Perang Bibir

1084 Words
"Nyonya muda, Anda baik-baik saja?" Terdengar suara Marlon ditelinga Aro yang sepertinya tengah menyapa Bianca. "Iya. Mohon tinggalkan saya seorang diri!" pinta Bianca dengan suara yang samar-samar terdengar, sementara suhu tubuhnya terasa tinggi. "Baik, Nyonya." Tak lama, terdengar suara tawa yang semakin kuat dari arah kamar pribadi Jack William. Ternyata, ia tengah bergerak ke arah luar bersama perempuan nakal pilihannya. Sepertinya, mereka akan menghabiskan beberapa lembar kertas berharga milik Jack untuk menyenangkan wanita bayarannya itu agar dapat memenuhi semua keinginan laki-laki keji tersebut. Aro memilih untuk menjauh agar tidak diminta untuk menemani mereka. Tujuan Aro saat ini hanya satu, yaitu ingin bertemu dengan Bianca dan melihat keadaannya sesaat setelah sadarkan diri. Setelah keluar dari penginapan bersama dua orang pengawal pribadi lainnya, Jack menaiki kendaraan dan meninggalkan penginapan tanpa mempertanyakan kondisi Bianca terhadap siapa pun. Hal itu membuat Aro semakin menyesali sikap tuan besarnya tersebut. Tidak ada perhatian, tidak ada kepedulian, tidak ada kasih sayang, apalagi cinta dan keinginan untuk melindungi perempuan muda yang tampak lembut tersebut. Setelah 25 menit dan merasa situasinya sudah aman, Aro bergegas masuk ke dalam kamar Bianca dengan langkah pelan, agar dirinya tetap nyaman dan merasa tidak terancam. Aro berdiri di sisi kiri tempat tidur dan terus memperhatikan gadis muda tersebut yang tengah menutup kedua matanya. Batin Aro sulit menerima kenyataan bahwa Jack sudah menyakiti perempuan yang begitu ia kagumi, bahkan mungkin cintai di dalam ketidaksadarannya. "Kenapa masih di sini? Bukankah saya meminta kalian untuk pergi!?" kata Bianca sambil membuka kedua matanya perlahan. Pada saat yang bersamaan, matanya terbelalak dan bibirnya terkunci. "Aro?" ratapnya lirih. "Apa yang terjadi, Nyonya muda?" "Menurutmu?" tanya Bianca yang hanya mampu membuka sedikit ujung bibirnya. Aro tidak mampu menjawab dan ia memilih untuk menunduk untuk menyembunyikan kegusaran hati, serta kemarahan di wajahnya. "Baginya, saya, kamu, dan yang lainnya, sama saja. Kita hanya mainan yang ia persiapkan untuk kesenangan pribadi. Tidak ada rasa belas kasih, apalagi cinta di dalam hati manusia setengah iblis itu." "Nyonya?" "Terima kasih sudah datang untuk menjenguk. Mungkin besok, kita tidak akan bertemu kembali karena saya sudah benar-benar ingin mati." "Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak, Nyonya! Saya mohon!" pinta Aro sambil menggenggam kedua tangannya. "Haaah." Bianca menghela napas panjang. "Aro, ada yang ingin saya katakan. Kemarilah!" "Baik, Nyonya." Aro mendekati Bianca dan menatapnya dalam-dalam. Dengan alis yang menukik, Aro memperhatikan lebih dekat lagi wajah Bianca. "Aro, saya ingin jujur. Alasannya adalah saya tidak tahu, apakah usia saya bisa bertahan lama atau tidak jika terus hidup berdampingan dengan Jack." Jantung Aro berdebar kencang, matanya ingin menangis, dan bibirnya bergetar. Baru kali ini, Aro merasakan takut yang luar biasa. Bianca tersenyum hingga membuka kembali luka di bibirnya dan mengeluarkan darah segar. "Tidak, Nyonya muda! Jangan dulu menggerakkan bibir Anda!" mohon Aro sambil menempelkan tisu yang baru ia ambil di atas lemari kecil di samping tempat tidur, pada bibir Bianca yang indah. "Tidak, apa. Saya ingin melakukannya sampai puas." Bulir-bulir air mata Bianca mengalir berat. "Tidak. Saya mohon, jangan begitu! Setidaknya, dengarkan dan kabulkan permohonan saya kali ini." "Kenapa?" tanya Bianca. "Tiba-tiba kamu tampak perduli. Tidak seperti sebelumnya." "Sa-saya ... ." Bianca menegakkan tubuhnya dan Aro terbelalak ketika memandang tubuh muda Bianca yang tidak ditutupi dengan apa pun, karena selimut yang Bianca gunakan sudah tergelincir hingga ke batas perut. "Nyonya ... ?" Tanpa sengaja, Aro memandang leher Bianca yang tampak memar dengan jejak cap lima jari yang kuat. Pandangan Aro teralihkan, "Ini? Apa yang dia lakukan?" tanya Aro yang baru kali ini menyebut tuan besarnya, tanpa julukan. Tangan Aro tiba-tiba gemetar hebat dan ia menyentuh kulit putih yang halus tersebut dengan ujung jari tangannya dengan lembut. "Settt!" Mata Bianca semakin berkaca-kaca, tapi ia tidak mengatakan sakit ataupun kata-kata sejenisnya. Jiwa Aro mulai memberontak. Kali ini, ia marah besar. Sepertinya Aro tidak akan lagi menjadi aanjing penjaga yang jinak. Aro berjalan ke arah lemari pakaian Bianca dan menarik pakaian yang pantas wanita idamannya itu kenakan. Kemudian ia memasangkannya di tubuh muda Bianca. 'Punggungnya pun terluka. Apa yang sebenarnya laki-laki tua itu lakukan? Bangsaaat!' Kata Aro yang bergerak perlahan. Setelah itu, ia merapikan rambut Bianca. "Sekarang, Anda sudah tampak cantik seperti biasanya." Aro memaksakan senyumnya. "Silakan bicara, Nyonya!?" tanya Aro yang sudah duduk di hadapan Bianca, tepatnya di atas tempat tidur yang sama. "Aro!" Bianca menyatukan kedua tangannya dan saling menggenggam. "Saya mencintai kamu," ucapnya jelas. "Apa?" "Sama sekali tidak ada maksud ataupun tujuan lain. Hanya saja, rasanya ... saya harus mengatakannya sebelum terlambat." "Saya ... ." "Sudah beberapa hari ini, tepatnya setelah kita berjarak, saya merasa sangat kesepian dan menderita. Ditambah lagi dengan kejadian malam ini, mungkin saja nyawa saya tidak akan selamat di malam lainnya." "Tolong jangan mengatakan yang tidak-tidak, Nyonya!" "Saya serius. Bukan ingin mencari sensasi ataupun mendapatkan simpati." "Hah," keluh Aro sambil menunduk. "Saya tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Meskipun nyawa ini menjadi taruhannya." "Jangan melakukan apa pun yang membahayakan dirimu!" Bianca menggapai wajah Aro dan menyentuhnya dengan penuh perasaan. "Bolehkah? Ini permintaan terakhir dari saya." Bianca menyentuh bibir Arogan dengan ujung jari tangannya yang lentik. Aro bingung dan tidak mampu untuk menjawabnya. Namun pada saat yang bersamaan, Bianca memajukan wajah dan menyentuhkan bibirnya pada bibir Arogan. Hati keduanya tersambung. Napas hangat mulai memburu. Kecupan manis itu berbuah debaran yang mampu menaikkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh keduanya. Ini adalah sensasi yang belum pernah Aro rasakan seumur hidupnya. Apalagi saat rudal raksasa miliknya terpacu untuk meluncur hanya karena sentuhan kecil dari Bianca. Dengan mata yang terpejam, di balik kelambu berwarna abu-abu, keduanya menikmati saliva yang saling bertukar. Ditambah dengan debar-debar yang tidak biasa dan mengesankan. "Saya juga merasakan apa yang Anda rasakan, Nyonya." Aro mengeluarkan isi hatinya. "Saya Bianca!" "Maaf, Nyonya." "Bianca." Mendengar Aro menyebut namanya dengan suara yang terdengar resah, Bianca menambahkan jumlah kecupannya hingga mereka menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyapu bibir dan saling menyatukan dahi untuk bahagia walau sekejap. "Saya akan melakukan sesuatu untuk Anda." "Tidak tanpa kamu Aro!" Bianca menolak rencana apa pun jika tanpa Arogan. "Saya mengerti. "Saya akan melakukan sesuatu untuk kita, Bianca." "Itu terdengar lebih baik." "Saya berjanji." "Tapi, saya tidak ingin membuat kamu berada di dalam bahaya, Aro." "Tenang saja! Saya tidak lemah. Tolong jaga dirimu baik-baik dan berikan saya satu kesempatan saja untuk membuktikannya!?" Aro melepaskan pelukan yang sama sekali tidak ingin ia lepas. Namun Aro harus pergi agar tidak menimbulkan kecurigaan pada anak buah Jack yang lainnya, akibat berlama-lama di dalam kamar Bianca. "Jangan menangis lagi!" pinta Aro yang juga sedang menarik air hidungnya. Lalu ia bergerak meninggalkan Bianca. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD