PERTENGKARAN ORANG TUA UDIN

1713 Words
Orang kepercayaan ayah Udin, melaporkan bahwa kecelakaan Udin karena disabotase. Ada yang sudah mencuranginya dan kebetulan sekali rekaman CCTV yang ada di jalanan dekat kecelakaan terjadi memperlihatkan bahwa pada saat Udin melajukan motornya dengan kencang ada yang menghalanginya dan juga terlihat beberapa orang yang menggunakan helm dengan penutup dan wajah, sehingga mereka kesulitan untuk mengenali pelaku. Akan tetapi mereka dapat melihat plat motor pelaku dan saat ini mereka menyelidiki pemilik dari kendaraan bermotor tersebut. Altaf merasa senang anak buahnya dapat bertindak dengan cepat. Untuk sementara waktu, ayah Udin akan menyediakan sopir pribadi untuk mengantar Udin ke sekolah atau kemanapun ia mau. Setelah tiga hari menjalani perawatan, Udin akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Ia sudah tidak sabar untuk segera kembali ke sekolah dan berkumpul dengan para sahabatnya. Terutama sekali, ia kangen melihat wajah cantik ibu Darti guru Fisika yang sering menjadi korban godaannya. Sesampainya di rumah, Udin diperlakukan bak Raja, apa saja keinginannya dituruti dan yang membuat hati Udin semakin senang, ayah dan ibunya berkumpul di rumah. Mereka selalu menemaninya dan mengkhawatirkan kondisinya, situasi ini membuat Udin tidak menyesal mengalami kecelakaan, karena dengan kecelakaan ini kedua orang tuanya memperhatikan dirinya. Akan tetapi, kebahagiaan itu ternyata hanyalah sebentar saja, tepat dua minggu setelah kepulangannya di rumah sakit, ayahnya mendapat telepon dari seseorang yang tidak diketahui oleh Udin. Dan ternyata telepon tersebut membuat kebahagiaan yang dirasakan oleh Udin menjadi hilang. Kedua orang tuanya kembali terlibat dalam pertengkaran hebat. Ibunya yang tidak mengijinkan ayahnya untuk menerima telepon dari seseorang itu dan juga tidak mengijinkan ayahnya untuk ke luar dari rumah. Namun, ayahnya ternyata bergeming. Ia tetap pada keputusannya untuk menemui seseorang yang menelepon dirinya. Rachel dan Maryam, kedua kakak Udin terlihat ketakutan melihat kedua orang tua mereka yang saling berteriak dan mencaci maki. Mereka tidak sadar atau abai, kalau ada perasaan yang harus mereka jaga. Karena sudah tidak tahan lagi mendengar kedua orang tua mereka yang bertengkar, Rachel berteriak, “Kalau kalian hanya ingin menunjukan kehebatan kalian menyakiti hati kami, kami tidak memerlukan kehadiran kalian berdua. Kami tidak mau disuguhi pertengkaran kalian yang tiada hentinya. Pergi!, pergi saja kalian!” Restu dan Altaf terdiam, mereka menghentikan pertengkaran mereka dan menatap wajah-wajah ketiga anak mereka. Rachel dan Maryam dengan wajah yang sudah bersimbah air mata dan Udin yang terlihat menahan air matanya. Ketiga anaknya kemudian saling berpelukan seolah mereka saling membagi kesedihannya. Restu terdiam di tempatnya, ia sangat menyesal telah menyakiti ketiga anaknya. Sepertinya ucapan putri sulungnya benar, kehadirannya di rumah ini hanya membuat ketiga anaknya kembali bersedih dengan disuguhi pertengkarannya dengan sang suami. Restu berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya dan langsung saja diamabilnya clutch bag miliknya, Ia akan kembali ke Singapura mengurus bisnis fashion miliknya. Diusapnya air matanya yang terus mengalir, meski berat harus meninggalkan ketiga anaknya lagi, akan tetapi untuk tetap di sini ia juga tidak tahan lagi, luka dihatinya masih belum sembuh. Altaf menghampiri ketiga anaknya, “Maafkan Ayah, yang telah membuat kalian bersedih. Kalian baik-baiklah bertiga, kalian anak yang hebat.” Kemudian Altaf ke luar dari rumah yang dulu pernah menjadi istananya yang dipenuhi dengan canda tawa dan kebahagiaan. Sebenarnya Altaf tidak tega untuk meninggalkan ketiga anaknya, terlebih lagi si bungsu yang belum sembuh benar. Hanya saja, Tari, istri keduanya menelepon dan mengatakan kalau putranya yang lain, Jaka sedang sakit dan selalu memanggil namanya. Memang sejak kecil si Jaka itu selalu sakit dan itulah sebabnya ia sangat memanjakan Jaka dan melimpahinya dengan kasih sayang yang berlebih. Berbeda dengan perlakuan yang diberikannya kepada ketiga anaknya yang lain. Tak lama berselang, setelah sang suami meninggalkan rumah. Restu pun terlihat menuruni tangga, wajahnya terlihat sembab, bekas menangis. Saat sampai di anak tangga terakhir, restu melihat ke arah ketiga anaknya dan iapun berjalan menghampiri mereka. Dipeluknya ketiga anaknya, “Maaf, Ibu sungguh minta maaf. Ibu sangat berat untuk meninggalkan kalian bertiga di sini hanya saja, di sini membuat ibu terluka dan kehilangan rasa percaya diri ibu. Kalau ibu sudah berdamai dengan hati Ibu, Ibu akan kembali dan menemani kalian lagi seperti dahulu.” Setelah berpamitan dengan ketiga anaknya, Restu pun berjalan ke luar dari rumah yang dahulu begitu dirindukannya saat ia jauh dari rumah. Namun, kini rumah ini terasa sesak dan hanya memberikan kenangan buruk untuknya. Restu kembali ke Singapura untuk mengobati luka hatinya. Ia berharap dapat menjadi kuat demi anak-anaknya dan menganggap pengkhianatan suaminya biasa saja. Semoga Ia segera mencapai ke tahap di mana Ia tidak lagi peduli dengan apapun yang dilakukan oleh suaminya. Rachel, Maryam dan Udin mengurai pelukan mereka, lalu ketiganya duduk di sofa ruang tamu yang berwarna biru dan dihiasi dengan beberapa lukisan karya pelukis ternama yang tergantung di dinding. Udin berdiri dan berkata kepada kedua kakaknya, “Aku mau istirahat di kamarku saja.” Dengan langkah kaki yang sedikit pincang, karena gips yang dipakai di kakinya, Udin berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya. Masuk ke dalam kamar dengan cat dinding yang berwarna coklat, Udin mengambil sebatang rokok dari atas meja dan dibawanya menuju ke balkon kamarnya. Udin menyalakan rokok dengan pemantik dan menghisap nikotin yang menjadi candunya selama beberapa bulan ini. Air mata yang sedari tadi ditahannya, akhirnya tumpah juga. Ia tidak mau menangis di hadapan kedua kakaknya, kalau Ia ikut menangis, siapa yang akan menguatkan mereka nantinya. Udin menghenyakkan pantatnya di atas kursi empuk yang ada di balkon tersebut. Tatapan matanya menerawang, seandainya saja Ia mengetahui apa yang disembunyikan oleh mereka semua. Ia hanya bisa menduga-duga saja, kalau ayahnya sudah memiliki keluarga yang lain, keluarga yang kini menjadi prioritasnya. Udin tidak malu mengeluarkan air matanya, Ia hanyalah seorang remaja berusia 16 tahun, yang harus menerima kenyataan pahit, kalau kedua orang tuanya adalah orang tua yang buruk. Mereka tidak peduli kalau pertengkaran mereka didengarkan oleh ketiga anaknya. Orang tua yang hanya memikirkan dirinya sendiri saja, tanpa memikirkan psikologis anak-anaknya, akibat dari pertengkaran mereka. Entah sudah berapa batang nikotin yang habis dihisap oleh Udin. Melalui asap nikotin yang dihisapnya, Udin berpikir Ia akan bisa melupakan kenyataan kalau Ia adalah anak dari keluarga yang broken. Udin lalu mengambil handphone miliknya dari saku kemejanya dan ditekannya tombol hijau untuk menghubungi keempat sahabatnya. Udin meminta keempat sahabatnya untuk datang ke rumahnya dan membawanya pergi untuk sementara waktu dari rumah ini. Ia ingin menepi dan melupakan semua masalah di keluarganya barang sejenak. Seandainya kakinya sudah sehat, tentu saja Ia tidak akan meminta tolong kepada keempat sahabatnya untuk menolongnya ke luar dari rumah ini. Ia tidak mau memakai sopir pribadi yang sudah disiapkan oleh ayahnya untuk dirinya. Ia sampai pada kesimpulan, kalau perhatian dan kasih sayang ayahnya se;ama beberapa hari ini ternyata palsu. Saat berada bersamanya pun sebenarnya Udin dapat merasakan kalau ayahnya tidak tenang. Sebentar-bentar, ayahnya akan mengecek handphone miliknya. Namun, Ia mengabaikan semua pertanda yang menyatakan kalau ayahnya tidak merasa betah saat berada di rumah mereka. Tak mau para sahabatnya melihat Ia menangis, Udin mengusap air matanya yang jatuh di pipi. Ia lalu bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya dan menuju kamar mandi. Udin membasuh wajahnya dengan air dingin dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Terlihat matanya yang sembab dan merah bekas air mata. Ia tidak mau dikasihani oleh para sahabatnya, Ia selalu menyembunyikan rasa sakit hati dan kecewanya akan kehidupan keluarganya yang tidak seindah kehidupan keluarga para sahabatnya. Setengah jam kemudian, pintu kamar Udin diketuk dan Udin pun mempersilahkan kepada sahabatnya untuk masuk. Mereka berlima duduk di sofa yang ada di kamar Udin. “Sepertinya kondisimu sudah semakin baik, kami sudah merindukanmu untuk masuk sekolah kembali. Kita bersama-sama akan membuat perhitungan dengan Farid dan Gengnya, kami sangat yakin kalau Farid dan anak buahnya lah yang sudah membuatmu terjatuh saat balapan,” ucap Andi dengan bersemangat. “Aku juga yakin seperti itu, hanya saja Aku masih dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membalas mereka semua. Aku meminta tolong kepada kalian semua untuk membawaku ke luar dari rumah ini. Kakiku belum bisa dipakai untuk membawa mobil.” Tutur Udin. “Siap, kamu mau minta diantarkan ke mana saja kami siap, tetapi bukannya ayahmu sudah menyiapkan seorang sopir pribadi khusus untukmu?” Tanya Luki. Udin menghela napasnya, “Aku tidak senang diantar sopir, seperti dimata-matai oleh ayahku saja. Aku yakin, selain sebagai sopir, Ia juga merangkap sebagai informan ayahku.” “Kamu mau kami antarkan ke mana?” Tanya Zidan. “Tolong kalian jemput aku ke apartemenku saja. Aku masih merasa belum sehat benar untuk mengunjungi tempat selain apartemenku.” Kelimanya kemudian pergi meninggalkan rumah Udin dengan diam-diam, tanpa sepengetahuan kedua kakak Udin. Mereka memasuki mobil milik Luki dan menyusuri jalanan kota Jakarta yang sudah tidak macet lagi, karena hari sudah beranjak malam dan matahari sudah naik ke peraduannya. Kelimanya mampir sebentar ke sebuah restoran yang menyajikan makanan cepat saji untuk mengganjal perut mereka. Saat mereka berada di restoran cepat saji tersebut, Udin lebih banyak diam dan hanya sebagai pendengar saja dari obrolan dan candaan keempat sahabatnya. Selesai menikmati makanan mereka, Udin dan keempat sahabatnya kembali melanjutkan perjalanan menuju apartemen mewah milik Udin. Sesampainya mereka di basement apartemen Udin, mereka pun langsung turun dan memasuki lift yang akan membawa mereka semua ke apartemen Udin. Di dalam apartemen Udin, langsung saja keempat sahabat Udin bersikap seolah di rumah sendiri. Ada yang langsung merebahkan badannya di sofa dan ada yang langsung membuka kulkas milik Udin untuk mencari makanan ringan dan juga minuman dingin. “Terima kasih, kalian semua sudah mengantarkanku ke apartemen milikku, sekarang kalian boleh pergi. Aku mau sendiri saja untuk sementara waktu,” ucap Udin. Keempat sahabatnya berseru terkejut, mereka tidak menduga Udin akan mengusir mereka semua untuk ke luar dari apartemennya dan apa katanya barusan. Ia mau menyendiri, sepertinya Udin memang sedang dalam masalah hanya saja Ia tidak mau membaginya dengan mereka semua. “Kau yakin, meminta kami untuk pergi dari apartemenmu. Apakah Kau sedang ada masalah?, sebagai sahabatmu kami sangat bersedia untuk mendengarkan kau menceritakan masalahmu.” Tutur Luki. “Kami tidak mau Kau melakukan hal yang bodoh saat kami tinggal pergi.” Tambah Ryan lagi. Udin menatap keempat sahabatnya dengan lekat, “Aku baik-baik saja. Hanya saja saat ini aku benar-benar memerlukan waktu untuk menenangkan diriku. Maaf, aku tidak bisa menceritakan kepada kalian semua apa masalahku. Dan kalian tidak perlu khawatir, kalau aku akan melakukan hal yang bodoh dan nekat. Terima kasih untuk perhatian dan kepedulian kalian semua.” Merasa kalau Udin akan tetap kukuh dengan pendiriannya, keempatnya pun berpamitan dengan Udin dan mereka berpesan kepadanya agar menghubungi mereka semua kalau Ia membutuhkan teman. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD