Bab 168 Kamu hanya Boleh Jatuh Cinta kepadaku

2081 Words
#Warning rate 18 + Mohon maaf atas ketidaknyamannya. …………… “Kenapa wajahmu buruk begitu? Tidak suka makanannya?” goda Casilda iseng ketika keesokan harinya mereka sarapan di atas kasur bersama-sama. Tentu saja keduanya tidak memakai apa pun dan hanya menutupi tubuh dengan selimut yang dipakai bersama-sama. Tugas Casilda menjadi guling hidup sang aktor sepertinya sudah naik level secara mendadak. “Berisik. Habiskan saja makananmu, Gendut,” maki Arkan kesal, tidak ingin bertemu mata dengan sang istri. Suasana hatinya masih tidak bisa stabil gara-gara keinginannya tidak terpenuhi dengan baik. Semalam, ketika dia sudah perlahan memasuki Casilda dan hendak menyentak masuk dengan penuh, akal sehatnya datang bersama egonya yang super tinggi dan gengsian. Dia benar-benar tidak mau melakukannya dengan cara seperti itu, makanya langsung pura-pura lelah dan mengantuk ketika 80 persen telah berhasil melakukannya. Di saat yang sama pula, kebetulan ponselnya berbunyi dan itu adalah panggilan dari Renata mengenai masalah pekerjaan. Mendengar dia harus menyelesaikan beberapa pemotretan lain di luar kota sampai hari Minggu nanti, minatnya untuk melakukan itu semakin jatuh. Casilda tidak bodoh dengan situasi semalam. Dia tahu kalau Arkan pasti tidak akan sudi melakukannya semudah itu. Suaminya adalah tipe pria yang suka mendominasinya selama ini. Jelas tidak akan mendapatkan kepuasan dengan mudah jika dia menyerah tanpa perlawanan. Alhasil, sekalipun Casilda sedikit menyayangkan penyatuannya yang gagal ketika sudah di tempat kejadian, dia sedikit bersyukur entah kenapa. “Ingat, ya, kamu hanya boleh keluar hari Sabtu besok. Jika melanggarnya, lihat saja bagaimana aku akan menghukummu,” peringat Arkan jengkel, menyodorkan potongan buah ke arah Casilda yang sibuk mengunyah roti bakarnya. Kedua alis wanita itu naik karena kaget. “Untukku?” tanyanya dengan mulut penuh, suaranya ambigu. Arkan menggertakkan gigi, “kamu pikir untuk siapa lagi? Cepat makan!” “Huh! Pria kasar!” Meskipun menggerutu, Casilda segera meraupnya, dan tiba-tiba tanpa peringatan, sebuah ciuman manis mendarat ringan di bibirnya. “Bersikap baiklah seperti semalam. Kalau kamu seperti itu terus, aku pasti berbaik hati memberimu banyak hadiah dan memperlakukanmu layaknya istri pada umumnya. Kamu pasti suka, bukan? Superstar nomor satu di negeri ini memanjakanmu bagaikan ratu sungguhan?” “Tidak perlu. Untuk apa bersikap palsu seperti itu? Bukankah kamu akan menikah dengan tunanganmu dalam waktu dekat? Aku tidak suka bersandiwara demi hal yang sia-sia. Apalagi bermain rumah-rumahan denganmu tanpa ada cinta di dalamnya. Itu sangat melelahkan dan tidak ada gunanya sama sekali,” keluh Casilda dengan suara datar dan malas, sibuk mengunyah sarapannya seolah-olah percakapan itu bukanlah hal yang serius baginya. Arkan melamun mendengar dan melihat caranya membahas hal penting itu. “Kamu cemburu, kan?” tuduhnya tiba-tiba. Casilda tertegun kaget, meliriknya dengan mulut penuh roti bakar. Sudut bibir Arkan tertarik licik, menyeringai jahat dan nakal. “Casilda, akui saja, kamu sudah jatuh cinta kepadaku, kan? Kalau tidak, kamu tidak akan bersikap aneh akhir-akhir ini jika itu terkait Lisa. Kamu juga tidak akan berani dan sudi menyentuhku duluan. Apalagi bertingkah genit seperti semalam. Bukankah kamu sangat membenciku? Kamu mengatakannya berkali-kali selama ini, tapi lihatlah bagaimana kamu begitu lengket kepadaku. Jangan-jangan, kamu itu adalah tipe wanita tsundere, ya? Pura-pura marah dan tidak suka, tapi sebenarnya diam-diam cinta dan bucin akut?” “A-apa?! Tsundere? Kamu mengkhayal, ya? Itu tidak mungkin! Aku bukan tipe wanita seperti itu! Kalau aku suka seseorang, aku pasti akan langsung mengatakannya dengan jelas! Untuk apa bersikap pecundang dan bodoh seperti itu? Kamu pikir aku tidak punya harga diri?!” Arkan diam melihat ekspresi seriusnya. Lantas, bagaimana dengan pria yang dulu pernah disebutnya saat setengah sadar di gudang parkiran studio? Kenapa dia sangat membencinya? Tidak mungkin Casilda membenci seorang pria tanpa alasan, bukan? Jika bukan karena cinta, alasan apa lagi yang membuatnya seperti itu? Selama beberapa detik, Arkan mencoba memikirkan kisah cinta Casilda yang fenomenal di masa lalu. Tapi, meskipun dia selalu mendengar wanita itu berganti pria seperti berganti pakaian, anehnya Arkan baru menyadari kalau dia tidak pernah mengingat satu pun nama mantan pacar Casilda yang melekat di otaknya. Apakah gosip itu benar? Atau hanya hoaks yang dibuat oleh orang-orang yang membencinya? “Lalu... siapa pria yang kamu sukai di masa lalu? Bukankah kamu selalu menolak pria yang menyatakan cinta kepadamu? Kamu dulu seorang playgirl, kan?” tanya Arkan dengan tatapan setengah melamun. Casilda mendadak meledak ketika dicap sebagai seorang playgirl! “Enak saja! Aku bukan wanita kurang kerjaan seperti itu! Kamu pikir karena aku dulunya sangat cantik, lantas semua pria akan aku permainkan seperti yang kalian tuduhkan di acara bertopeng sialan itu? Aku tidak sama denganmu, Arkan Quinn Ezra Yamazaki! Aku menghargai cinta sama dengan nyawaku sendiri! Tidak akan pernah menganggap hal penting seperti itu sebagai mainan! Apa kamu sedang meremehkanku?!” Arkan terkejut melihat temperamennya yang mirip cabai pedas yang meledak di atas kompor. Dia sungguh marah? “Jadi... semua itu bohong?” tanyanya tidak percaya. Kening Casilda mengerut dalam, wajahnya sangat tidak enak dipandang. “Tentu saja bohong! Mereka sendiri yang suka mengaku-ngaku kalau kami berpacaran! Aku sudah memperingati mereka untuk tidak sembarangan bicara. Tapi, semakin dilarang, semakin tidak terkendali sikap mereka yang seenaknya mengumbar hubungan palsu itu seolah-olah aku adalah tropi kemenangan yang bisa digilir! Kamu pikir aku suka diperlakukan seperti benda? Kamu pikir itu menyenangkan, hah? Aku juga ingin percintaan manis dan romantis seperti wanita normal di luar sana!” Air mata Casilda tampak timbul di sudut-sudut matanya, terisak kesal mengingat masa lalu yang sebenarnya cukup menyakitkan untuk diingat. Apa gunanya cantik kalau suka dibully oleh banyak orang? Di depannya berkata mereka adalah teman, di belakangnya sikap mereka lebih iblis daripada iblis! Walaupun Casilda tahu hal itu, karena butuh teman, dia hanya bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa dan bersikap seperti wanita cantik yang bodoh dan lugu. Tidak ada yang benar-benar mau berteman dengannya di masa lalu jika saja dia tidak kaya dan cantik. Casilda tahu dengan jelas hal itu. Dia berpikir, Ethan Aldemir Raidern berbeda dari mereka semua. Ternyata, dialah yang terburuk! “Benarkah? Bagaimana kamu memarahi mereka?” tanya Arkan penasaran. “Saat itu tidak mudah. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan yang cukup efektif adalah dengan menyindir mereka, membenarkan semuanya agar bisa mengolok-ngolok mereka secara halus. Tapi, itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Awalnya saja yang bagus, dan entah bagaimana malah menjadi lebih buruk. Pada akhirnya, aku mendapat status wanita dengan pacar terbanyak dalam setahun. Padahal, kenal saja tidak. Jalan saja tidak. Tapi, sudah punya banyak mantan pacar dengan cara aneh seperti itu,” lanjut Casilda terisak kesal, mengusap bulu matanya bergantian. Arkan termenung dalam memikirkannya. Rasa bersalah menyengat hatinya. Merasa bodoh tidak menyelidik dengan baik seperti apa Casilda di masa lalu. Apakah dia dulu salah paham hebat mengira Casilda yang dikelilingi oleh banyak pria hingga mengiranya sudah tidak murni? Itukah alasannya dia masih tersegel utuh ketika menyentuhnya kali pertama? “Sudahlah! Lupakan saja! Jangan membahas masa lalu. Apa kamu berniat menghilangkan selera makanku?” omelnya lagi, menatap kesal sang suami yang terdiam tanpa ekspresi. Suara Arkan datang dengan lirih. Wajahnya tampak tidak nyaman dan muram. “Tapi... kamu punya pacar, kan, saat itu? Kamu tidak mungkin tidak tertarik pada satu laki-laki di sekitarmu di saat sedang puber dan dalam masa puncak kecantikanmu, kan? Kamu terkenal seperti namamu saat itu, ratu yang didambakan dan dipuja oleh semua orang dari berbagai kalangan.” Casilda terdiam, menunduk menatap isi piringnya yang tersisa separuh. Tidak mengatakan apa-apa dalam waktu lama. Arkan tidak tahu apa yang terjadi kepada Casilda ketika dia telah lulus dari bangku SMA. Saat itu, Casilda seharusnya naik ke kelas dua di saat yang sama. Tapi, ketika dia melihat cacatan sekolahnya, ternyata dia telah berhenti gara-gara masalah perusahaan keluarganya yang jatuh bangkrut hingga membuatnya terpaksa dalam pelarian menghindari hutang di mana-mana. Sebagian kisah masa lalu pahit Casilda didengarnya dari kedua orang tua wanita itu. Tapi, entah kenapa, Arkan tidak bisa bertanya apa pun ketika mendengarnya secara langsung. Seolah-olah bibirnya dirapatkan dengan lem super. Dia bahkan mendengar perjalanan transformasi menyakitkan Casilda dari nona kaya dan manja menjadi remaja yang harus banting tulang sejak putus sekolah. Bahkan, ketika berhasil mendapatkan ujian kesetaraan SMA dan akhirnya berhasil lanjut ke bangku kuliah, juga harus berhenti di tengah jalan gara-gara biaya perawatan Danish. Ketika Arkan memikirkan Casilda yang dulu, hatinya tidak nyaman ketika teringat ucapannya yang selalu mengejeknya sebagai otak ayam dan bodoh. Dia tahu dengan baik seperti apa prestasi Casilda di masa remajanya. Semenjak Arkan jatuh cinta kepada Casilda di bangku SMA, dia selalu mencari tahu mengenai kepribadian dan juga bagaimana prestasi akademiknya. Casilda termasuk wanita cantik yang pintar, tapi kesombongannya juga tidak terkalahkan. Dia benar-benar wanita dingin yang dapat dengan mudah meremehkan orang lain dan juga merendahkannya sesuka hati. Itulah sebabnya dulu Casilda mendapat julukan sebagai Ratu Es. Bukan hanya karena sifatnya yang sangat buruk dan begitu semena-mena layaknya seorang ratu yang tirani. Melihat Casilda yang tidak menjawab pertanyaannya, hati Arkan berpuntir kuat dan tidak nyaman. “Jadi, benar kamu sudah punya pacar saat itu?” tanya Arkan dengan suara meninggi tanpa disadarinya, entah kenapa tiba-tiba cemburu dengan masa lalu Casilda. Ini sangat aneh. Padahal dulu dia sudah mendengar interaksi Casilda dengan banyak pria. Tapi, begitu mendengarnya memiliki mantan pacar yang diakui, hatinya kesal tidak jelas. “Aku tidak ingin membahasnya. Itu hanya masa lalu. Tidak penting sama sekali,” balas Casilda datar, pura-pura sibuk dengan sarapan di atas meja kecil di depannya. Menyadari tingkah Casilda tidak biasa, Arkan menarik sebelah lengannya. “Siapa dia?” tanyanya tajam. Casilda tertegun kaget. “Si-siapa apa?” “Mantan pacarmu! Siapa lagi? Siapa namanya, hah?!” tuntutnya kesal. Casilda terdiam, tatapannya setengah melamun. “Aku sudah lupa.” “Apa?!” gerung Arkan kesal, matanya membola hebat dengan raut wajah tak percaya. Kekuatan tangannya yang mencengkeram pergelangan Casilda menguat hingga membuat sang wanita meringis marah. “Ada apa, sih, denganmu? Cepat lepaskan! Sakit tahu!” omelnya kesal, mencoba melepaskan tangannya yang masih dijepit kuat olehnya. Arkan tidak mau kalah, dia menarik tangannya posesif dan bertanya dengan nada menggeram marah. “Aku tanya, siapa nama mantan pacarmu itu?! Apakah dia mantanmu satu-satunya? Dia mantan pertama dan terakhirmu, kan?!” “Kamu ini bicara apa, sih? Untuk apa bahas mantan pacar segala? Kamu cemburu?!” “Benar! Aku cemburu!” sembur Arkan marah, matanya melotot hebat seolah akan keluar dari tempatnya. Casilda tertegun syok, kehilangan kata-kata. Arkan yang merasakan dadanya naik turun oleh serangan emosi itu, perlahan menyadari kebodohannya. Dia dengan cepat meralat kata-katanya. “Kenapa? Ingin menertawaiku? Apa salahnya jika aku cemburu, hah? Sekarang, aku adalah suamimu! Aku berhak sepenuhnya atas dirimu! Kamu tidak boleh memikirkan pria lain, meski itu hanyalah mantan pacar bertahun-tahun lalu!” Casilda menggertakkan gigi marah! Pria di sebelahnya ini sungguh egois dan tidak masuk akal! Sepertinya, mau ada cinta atau pun tidak, sifat posesifnya tidak bisa tertolong lagi! “Dasar suami bodoh! Apa otakmu hanya 1 ons, hah?! Kamu pikir aku adalah wanita yang mudah terharu dengan kisah cinta yang sudah basi? Kamu saja yang seperti itu! Menikah dengan wanita yang menolakmu dan malah ingin balas dendam! Tidak semua manusia di muka bumi ini sama sepertimu! Paham?!” Casilda yang marah-marah dan tampak jijik membicarakan soal mantan pacarnya, seketika saja membuat Arkan mengubah raut wajahnya. Dalam hitungan detik, dia langsung menjadi jinak. “Benarkah? Kamu tidak akan tergoda jika mantan pacarmu kembali?” tanya Arkan serius, hatinya deg-degan menahan rasa malu dan penasaran menjadi satu. Pria tampan dengan tubuh polos memukau itu mendekati istrinya dengan gerakan yang membuat jantung Casilda nyaris melompat keluar. Satu tangannya bahkan sudah memeluk pinggangnya mesra. “Ka-kamu mau apa?! Jangan pegang-pegang begitu!” peringat Casilda takut. “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu tidak akan tergoda jika bertemu mantanmu, kan?” tanyanya dengan wajah memelas seperti anak kucing tak berdaya. Casilda merasa salah lihat, maka dari itu mengerjapkan matanya beberapa kali. “Ke-kenapa kamu malah bertanya hal konyol seperti itu? Cepat habiskan sarapanmu! Bukankah kamu akan segera ke luar kota tengah hari nanti? Garvin bisa mati bosan menunggumu seharian ini!” bujuk Casilda cepat, mendorongnya menjauh karena tubuh polos mereka sudah berdempet seperti permen karet, kehangatan kulit mereka yang bertemu terasa begitu jelas. Casilda takut hal semalam akan berlanjut tanpa ada pengendalian diri sama sekali. “Tidak mau! Kamu belum menjawabku! Jawab dulu! Kamu akan tergoda atau tidak?!” sungut Arkan kesal, mencubit dagu Casilda posesif. “Kamu kekanak-kanakan sekali! Kalaupun aku tergoda, memangnya kamu akan membiarkanku bertindak sesuka hati?!” Arkan tiba-tiba menaikkan kedua alisnya kaget mendengar pengakuan itu. Senyum simpul penuh kemenangannya terbit dengan sangat lebar dan cerah. “Benar juga. Kita adalah suami istri. Kamu hanya boleh jatuh cinta kepadaku. Paham?” Selesai berkata demikian, Arkan langsung melumat ganas bibir Casilda yang hendak protes dengan ucapan sombongnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD