Keringat dingin mulai membasahi tubuh Laura. Ia tetap meringkuk ketakutan sampai memeluknya lututnya sendiri. Gadis itu tidak berani menatap ke arah orang yang memanggilnya.
Orang itu mendekat lalu duduk di samping Laura. Hawa dingin datang menerpa tubuh gadis itu. "Jangan takut padaku, Laura." Suara itu kembali terdengar di telinga gadis itu. "Aku tidak akan menyakitimu," ucapnya lagi.
Kalau dipikir dengan logika, Laura membutuhkan orang di sampingnya. Ia harus mencari tahu perihal buku tersebut. Lagi pula, gadis itu juga tidak ingin dihantui oleh mimpi buruk selamanya.
Laura menenangkan tubuhnya dengan menghirup nafas panjang. Anggap saja berbicara dengan orang yang nyata. Pasti ada sebab kenapa dia datang padanya. Setelah memantapkan hati, gadis itu memberanikan diri menatapnya.
"Aku tahu, kau tidak akan takut melihatku." Wajah pucat pasi tanpa aura kehidupan. Memakai baju stelan berwarna hitam. Tidak lupa kacamata tebal menghiasi kedua matanya. Rambut tergulung rapi dan kaki yang tidak nampak di tanah.
Saat mata Laura tertuju dibawah. Tenggorokannya tercekat. Ia tidak bisa berteriak mengeluarkan suara. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di dalamnya.
"Aku kecelakaan saat menemukan buku itu," ujarnya menatap kosong ke arah bangku kosong disana. "Rak yang ada di sana tiba - tiba roboh dan mengenai diriku." Sepertinya, dia tidak rela kalau harus mengalami hal demikian.
"Laura, dia tidak ingin miliknya disentuh. Kecuali orang yang dipilih. Dan orang itu adalah kau."
Laura bingung harus menjawab apa. Perkataan dia sangat ambigu. "Itu garis nasibmu, Laura. Kau tidak bisa menghindarinya.
Terkutuk sudah buku kono menyebalkan itu. Seharusnya, barang tebal itu sudah didaur ulang agar tidak menimbulkan masalah bagi manusia yang masih hidup.
Laura sudah gatal ingin bicara dengannya. Ia akan berdamai dengan situasi seperti ini. "Miss Ana," panggilnya lirih. Dia pun menoleh, "Kau harus menuntaskannya, Laura." Sosok itu menghilang perlahan meninggalkan tanda tanya. Gadis itu bingung karena ia belum sempat bertanya mengenai buku itu.
Fine, ternyata Miss Ana datang hanya menyampaikan hal tidak penting. Tapi, tunggu dulu. Dia yang tidak terpilih akan celaka. Lantas, bagaimana dengan Amber? Gadis itu langsung lari menuju ke tempat semula. Ia mencari keberadaan sahabatnya.
"Sial," umpat Laura berulang kali. Kalau sampai buku itu melukai sahabatnya. Aku dipastikan benda itu hancur lebur. Hanya sebuah tumpukan kertas saja membuat hari indahnya menjadi suram.
Mata Laura masih mencari keberadaan Amber. Ia bernafas lega saat melihat gadis itu berbicara dengan orang yang tidak asing baginya.
What the hell, pergilah ke dasar neraka terdalam. Memang tidak patut dikhawatirkan. Amber sedang mengobrol santai dengan Antonio. Bahkan, dia melambaikan tangan dengan gaya anggun seperti putri raja kearahnya.
Runtuh sudah semuanya. Laura ingin lari menghindar tapi tidak bisa. Ia hanya diam membeku melihat mereka berdua. Mata gadis itu melihat ke arah dahan pohon yang akan jatuh tepat mereka berdiri.
Laura berlari kencang lalu mendorong mereka berdua sebelum dahan itu jatuh. Kedua remaja itu jatuh ke tanah. "Maafkan aku," sesalnya sambil menunduk.
Dahan pohon kemudian jatuh ke tanah. Mata Antonio dan Amber hanya melotot kaget. Mereka berdua selamat. Tadi, Amber sempat ingin memaki Laura. Namun, keinginan itu sirna sebab dia melakukan hal itu karena dahan yang jatuh.
"Kenapa kau tidak berteriak?" tanya Amber sambil berdiri. "Aku tidak mau dianggap orang gila," jawab Laura cepat. Ia berjalan ke arah Antonio mengulurkan tangan. "Maafkan aku, Nio. Bajumu kadi kotor."
Antonio masih membeku di tempat. Jantungnya bergetar senang karena Laura memanggil nama kecilnya. Oh astaga, memang cinta pertama tidak mudah berpaling. Meskipun ia berkencan dengan banyak gadis, tapi cintanya tidak pernah pudar.
Katakanlah bahwa Antonio adalah pria b******k. Tapi, sesuatu yang berharga dalam dirinya tidak akan pernah diberikan kepada gadis lain kecuali Laura. Biarlah John sahabatnya mengejek dengan sebutan perjaka tua. Itu tidak masalah baginya. Hal yang dijaga akan terasa indah bila di bongkar saat janji suci sudah terikat.
"Nio," panggil Laura lagi. Antonio tersentak lalu menerima tangan gadis itu. "Aku baik - baik saja." Setelah penembakan di tahun pertama perkuliahan, baru kali ini gadis itu bicara padanya.
Semua orang yang ada di sekitar taman hanya melongo melihat kejadian itu. Laura menjadi perbincangan hangat di antara mereka. Sekelebat bayang hitan berdiri di samping pohon. Dia menghilang ditelan udara. Jauh dari sana, ada sosok perempuan yang tersenyum menatap ke arah mereka. Usahanya tadi ternyata berbuah manis. Dua orang bisa selamat lantaran tanggapan dari gadis itu.
Maya mengepalkan tangan kuat hingga goresan di telapak tangan tercetak jelas. Ia sangat marah melihat Antonio dan Laura terlihat dekat. Madalia hanya bisa menghela nafas panjang. Memang kalau orang sedang cemburu bisa gelap mata. Padahal, mereka tidak melakukan apa - apa.
"Mereka tidak sedang bermesraan." Perkataan Madalia membuat emosi Maya kian memuncak. Ia menarik kerah Caesar untuk menjauh dan meninggalkan Madalia sendirian.
Beralih ke mereka bertiga yang masih dalam tontonan semua orang. Mereka belum sadar sampai John datang menghampiri Antonio. "Kalian baik - baik saja. Aku baru saja meninggalkanmu sebentar. Kau sudah hampir celaka." Pria itu berlagak manja membuat Amber semakin infiel.
"Sebaiknya kita pergi, Amber." Laura berbalik arah, namun tangannya dicekal oleh Antonio. "Kita ke kantin kampus," ucapnya sambil menyeret Laura menjauh dari Amber dan John.
Antonio tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Laura. Ia tidak ingin menjaga jarak. Selama ini, pria itu berusaha mengalihkan perhatian dengan bicara dengan beberapa gadis sambil membuat gadis di sampingnya cemburu. Namun, semua yang dilakukannya sia - sia saja.
"Aku tidak mau menjadi bahan tontonan, Nio." Laura membuang muka menggembungkan pipinya. Wajahnya merah merona karena malu bergandengan tangan seperti ini.
Antonio melirik Laura sambil tersenyum puas. Lauranya tidak berubah sama sekali. Mudah malu hingga merona. Dengan wajah seperti itu membuatnya semakin gemas.
"Sebagai rasa terima kasihku, aku ingin kau makan denganku." Laura menghentikan langkahnya. Ia menoleh kebelakang memastikan keberadaan Amber. Gadis itu melambaikan tangan berada tidak jauh dari mereka berdua.
"Ada apa?" tanya Antonio. "Aku ingin bersama Amber." Sebenarnya, Laura sangat khawatir kalau ada hal buruk menimpa gadis itu.
"Kita masuk kantin terlebih dahulu. Mereka pasti menyusul." Keduanya masuk ke dalam kantin. Suasana ramai membuat Laura enggan dan malas menjadi bahan gosip. Ia kemudian melepaskan pegangannya dengan Antonio.
Pria itu sedikit kecewa dengan lepasan sepihak Laura. Namun, ia hanya bisa diam karena mengenal situasi saat ini.
Mereka berdua pun masuk ke dalam kantin tersebut dan memilih duduk di dekat jendela karena hanya tempat itu yang kosong. Laura mengamati sekitar. Nampak antri di bagian penjualan steak. Ia menghela nafas panjang melihat ke arah lain.
Pandangannya jatuh ke arah Caesar yang tengah duduk sendirian menikmati makan siangnya. Tempat yang tergolong luas dan mewah itu menyediakan berbagai macam menu seperti restoran elit. Wajar saja karena Universitas XX adalah kampus bergengsi tempat berkumpulnya semua anak konglomerat.
Amber menepuk bahu Laura hingga tersentak. Ia menggeser kursi lalu duduk dengan manis. "John telah memesankan kita makanan." Gadis itu mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya. Lalu memberikan benda itu kepada Laura.
"Aku tidak sanggup bila harus membawa buku yang tidak patuh," bisik Amber kepada Laura. Mau tidak mau, gadis itu menerima dengan paksa.
Okay, aku akan terima buku ini. Melihat semua kejutan yang akan terjadi di dalam kehidupanku. Jika aku lari, pasti dikejar.