Bab 160 Untuk Apa Menjelaskannya Kepadaku

2083 Words
“Arkan, apa kamu tidak bosan menanyakan hal yang sama terus? Perlu ke dokter otak? Sampai kapan pun, hal yang kamu harapkan itu tidak akan pernah terjadi. Mau tidur dengan jutaan wanita pun, aku tidak peduli. Sekalian mati saja sana kena penyakit kelamin menular agar aku bisa hidup dengan tenang. Itu pasti sangat bagus,” ujar Casilda datar tanpa emosi. “Apa?!” Arkan sontak marah dengan wajah mengganas hebat, kedua tangannya mencengkeram kuat bahu sang wanita. Mata membola dengan api kemarahan di sana. Tapi, reaksinya segera meredup ketika menyadari Casilda tidak ada perlawanan lain, malah tampak lesu dan tidak bersemangat seolah-olah dia sedang sakit parah. Sejujurnya, Casilda malas berdebat, menyingkirkan tangan kanan sang suami dari salah satu bahunya dengan gerakan acuh tak acuh. “Jangan berteriak. Aku tidak tuli. Kamu tidak capek, ya, sejak tadi bertengkar terus dengan banyak orang? Aku capek, kepalaku sakit sampai air mataku keluar. Bukan karena cemburu melihatmu bersama Lisa. Dasar pria narsis selangit tidak tahu malu. Selain itu, perutku juga sudah protes minta diisi sejak tadi. Ingin menyiksaku sampai mati? Lakukan saja sekarang. Aku tidak punya tenaga sedikit pun untuk menghadapimu. Aku mau tidur. Ngantuk,” terang Casila lemah, sedikit serak dan lirih. Satu tangan menghapus air mata di pipinya bergantian, lalu segera memejamkan mata. Tidur bersandar di tepi jendela mobil Arkan termenung kaget dalam diam, menatap wajah lelah Casilda yang sepertinya memang agak pucat dan suram. Keringat dinginnya juga samar-samar terlihat di permukaan kulit wajahnya, padahal AC mobil menyala cukup dingin. “Kalau lapar, seharusnya bilang sejak tadi! Kamu benar-benar bodoh!” makinya kesal, sebenarnya Arkan merasa sangat tidak nyaman, karena Casilda melihat acara reality show-nya bersama Lisa di layar billboard. Dia tidak pernah berharap istrinya akan melihat tayangan itu dengan cara mengejutkan tidak biasa. Perasaan Arkan naik turun tidak jelas sambil mengutak-atik layar ponsel. Kening mengencang kuat sambil sesekali melirik ke arah Casilda yang tampak tidak nyaman dalam tidurnya. Apakah dia sangat lapar? Bukankah tadi dia sudah makan sedikit? Kalau dia kurus, bagaimana? Apakah semua lemaknya akan tergurus keluar? Bukankah kalau Casilda jadi kurus, maka Arkan tidak akan bisa memeluk lemak-lemak menggemaskannya itu? Casilda jadi tidak enak dipeluk, kan? Arkan tidak mau memeluk tulang lagi seperti tubuh wanita-wanita yang selama ini sudah pernah ditidurinya! Tidak memuaskan! Tidak menyenangkan! Arkan dilematis, dan segera mengakhiri kegiatan di layar ponselnya dengan wajah penuh tekad. Tidak berapa lama kemudian, dari sisi jendela Casilda terdengar suara ketukan keras. Wanita yang matanya sudah berat sekali itu terpaksa menegakkan punggung, dan menoleh bingung ke arah jendela mobil. “Eh? Kenapa ada pengantar makanan di sini?” gumamnya kepada diri sendiri. “Itu pesananku! Cepat buka jendelanya!” tegur Arkan galak, memajukan tubuhnya untuk membuka jendela mobil hingga Casilda bersandar kaget oleh gerakan tiba-tiba darinya. “Wuah! Ternyata benar Arkan sang Top Star, ya!” seru pria pengantar makanan, dengan wajah masih ditutupi helm, dia segera menyerahkan pesanan melewati jendela mobil. “Semuanya 550 ribu, kan?” “Benar! Oh, ya! Apa boleh aku berfoto dengan Anda?” tanyanya riang, meneria uang dari sang aktor. Kegembiraan tidak bisa disembunyikan di matanya. Wajah Arkan galak dan dingin, tampak suasana hatinya tidak nyaman. “Tidak bisa. Aku tidak terbiasa melayani penggemar di luar jam kerja. Kalau mau berfoto, datang saja ke acara jumpa fans 3 bulan lagi.” “Be-begitu, ya? Ma-maaf....” Mata si pengantar makanan melirik penasaran ke arah Casilda yang sudah menatap bengong makan di atas pangkuannya. Air liurnya sudah seperti akan menetes tidak karuan, dan perutnya kembali berbunyi. Melihat makanan melimpah saat membuka mata, semua ini rasanya seperti mimpi! “Hei! Kamu asisten tidak becus! Lihat makanan saja masih bengong! Cepat tutup jendelanya! Kalau sampai kita tertangkap paparazzi, aku akan memecatmu!” sembur Arkan tidak sabaran, membuat Casilda dan pria pengantar makanan kaget luar biasa. “I-iya. Maaf,” balas Casilda linglung. “Terima kasih sudah datang mengantar makanan di jalanan macet seperti ini, saya tutup jendelanya, ya?” Belum sempat Casilda memencet tombol, tangan pria pengantar itu menghentikannya, memajukan sedikit kepalanya agar bisa bertatapan langsung dengan Arkan sekali lagi. “Kalau begitu, terima kasih atas pesanannya, Arkan sang Top Star! Tipnya juga terlalu banyak. Apa tidak apa-apa?” tanya pria itu malu-malu, merasa tidak nyaman. “Selama kamu tutup mulut soal keberadaanku di mobil ini, dan tidak mengeluh soal gagal berfoto bersama, aku tidak keberatan sama sekali. Jika kamu tidak membuat masalah, besok aku akan memesan makanan dua kali lipat dari hari ini dan memberi tips yang lebih banyak sebagai ucapan terima kasihku.” “A-Anda baik sekali! Terima kasih! Terima kasih, Arkan sang Top Star! Saya janji akan tutup mulut! Selamat menikmati!” serunya riang gembira, memberi hormat bendera dan segera pamit pergi dari sana. Pria pengantar makanan berlari dengan wajah berseri-seri ke tepi jalan menuju motor yang dikendarainya ke tempat super macet ini. Semua itu hanya untuk mengantarkan pesanan melimpah sang aktor. “Kenapa hanya dilihat saja? Bukannya kamu lapar? Cepat makan! Kalau kamu kurus, apa kata orang-orang nantinya? Kamu ingin bikin aku malu di hadapan Julian dan investor sombong itu, ya?” Casilda salah tingkah, mengerjapkan mata melihat tumpukan makanan di pangkuannya. Dia mau bikin dirinya mati kekeyangan, ya? Dasar gila! “Aku tidak bisa makan sebanyak ini. Kamu pesan terlalu banyak.” “Siapa bilang itu untukmu semua? Aku juga lapar! Pak supir juga pasti lapar. Iya, kan, Pak?!” ujar Arkan dengan nada menekan, tampak sangat mengintimidasi hingga supir yang melihatnya dari kaca spion hanya bisa tersenyum sakit gigi mendengar desakannya. Arkan meraih kasar dua bungkus makanan cepat saji dari pangkuan sang istri, memberinya satu kepada supir di depan, dan dia sendiri mulai makan sembari melirik dingin Casilda yang masih terbengong bodoh menatapnya. “Makan! Kamu pura-pura lapar, ya? Mau makanannya aku buang ke jalan?!” bentaknya galak, meraup burger di tangannya dengan satu gigitan besar. Nadi di pelipisnya berdenyut kesal. Wanita ini! Katanya lapar! Tapi, kenapa sudah diberi makanan melimpah, dia malah seperti orang bodoh begitu? Bikin kesal saja! “Masih tidak mau makan? Kamu mau puasa sampai siang besok?” Casilda terkejut, kedua bahunya naik mendengar kalimat yang merupakan ancaman untuknya. Menggeleng cepat dengan wajah pucat, dan buru-buru meraih kentang goreng dari bungkusan besar di depannya. “Aku makan sekarang. Terima kasih atas makanannya!” kata Casilda dengan mulut penuh. Melihat pipi bakpao sang istri penuh dengan makanan hingga mirip seekor tupai rakus, membuat jantung Arkan berdetak gila, wajahnya memanas dan keinginan untuk mencumbunya hadir bagaikan tornado di hatinya. Tapi, dia tahu kalau Casilda sedang kelelahan dan kelaparan. Kalau sampai dia menyentuhnya sekarang, sudah pasti akan membuatnya masuk rumah sakit lagi dan membuat dokter Ken meninjunya sambil marah-marah. “Sial!” gumam Arkan kesal dalam bisikan lirih, menggigit burgernya keras-keras seraya memalingkan wajahnya agar tidak melihat Casilda yang sedang makan dengan sangat lahap dan menggemaskan. Dia benar-benar mirip tupai yang kelaparan! Sangat rakus dan polos! Wajah Arkan merona merah meliriknya diam-diam, menelan susah payah beberapa kali, dan berusaha keras menekan pikiran mesumnya saat ini. Lagi pula, mereka sedang terjebak macet di tengah jalan besar. Walaupun menyuruh supir keluar mobil, tetap saja dia mustahil mengendalikan diri jika hanya berduaan dengan Casilda. Mobil bergoyang aneh dan bersemangat, bukankah akan sangat menarik perhatian semua orang? Arkan merasa dongkol, dan hanya bisa menghela napas berkali-kali meratapi ketidakberuntungannya hari ini. “Eh? Itu, kan, minumanku!” protes Casilda kaget, karena saat akan meminum minumannya, Arkan tiba-tiba maju dan meraih sedotan menggunakan mulut. Mata mereka berdua saling bertemu, membuat Casilda hanya bisa memucat diam dan membiarkan pria itu minum sepuasnya dari gelas plastik di tangannya. “Kenapa? Semua ini aku yang beli. Mau aku minum dari gelas mana, itu terserah aku, kan? Selain itu, aku ingin mengecek apa rasanya sama atau tidak,” balasnya acuh tak acuh. Matanya mendatar dingin mengamati reaksi tidak terima sang istri. Casilda bungkam, serba salah dan tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa pasrah melihat tingkah kekanak-kanakan Arkan. Sulit dipercaya pria sepertinya punya begitu banyak berkah dalam hidupnya. Mungkin, satu-satunya kesialan yang ada di dalam hidup pria itu adalah memiliki istri tidak layak seperti dirinya ini. Casilda menghindari tatapan dingin Arkan, menundukkan kepala dan menggigit burgernya dengan perasaan dilematis. “Kenapa? Kamu tidak suka makanan yang aku pesan?” “A-apa? Aku suka, kok! Kenapa kamu malah bilang begitu?” “Itu karena cara makanmu seperti tidak menyukainya! Apa tadi kamu hanya pura-pura senang? Kamu tidak suka, ya? Mau makan apa? Cepat katakan! Jangan buat aku kesal! Melihat wajahmu yang lesu membuatku teringat dengan hantu gorong-gorong!” Apa katanya? Hantu gorong-gorong? Hantu macam apa itu?! Casilda tidak pernah mendengarnya selama ini! Mulutnya benar-benar jahat! “Aku tidak pernah bilang tidak suka! Burger ini tinggal separuh, kan? Lagi pula, aku tidak mungkin menghabiskan semuanya! Kamu pikir aku hewan ternak?!” bentak Casilda marah, tidak sadar suaranya meninggi dan terdengar melawan. Arkan tiba-tiba saja tertawa pelan, tampak geli melihatnya. Tanpa diduga oleh Casilda, pria itu segera mengusap-usap puncak kepalanya seperti menghadapi anak kecil. Wanita berkacamata tertegun linglung dengan sikap aneh sang aktor. “Kalau begitu, makan yang benar. Jangan seperti hantu tidak punya tenaga begitu. Bukankah cemburu menguras banyak tenaga? Tenang saja, aku akan membelikanmu makanan yang banyak jika masih belum puas.” Syok! Casilda membulatkan mata kaget! Kemarahannya meledak! “Apa?! Siapa yang cemburu?! Kamu halu, ya? Aku tidak pernah cemburu sama sekali!” “Sudahlah, Casilda. Mengaku saja kepadaku. Tapi, tidak mengaku juga tidak masalah. Aku akan mencari cari agar kebohonganmu terbongkar dengan sendirinya. Menarik juga melihatmu terus menghindar seperti ini. Ternyata kamu pemalu, ya?” Wajah Arkan tiba-tiba membesar di depan wajah Casilda, membuat sang wanita kaget hingga kepalanya mundur membentur jendela mobil. “A-apa?! Kamu mau apa, hah?!” gugup Casilda salah tingkah, menatap gelisah bibir seksi sang suami. “Pipimu merah. Malu? Marah? Cemburu? Atau semuanya? Tebakanku tidak meleset, kan?” “Ka-kamu gila, ya?! Apa makanannya beracun sampai membuat otakmu tidak beres?” Arkan tidak marah, dia hanya terus tersenyum-senyum bahagia tidak jelas. Seolah-olah mendapatkan sesuatu yang membuatnya menjadi seorang pemenang. Casilda jelas kebingungan dibuatnya. Dia itu kenapa, sih? Sambil memperbaiki duduknya sambil menikmati burger di tangan, Arkan berkata rendah dengan suara lirih, “jangan terlalu memikirkan acara reality show itu. Sebagian besar hanyalah polesan agar para penonton senang melihatnya. Fan service adalah hal yang sudah biasa di industri hiburan, bukan?” “Untuk apa menjelaskannya kepadaku? Kamu pikir aku akan terharu?” Casilda mengomel dengan nada rendah, memiringkan tubuhnya kesal menghindari tatapan marah dan terkejut sang suami. “KAMU! Hei! Jangan memberiku punggung! Kamu pikir aku ini apa?!” protes Arkan jengkel, menatap tak percaya Casilda makan sambil membelakanginya bagaikan orang asing. “Selera makanku bisa hilang kalau melihat wajahmu. Kalau ingin aku habiskan semua makanan ini, berhentilah berbicara dan menatapku. Takutnya semua yang aku telan akan keluar semua,” jelas Casilda pelan, tidak ada nada marah atau pun memberontak. Entah kenapa sangat datar dan tenang. Arkan bingung melihatnya, sesaat ingin meledak marah, tapi akhirnya hanya bisa menghela napas berat. “Ya, sudah. Makan yang banyak. Kamu harus benar-benar habiskan semuanya, ya! Awas kalau tidak! Aku akan menghukummu saat kita sampai di rumah nanti!” Casilda tidak menjawab, kepalanya mengangguk pelan. Tanpa dilihat oleh Arkan, Casilda masih menikmati makanannya dalam diam, tapi tatapannya setengah melamun. Ucapan Arkan mengenai reality show-nya bersama Lisa yang dicap sebagai fan service jelas tidak akan bisa dipercaya olehnya. Casilda tahu apa yang dia lihat saat itu. Arkan sangat bersemangat mencium Lisa bagaikan besok dunia akan kiamat saja. Apakah dia perlu sejauh ini hanya untuk membuatnya jatuh cinta demi balas dendam semata? Casilda sama sekali tidak pernah menyangka kalau pria bisa sangat mengerikan ketika balas dendam dan sakit hati. Saat merenungkan hal itu, Casilda seketika teringat dengan Ethan sewaktu di restoran sebelumnya. Alasan Ethan mendekatinya dan mencampakkannya di masa lalu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk balas dendam, kan? Tapi, apa sebenarnya kesalahannya saat itu? Casilda benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiran seorang pria. Selesai makan, walaupun tidak bisa menghabiskan makanan yang ada, Arkan tidak memarahi Casilda, atau pun mencari gara-gara dengannya. Yang membuat wanita itu kaget dalam diam adalah sang aktor tertidur dengan posisi bersandar di bahunya sambil menggenggam erat tangannya. Casilda ingin protes dan marah-marah, tapi saat melirik wajah lelapnya, dia tidak tega dan hanya bisa menghela napas berat menatap langit-langit mobil. “Dasar suami menyusahkan,” gumamnya berbisik lirih. Detik setelah Casilda berkata demikian, Arkan tiba-tiba bergerak dan membuat Casilda waspada, mengira mendengar keluhannya. Tapi, ternyata tidak begitu. Arkan sang Top Star malah memeluknya erat dan tidur semakin nyenyak. “Menyebalkan...” gerutu Casilda murung, melirik diam-diam wajah tampan di bahunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD