BERKENALAN DENGAN PENGACARA PERCERAIAN

1147 Words
Adit tentu tahu mengapa Farhan minta ruang VIP bila makan dengan dirinya. “Kan jelas-jelas calon mantan suami Wintha sudah punya anak umur satu tahun. Minimal mereka sudah menikah dua tahun dong? Dan nggak mungkin kan tiba-tiba nikah. Pasti sebelumnya mereka berhubungan jadi minimal sudah tiga tahun Wintha di bodoh-bodohi oleh calon mantan suaminya.” “Iya sih,” jawab Farhan. Dia memang tak ingin Wintha dibilang selingkuh. Padahal di ruang terbuka juga mereka akan makan berempat. “Kalau begitu aku akan reservasi ruangan luar saja ya, nggak usah VIP?” “Iya reservasi saja ruangan luar untuk lima orang. Biar kita lebih nyaman. Kalau dibikin empat orang takutnya space-nya sangat kecil.” “Minta high chair untuk Raffa. Di rumah makan biasanya ada high chair kok.” “Baik Mas,” jawab Farhan. Dia pun langsung reservasi tiga orang dewasa dan satu kursi high chair untuk anak-anak. ≈≈≈≈≈ Hersa Pratama papinya Mega tentu saja sedih mengetahui rumah tangga anaknya kandas saat baru dua tahun menikah, tapi dia juga tidak mau memaksakan agar anaknya bertahan, karena tahu ternyata selama ini menantunya tidak pernah mencintai putrinya. Itu yang diceritakan oleh Mega. “Aku pikir dia memang orangnya dingin dan tidak ekspresif Pi, jadi dia tidak pernah mengatakan cinta, tapi hanya aku lihat ada atensi untuk aku. Memang waktu itu aku tanya lalu hubungan kita mau ke mana dan dia jawab kamu mau menikah dengan aku yang miskin dan yatim piatu, ya aku bilang mau itulah. Jadi memang dia tidak pernah mengatakan cinta pada aku, hanya ada atensi kecil-kecil yang aku pikir itu cara dia menyampaikan cinta,” urai Mega. “Bahkan waktu aku bikin kejutan spesial dinner ketika aku hamil Tya saja dia tidak mengungkapkannya dengan ekspresif. Dia hanya mencium kertas dari rumah sakit menandakan bahwa dia suka cita. Itu saja Pi.” “Dia tidak pernah menolak apa yang aku minta, misal saat aku meminta dia mengelus perut ketika aku hamil, tapi dia tidak pernah menawarkan aku ingin dibawakan apa dari Batam atau dari mana pun saat dia mau pulang ke rumah. Dia tidak pernah membawakan oleh-oleh kejutan atau apa pun ke rumah walau rutin pulang. Jadi dia datang hanya dengan baju-baju kotornya saja lalu nanti dia pergi kembali dengan baju bersih untuk berada di Batam.” “Saat aku ngidam minta sesuatu, dia akan turuti akan carikan tapi tidak pernah terlihat antusias walau tak terlihat terpaksa.” “Dan saat aku minta dia ambil cuti menjelang HPL ku dia bilang tidak bisa segera ambil cuti walaupun dia kepala proyek. Saat aku melahirkan, sebelum berangkat ke rumah sakit aku sudah menghubungi dia. Saat itu aku memang mendengar ada suara perempuan dan tangis anak kecil. Aku pikir dia sedang di rumah makan atau apa. Lalu dia bilang dia akan segera datang.” Saat dihubungi Mega ketika hendak melahirkan Tya memang Ridwan sedang berada di Jakarta. Saat itu Ridwan langsung bilang kepada Wintha bahwa kantor meminta untuk datang segera dalam dua hari karena ada masalah penting dan Ridwan memang segera datang ke Bandung tiba saat anaknya sudah lahir. Bukan dia yang mengadzani sang putri, yang memberi azan adalah kakek dari Tya yaitu Pak Hersa Pratama. “Seperti yang Papi katakan kemarin, apa pun langkah yang akan kamu ambil Papi akan dukung. Seperti saat ini kamu janjian dengan pengacara yang akan membantu urusan proses cerai mu.” “Selama ini Papi tidak pernah tanya dia sedang berada di mana karena Papi tidak mau peduli dengan proses kerjanya. Papi lihat hasil akhirnya selalu bagus. Tapi sejak kemarin Papi tahu dia ada di Batam. Mungkin dia bingung mau kembali ke sini juga dia tidak berniat untuk mempertahankan rumah tangga denganmu karena selama ini dia tidak pernah mencintaimu, kan versi kamu seperti itu.” “Dan Papi yakin istrinya di Jakarta juga tidak ingin bertemu dengannya sehingga dia bingung lalu dia lari ke kantor di Batam.” “Sekali lagi maaf Papi mohon maaf. Untuk urusan kantor dia tetap pegawai Papi.” “Nggak apa-apa Pi. Aku tetap akan urus gugat cerai kok, walau istrinya menggugat cerai sekalipun, aku tetap tidak ingin minta balikan.” “Bahkan saat dia tahu dia akan diceraikan oleh istri tuanya saja, dia tidak menghalang-halangi aku untuk bertahan supaya dia tetap punya istri. Tidak Pi. Dia sama sekali tidak memperjuangkan aku karena memang di matanya aku tidak ada. Jadi buat apa aku bertahan?” kata Mega berupaya tegar. “Nah itu Bu Sundari dan Pak Halim datang. Mereka yang akan mengurus perceraian mu,” Hersa Pratama menunjuk dua orang yang baru datang ke resto. “Apa mereka bisa jaga rahasia Pi? Aku tidak ingin ada rumor. Sebelum jatuh talak bahkan sudah jatuh talak pun biarkan saja tidak perlu diumumkan kalau aku sudah resmi bercerai dengan dia. Jujur predikat janda tentu berat buat seorang perempuan seperti aku terlebih janda karena cerai bukan janda karena ditinggal mati,” Mega gamang dengan gelar janda yang akan segera di sandangnya. “Mereka bukan pengacara abal-abal. Pasti mereka akan menjaga kerahasiaan kliennya,” kata Hersa Pratama. Saat itu datang ibu pendek gemuk yang tadi sudah disebut oleh Hersa sebagai ibu Sundari dan seorang lelaki muda gagah berkacamata, kulitnya putih matanya sedikit sipit dengan kacamata hitam yang menambah kesan bahwa dia orang yang sangat serius rambutnya lurus hitam. Hersa Pratama mengatakan lelaki tersebut bernama Halim, entah siapa namanya mereka belum cukup dekat untuk bisa bersalaman berkenalan dengan Mega. “Selamat siang pak Hersa,” sapa ibu Sundari saat sudah dekat, dia langsung mengulurkan tangannya. “Apa kabar Bu?” jawab Hersa sambil berdiri dan dia menyambut uluran tangan bu Sundari. Mereka pun berjabatan tangan. “Ini anak saya yang semalam sudah saya ceritakan,” kata Hersa mengenalkan Mega pada Sundari. “Selamat siang Bu Sundari, saya Megawati, panggil saja Mega,” ucap Mega sambil berdiri dan mengulurkan tangannya pada Bu Sundari. “Senang berkenalan dengan Anda Mbak Mega. Sudah lama saya menjadi pengacara kantor juga pengacara pribadi Pak Hersa. Tapi belum pernah ketemu Mbak Mega karena selama ini yang saya tahu Mbak ada di London ya.” “Saya sudah pulang tiga tahun lamanya loh,” kata Mega. “Apa waktu pernikahan saya Ibu tidak hadir?” “Saat Mbak Mega menikah, suami saya sedang kritis dan dua hari kemudian meninggal. Jadi saya tidak bisa hadir saat itu.” ucap Bu Sundari. “Kenalkan ini rekan saya, sekaligus juga anak sulung saya. Namanya Halimii Pradana,” Sundari memperkenalkan asistennya yang bernama Halim. ‘Pasti suami ibu ini tinggi dan kulitnya putih tidak seperti Bu Sundari yang pendek gemuk dan sedikit coklat sawo matang,’ batin Mega melihat bagaimana sang putra tinggi putih dan ganteng tentunya. “Mega.” kata Mega mengulurkan tangan pada Halim. “Senang berkenalan dengan Ibu. Nama saya Halim,” jawab lelaki muda tersebut. “Silakan duduk Bu Sundari, kita makan dulu baru kita ngobrol ya,” Hersa mengajak tamunya duduk. Mereka pun langsung memesan makanan yang akan disantap siang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD