Seperti Sungai Nil dan Mesir

2024 Words
“Udah putusin aja,” nyinyir Fifa yang dihadiahi pelototan. Gadis itu terkikik-kikik sambil berjalan memasuki kamar mandi. Sudah dua hari ini, Aisha hanya bengong saja. Biasanya gadis itu akan membanting barang atau memaki. Tapi dua hari ini tidak. Ia sedang belajar untuk menahan mulutnya dan sikap kasarnya itu. Namun, hanya bertahan sampai detik ini. Karena detik berikutnya, gadis itu memukul nakas lalu menarik tasnya—beranjak pergi. Fifa yang sedang menyikat gigi, ber-istigfar dalam hati lalu keluar dengan cepat ketika mendengar suara pintu ditutup. Belum sempat memanggil, Aisha sudah  keluar. Ia menghela nafas. Memang yang namanya berubah itu tak ada yang mudah. Fifa paham. Untuk ukuran dua hari, Aisha berhasil mengelem mulutnya saja sudah syukur. Lebih dari ini, ia hanya mampu berdoa untuknya. Semoga Allah segera menurunkan hidayah-Nya. “Sha! Hei!” Marshall memanggil dari kejauhan saat melihat gadis itu melintas. Aisha tak menoleh sedikit pun. Bahkan ia terlihat acuh. Yang ada diotaknya kini hanya lah segera sampai di Jakarta. Ini sudah kelima kalinya Wira bertingkah dengan wanita yang sama. Kemarin mereka dinner dan itu menjadi hot news. Sayang-nya, malah menjadi kabar buruk bagi Aisha. Lalu tadi, lelaki itu kembali mem-posting kebersamaannya dengan wanita itu yang katanya rekan kerja. Rekan kerja seperti apa? Spesial sekali sampai dinner berdua? Benar-benar tak masuk akal! Dan air matanya tumpah setelah dua jam ia menguatkan diri. Cengeng itu sama sekali bukan dirinya. Tapi ketika berhubungan dengan lelaki ini? Sungguh berbeda. Ia berubah menjadi wanita cengeng. Amat sangat cengeng. Ia abaikan sopir taksi yang mengintip dari kaca. Ia memalingkan wajahnya ke jalanan Jakarta. Baru seminggu yang lalu ia kesini, lalu kini ia kembali menjejakkan kaki disini. Ia hapus air mata yang masih tersisa. Ia turun dari taksi dan berjalan cepat menuju pelataran gedung. Ia hanya tersenyum tipis saat sorot-sorot mata menatapnya—entah heran atau iba akan kehadirannya. Semua orang pasti tahu kabar tentang bosnya. Lalu ia yang selama ini dikenal sebagai kekasih lelaki itu dianggap apa? Ia bagai dicampakkan begitu saja. Dibuang ke laut tanpa tahu kabar berita. Kemudian saat hendak memasuki lift, kakinya membeku ketika pintu lift itu terbuka. Jadi benar, lirihnya. Dan tanpa tendeng aling, tasnya melayang menampar wajah tampan Wira sekeras-kerasnya. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia berbalik pergi. Berlari dengan cepat sambil terisak-isak. Belum sempat Wira mengejarnya, Fadli yang entah dari mana datangnya langsung melayangkan tinju ke wajah lelaki itu. “Lo udah keterlaluan sama adek gue!” desis lelaki itu kemudian berlari memasuki mobil. Mengejar taksi yang ditumpangi Aisha. JJJ “Aisha gak apa-apa,” tuturnya padahal jelas-jelas wajahnya basah. Fadli hanya bisa menghela nafas. Berkali-kali ia membujuk gadis itu untuk ikut dengannya, tapi gadis itu menolaknya. “Aisha masuk dulu. Sebentar lagi pesawatnya berangkat.” Fadli menatap sendu. Tangannya tergerak untuk mengacak-acak rambut Aisha. Gadis itu mendelik sebal dan ia tersenyum tipis. Ia tahu Aisha kuat walau manja. Adiknya memang cengeng tapi hanya sekejab karena detik berikutnya, ia mampu berdiri tegak kembali. Itu lah Aisha. Dia gadis yang aneh. Lemah tapi tak mau dianggap lemah. Yah, lebih tepatnya, ia gadis yang mempunyai gengsi tinggi. Mana mau direndahkan oleh lelaki walau nyatanya…ia lah yang mengemis cinta Wira. “Nanti minta jemput Kak Fadlan saja saat sampai.” Tak ada jawaban tapi hanya senyuman tipis. Lalu ia memeluk Fadli sekilas dan segera berbalik. Ia takut menangis lagi. “Kak,” panggilnya pelan. Fadli hanya balas berdeham. “Aisha minta maaf kalau gak bisa selesai koass tahun ini.” Fadli tergelak. “Minta maafnya sama Kak Fadlan aja.” Tuturnya pelan. Dan Fadli yakin, Fadlan akan mengamuk jika mendengarnya. Gadis yang satu ini memang pembuat onar. Sama sepertinya. “Sha,” kali ini gantian ia yang memanggil. “Wira hanya bermain-main saja. Kakak tahu, dia sayangnya sama kamu.” Tak ada jawaban. Gadis itu diam sambil menarik nafas dalam-salam. Sayang-nya Fadli tak tahu jika air matanya jatuh lagi. “Serius juga gak apa-apa. Kalau memang ingin berakhir ya berakhir aja. Aisha capek dengan perasaan Aisha sendiri.” “Yakin?” Gadis itu berbalik dan langsung meninju lengan Fadli dengan kesal. Lelaki itu tergelak dan memeluknya dengan erat. “Kalau masih bisa dipertahankan kenapa tidak? Ingat perjuangan kalian bertahun-tahun ini. Sudah selama ini dan kini mau menyerah?” “Ada kalanya, Aisha ingin berhenti. Karena selama ini, hanya Aisha yang mengejarnya. Kakak tahu sendiri, yang bilang sayang duluan sama dia aja Aisha. Yang nembak juga Aisha. Segalanya Aisha. Rasanya Aisha seperti pacaran dengan jiwa Aisha sendiri.” Fadli terkekeh lagi. Ia merangkul bahu gadis itu. “Dia bukan lelaki pengecut. Kakak tahu itu.” “Aisha gak bilang dia pengecut.” “Ya, kakak tahu.” Ia menjawab cepat. “Tapi terkadang lelaki tak terlalu tertarik mengucapkannya lewat kata. Kebanyakan dari mereka melakukannya dengan tindakan.” “Udahlah, kak.” Ia memejamkan matanya sekilas. “Aisha lelah. Bertahun-tahun disampingnya, ia hanya selalu bilang kalau Aisha tak pernah bisa mengerti dia. Jadi,” ia menarik nafas dalam. “Dari pada terus bersama lebih baik akhiri saja.” Bohongnya. Sejujurnya ia hanya emosi saja. “Begitu?” Sosok lain muncul dengan pertanyaan tajam. Aisha yang sedang hanyut dalam pelukan Fadli membuka matanya. Wira muncul dari sampingnya dengan sorot mata terluka. Sama terlukanya dengannya. Dan....Aisha tak pernah bisa mengerti lelaki ini. Ia yang bermain api. Ia sendiri yang terluka. “Ya.” Ia menjawab cepat lalu berbalik pergi tapi tangannya ditahan Wira. “Apalagi?” “Jangan harap kembali!” ancamnya lalu menghempas tangan itu dan pergi. Tadinya ia ingin membicarakan semuanya. Tapi gadis itu....malah ingin mengakhirinya. Dan...untuk ke sekian kalinya, air mata Aisha tumpah lagi. Sepertinya, ini benar-benar akhir mereka. “Oke,” tuturnya nyaris berbisik. Ia berbalik dengan tubuh yang nyaris tumbang. Hubungan ini benar-benar berakhir. JJJ “Tumben,” Fifa menyinyir. Matanya fokus pada laporan yang sedang ia ketik. Sementara Aisha yang sedang duduk di ranjang seberang menoleh usai meneguk tehnya. “Apa?” “Tumben gak maki-maki.” Aisha terkikik. Ia mengibas-ibas tangannya. “Gue maki salah. Gak maki juga salah. Mau lo apa sih?” Ia mendesis jengkel tapi hanya pura-pura jengkel. Karena hatinya meng-galau. Ia sedang tak mood untuk berpura-pura tertawa. Inginnya marah tapi tak bisa. Ia hanya marah pada dirinya sendiri. Menyesal karena terburu-buru mengambil keputusan. Ia memang emosi saat itu. Lagi pula, wanita mana yang tak marah saat melihat lelaki yang dicintai dengan wanita lain? “Enggak. Menurut gue lo aneh.” Kening Aisha mengerut. Tapi ia enggan berpaling dari laptopnya. Kalau boleh menebak, ia tahu kemana arah pembicaraan Fifa. Beberapa hari ini ia memang sedikit aneh. Aneh akan sikapnya sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Ia hanya ingin belajar menjaga perasaan Fifa dan perasaannya sendiri. Ia  salah karena menumpahkan kemarahan pada orang lain. Ditambah lagi hubungannya kandas begitu saja. Tanpa kejelasan semuanya berakhir. Ia yang tak mau mendengar dan Wira yang tak mau bicara. “Sha! Sha! Coba liat!” Fifa berseru heboh. Aisha yang sedang termenung segera tersadar. Ia beranjak dengan malas dari ranjangnya lalu duduk di samping Fifa. Matanya tertegun melihat apa yang ada di laptop Fifa. Di laman berita, Wira dengan seorang perempuan. Ia sudah bisa menebak, akhirnya akan begini. “Lo berdua masih pacaran gak sih?” Fifa bertanya heran. Jemarinya dengan cekatan membuka laman Youtube. Mencari-cari link video berita itu. Setelah dapat, mereka terdiam. “Iya, kami akan segera tunangan.” Itu jawaban Wira setelah berkali-kali didesak wartawan. Lelaki itu berjalan santai memasuki gedung pertemuan. Sementara gadis yang menemaninya terbirit-b***t mengejar langkahnya dengan suara heels yang menggema. “Sha,” Fifa memanggil pelan tapi tak ada respon. Saat ia menoleh, ia mendapati Aisha sudah membeku dalam diam. Tak ada kata. Tak ada air mata. Gadis itu hanya diam. “Sha!” “Dia udah memilih.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Ia beranjak lalu duduk terpekur di ranjang. “Sha....” “Gak apa-apa. Gue baik-baik aja. Lo gak perlu khawatir. Gue emang udah mikirin gimana baiknya hubungan ini. Tentang gue yang gak pernah mendewasa dan selalu menyalahkan orang lain untuk setiap masalah.” Ia berusaha tegar sekaligus bersikap sok dewasa. Walau berkali-kali menarik ingusnya. Tangisnya pecah lagi dan itu membuat Fifa meringis bersalah. Karena ia yang mengungkit masalah yang ingin Aisha lupakan. Ia mengibas tangannya saat Fifa berusaha mendekat lagi. Kepalanya menggeleng lemah. “Gue terlalu kekanakan. Gue tahu. Tapi gue gak pernah mau perbaiki itu.” Ia menarik nafas dalam-dalam. Menahan air mata yang ingin jatuh lagi. Beberapa malam ini, setiap ia berbalik tidur memunggungi Fifa, sejujurnya ia menyimpan kesedihannya. Ada tangis yang berurai dari matanya. Ada penyesalan yang dirasanya. Dan ada banyak hal yang ia pikirkan yang ia sebut sebagai kesalahan. Kesalahan yang ia sadari berasal darinya. Bukan Wira. Atau ia hanya terlalu bodoh karena menyalahkan diri sendiri? Sejujurnya itu karena emosi saat ia memutuskan berakhir. Tapi ia tak benar-benar ingin pergi. “Mungkin ini waktunya gue untuk belajar lebih dewasa.” Renungnya. Ia tak bisa membayangkan betapa betahnya Wira mempertahankannya beberapa tahun belakang. Betapa sabarnya Wira. Jadi, ketika seseorang telah mencapai batasnya dan memilih pergi itu salahnya. Bukan salah Wira. Seperti kata Fifa, tidak semua sikap manusia mudah ditoleransi walau tahu jika tak ada manusia yang sempurna. Namun dengan cara ini, setidaknya Aisha mulai menyadari kesalahannya. “Beberapa hari ini gue berupaya menghindar. Gue berupaya berlari. But see?” ia menghapus air matanya. “Pelarian itu tindakan pengecut. Bukannya sembuh malah makin sakit. So,” ia menarik nafas. Wajahnya basah tapi tak ada lagi tetesan air matanya yang tumpah. “Gue nikmatin aja.” Nikmatin aja sakitnya. JJJ Duduk terpekur dibawah pohon tepat di depan masjid. Lalu menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sakit itu ya sakit. Mau dibawa bahagia sekali pun, sakitnya akan tetap terasa. “Kalau jodoh tak kan kemana.” Celetuk seseorang. Aisha mengerutkan kening. Membuka mata susah payah karena silaunya sinar matahari yang mencucuk penglihatannya. Hingga ia mendapati senyuman seorang lelaki dengan lesung pipinya. Lelaki itu tahu apa yang Aisha pikirkan. Karena saat keluar dari pelataran masjid tadi, ia tak sengaja bertemu Fifa. “Aisha kenapa?” “Galau, Tad.”  Jawaban Fifa yang bercampur tawa itu membuat Marshall geli. Tapi jawaban itu tak serumit hati Aisha yang galau. Ia tahu itu. “Boleh aku duduk di sini?” ia menunjuk bangku panjang di seberang bangku Aisha. Gadis itu terkekeh kecil. Seharusnya tak perlu bertanya. Karena bangku-bangku ini bukan miliknya. “Nah, mendingan senyum kayak gini.” “Ada apa?” “Apanya?” Gadis itu menggeleng. “Enggak. Aneh aja.” Lebih tepatnya ia ingin bilang 'tumben'. Tapi tak enak hati. Entah kenapa jika dengan lelaki ini, ia selalu menjaga mulutnya agar yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata halus. Bukan untuk menjaga citranya sebagai perempuan. Tapi ia juga memilih-milih dalam berbicara dengan seseorang yang harus ia hormati. Contohnya ya lelaki ini. Lalu Wira? Aish! Lupakan lelaki itu! maki hatinya. “Pernah nonton Ayat-Ayat Cinta?” tanyanya yang mengabaikan gerutuan Aisha tadi. “Kalau sungai Nil dan Mesir itu jodoh?” Bukannya menjawab, ia tersenyum. Ia suka film itu. Sangat suka. Terkadang ia berpikir, ia ingin menjadi Mesir yang digenangi sungai Nil. “Sebelum aku kesini, sebenarnya ada dua hal yang bikin aku kagum sama Mesir. Yaitu Al Azhar dan Sungai Nil, karena tanpa sungai Nil, tidak ada Mesir dan tidak ada AL Azhar,” ucapnya meniru ucapan Fahri saat itu. Mengulang-ulang berkali-kali pun ia tak kan bosan. Bahkan ia sampai hapal sedetilnya. Marshall menyambung dengan lengkungan senyum tipis. “Aku juga suka sungai Nil, kalau tidak ada sungai Nil, pasti tidak ada Mesir, tidak ada peradaban, yang ada hanya gurun pasir. Kamu percaya pada jodoh, Aisha?” “Ya, setiap orang memiliki….” “... jodohnya masing-masing.” Aisha tergelak. “Itu yang sering kamu bilang.” Ia menyambung ucapannya lagi tanpa peduli tawa Aisha. “Aku rasa sungai Nil dan Mesir itu jodoh, senang ya kalau kita bisa bertemu dengan jodoh yang diberikan Tuhan dari langit.” “Bukan dari langit, kak, tapi dari hati, dekat sekali.” Tuturnya yang diakhiri senyuman. Ia mengutip ucapan Fahri saat itu. “Ya, hati.” Gumamnya pelan. “Terkadang hati itu mudah merasa tapi sulit diterka maknanya.” Aisha mengangguk. Hati memang mudah merasakan suatu hal tapi sulit mengartikannya. Bukan kah begitu? “Aku sering mendengar kalimat, kalau jodoh itu tak kan kemana. Tapi aku juga sering mendengar, jodoh tak kan datang kalau tak dicari. Namun yang paling aku yakini, kalau jodoh, dimana pun kamu dan dimana pun dia, pada akhirnya akan bertemu jua karena-Nya.” “Ya. Seperti sungai Nil dan Mesir. Karena jodoh itu soal ketetapan-Nya, Aisha. Ketika ditakdirkan untuk bertemu, akan bertemu juga. Sejauh apapun kamu menghindar, pada akhirnya ia tetap akan menjadi jodohmu.” “Sudah bertemu dengan jodohmu, kak?” Marshall menggeleng geli. “Belum.” Ia menghela nafas. “Mungkin belum waktunya. Seperti Mesir tanpa sungai Nil. Gersang dan kering karena yang ada hanya gurun pasir.” Ya, aku juga kak. “Tapi mengharapkan seseorang untuk menjadi Nil, pernah Sha?” Gadis itu tersenyum kecut. Sekecut rasa sakitnya. Tapi hanya sesaat. Karena detik berikutnya, ia membuka mata, mencoba melihat dunia lebih luas. Lelaki bukan hanya tentang Wira saja bukan? Pernah, Kak. Tapi Nil ku telah hancur. Dan kini aku seperti Mesir tanpa sungai Nil. Gersang dan kering. JJJ
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD