Dokter itu tersenyum tipis ke arah ayah Udin, “Putra bapak dan ibu mengalami benturan di kepalanya. Tadi kami sudah melakukan CT scan untuk mengetahui apakah ada penggumpalan darah di kepala akibat benturan tersebut dan hasilnya tidak terdapat penggumpalan darah di otak pasien.
“Putra bapak dan ibu sempat mengalami koma, akibat benturan tersebut dan juga karena kekurangan darah yang banyak, untungnya stok darah kami mencukupi dan juga pasien yang sepertinya memiliki daya juang untuk hidup yang tinggi, sehingga ia dapat sadar dengan cepat.” Tutur dokter yang merawat Udin.
“Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang rawat, silahkan bapak/ibu urus administrasinya.” Tambah dokter itu lagi.
Ayah Udin segera berjalan menuju ke bagian administrasi untuk mengurus administrasi Udin, agar ia mendapatkan ruang inap di rumah sakit ini. Setelah menyelesaikan urusan administrasi Udin, Altaf kembali ke depan ruang UGD untuk menunggu Udin dipindahkan ke ruangannya.
Beberapa saat kemudian pintu ruang Gawat Darurat terbuka dan terlihat sebuah brankar di dorong ke luar dengan Udin terbaring di atasnya. Terlihat wajah Udin pucat dan mengalami memar, lengannya di gips begitu juga dengan kakinya.
Petugas kesehatan mendorong brankar tersebut untuk diantarkan ke ruang VVIP yang telah dipersiapkan untuknya. Rombongan keluarga Udin dan juga para sahabatnya mengikuti hingga ke ruangan. Dokter membatasi hanya 2 orang saja yang boleh berjaga, selebihnya dipersilahkan untuk pulang.
Restu, ibu Udin meminta kepada kedua putrinya untuk pulang saja, besok mereka harus pergi kuliah dan mereka kaan bergantian untuk merawat Udin di rumah sakit. Orang tua Udin mengucapkan terima kasih kepada keempat sahabat Udin yang sudah menolong Udin dengan cepat.
Saat keempat sahabat Udin ke luar, ayah Udin ikut ke luar, ia bertanya kepada keempat sahabat Udin, mengapa Udin sampai mengalami kecelakaan dan apa yang sebenarnya terjadi.
Keempatnya pun menceritakan kalau Udin terlibat dalam balapan liar dan ia mengalami kecelakaan di lokasi balapan liar. Mereka juga menyebutkan alamat tempat mereka melakukan balapan liar.
Altaf berterima kasih kepada sahabat-sahabat Udin dan mempersilahkan mereka untuk pulang. Altaf lalu membalikkan badannya dan menatap kedua putrinya dan mengatakan kepada mereka untuk pulang dengan mobil pribadinya yang masih ada di parkiran. Ia sudah menghubungi sopirnya untuk mengantarkan mereka pulang.
Rachel yang masih marah kepada ayahnya enggan untuk berpamitan, ia hanya berlalu begitu saja. Altaf yang melihat kelakuan putri sulungnya hanya bisa menghela napas. Ia mengantar keduanya hingga ke lobi rumah sakit, tempat sopir pribadinya menunggu. Ia merasa bertanggung jawab untuk memastikan keselamatan kedua putrinya tiba dengan selamat bertemu dengan sopir pribadinya.
Setelah memastikan keduanya selamat, Altaf kembali ke ruangan Udin dirawat dan bertemu dengan istrinya. Terlihat istrinya itu sedang duduk sambil mengelus kepala Udin dengan lembut. Sementara Udin tidur dengan lelapnya, mungkin karena pengaruh obat yang sudah diberikan oleh dokter kepadanya.
Altaf duduk di sebelah Restu, “Bagaimana kabarmu?, sudah lama sekali kita tidak bertemu,” ucap Altaf.
Restu mendengkus mendengarnya, “Ya, kita memang sudah lama tidak bertemu dan itu salah siapa. Kurasa kau sudah membuang kami semua dari hatimu dan lebih memilih untuk bersama dengan keluarga barumu,” jawab Restu tajam.
Altaf menghela napasnya, ia harus mengakui memiliki dua keluarga dengan dua rumah, ternyata sangatlah sulit untuknya bertindak adil. Ada salah satu yang menjadi korban dan di sini yang menjadi korban adalah keluarga pertamanya.
“Aku tidak mengerti, mengapa tidak kau ceraikan saja diriku, agar kau bebas dan tidak perlu melihat atau peduli dengan kami sama sekali.” Tambah Restu.
“Aku sudah pernah mengatakan kepadamu sebelumnya bukan, kalau aku tidak akan pernah menceraikanmu.” Jawab Altaf, sambil menatap tajam istrinya.
Restu balas menatap tajam Altaf, “Tidak kau ceraikan, tetapi juga tidak kau pedulikan. Mengapa kau gantung hidupku. Kau egois hanya memikirkan dirimu sendiri saja.”
Altaf melembutkan tatapan matanya, “Aku tidak ingin kita bertengkar setelah sekian lama kita tidak bertemu. Terlebih lagi, putra kita sedang menjalani perawatan. Kita pikirkan kesehatan Udin saja dahulu, itu yang terpenting.
Keduanya lalu terdiam, larut dalam lamunan masing-masing. Keheningan ruang rawat Udin dipecahkan dengan suara handphone Altaf yang berdering nyaring. Gegas Altaf mengangkatnya, “Hello, bagaimana?, apakah kau sudah menemukan apa yang menyebabkan putraku mengalami kecelakaan?”
“Maaf, Bos. Belum, tapi kami sedang berusaha untuk mencari tahu apa yang sebanarnya terjadi. Kami berjanji dalam satu hari ini kami akan menemukan apa penyebab putra bos mengalami kecelakaan.”
Sambungan telepon kemudian di tutup oleh Altaf. Ia mengalihkan tatapannya lagi ke arah Restu, istrinya. Tidurlah!, Kau pasti lelah dan ngantuk setelah perjalanan panjang dari Singapura ke Jakarta. Nanti, saat Udin sadar akan kubangunkan kamu.”
Tanpa banyak cakap, Restu mematuhi perkataan suaminya. Ia merebahkan badannya di atas sofa empuk yang ada di ruang VVIP dan hanya memakan waktu dalam hitungan menit Ia sudah tenggelam dalam alam mimpi.
Altaf menghenyakan pantatnya di samping Udin dan ditatapnya wajah putra bungsunya itu dengan rasa sayang. Ia telah mengerahkan orang terbaiknya untuk menyelidiki kecelakaan Udin. Tidak ada yang boleh bermain-main dengan keluarganya.
Keesokan paginya keempat sahabat Udin pergi ke sekolah berbarengan. Setiba keempatnya di parkiran sekolah, mereka disambut oleh Farid dan gengnya, “Ke mana bos kalian, si Udin. Apa dia merasa malu, karena sudah kalah dan memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah?”
“Udin bukanlah pengecut, ia tidak akan lari dari tanggung jawabnya. Udin sedang di rawat di rumah sakit, ia sempat koma, karena kecelakaan saat balapan tadi mala. Kami rasa kamu mengetahui kalau Udin mengalami kecelakaan.” Tuduh Ryan kepada Farid.
Farid menatap Ryan dengan penuh emosi, kedua tangannya mengepal, siap untuk memberikan pelajaran kepada Ryan, “Bagaimana Aku tahu, kalau Udin mengalami kecelakaan. Ia tertinggal jauh di belakangku saat kecelakaan itu terjadi.”
“Terserah kau saja, yang pasti Kau harus merasa ketakutan, karena ayah Udin sudah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penyelidikan,” tambah Ryan lagi dan berjalan meninggalkan Farid bersama dengan gengnya yang emosi.
Salah seorang pengurus OSIS mendatangi kelas Udin dan mengatakan mereka mencari Udin untuk melaksanakan hukumannya. Salah seorang sahabat Udin mengatakan kalau Udin sedang menjalani perawatan di rumah sakit, karena kecelakaan. Setelahnya keempat sahabat Udin melanjutkan langkah mereka menuju ke dalam kelas. Namun, sebelumnya, Luki, sahabat Udin memperingatkan Farid dengan Gengnya, “Kalau sampai ketahuan kalian bermain curang, kalian harus bersiap untuk berhadapan dengan kami. Kami tidak akan membiarkan sahabat kami disakiti.”
Di dalam kelas keempat sahabat Udin merasa kurang, tidak ada yang selalu membuat ulah dan ditegur guru. Mereka menatap ke arah bangku kosong milik Udin yang ada di pojok kelas. Sepulang sekolah, mereka akan ke rumah sakit untuk menjenguk Udin dan mereka juga akan mencari tahu apakah ada sesuatu yang mencurigakan dengan motor Udin. Mereka tidak mempercayai kalau Udin mengalami kecelakaan tanpa adanya sabotase ataupun adanya gangguan pada saat balapan.
Bel istirahat berdenting, keempatnya langsung ke luar menuju ke kantin sekolah dan seperti biasa mereka mengambil tempat dipojokan. Tempat yang sudah menjadi milik mereka berlima dan tidak ada seorangpun yang berani duduk di tempat itu. Kalau sampai ada yang berani mengusik tempat duduk itu, bersiap saja untuk mendapatkan ‘Pelajaran’ dari Udin dan para sahabatnya.
Mereka memesan bakso dan es teh manis kepada ibu kantin, sambil menunggu pesanan mereka datang. Keempatnya mendiskusikan rencana mereka untuk memeriksa motor Udin. Mereka akan membawanya ke bengkel yang berbeda dari bengkel sebelum Udin berlomba dan memeriksa kondisi motornya yang mengalami sedikit masalah.
Farid dan Gengnya yang suka sekali mencari masalah, mendatangi keempat sahabat Udin, “Kuy, lihat nih. Anak ayam kehilangan induknya!. Mereka mana berani melawan kita. Kalian semua harus mengatakan kalau kamilah yang terhebat dan terbaik dan kalian semua hanyalah pecundang dan kalian semua harus bersedia menuruti semua perintah kami selama sebulan.” Peringat Farid.
Ryan berdiri dari duduknya diikuti oleh ketiga sahabatnya dan diambilnya kerah seragam sekolah Farid lalu ditariknya, “Kami akan mengakui kemenanganmu dan juga bersedia menuruti semua perintah kalian selama sebulan, tetapi itu semua kami lakukan kalau terbukti kau tidak bermain curang.
Farid menepis tangan Ryan yang memegang kerah seragam sekolah miliknya, “Bilang saja kalau kalian semua Cemen, menuduh kami melakukan kecurangan. Kalian harus melakukan janji bos kalian untuk menuruti semua permintaan kami, meja ini sekarang menjadi milik Geng Scorpion, kalian dapat mencri tempat duduk yang lain.”
Farid dan kelima temannya mengusir keempat sahabat Udin dari tempat duduk mereka. Luki menjadi emosi, ia sudah mengepalkan kedua tangannya bersiap untuk menghajar Farid. Namun, Ryan, Zidan dan Andy melarangnya. Mereka lalu berjalan menuju ke meja yang lain.
Sementara itu di ruangan VVIP rumah sakit tempat Udin dirawat, Udin sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Ia mencoba duduk dan seluruh badannya terasa sakit, seperti dilindas truk, terasa sakit dan pegal sekali. Udin menatap tangannya kanannya yang digips dan tangan kirinya yang dipasang infus. Ia juga melihat kakinya yang digips dan langsung saja ia merasa panik, ia takut kalau kakinya tidak bisa lagi digerakkan.
Restu dan Altaf yang tertidur di atas sofa empuk yang ada di kamar inap Udin, langsung saja terbangun mendengar teriakan Udin. Sambil mengucek matanya, Restu menghampiri putra bungsunya itu, “Kenapa berteriak Nak?, apa yang sakit?”
Udin menatap senang ke arah ibunya, “Ibu datang ke sini?, sama siapa bu?, apakah ibu datang bersama dengan asisten ibu?”
Restu tertawa kecil mendengar perkataan Udin, “Kalau sudah cerewet seperti ini, berarti anak ibu sudah sehat. Kamu belum menjawab pertanyaan ibu, kenapa Kamu berteriak?”
“Bu, kakiku tidak bisa digerakkan.” Lapor Udin manja.
Restu mengusap pelan pundak Udin, “Kamu itu baru saja mengalami kecelakaan dan kaki kamu itu dipasangi gips, jadi wajar kalau kami kamu terasa kaku dan berat. Nanti juga kaki kamu akan normal kembali dan kamu bisa gunakan kembali. Hanya saja, ibu melarang keras untuk kamu gunakan untuk balapan liar lagi. Kamu itu beruntung tidak mendapatkan luka yang dapat berakibat fatal.”
Udin hanya tersenyum lebar, “Senang melihat ibu datang, Udin tidak apa kecelakaan lagi atau sakit. Asalkan ibu dan juga ayah ada di sini mendapmpingi Udin,” sahutnya manja.
Restu dan Altaf merasa bagaikan disiram dengan air dingin, mengetahui putra bungsu mereka yang ternyata sangat rindu dengan kehadiran mereka berdua. Rindu hanya bisa tersenyum tipis saja, sementara Altaf tersadar dari keterdiamannya. Ia menghampiri Udin dan mengacak rambutnya, “Tidak ada balapan liar lagi, atau ayah akan mengambil semua motor milikmu dan juga akan ayah potong uang sakumu selama tiga bulan. Silahkan saja kamu pilih yang mana.”
Udin hanya cemberut dan dibaringkannya kembali tubuhnya di atas tempat tidur, ia merasa kesal dengan ayahnya yang main ancam, sementara Udin kesal, ayahnya tidak peduli. Ia tidak akan memperbolehkan Udin untuk balapan liar lagi.