semudah itu?! Lalu apa yang kau katakan?!” Aku bukan pembohong handal—bahkan bisa dibilang pembohong yang payah. Aku langsung berkeringat karena bingungan mengarang cerita. Di saat bersamaan, Hail-to-Lucifer bergerak dari tidurnya—bisa jadi karena mendengar teriakan sahabatku. Oh, Thank God! Matanya terbuka perlahan. Wajahnya mengerut, menyesuaikan cahaya matahari. Ia terlihat kesakitan—dari bagaimana tangannya segera meraba kening—memijat urat-urat yang terlihat tegang. Mata hitamnya sontak terbuka sempurna saat menyadari keberadaanku dan sahabatku. “Aku dimana?” Gumamnya, dengan suara khas bangun tidur. Ia menyisir rambut hitamnya yang berantakan dengan jari. Matanya menyisir ke sekeliling, hingga bertemu denganku. “Tunggu. Kau siapa?” Ouch! Aku hampir patah kaki karena membopongnya agar dia bisa tidur dengan nyaman di ranjangku alih-alih di trotoar yang dingin. Lalu dia bertanya, aku siapa? Setelah membuatku nyaris sesak nafas karena ciuman yang brutal. DAN DIA BERTANYA, AKU SIAPA? “Kau di apartemenku.” Kataku dengan lembut, pada akhirnya. Menolak tersinggung karena dilupakan begitu saja. “Apa yang terjadi?” Ia menarik diri hendak bangkit, tapi tampaknya efek alkohol belum hilang sepenuhnya. Pada akhirnya, ia hanya bersandar di dashboard. Tatapannya jatuh pada pakaian yang ia kenakan, “Apa yang terjadi dengan pakaianku? Did we…” Have s*x? “No!” Aku menjawab begitu cepat, “Kau pingsan di trotoar karena mabuk berat. Aku membawamu ke sini karena kau tidak memberitahu alamatmu. Lalu kau muntah di bajumu. Minumlah aspirin di nakas, untuk membantu hangover.” Dia menatapku sesaat, sebelum mengambil dua butir aspirin dari nakas, “Hm… terima kasih?” Apa dia serius? Apa terima kasihnya tidak bisa lebih tidak tulus lagi? “Tidak masalah.” Kataku pada akhirnya. Menolak untuk membiarkan amarah menang. Karena bagaimana pun, aku membutuhkan iblis sombong ini. “Well, ini agak… canggung.” Katanya setelah tampak lebih sadarkan diri, “Aku harus pergi—“ “Tunggu!” Aku bersorak, mendekat selangkah padanya, “Kau serius tidak ingat aku?” Aku mungkin tidak secantik itu untuk membuat seseorang jatuh cinta setelah ciuaman brutal di toilet club yang kotor. Tapi dari banyaknya pujian yang kudapat, aku yakin aku juga tidak seburuk itu untuk dilupakan begitu saja. Wajahnya semakin mengerut, penuh kebingungan. “Kita bertemu di Club tadi malam.” Tuturku, menjelaskan. Ekspresinya tidak berubah, jadi aku menambahkan, “Gadis yang mengenakan pakaian olahraga ke club?” “Oh.” Eksresinya lebih terlihat kesal dari pada senang. “Kau rupanya.” Astaga, iblis ini serius?! Bagaimana bisa dia melihatku seperti melihat kotoran, di saat aku yang harusnya marah padanya? Dia memaki dan membentakku. Dan sebagai imbalannya, aku dengan baik hati membawanya ke tempatku karena tidak tega jika membiarkannya bermalam di trotoar yang dingin. “Sekali lagi, terima kasih. Tapi, kau tidak perlu repot-repot melakukan semua ini. “ Ia bergerak hendak bangkit dari ranjangku. Lalu terdiam sesaat, “Dan maaf. Karena ucapanku dan karena melupakanmu. Ciuaman di toilet bersamamu cukup menyenangkan, tapi—“ Aku tidak mendengar kelanjutan ucapannya karena terlalu panik. Cepat-cepat aku melompat ke arahnya, membungkam mulutnya dengan tanganku. “WHAT?! KALIAN CIUMAN TADI MALAM?!” Kaitlyn berteriak di belakangku. Tapi satu-satunya yang bisa kupikirkan adalah rasa bibirnya di tanganku, bagitu lembut. Sangat kontras dengan perlakuan kasarnya ketika ia menghimpit tubuhku ke pintu dengan tadi malam. Matanya tidak sehitam sebelumnya, akibat pancaran sinar matahari di wajahnya. Cokelat, lebih tepat. Tapi masih mengintimidasi hingga membuat perutnya bergelitik. Sesuatu bergerak di bokongku. Dan baru saat itu aku sadar, bokongku mendarat tepat di salah satu pahanya—nyaris di atas pangkuannya! Aku cepat-cepat melompat darinya. Berbalik menghadap sahabatku, aku menemukan Kaitlyn menatapku dengan tatapan maut. “Kathy, itu terjadi begitu saja. Lebih ke salah paham—“ “Salah paham?” Pria dia belakangku tertawa angkuh, “Aku mungkin masih sedikit mabuk saat ini. Tapi aku masih ingat dengan jelas kau mendorongku ke kamar mandi, Nona.” Tatapan Kaitlyn semakin tajam—kurasa sebentar lagi dahiku akan berlubang. “Hey, sir!” Aku melirik lelaki itu tajam, “Aku sedang berbicara dengan sahabatku. Apa kau bisa tidak ikut campur?” Dia tersenyum angkuh dan mengedikkan bahunya. “Tolong jelaskan.” Ujar Kaitlyn, dingin. Melipat tangannya di d**a. "Aku ingin detail." “Kathy my love, aku akan menjelaskan semuanya. Semua detail tanpa tertinggal.” Tuturku memelas, “Tapi saat ini, aku butuh berbicara dengannya dulu. Please….” Kaitlyn tidak terlihat senang, tapi dia mengangguk pada akhirnya, “Baiklah. Aku akan menunggu di luar sambil membuat sarapan.” Oh, Tuhan, bagaimana aku akan mencari pengganti roommate sebaik gadis ini? Sepergian Kaitlyn, suasana mendadak senyap. Hail-to-Lucifer duduk di ranjangku, bersandar di dashboard dengan agung—kaki bersilang di atas lututnya, bak pangeran yang duduk di singgasana kerajaan. Kerajaan iblis. "Hi!" Sapaku, setelah beberapa saat. Dia memandangiku aneh, "Hi?" Sial, jantungku berdebar begitu cepat. Ingatan lelaki ini menolakku dengan dingin tadi malam masih segar di kepalaku. Rasanya pahit untuk mengulangnya lagi. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Aku berdehem, “Tidak akan lama, aku berjanji. Anggap saja ucapan terima kasih karena tidak membiarkanmu tidur di jalan." Ekspresinya terlihat jelas ia terganggu. “Aku tidak ingin membicarakan apa pun denganmu—“ Lalu ia terdiam. Hidungnya mengembang, seolah mengendus sesuatu. Aroma pancake masuk dari pintu kamarku yang terbuka. Aromanya manis dan gurih. “Tapi jika tidak lama, aku bisa mendengarkan… sambil sarapan.” Oh. Iblis ini ternyata licik juga. “Deal.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD