UDIN BERULAH
“Udin, cepat bangun! Sudah jam 7, nanti kamu terlambat ke sekolah,” teriak suara dari balik pintu kamar Udin. Udin yang masih terlelap dalam alam mimpi terkejut mendengar suara teriakan dari balik pintu kamarnya.
“Berisik, Kak! Udin masih ngantuk,” jawab Udin dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Namun, akhirnya Udin dengan terpaksa harus bangun juga dari tidurnya. Daripada pintu kamarnyna digedor-gedor terus-terusan oleh kakaknya yang bawel.
Saefudin (Udin), 16 tahun siswa kelas XII IPA 2 SMA Tunas Bangsa. Bungsu dari 3 bersaudara dan merupakan anak laki-laki satu-satunya. Seharusnya dirinya mendapatkan perhatian dan kasih sayang berlebih sebagai anak laki-laki satu-satunya. Namun, hal itu tidak terjadi dengan dirinya.
Orang tua mereka, jangan ditanya. Keduanya sangat sibuk dengan bisnisnya masing-masing, sehingga lupa akan anak-anak mereka. Ayahnya, Altaf Baihaqi, 56 tahun, memanglah seorang pengusaha yang sukses dengan kerajaan bisnisnya yang terus berkembang. Menurut kabar yang Udin dengar alasan jarangnya kepulangan ayahnya ke rumah, dikarenakan sang ayah telah memiliki keluarga baru yang lebih disayanginya.
Sementara itu, ibunya Restu Martoni, 55 tahun, juga merupakan seorang pebisnis yang sukses. Sejak mengetahui perselingkuhan sang suami, dirinya mengabaikan anak-anaknya dan lebih asyik dengan bisnis fashion miliknya yang semakin maju dan berkembang hingga ke manca negara.
Rachel, 22 tahun kakak pertama Udinlah yang mengambil alih peran kedua orang tuanya. Terkadang hatinya merasa miris melihat adik-adiknya yang kekurangan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Sebagai Mahasiswi tingkat akhir dirinya sebenarnya merasa terbebani mengemban tanggung jawab menggantikan tugas kedua orang tuanya untuk memberikan kasih sayang dan perhatian kepada kedua adiknya.
Terlebih-lebih untuk adiknya Udin yang semakin hari, tingkahnya semakin membuatnya pusing dan merasa bersalah, atas kegagalannya sebagai seorang kakak untuk menjaga adik laki-laki satu-satunya.
Maryam, 18 tahun, kakak Udin yang baru saja memasuki awal perkuliahan. Dirinya merasa terbebas setelah tidak satu sekolah lagi dengan adiknya Udin. Saat dirinya masih satu sekolah dengan Udin dirinya merasa malu dengan ulah adiknya.
Teman-temannya sering mengejeknya, karena mempunyai adik yang ke luar masuk ruang BK dan keluarga yang kacau. Terkadang dia menegur adiknya, akan tetapi Udin malah marah kalau ditegur dan tidak pulang ke rumah. Akhirnya dirinya dan kakaknya Rachel bersepakat untuk mendiamkan saja ulah Udin daripada dirinya malah kabur dari rumah dan mereka tidak tahu informasi apapun tentang adik bungsu mereka.
Meski Udin di cap sebagai anak nakal dan pembangkang, Rachel dan Maryam sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Mereka berusaha agar sang adik mau berubah dari sifatnya yang suka memberontak dan membuat ulah.
Selesai mandi dan memakai seragam sekolah, Udin turun ke lantai 1 tempat di mana kedua kakaknya sudah duduk di depan meja makan dan siap menyantap sarapan pagi mereka.
Bi Sum, 50 tahun, asisten rumah tangga di keluarga Baihaqi sangat menyayangi ketiga anak majikannya. Dirinya turut merasakan kesedihan yang disarakan anak-anak majikannya. Terlebih-lebih dirinya merasakan kesedihan si bungsu yang telah diasuhnya sejak kecil, seperti anaknya sendiri.
Disiapkannya makanan untuk si bungsu yang baru saja duduk di depan meja makan. “Hari ini sarapannya nasi goreng dengan telur mata sapi.”
“Terimakasih, bi. Seandainya Bi Sum yang menjadi ibuku tentu Aku akan senang sekali,” ucap Udia yang membuat kedua kakaknya menghentikan makan mereka dan menatap ke arah Udin.
“Bibi, sudah menganggap Den Udin dan kedua kakak Den Udin seperti anak sendiri.” Bi Sum menjawab ucapan Udin dengan rasa haru. Kemudian dirinya berbalik meninggalkan meja makan menuju ke dapur.
Udin duduk di antara kakak-kakaknya, mereka bertiga bagaikan anak yatim piatu yang tidak mempunyai ayah dan ibu. Dalam hatinya terkadang Udin menjerit, ingin rasanya dirinya merasakan seperti anak-anak yang lainnya mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya.
Namun, semenjak ayahnya mempunya keluarga baru, dia jarang pulang ke rumah dan lebih sering tinggal bersama keluarga barunya. Jadilah Udin melampiaskan rasa kehilangan kasih sayang orang tuanya dengan membuat ulah baik di sekolah maupun di luar sekolah.
“Ayah dan ibu kapan, sih pulangnya, Kak?”
“Apakah mereka tidak ingat kalau masih mempunyai anak yang masih hidup dan memerlukan kasih sayang mereka?” tanya Udin kepada kakak-kakaknya.
“Kakak juga tidak tahu, kapan ayah dan ibu akan pulang ke rumah. Kakak berharap mereka sadar kalau kita masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari mereka,” sahut kakaknya Rachel.
Maryam menundukkan kepalanya, air matanya hampir menetes, dirinya yang dulu sangat dekat dengan sang ayah kini harus merasakan kehilangan cinta pertamanya itu.
“Ayah sudah tidak sayang dengan kita lagi bukan, dia lebih sayang dengan keluarga barunya. Kakak tidak usah menutupinya lagi, Aku sudah mengetahui alasan mengapa ayah menjadi jarang pulang. Dia lebih senang menghabiskan wakt bersama dengan keluarga barunya bukan” kata Udin dengan emosi.
Udin tidak jadi menyelesaikan sarapannya, di hempaskannya sendok ke atas piring dengan kasar.
Rachel berdiri dari duduknya dihampirinya adiknya itu, “Kita mungkin telah kehilangan sosok ayah yang pernah menyayangi kita. Namun, kita bersaudara dengannya. Kakak harap Kamu jangan bertengkar dengannya, karena kita semua tahu ayah pasti akan lebih membela anaknya dari perempuan itu.” Rachel mengusap punggung adiknya pelan dengan air mata yang mengalir dipipinya.
“Habiskan makanmu, dik. Kita hanya berdoa saja agar suatu hari nanti ayah dan ibu menyadari kesalahan mereka, yang telah mengabaikan kita anak-anaknya,” ucap kakaknya Maryam.
Yah, meskipun terkenal bandel di sekolah dan suka membuat ulah, Udin sangat menyayangi dan hormat dengan kedua kakaknya. Dirinya bersyukur, meski kehilangan kasih sayang kedua orang tua, dirinya masih memiliki kakak yang sangat menyayanginya.
Yah, meskipun terkenal bandel di sekolah dan suka membuat ulah, Udin sangat menyayangi dan hormat dengan kedua kakaknya. Dirinya bersyukur, meski kehilangan kasih sayang kedua orang tua, dirinya masih memiliki kakak yang sangat menyayanginya.
Udin melanjutkan sarapannya yang sempat terhenti. Dia tidak suka melihat air mata mengalir di pipi kedua kakaknya. Terlebih lagi kalau hal itu disebabkan oleh dirinya.
Selesai makan, Udin mencium punggung tangan kedua kakaknya. “Assalamu’alaikum, Kak. Udin berangkat dulu.”
Udin tiba di sekolah tepat saat bel sekolah berbunyi. Udin segera menuju kelas XII IPA 2, yang merupakan kelasnya. Meski dikenal sebagai pembuat onar, dan jarang masuk kelas Udin memiliki otak yang cerdas. Dirinya cukup dengan membaca catatan milik temannya sekilas, dengan cepat otaknya yang encer menyerap apa yang dibacanya.
“Din, ayo kita apel, nanti kamu kena razia, pak Dar, kalau tidak ikut apel dan dihukum,” peringat Anton, teman dekat Udin.
Udin beranjak dari duduknya, diikutinya Anton menuju lapangan upacara. Udin berbaris bersama dengan teman-teman yang lainnya. Namun, bukan Udin namanya kalau tidak membuat ulah. Saat teman-temannya begitu tekun mendengarkan kepala sekolah mereka menyampaikan pidatonya. Udin menempelkan kertas yang bertulisan, “Harap minggir, orang gila mau lewat,” ke punggung temannya yang ada di depannya.
Siswa-siswa lain yang membaca kertas yang tertempel di punggung Rudi berbisik-bisik sambil menahan tawa, hingga mengganggu konsentrasi siswa lainnya mendengarkan pidato sang kepala sekolah.
Pak Kadir, sang kepala sekolah menghentikan pidatonya, ditolehkannya kepalanya ke arah sumber keributan. “Ternyata ada yang mau menggantikan Saya berpidato di depan. Silahkan maju barisan anak laki-laki kelas XII IPA 2,” bentak Pak Kadir yang membuat keder siswa-siswa SMA Tunas Bangsa, terkecuali Udin.
Semua siswa laki-laki kelas XII IPA 2 pun maju menghadap sang kepala sekolah. Pak Kadir turun dari mimbar upacara. Ditatapnya lekat-lekat siswa laki-laki yang ada dihadapannya.
“Kenapa kalian berisik dan tertawa-tawa saat Saya memberikan pidato. Apakah ada yang lucu dengan pidato Bapak?” tanya pak Kadir dengan galak.
“maaf, pak. Kami tidak bermaksud untuk menertawakan Bapak dan ceramah Bapak tidak ada yang lucu sama sekali,” ucap ketua kelas XI IPA 2.
“Kalau tidak ada yang lucu kenapa kalian tertawa dan mengganggu jalannya upacara?” tanya pak Kadir lagi.
Pak Kadir kemudian berjalan mengelilingi barisan siswa laki-laki tersebut. Saat tiba di belakang Rudi, pak Kadir mengambil kertas yang bertuliskan kata-kata tidak baik tersebut. Diangkatnya kertas tersebut dan ditatapnya satu-persatu siswa laki-laki yang berdiri dihadapannya.
“Siapa yang membuat tulisan ini? Katakan kepada Bapak sekarang juga?” ucap pak Kadir dengan emosi.
Udin dengan tidak mengenal rasa takut maju ke depan dan berdiri tepat dihadapan sang kepala sekolah,
Pak Kadir mengurut dadanya, ditatapnya Udin dengan lekat-lekat. “Bapak tidak tahu, mengapa Kamu sekarang sangat berubah menjadi anak yang sangat suka membuat ulah. Dulu, awal masuk sekolah Bapak mengenal mu sebagai anak baik-baik dan selalu mencetak prestasi di sekolah. Nilai sekolahmu pun selalu bagus, namun sekarang semua sepertinya tinggal kenangan saja.”
“Saepudin yang bapak kenal sebagai anak baik sudah hilang dan berganti dengan anak yang suka membuat ulah. Sekarang, Kamu bapak hukum berdiri di depan tiang bendera. Hingga upacara selesai Kamu tetap berdiri di sana.” Peringat sang kepala sekolah.
“Tapi, Pak, ‘kan cuma tulisan saja tidak sakit. Kenapa Saya harus dihukum?” tanya Udin dengan berani.
“Kamu sudah salah, masih berani membantah. Tulisan itu memang tidak menimbulkan sakit dan luka fisik, tetapi tulisan Kamu bisa menyebabkan melukai perasaan teman Kamu.”
“Bapak, tidak dapat mentolerir ulah mu, hari ini. Cepat Kamu berdiri di depan tiang bendera.”
Udin pun berjalan menuju ke tiang bendera, Dia tidak merasa takut atau gentar dengan suara keras sang kepala sekolah. Bahkan hukuman yang diberikan pun diterimanya dengan enteng.
Pak Kadir kembali ke mimbar upacara dan mengakhiri pidatonya. Rangkaian urutan upacara dilanjutkan. Hingga akhirnya upacara dibubarkan Udin masih harus berdiri di depan tiang bendera.
Pak Kadir kali ini harus bertindak tegas dengan Udin yang ulahnya semakin menjadi-jadi. Pak Kadir yang sedang duduk di ruangannya, memanggil guru BK, Pak Tejo.
Pak Tejo mengetuk pintu ruang kepala sekolah satu kali dan setelah diperbolehkan masuk. Dirinya pun masuk ke dalam ruang kepala sekolah.
“Silahkan duduk, Pak Tejo,” ucap Pak Kadir.
“Ada, apa, Bapak memanggil Saya?”
“Saya mau Bapak memanggil Udin ke ruangan bapak setelah ini, tolong Bapak berikan arahan dan bimbingan kepada Udin agar Dia mau terbuka dan menceritakan alasan mengapa dirinya menjadi berubah sedrastis ini.”
“Baik, Pak. Meskipun Saya sudah pernah bertanya kepada Udin, akan tetapi Dia tidak pernah mau menyampaikan apa yang menjadi permasalahannya hingga dirinya menjadi berubah seperti ini,” jawab pak Tejo.
“Ya, sudah kalau begitu. Saya harap kali ini, Udin mau berbicara dengan Bapak untuk mengungkapkan isi hatinya.” Pak Kadir pun mempersilahkan kepada pak Tejo untuk meninggalkan ruangannya.
Sekeluarnya dari ruangan kepala sekolah Pak Tejo mendatangi Udin yang masih berdiri menghadap tiang bendera, di bawah teriknya matahari.
“Udin, Kamu sekarang ikut ke ruangan Bapak.” Ajak Pak Tejo kepada Udin sambil berjalan menuju ruangannya mendahului Udin.
Udin berjalan perlahan di belakang pak tejo. Dalam hatinya Dia tidak peduli kalau akan di marahi dan ditegur oleh sang guru BK.
Pak Tejo mempersilahkan kepada Udin untuk duduk dihadapannya, Silahkan, duduk, Din.”
Udin menghenyakkan tubuhnya di atas kursi kayu berwarna coklat tua.
“Din, Bapak mau Kamu jujur kepada Bapak untuk menceritakan ada masalah apa sebenarnya dengan Kamu, sampai Kamu selalu membuat ulah.”
“Saya tidak punya masalah, Pak,” jawab Udin pendek.
“Bapak mau tahu kenapa Kamu selalu saja membuat ulah dengan teman-temanmu. Nilai sekolahmu juga semakin merosot, menurut keterangan yang Bapak dapat dari guru-guru di kelas mu.”
“Saya tidak membuat ulah, Pak. Saya hanya iseng saja. Lagipula, ‘kan tidak berbahaya, pak.”
“Wah, Saya tidak tahu, pak. Kenapa nilai Saya menjadi jatuh merosot, mungkin karena Saya malas belajar, Pak,” sahut Udin dengan entengnya.
Pak Tejo menghela napasnya dengan berat, dirinya mencoba untuk memahami anak didiknya dengan mempelajari mimik wajahnya saat ini, juga gestur tubuh yang diperlihatkan oleh Udin. Namun, dirinya sama sekali tidak menemukan hal yang dapat memberikan petunjuk kepadanya mengenai persoalan yang sedang dihadapi oleh si Udin.
“Bapak, bingung dengan Kamu. Dulu Kamu adalah anak yang berprestasi dan selalu membawa nama harum sekolah. Akan tetapi sekarang Kamu menjadi anak yang semakin sering membuat ulah.”
“Bapak, tidak usah bingung. Orang tua saja tidak bingung dengan ulah Saya, mereka santai-santai saja tuh.” Udin berkata dengan mimik wajah yang santai.
Pak Tejo mengelus-elus janggutnya, “Kalau begitu, Bapak akan panggil orang tua Kamu ke sekolah. Bapak akan meminta kepada kedua orang tua Kamu untuk lebih memperhatikan mu,” kata pak Tejo.
“Bapak fikir mereka akan peduli, yang ada nanti, asisten orang tua Saya atau kakak Saya yang datang ke sekolah. Orang tua Saya mana peduli dengan urusan kecil seperti ini.” Sanggah Udin.
Pak Tejo dalam hatinya membenarkan perkataan Udin. Sudah banyak surat panggilan kepada orang tua Udin yang mereka layangkan. Namun, tak pernah sekalipun orang tua Udin datang.
“Mau jadi apa kalau Kamu seperti ini terus?” Pak tejo bertanya dengan nada galak kepada Udin, dirinya merasa kesal dengan jawaban Udin yang asal-asalan saja.
“Yah, jadi orang lah, Pak. Masa Saya jadi monyet.” Udin menjawab dengan senyum tersungging di bibirnya yang mulai menghitam akibat rokok yang dihisapnya.
“Ke luar Kamu dari ruang Bapak, sana Kamu kembali ke kelas. Awas, kalau Kamu tidak kembali ke kelas akan Bapak kejar Kamu, kamana pun Kamu bersembunyi.”
“Tenang saja, pak. Saya tidak akan lari ke mana-mana. Hari ini Saya akan menjadi anak baik, Pak.” Udin pun bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan ke luar dari ruang pak tejo menuju ke kelasnya.
Sepeninggal Udin dari ruangannya, Pak tejo menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ternyata sangat susah untuk memahami si Udin. Semoga anak itu segera berubah menjadi anak baik lagi,” Pak Tejo bermonolog dalam hatinya.
Udin berjalan sambil bersiul-siul menuju ke dalam kelasnya. Saat tiba di dalam kelas Udin memindai seisi ruang kelas, dilihatnya kalau sudah ada yang menduduki bangku yang biasanya diduduki olehnya.
Udin mendekati ke arah remaja sebayanya yang menduduki bangkunya. “Siapa yang memperbolehkan kamu untuk duduk di sini. Apakah tidak ada yang memperingatkan kepadamu kalau bangku ini, khusus milikku dan tidak ada seorang pun yang boleh mendudukinya,” ucap Udin galak. Ditariknya kerah kemeja teman sekelasnya yang belum diketahuinya namanya.
Remaja tanggung itu pun jatuh tersungkur dari bangku yang didudukinya dan mendapatan ejekan dari udin.
“Makanya, jangan berani duduk sembarangan!” Peringat Udin kepada siswa yang belum dikenal namanya oleh Udin. Udin sendiri baru saja masuk sekolah kembali setelah dirinya menghilang tanpa kabar dari sekolah dua minggu lamanya.
‘Udin!” Kamu tidak mengghargai Ibu sebagai guru Kamu yang sedang duduk di depan. Di mana sopan santunmu Udin, Kamu sama sekali tidak menghargai Ibu sebagai guru yang sedang mengajar. Bahkan Kami tidak mengucapkan salam saat masuk kelas.
“Dia, teman baru Kamu, namanya Rahmad. Dia anak pindahan dari Bandung dan Ibu yang memintanya untuk duduk di situ. Kamu sendiri kemana dua minggu tidak sekolah tanpa keterangan?” Bu wati, guru IPA Udin bertanya dengan galak.
“Saya, tidak kemana-mana, Bu. Hanya sedang malas ke sekolah saja.”
“Kamu ini, sebenarnya anak yang pintar, tetapi kalau Kamu terus-terusan berulah seperti ini, mau jadi apa Kamu setelah lulus sekolah. Masih banyak anak di luar sana yang mau sekolah. Namun, mereka memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga tidak dapat bersekolah.”
“Sementara Kamu, yang dapat sekolah dengan fasilitas bagus mlaah malas-malasan sekolah.”
“Ibu, tidak perlu khawatir, orang tua Saya, orang kaya. Saya tidak akan kesulitan untuk mencari pekerjaan. Sudah ada posisi khusus untuk Saya diperusahaan orang tua Saya.” Udin berkata dengan sombongnya.
Bu Wati menggeleng-gelengkan kepalanya, “Sekarang Kamu Ibu hukum, kamu maju ke depan kelas kerjakan soal di papan tulis,” perintah Bu Wati kepada Udin.
Dengan malas-malasan Udin maju ke depan kelas dan mengerjakan soal yang ada di papan tulis.
Saat bel istirahat berbunyi, dan Bu Wati sudah meninggalkan kelas. Udin mencekal lengan Rahmad. “Aku tidak mau duduk sebangku denganmu. Silahkan Kamu pindah duduk ke bangku yang lain.” Selesai mengucapkan kata itu, Udin mendorong Rahmad hingga terjatuh ke lantai.
Siswa-siswa yang lain hanya diam saja, mereka tidak berani melawan Udin. Udin memiliki teman-teman yang sama badungnya dengan dirinya, kalau ada yang berani dengan geng si Udin. Maka orang itu akan celaka, ada saja kesialan yang menimpa mereka.
Udin dan keempat orang sahabatnya, Andi, Ryan, Zidan, dan Luki. Keempat sahabatnya ini sangat setia kepada Udin, mereka selalu menemaninya dalam melakukan segala hal.
Kelimanya masuk ke dalam kantin dan menuju ke tempat favorit mereka yang letaknya di pojok kantin. Siswa-siswa yang lain menundukkan kepala mereka begitu rombongan Udin dan teman-temannya memasuki kantin.
Begitu mereka duduk seorang pelayan menghampiri kelimanya. “Mau pesan apa, Den Udin dan teman-teman?” tanya pelayan itu dengan kertas note dan pulpen di tangannya.
“Kami seperti biasa saja, bakso 5 dan teh hangatnya 5,” jawab Udin yang disetujui oleh teman-temannya.
“Kamu kemana, Din. Dua minggu tidak masuk sekolah tanpa ada kabar, Kami juga mencoba menghubungi ponsel milik mu, akan tetapi ponselmu tidak aktif.” Ryan salah seorang sahabat Udin bertanya.
“Aku kabur dari rumah, kufikir dengan Aku pergi dari rumah kedua orang tuaku akan peduli dan mencariku. Namun, apa. Mereka ternyata tidak peduli sama sekali, justru kedua kakakku yang sangat mengkhawatirkan diriku.” Udin berkata dengan sedih.
“Kau masih beruntung, Din. Ada kakak yang masih peduli denganmu dan jangan Kau lupakan masih ada Kami yang akan peduli denganmu.” Luki ikut menimpali.
“Aku berterimakasih kalian perhatian kepadaku,” ucap Udin. Namun, ada banyak rahasi yang disembunyikannya dari sahabat-sahabatnya. Dia tidak mau mereka merasa kasihan kepadanya.
Pesanan mereka akhirnya datang juga. Mereka menyantap bakso kesukaan mereka dengan lahap. “Jam terakhir nanti, membolos, yuk guys. Aku lagi malas belajar fisika,” kata Andi.
“Aku tidak ikut membolos, hari ini Aku sudah berjanji dengan Pak Kadir tidak akan membolos,” jawab Udin dengan singkat.
“Kalau begitu, kita tidak jadi membolos. Tidak seru membolos kalau tidak ada Udin. Yang lainnya pun mengiyakan ucapan dari Ryan.”
Selesai makan bakso mereka kembali ke kelas, siswa-siswa yang mereka lewati menundukkan kepala mereka dengan takut. Mereka tidak ada yang berani menatap ke arah rombongan Udin yang lewat.
Rombongan Udin kembali masuk ke dalam kelas menunggu guru mata pelajaran fisika untuk masuk ke kelas. Bu Darti, guru fisika mereka, memiliki tubuh yang mungil dan wajah yang cantik. Terkadang Udin dan sahabat-sahabatnya suka membuat guru fisika mereka menangis dengan ulah kebandelan mereka.
Bu Darti memasuki kelas dan di sambut ucapan salam oleh siswa-siswanya. Sebelum pelajaran dimulai Bu Darti mengabsen muridnya satu persatu. Dalam hahtinya merasa sedikit was-was, karena Udin Cs hari ini masuk semua.
Bu Darti memulai pelajaran fisika pada hari ini dengan tema tentang medan magnet. Usai Bu Darti memberikan penjelasan tentang medan magnet. Dibukanya sesi diskusi mengajak murid-muridnya berinteraksi mengenai materi yang baru saja diuraikannya.
“Bu, Aku dan ibu bagaikan medan magnet loh, ada daya Tarik menarik diantara kita yang begitu kuat. Ibu menatap Saya dengan tajam Saya juga ikut menatap Ibu.” Celutuk Udin kepada guru fisikanya yang mereka semua ketahui masih muda dan belum menikah, sehingga sering menjdi objek kejahilan Udin dan teman-temannya.
Sontak ucapan Udin mendapatkan koor riuh dari teman-teman sekelasnya, sementara wajah bu Darti memerah. Antara merah karena malu ataukah marah.
“Udin, Ibu tidak memaksudkan daya Tarik magnet seperti yang Kamu ungkapkan. Kita sekarang sedang belajar fisika. Ibu peringatkan kepadamu untuk serius saat belaja mata pelajaran yang Ibu ampu.” Peringat bu darti kepada Udin.
“Saya juga serius, Bu. Benaran ada medan magnet yang membuat Saya tertarik untuk mengikuti mata pelajaran Ibu daripada membolos. Padahal membolos begitu menggoda, tetapi pesona Ibu lebih menggoda lagi.” Udin berkata dengan santai yang mendapat sorakan dari teman-temannya.
“Kalau Ibu tidak percaya, tanya saja teman-teman Saya, tadi mereka mengajak Saya untuk membolos.” Tambah Udin lagi dengan senyuman tersungging di bibirnya.