Arti Sahabat

2328 Words
“Pulang lah, Sha.... pulang.” “Tapi, kak. Aku datang kesini untuk minta maaf soal kemarin.” Ia berucap dibalik pintu. Sementara Marshall ada dibaliknya lagi. “Tentang apa?” Aisha menunduk. Agak grogi jika harus mengucapkannya. Sementara Fifa berdiri sambil memegang payung. “La-lamaran.” Tak ada respon dari dalamnya. Aisha mendengus dan memaksa menarik daun pintunya. Pintu itu terbuka disaat Marshall lengah memegangnya. Lelaki itu muncul dibalik pintu dengan kaos dan kain sarung. Fifa mengalihkan wajah-nya. Menyimpan tawa. Rasanya agak aneh melihat penampilan ustad yang selalu kece bak artis sinetron kini seperti petugas ronda di pos hansip depan sana. Meskipun yaah, penampilan ustad yang satu ini tetap lah lebih kece disbanding petugas hansip di depan sana. Sekali pun dengan sarungnya, gumamnya lalu terkekeh kecil. “Sudahlah. Aku juga sudah melupakannya. Sekarang tolong pulang lah.” Ucapnya, agak malu. Sebenarnya sangat malu. Tangannya menggaruk-garuk tengkuk yang tak gatal. Sedangkan satunya lagi memegang erat ujung sarung. Takut kalau sarungnya melorot ke bawah. “Ya-ya sudah.” Aisha tergagap lagi. Lelaki itu tersenyum tipis. Kalau ia tak segera mengusir mereka pergi, ia khawatir ibunya akan berpikir macam-macam tentangnya karena seorang gadis datang malam-malam ke rumah mereka. Ia juga takut dituduh berzinah oleh masyarakat sekitar yang memang sensitif akan hal-hal menyimpang. Pacaran saja menjadi hal tabu di sini. “Tapi, jangan diulangi lagi.” Lelaki itu menasehati saat Aisha hendak berbalik. Lesung pipinya timbul. Terlihat lebih manis. "Kalau bisa, gunakan hijab dari hati. Bukan karena orang lain." Aisha berdeham. Ia canggung tapi juga ingin tertawa. Namun disisi lain, ada sisi hatinya yang tersinggung akan ucapan itu. Memang benar jika ia mempermainkan hijab. Pertama untuk merayu lelaki itu. Kedua...... “Makasih, Kak.” Balasnya pelan. Enggan mengangguk. Ia berbalik pergi. Saat merasakan tatapan mata Marshall tak tertuju padanya lagi, ia terkikik puas. Ketersinggungannya musnah sudah. Masa bodoh dengan permainan hijab yang kemarin. Penampilan Marshall malam ini jauh lebih menyita per-hatiannya.“Harusnya tadi gue foto bareng dulu sama dia!” ia menepuk jidatnya sementara Fifa geleng-geleng kepala melihat kelakuannya. Somplak. Bisa-bisa, Marshall gak punya muka lagi gegara gadis gila yang satu ini. JJJ “Kamu ini bagaima—” “Haaattsiiim!” Dokter Sarah mendelik tak suka, omongannya dipotong oleh bersin-bersin milik Aisha. Fifa menyembunyikan tawanya mati-matian. Bibirnya sampai berkedut-kedut tak kuasa. “Seorang calon dok—” “Haaattsiim!” Aisha cengengesan sambil menutup hidungnya dengan tissue. Si perawan tua itu mendengus sarkatis, mencoba menahan kesabaran. Walau nyatanya, tak berhasil. Fifa sudah menyemburkan tawanya. Telapak tangannya mengatup mulut rapat-rapat saat dokter senior itu mendelik ke arahnya. “Kalau begini, pasien disini bukannya sembuh malah sakit kalau ditangani kalian.” Wanita itu berkacak pinggang. Otaknya berpikir keras mencari ide. Beberapa detik kemudian, ia mendongak. Baru saja akan membuka mulut untuk bicara, air ludah Aisha sudah menyembur wajahnya. “Haaattsiim!” Gelak tawa memenuhi ruangan. “KELUAR KALIAN!” Usai meminta maaf berulang kali sambil membungkuk, dua gadis itu lari terbirit-b***t keluar dari ruangan. Mood dokter senior itu sedang tak baik, jadi lebih baik jangan mengacaunya. Keduanya tergelak sambil memegangi perut. Tak kuat menahan tawa. “Lo sih ngotot ke rumah Kak Marshall semalem. Udah tahu hujan,” Fifa mengomel bersama kikikannya. Sesekali ia menarik ingusnya agar keluar dari sarangnya. “Alamat bakal ngulang nih,” Aisha menggerutu lalu kedua gadis itu tergelak lagi. Mengingat-ngingat wajah galak dan merah milik dokter senior yang judes itu benar-benar membuatnya tak bisa berhenti tertawa. “Suruh Kak Fadlan ke sini untuk ngerayu tuh dokter, gimana?” Saran ini malah membuat tawa Aisha tak bisa berhenti. Kakinya sampai lemas karena terlalu banyak tertawa tapi juga banyak bersin-bersin. “Bisa trauma sama cewek seumur hidup kakak gue kalau ketemu dia lagi,” ia malah menyinyir. Fifa menepuk-nepuk bahunya sambil bergumam 'parah'. Ia ter-bahak. Tapi memang benar. Bisa jadi bujangan abadi si Fadlan. “Siapa yang menyuruh kalian di sini?” Nenek sihir—dokter Sarah—muncul lagi. Aisha mendelik senewen. Ia baru saja duduk santai di kantin dan wanita ini sudah menyusul kemari. "Ikut saya." Titahnya yang dibalas bersin lagi oleh Aisha. Keduanya terkikik tapi kikikan itu berhenti saat dokter Sarah memperingati mereka dengan deheman. “Sehari kamu menghilang, itu artinya waktu praktikmu saya tambah seminggu.” Ia langsung mengoceh begitu duduk di kursi ruangannya. Aisha menelan ludah kelu. Ia melirik Fifa yang menunduk ketakutan. Ini sungguh bukan mimpi. Dokter galak ini benar-benar membencinya. “Tapi karena kamu berbuat ulah di mess kemarin, saya tambah lagi satu bulan. Tergantung cepat atau lambatnya pembangunan mess selesai.” “What?!” Aisha histeris lalu bersin. Kali ini air ludahnya tak muncrat karena dokter itu sudah menutup wajahnya dengan handuk kecil. Fifa terkikik pelan sambil menunduk. Walau yah, kikikannya terdengar agak miris. “Bukan berarti anda dok—” “Terserah saya. Itu keputusan saya. Kalau kamu tidak suka, silahkan pulang sekarang.” Ia mendelik. “Dan siap-siap, mengulang koassmu lagi setelahnya,” kecamnya dengan senyuman penuh kemenangan. Aisha menarik nafas dalam-dalam. Walau hati memaki-maki, ia mencoba menyabarkan diri. Kalau tidak, tangan ini sudah melayang ke wajah sengak, sombong, galak dan jutek mampus itu! JJJ “Dia itu siapa sih? Cuma dokter kan? Lagaknya sombong banget! Kayak dia yang punya mess! Pemda yang punya hak aja gak nahan gue untuk tinggal lebih lama!” “Udah turutin aja dari pada lo gak dilulusin.” Fifa menasehati. Tapi Aisha yang bebal dan pembuat onar itu tentu saja tak terima. Ini namanya tidak adil. Kalau tidak suka dengannya kenapa ia tidak diusir saja sekarang? Biar ia memulai koass di tempat lain walau harus dicaci maki dokter pembimbing kampusnya. Tapi itu lebih baik dari pada ia harus bertahan lebih lama disini. Haish! Itu juga kalau ia berani. “Udah-udah.” Fifa menepuk bahunya. Gadis itu masih menggerutu. “Nanti gue bantu doa,” ia menyinyir lalu kabur dari ruangan sempit itu. Aisha mendengus. Sama sekali tidak membantu. Otak Fifa seolah buntu jika menyangkut dokter sangar yang satu ini. “Sha! Sha! Sha!” Baru satu menit pergi, gadis itu sudah muncul lagi. Aisha mengernyitkan dahi saat ponsel Fifa terulur ke arahnya. Gadis itu menyebut nama 'Fadli' tanpa suara. “Mau kamu apa?” Ia mengernyit. Tangannya reflek menjauhkan ponsel dari telinga lalu me-natap layar ponsel itu. Benar, ini nomor kakaknya. Tapi suaranya bukan suara Fadli. “Kamu lupa denganku?” Oh. Ia bergumam dalam hati. Baru menyadari pemilik suaranya. Siapa lagi kalau bukan Wira? Lelaki itu pasti kelimpungan mencarinya. Biarkan saja. Salah sendiri kenapa kemarin mengabaikannya? Kini rasakan akibatnya! Ia tahu kalau ia rindu. Tapi ia juga gengsi untuk mengakui. Biar lelaki itu kelimpungan mencarinya. Biar dia merasakan bagaimana sesaknya rindu itu menyergap ketika seseorang yang dicari malah tak peduli. Kini tahu kan bagaimana rasanya hampa? Bagaimana rasanya rindu itu datang ketika yang dicari memilih pergi meninggalkan. Tanpa menjawab ponsel itu, ia menon-aktifkannya kemudian ia kantongi ponsel itu disaku jasnya. Rasain lo! Ia tersenyum menang. Sesekali biar kan lelaki s****n dan b******k itu mengemis padanya, kece kan? JJJ Braaaak! Fadli mengusap wajahnya dengan frustasi. Ponselnya sudah teronggok menjadi bangkai yang tak utuh. Pecah berkeping-keping karena ulah sahabat-nya yang satu ini. Ia baru saja akan mengangkat suara protes tapi tak jadi saat Wira memasang wajah geramnya. Oke, sepertinya adiknya membuat masalah lagi, simpulnya. “Kirim aja tagihannya ke kantor gue,” pesan lelaki itu sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Fadli yang menyandar rileks di bangkunya. Ia menghela nafas. Ini entah ponsel miliknya ke berapa yang dihempas Wira saat adiknya tak ada kabar dan tak mau menjawab ponselnya. Ia heran. Kenapa mereka yang menjalin hubungan, selalu ia yang kena sasaran eh sialnya? Bahkan barang-barangnya selalu menjadi korban? Dunia terkadang menjadi tanda tanya baginya. Sementara Wira menahan emosinya mati-matian. Ia akan membuat perhitung-an. Gadis itu bermain-main dengannya. Silahkan saja kalau mau mengabaikannya, tapi jangan salahkan ia kalau ia balas mengabaikannya. Tidak bisakah gadis itu mengerti kalau ia sibuk dengan pekerjaannya? Dengan segala masalah kantor yang ia punya dan gadis itu tak mau mengerti? Hidup ini bukan hanya tentang cinta dan perasaan. Atau dengan segala sensitifitas yang gadis itu punya. Ini juga soal tanggung jawab dan loyalitas terhadap pekerjaan. Dikiranya, hidup ini hanya mengurusinya saja? Oh, tentu saja tidak. Memang manusia mana yang mau hidup dengan cinta saja? Ia bukannya matrelialistis tapi realistis. Hidup memang tak melulu tentang uang. Tapi sedikit-banyak uang memang dibutuhkan untuk hidup. Meski jalan untuk bahagia pun Wira tak perlu uang. Karena ia hanya perlu Aisha untuk melengkapi kebahagiannya. Namun tuntutan hidup terkadang harus membuat-nya menomorduakan Aisha. Jadi, gadis itu harus mengerti tentangnya. Gadis itu memutuskan komunikasi dengannya. Oke, ia putuskan untuk tidak mencari. Setidaknya untuk sebulan ini sebelum gadis itu kembali, ia bisa tenang menjalani pekerjaannya. Toh mereka sama-sama sudah dewasa. Sama-sama bisa mengurusi diri masing-masing tanpa harus saling peduli. JJJ “b******k! b******k!” ia memaki. Fifa yang sedang melahap mie-nya mengangkat kepala. Tiba-tiba ia kehilangan nafsu makannya. Tangannya menggapai gelas di atas nakas dan berniat meneguknya namun tak jadi saat matanya melihat ponselnya akan dilempar Aisha ke lantai. Gelas yang nyaris digapainya tersenggol jemarinya dan berakhir sama mengenaskan dengan ponselnya. Ia tak berhasil me-nyelamatkannya lalu matanya menatap galak pada Aisha yang menampilkan gigi. Prihatin, tak enak hati dan merasa bersalah. “Lo bisa gak sih, sehari aja gak maki? Gak bikin masalah? Gak banting barang?” berangnya. Tangannya dengan kasar mengambil pecahan-pecahan ponselnya. Oke, ia tak masalah dengan ponsel yang sudah tak jelas bentuknya itu. Ia hanya mempermasalahkan tentang sikap kekanakan Aisha dalam menghadapi masalah. Dipikirnya, orang-orang di sekitarnya tak kesal akan sikapnya yang seperti itu? Tidak muak kalau terus menerus dijadikan pelampiasan? Tiga hari ini, kerjanya hanya memaki setelah melihat ponsel Fifa. Fifa yakin, ada masalah lagi dengan Wira. Tapi tolong, tak bisa kah ia menghadapi masalah dengan Wira seprofesional ia menghadapi pasien? Tidak kekanakan seperti ini. Ia mendesis. Percuma, pikirnya. Aisha kan bebal. Tapi ia juga manusia. Ada kalanya ia lelah menghadapi sikap kekanakan gadis itu. Ia pikir, ia adalah sahabat yang selalu mengangguk tanpa berupaya menyanggah? Ia pikir, ia adalah sahabat yang selalu bersedia menjadi korban? Ia pikir, sahabat adalah persoalan rela menerima apa adanya? Tak ada seorang pun yang tak ditimpa masalah ketika hidup masih berjalan. Masalah pelik yang bisa bersumber dari mana saja. Bahkan bertahun-tahun bersahabat, bukan berarti hubungan itu baik-baik saja tanpa ada duri yang menghambat dan mencoba merenggangkan tali persahabatan. Karena kesabaran penuh belum ia punya. Nyatanya, ia masih tidak sabar ketika harus menghadapi sikap Aisha yang tak terkendali untuk ke sekian kali. Keki dan marah. Fifa beranjak dari lantai dan duduk di tempat tidur. Mengabaikan Aisha yang kini menatapnya dengan tak enak hati. Tangannya dengan kasar menyusun pondasi-pondasi ponselnya. Ini bukan masalah harga atau nilai barangnya. Ini tentang sikap yang selalu ia pendam. Karena perasaannya yang sensitif itu memang mudah tersinggung akan segala hal. “Lo marah, Fif?” ia mengambil duduk di ranjang Fifa lalu memeluknya dari belakang. “Sorry deh.” Ia bergumam. Penuh rasa bersalah. Perasaannya campur aduk. Antara marah dan kesal pada Wira namun juga menyesal pada Fifa. Oke, ia sadar kalau tak seharusnya ia menimpakan kekesalannya pada ponsel tak bersalah itu. Menjadikan Fifa yang selalu terkena imbas dari segala permasalahan yang ia punya. Sikapnya yang bebal, kekanakan dan tak peduli itu, kini bisa ia rasakan dampaknya. Seharusnya ia bersyukur, satu-satunya orang yang tak pernah lelah menasehatinya, menahan kesabaran untuknya, menahan amarah untuk tak meledak setiap ia bertindak seenaknya. Ia terbiasa hidup seperti itu dan tak ada yang protes. Bahkan ia tak peduli apakah orang itu akan suka atau tidak. Namun kini berbeda. Ia tak sanggup jika Fifa menjauhinya seperti orang lain menjauhinya. Ia tak sanggup. Karena Fifa adalah satu-satunya sahabat terbebal yang tak henti menceramahinya. Menunduk lalu meneteskan air mata. Kemarahan yang tak bisa ia lampiaskan akhirnya menggunung di d**a dan menyesakannya. Hasilnya, hanya bulir air mata yang jatuh di atas seprai putih tempat tidurnya. “Lo pernah gak sih, mikir sekali saja tentang perasaan orang? Gue gak pernah minta lo buat pahami dan mengerti perasaan gue. Tapi setidaknya, lo mikir sedikit aja perasaan gue saat lo melakukan sesuatu.” Kekesalan yang menggunung bertahun-tahun itu menguap juga. Walau Aisha hanya diam, ia tahu, gadis itu sedang berpikir tentang seberapa banyak salahnya selama ini pada Fifa. Rasanya tak terhitung. Untuk ukuran sahabat, Fifa terlalu baik untuknya. “I'm human not angel.” Ia senang sekali menyebut kalimat itu. “Gue gak selalu bisa lapang menerima sikap dan tindakan lo itu, Sha. Terkadang gue harus menjadi munafik saat hati gue sakit atas segala kelakuan lo.” Ia menghela sambil membersihkan ingusnya. “Karena gue sadar, lo juga manusia bukan malaikat. Sama kayak gue. Tapi karena gue manusia, gue diciptakan untuk terbatas dalam beberapa hal. Termasuk soal kesabaran. Walau kesabaran yang gue tahu itu, kalau masih ada batasnya artinya bukan kesabaran. Nyatanya, gue belum mampu untuk itu.” Tuturnya panjang lebar. Bahkan nafasnya memburu dan matanya berkaca-kaca. Apa yang ia pendam selama ini atas segala sikap Aisha yang memuakan itu, keluar sudah. “Kadang gue berpikir, apa sikap gue yang terlalu sensitif sama lo sehingga gue terkadang merasa muak dan capek menghadapi lo?” Ia menoleh dan mendapati mata Aisha sama berairnya. Keduanya berpelukan erat. Menumpahkan emosi yang terpendam di lubuk hati masing-masing. Tentang perasaan sebuah arti persahabatan. Jika persahabatan bukan hanya tentang baik tapi juga tentang buruk. Bukan hanya tentang suka tapi juga tentang duka. Bukan hanya tentang ikatan tapi juga tentang penerimaan. Persahabatan itu bukan hanya tentang simbol namun juga tentang maknanya. Bukan sekedar tahu artinya tapi juga memahaminya. “Maaf. Maaf kalau selama ini gue selalu nyusahin lo, bikin lo marah, buat lo muak dengan segala sikap gue. Maaf kalau sifat bebal gue dan gak peduli apapun itu, menyakiti lo. Gue sadar, baik lo atau pun gue hanya manusia biasa. Gue gak minta buat lo selalu bisa menerima sikap gue.” Ia menarik nafas lalu tangannya memeluk lebih erat. Fifa sudah menangis kencang dibuatnya. Terharu. Nyatanya, walau nampak tak peduli, Aisha terlalu menyayanginya. “Gue juga gak minta lo buat jadi sahabat sempurna di mata gue. Dengan segala penerimaan dan kepasrahan lo atas segala sikap gue. Gue gak minta itu. Asal lo tetap disisi gue dalam keadaan apapun, walau gue tahu, itu gak gampang. Tapi selama ini, lo satu-satunya sahabat yang punya arti mendalam buat gue.” “Lo bukan sekedar sahabat buat gue. Kadang lo bisa jadi emak gue yang tiap hari karatan nyeramahin gue atau sekedar nyuruh gue makan. Kadang lo bisa jadi kakak gue yang bebal nasehatin gue walau lo tahu, gue gak selalu ngedengerin lo. Kadang lo bisa jadi pacar gue, yang selalu bersedia nemenin gue dan ngelindungi gue.” Kalimat yang terakhir itu membuat Fifa bergidik dan langsung melepas pelukannya. “YAK!” Aisha terpingkal-pingkal. Ia memang tak pernah serius dalam segala hal. Tapi untuk ucapannya tadi, itu benar. Bukan hanya ucapan dimulut tapi ucapan itu berasal dari hati. Tentang arti sahabat, segalanya untuknya. JJJ   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD