Setelah menikmati makan siang mereka. Amber berlari menuju jajaran snack sebelum keluar dari kantin. Ia harus mengisi lagi perutnya saat berdiskusi dengan Laura. Gadis itu butuh penjelasan tentang kejadian tadi.
Antonio dan John pun saling tatap menatap memberi kode agar memulai pembicaraan. John akhirnya angkat bicara untuk membuyarkan kesunyian mereka. "Aku dan Antonio akan main basket. Kau mau ikut?" tanyanya dengan hati - hati.
Laura menatap mereka berdua. Ia sebenarnya sangat mengantuk lantaran begadang tadi malam. Ditambah lagi perutnya terisi penuh. Kalau tidur nanti, ia takut bermimpi buruk. Mengenai mimpi tersebut, gadis itu menghela nafas berulang kali sambil melirik buku yang ada di pangkuannya.
Biarkan aku hidup dengan nyaman. Tolong…, bekerja samalah.
Karena Laura bengong, John membuka suaranya lagi. "Bagaimana Laura, apakah kau mau ikut?" Gadis itu mengangguk setuju. Antonio pun merasa senang. Hatinya bersorak gembira dan berteriak - teriak kegirangan. Mungkin kalau tidak ada Laura pasti ia melompat lompat tidak jelas seperti anjing yang mengibaskan ekornya berulang kali.
Laura menggeser kursinya berjalan ke arah Amber. Sedangkan Antonio tersenyum dengan sejuta pesonanya hingga membuat John menggelengkan kepala.
"Kau senang?" tanya John. Secepat kilat Antonio mengangguk lalu menyeret lengan John agar cepat berdiri mengejar Laura.
Budak cinta, John selalu berpikir seperti itu terhadap Antonio. Kadang marah, cemas, benci dan sekarang berbunga - bunga. Aura menyilaukan mampu menggetarkan kaum hawa yang berada di kantin tersebut.
Antonio tidak sadar jika ia ditatap lapar oleh mereka. Di matanya, hanya ada Laura seorang. Tidak ada yang lain lagi meskipun gadis lain lebih cantik dan seksi.
"Kita ke ruang olah raga sekarang," ajak John diikuti oleh mereka bertiga.
Amber hanya memasang muka masam. Padahal, ia ingin sekali bicara dengan Laura perihal buku itu. Si kutu kupret pelayan setia Antoni malah mengajak Laura untuk melihat main basket. Dan dengan mudahnya, teman sekaligus sahabat karibnya itu mengiyakan.
"Kenapa kau tidak menolak ajakannya?" tanya Amber sambil berbisik lirih takut kedua orang yang sedang berjalan di depannya itu mendengar perkataan tersebut.
"Aku mengantuk dan tidak mau tidur. Jika aku tidur pasti mimpi buruk." Amber menatap Laura dengan iba. "Biarlah buku itu aku yang bawa."
"Tidak!!" teriak Laura dengan keras sehingga membuat dua orang di depannya berhenti.
"Ada apa, Laura?" tanya Antonio dengan cemas. "Kau berteriak dengan keras."
Laura gelagapan sambil meremas kemeja dengan kedua tangannya. "Aku… aku tidak apa - apa. Hanya perdebatan kecil," cicitnya sambil melirik Amber.
Antonio mengangguk, "Sebaiknya, kita bergegas ke lapangan. Mereka pasti sudah menunggu."
Mereka berempat berjalan cepat menuju ruang olahraga agar cepat sampai. Dari jauh, terlihat dua orang yang tengah berdiri sambil berbincang. Laura kenal dengan salah satu dari mereka. Ia tidak mengira bahwa si kacamata kenal dengan Antonio.
"Kenapa lama sekali?" teriak salah satu mahasiswa berambut keriting.
Antonio menatap tajam agar dia berhenti bertanya mengenai sesuatu yang tidak penting. Seakan paham, pria itu hanya membuang muka. "Oke aku tidak bertanya lagi."
"Siapa dia?" tanya John sambil menunjuk." Pria itu melipat kedua tangannya. "Orang yang aku temui di jalan karena diapit oleh nenek sihir."
"Kau bilang aku nenek sihir!!" teriak seseorang di ujung pintu tempat ganti. Mata Laura menatap ke arahnya. Ayolah, ia tidak ingin berurusan dengan medusa itu. Lihat, pakaian minim perusak mata indahnya.
"Dia selalu di sekitar kita. Aku benci ini." Amber berbisik di samping Laura.
"Wow, sorry. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya." Pria itu merangkul bahu si kaca mata lalu menyuruhnya duduk di bangku penonton.
Laura menyeret lengan Amber menuju bangku penonton sambil menatap tajam ke arah mahasiswa yang berambut keriting itu.
"Hai, cantik," goda pria itu kepada Laura. Gadis itu hanya acuh tidak menanggapi memilih duduk di samping Caesar. Maya tersenyum melihat itu dan berjalan ke arah Antonio diikuti oleh Madalia.
"Aku akan memberi semangat untukmu." Antonio membuang muka melewati Maya berniat untuk mengambil bola basket.
"Kau diacuhkan, Maya," ejek John sambil terkekeh geli. Maya diam menahan emosi. Ia menghentakkan kaki kesal. Madalia pun merangkul bahunya untuk menggiring gadis itu duduk di bangku penonton.
Semuanya berkumpul jadi satu di bangku penonton. Amber, Caesar dan Laura duduk di sebelah kanan berjarak satu satu meter dari Maya dan Madalia. Sementara Antonio, John dan pria keriting itu berdiskusi dengan jarak dua meter dari tempat duduk Laura.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Laura kepada Caesar yang hanya menunduk saja. "Bicaralah, kaca empat," geram Amber menyahut cepat.
Laura menatap Amber dengan tatapan sengit. "Jangan membuatnya tambah takut, Amber." Gadis itu menghela nafas kasar mencoba berkata lagi. Namun, Laura mencegahnya.
"Biarkan aku bicara padanya." Caesar adalah satu - satunya orang yang tidak celaka karena memegang buku itu. Laura sangat penasaran dengannya.
"Mengenai buku itu… emm…." Laura sengaja menggantung perkataannya memancing Caesar. "Buku itu hilang," jawabnya cepat.
Laura tersenyum, "Lantas, apakah terjadi sesuatu denganmu?" Caesar menggeleng, "Tidak, aku baik - baik saja."
Ini aneh, beberapa orang mengalami hal mengerikan. Seperti Amber tadi, dia hampir saja celaka gara - gara dahan. Sementara Miss Ana sudah berada di rumah sakit. Kemarin, waktu Amber memberikan buku kepada gadis menengah atas, gadis itu langsung mengembalikannya.
Semakin dipikir membuat otak Laura meletup. Amber menatap penasaran dengan pola pikir gadis itu. "Kenapa kau bertanya demikian kepadanya?" tanya Amber dengan berbisik.
"Aku bertemu Miss Ana. Dia datang padaku." Bola Mata Amber melotot sempurna. Tangannya menutup mulut karena terkejut. "Manusia atau hantu?"
"Arwah," bisik Laura lirih. Amber tidak menyangka kalau Laura akan berurusan dengan makhluk tak kasat mata. "Jangan bercanda!!" geramnya sedikit berteriak.
"Jangan teriak," ucap Laura sambil meremas kuat tangan Amber. Gadis itu meringis kesakitan lalu memukul lengan sahabatnya.
"Maafkan aku," ucap Laura sambil menatap le arah Antonio yang akan memainkan bola basket. Tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu. Pria itu tersenyum manis ke arahnya.
Gila, benar - benar gila. Senyuman itu mampu membuat Laura terpaku seperti patung hidup. Tubuhnya menegang diiringi dengan aliran darah yang bergerak cepat lantaran jantung terus memompa tanpa henti. Wajahnya merah merona lalu ia memutuskan untuk beralih pandang ke arah Caesar.
Pria kacamata itu sedang memainkan ponsel. Ia menatap lekat mencari celah akan wajah Caesar. Kalau dilihat dengan seksama, dia sangat tampan. Hidungnya mancung, kulitnya eksotis dan juga bibir merah kemerah - merahan miliknya.
Laura menggelengkan kepala cepat. Caesar seperti orang Asia tepatnya Indonesia. Tubuh yang tidak terlalu tinggi dengan garis wajah yang mungil seperti boneka. Kalau tidak dilihat dengan teliti, dia pasti dikira seorang gadis.
Gadis itu mengangguk mengerti saat tahu alasan Maya membully Caesar. Pasti karena kecantikan pria itu. Cih, dasar rubah betina. Melihat yang mulus dan bening darinya sifat iri muncul.
"Laura!!" Amber berteriak berulang kali namun gadis itu hanya diam merenung. Hingga panggilan lebih keras dirinya tersentak.
"Kau kenapa? Melamun di siang hari. Lebih baik lihat penampilan Antonio. Nenek sihir dan anteknya itu saja berteriak - teriak kesetanan," ucap Amber sambil memegang ponselnya melihat grup chat yang tertera di sana.
"Biarkan saja. Aku tidak peduli." Laura mengeluarkan buku kuno itu untuk melanjutkan bacaanya.
"Jangan keluarkan buku itu!" teriak Amber sedikit lirih takut kalau Caesar menoleh ke arah mereka. Benar saja, pria itu menoleh dan mendapati Laura sedang memegang buku kuno yang hilang.
"Kenapa buku itu ada padamu?" tanya Caesar penasaran. Belum sempat Laura menjawab bola basket melayang ke arahnya.
"Awas!!" teriak ketiga pria yang tengah berdiri di bawah ring. Laura belum sempat menghindar karena masih berbicara dengan Caesar yang sedikit jauh darinya. Ia terhantam bola basket di bagian kepala.
Darah menetes keluar dari hidung. Semua orang panik mendekat memberikan pertolongan kecuali Maya dan Madalia. Amber pun mengambil tisu mengusap darah tersebut.
"Kau tidak apa - apa?" tanya Amber khawatir. Darah masih menetes ke bawah hingga mengenai buku kuno tersebut. Cahaya menyilaukan berwarna putih muncul melahap mereka yang tidak jauh dari Laura. Ruangan itu menjadi sepi karena semua orang menghilang.