Alexander Raveen Claysheer atau yang akrab disapa Alex sudah hengkang dari dunia mengajarnya di sebuah asrama sebagai guru olahraga sejak tujuh tahun silam. Kemudian ia mengikuti pelatihan kemiliteran dan hanya bertahan sampai dua tahun sebelum Raveen memutuskan untuk menerima tawaran bekerja sebagai seorang penyelidik swasta kantor keamanan Tympous County. Jika dihitung berdasar tanggalan masehi, sekurangnya ia sudah empat tahun depan bulan tiga belas hari merintis karirnya sebagai penyelidik. Raveen telah menangani deretan kasus kriminal dengan baik. Kota yang riuh ini menjadi satu-satu tempatnya bernaung sekaligus tempat untuk menyelesaikan berbagai macam kasus dan tindak kejahatan penduduk sipil. Kebanyakan dari kasus yang pernah ditanganinya adalah pencurian, pembunuhan bahkan perampasan masal dan sejauh ini Raveen masih sanggup bertahan hidup dan berkecimpung di dunia penyidik.
Berkat usahanya bersama Trent salah salah seorang penyelidik lain, Raveen berhasil menyelesaikan kasus pencurian terbarunya dengan catatan gemilang. Tindakannya dalam memecah kasus sekaligus menjebloskan seorang dalang pencuri mendapat sambutan besar dari Cooper Millen sang atasan. Raveen menyakinkan Cooper bahwa usahanya tidak akan berhasil tanpa bantuan Trent dan para polisi lainnya, tapi Cooper bersi keras untuk membayar pesta minum atas kerja keras Raveen.
Pagi ini Raveen bebas kerja. Ia bisa berjalan-jalan sebentar di luar, jogging atau melakukan apapun yang sudah jarang sekali ia lakukan. Tapi sialnya pagi itu juga Cooper menghubungi Raveen untuk mengambil mobil kantor yang sedang dalam perbaikan pada salah satu bengkel mobil ternama di kota kecil ini. Atau memang karena bengkel satu-satunya yang ada di kota ini. Jadi sudah merupakan hal yang lumrah jika arus perputaran kerja di bengkel tersebut kelihatan padat. Ada sekurangnya tujuh orang montir dan dua kasir yang menurut Raveen jumlahnya terlalu sedikit jika dibandingkan dengan pengguna jasa yang berdatangan.
Ia melihat seorang montir sedang berkutat dengan mesin mobil milik kantornya ketika Raveen datang untuk bicara.
“Apa perbaikannya sudah selesai, Bung?”
Montir bertubuh kurus dengan tinggi diperkirakan kurang dari seratus tujuh puluh senti itu menukik ke dalam mesin kemudian melakukan pemeriksaan singkat dengan beberapa alat yang dipikir Raveen sama sekali tidak diperlukan. Kondisi mesin di depan sama sekali tidak mengalami kerusakan, dan montir itu masih saja bersi keras mencari kesalahan. Ia kemudian berjalan memutari mobil untuk mengambil cairan hitam sebelum memoleskan cairan tersebut pada satu penutup mesin yang terbuka.
“Tidak ada yang salah dengan akinya,” tegur Raveen ketika montir itu masih belum mneyadari kehadirannya. Raveen kemudian menyingkir untuk memberi jalan bagi si montir. Ia bersedekap sekali memperhatikan montir itu berbaring telentang di sebuah roda kemudian menarik pinggiran mobil untuk masuk dan melihat kondisi mesin di dalam. Montir itu keluar dua menit kemudian, sebelum kembali lagi pada mesin di depan. Raveen yang semakin jengkel berupaya untuk mendapat perhatian montir itu.
“Sir, aku pikir tidak ada kerusakan pada mesin itu. Kau hanya perlu memeriksa bagian bawah mobil lebih detail lagi.”
Perhatian si montir sepenuhnya teralih. “Oh ya, benar sekali. Aku yang bekerja disini dan tentunya aku yang lebih tahu masalah pada mesin ini. Kenapa kau menyibukkan diri untuk mengintropeksi kesalahanku sementara kau bisa duduk menunggu sampai mobilnya selesai diperbaiki?”
“Kapan perbaikannya selesai?”
Montir itu diam sebentar sebelum menjawab, “Sekitar jam empat sore.”
“Apa? Itu terlalu lama untuk perbaikan mesin yang tidak terlalu parah. Kau bisa menyelesaikannya sampai jam sebelas dan aku akan menunggu.”
“Tidak bisa, Sir. Pelangganku masih banyak yang mengantre. Kau pikir hanya mobil ini yang harus ku urus?”
Raveen jelas mengabaikan montir itu dengan melanbaikan tangannya di udara. “Omong kosong. Mesin ini bisa diperbaiki dalam waktu cepat. Kau hanya perlu memeriksa mesin di bawah dan memasang mur agar alat penggeraknya tidak lepas.”
“Begitu ya? Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang melakukannya? Kenapa harus repot-repot datang ke bengkel ini?”
“Aku tidak punya waktu untuk berdebat denganmu, kalau kau terus membuang-buang waktuku, aku akan bicara pada atasanmu. Jadi katakan kapan kau akan menyelesaikan perbaikannya.”
Montir itu melayangkan pelototan sengit, tapi Raveen tidak kalah getirnya. Kemudian si montir memutuskan bahwa tidak ada gunanya ia bertikai dengan pria yang tubuhnya jelas jauh lebih besar dan lebih tinggi ini. “Jam dua siang. Ya atau silahkan cari bengkel lain yang melayani dengan lebih cepat.”
Sebelum Raveen memaki, montir itu sudah berjalan melewatinya untuk beralih pada kendaraan lain yang jelas-jelas sudah selesai diperbaiki. Raveen kemudian melihat montir itu menyibukkan diri dengan membedah kembali mesin mobil seseorang. Merasa amarahnya sudah ada di ujung tanduk, Raveen menghela napas pendek sebelum mengambil beberapa peralatan bengkel itu. Melepas jaket kulitnya kemudian menggulung lengan kemejanya. Raveen memposisikan tubuhnya untuk mendorong roda itu dan membiarkannya masuk ke bagian bawah mobil.
Mobilnya terlonjak lagi. Diane hampir membentur setir di bangku kemudi ketika dua temannya berteriak dengan serempak.
“Sial! Jangan sekarang.” Sambil mengumpat kasar, Diane mutar kembali kunci mobilnya dan mendengar suara bergemuruh mesin sebelum mobil berjasil melaju dalam beberapa meter dan dalam hitungan detik berhenti mendadak. Kening Jules yang duduk di bangku belakang terbentur sisi di bangku kemudi sementara Regan berupaya keras menyanggah tubuhnya dengan kedua sikut.
“Ayolah,,” Diane kemudian mendesah ketika mobilnya tidak menujukkan reaksi sedikitpun.
“Apa ini?”
“Mobilnya mogok.” Sahut Diane. Meraih kopi dingin di samping setirnya, Diane meneguk kopi itu sampai habis.
“Apa selalu seperti ini?”
“Tidak terlalu sering. Tapi akhir-akhir ini mobilnya memang mengalami masalah.”
“Kenapa kau tidak membawanya ke bengkel?” tanya Jules kemudian.
“Tidak sempat. Aku tidak bisa pergi ke kampus tanpa mobil ini. Selain itu ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di luar kampus. Aku tidak bisa lepas dari mobil ini.”
Begitulah kesehariannya berjalan di kota kecil yang padat seperti ini. Diane seharusnya menerima tawaran Sam soal mobil baru tapi ia bersi keras untuk menolak tawaran itu. Diane ingin hidup mandiri. Itulah alasan mengapa ia pindah dan menyewa sebuah apartemen sehingga bisa lepas dari pengamatan keluarganya yang over protektif. Terutama karena keluarganya terlalu menganggap Diane seperti anak kecil yang manja. Tapi Diane bukan pribadi seperti yang dipikirkan oleh ayah dan kakak-kakaknya. Diane sedang membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa ketergantungan orang tua. Diane sudah mendapat pekerjaan baru yang sekaligus menjadi salah satu ambisinya sejak kecil untuk menjadi seorang pengacara hebat. Setidaknya ia bisa menjadi sehebat papa. Disamping pekerjaan barunya itu, Diane mengambil kuliah hokum bersama dua orang sahabatnya sejak kecil Regan dan Jules.
Diane mengenal mereka dengan sangat baik. Ia bahkan mengetahui seluk beluk keluarga mereka yang statusnya tidak jauh berbeda dari keluarga Diane. Ayah Jules adalah pewaris produk telepon genggam ternama sementara Regan tinggal bersama tiga orang kakak laki-laki yang sudah menikah dan juga merupakan pengusaha kaya nan sukses. Entah bagaimana Regan dan Jules mulai tertarik dengan hukum setelah berteman dengan Diane, namun Diane memang berminat dalam bidang itu. Ia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pengacara hebat. Anak dari hakim Maccon yang hebat ini nampaknya memiliki ambisi besar dalam hidup. Juga keras kepala. Sudah sejak sepekan lalu Diane keluar dari rumah untuk tinggal dan menetap di apartemen sewaannya sampai ia menyelesaikan kuliah. Setidaknya begitu. Karena Diane tidak benar-benar yakin kondisi tabungannya cukup untuk menutupi kebutuhan pribadi. Tapi Diane membenci papa yang terlalu bersikap over protektif dan membatasi Diane dalam segala hal. Terutama Sam yang selalu menganggap Diane tidak lebih dari bocah ingusan yang keras kepala. Sam pernah mengirim sejumlah besar uang hasil kerjanya sebagai pengusaha yang sukses besar ke dalam rekening Diane, namun Diane menolak untuk menggunakannya. Ia sudah berjanji akan hidup mandiri. Baik Sam ataupun papa tidak akan bisa menghalangi keputusan Diane.
Tapi semua memang selalu sulit untuk dijalankan ketimbang dipikirkan. Buktinya sekarang ia harus membawa mobil ronsokannya ini pada bengkel dan berharap biaya perbaikannya tidak terlalu besar. Bahkan jika memang besar Diane tidak akan keberatan. Terutama ketika ada dua sahabatnya ini. Diane akan bersedia membayar berapapun untuk mobil butut ini, tapi tabungannya akan semakin krisis. Persetan, tidak ada yang bisa membuat Diane khawatir termasuk krisis tabungannya sekalipun. Ia meminta Regan dan Jules untuk menunggu di dalam mobil sementara Diane akan pergi mencari bengkel terdekat. Tapi ketika ia sudah menempuh jarak satu kilometer jauhnya, tidak ada satupun bengkel yang terlihat. Akhirnya Diane memutuskan untuk bertanya pada penduduk lokal yang mengatakan bahwa hanya ada satu bengkel di kota tepatnya di samping toko kue yang berjarak tiga blok dari tempat ia berdiri.
Selama sepekan Diane tinggal di kota ini, ia tidak pernah jalan-jalan untuk berkeliling, maka ia tidak benar-benar tahu tempat-tempat umum itu. Jadi ia berjalan tiga blok berikutnya sebelum sampai di depan bengkel bertuliskan Frankys’service di atasnya. Diane melihat beberapa montir tengah sibuk dengan para pelanggannya disana, ia berjalan lebih jauh sebelum terhenti ketika tanpa sadar kakinya menginjak lutut seseorang. Suara pekikan keras membuat Diane sentak munduk beberapa langkah untuk member ruang bagi pria itu mencorong rodanya keluar dari bawah mobil lalu berdiri dengan noda oli di wajah, hidung dan sekitar lengannya.
“Maaf, aku minta maaf.”
Raveen meletakkan kembali alat-alat matrialnya sebelum bangket berdiri untuk mendorong rodanya menjauh. Ia kemudian menggepakkan kemejanya yang hampir terkena noda oli.
“Tidak apa-apa, Ma’am. Lain kali kau harus memperhatikan langkahmu, ya?”
Sepasang mata berwarna biru pekat itu membuat tatapan Raveen terkunci. Ia mengenal mata indah itu. Kulit wajah kecokelatan itu dibingkai oleh rambut gelap yang terikat menggumpal di belakang. Hidungnya panjang dan mancung dan astaga, darah Raveen mendidih ketika melihat bibirnya yang merah pekat dan eksotis. Dengan liar tatapannya turuh pada lekuk leher yang terbuka, kemudian turun lebih jauh lagi pada lekuk tubuh menggairankan di balik balutan jaket biru lalu turun pada pinggulnya yang ramping dan kaki jenjang yang tertutup oleh training berwarna gelap. Tinggi Diane mencapai dagu Raveen, tapi wanita ini terlihat begitu eksotis dan membuat Raveen bersusah payah melenan liur yang tertahan di tenggorokan.
Raveen tahu ia harus berpaling jauh sebelum ia bertingkah bodoh dengan terus-tenerus membandang pinggul ramping itu dan wajah perut rata yang kecang dan b****g yang...
Hentikan!
Raveen cepat-cepat berpaling dari pemandangan eksotisnya ketika Diane bicara, “Mobilku mogok. Itu sering kali terjadi dalam beberapa hari terakhir. Aku pikir masalahnya tidak terlalu besar, tapi sepertinya aku salah dugaan. Jadi aku meninggalkannya di blok dekat taman kota. Bisa kau mengambilnya untukku? Aku akan membayar biayanya segera.”
Raveen terkekeh sebelum menjawab, “Maaf, nona, silahkan kalau kau ingin perbaikan, silahkan...”
“Oh, tidak-tidak, aku benar-benar membutuhkan perbaikannya sekarang.”
“Ya, aku tahu, silahkan..”
“Disini tempat ini tidak ada bengkel lain,” sergah Diane. Wajahnya memelas. “Lagi pula aku pendatang baru disini. Aku benar-benar membutuhkan mobil itu segera. Aku punya beberapa urusan yang harus diselesaikan. Aku tahu banyak pelangganmu yang mengantre, tapi aku mohon tolong bantu aku.”
“Maaf, nona, tapi aku...”
“Aku akan membayar biayanya. Dan… akan ada tambahan kalau kau bersedia memperbaiki mobilku lebih cepat.” Sahut Diane dengan ragu-ragu. Dahinya mengernyit ketika pria dengan noda oli itu hanya memijat keningnya dengan frustasi. Berpikir sejenak dan sepertinya menunggu Diane benar-benar berhenti bicara atau setidaknya berhenti menyela ucapan Raveen terus-menerus. Dan ketika Raveen memutuskan bahwa tidak ada gunanya menjelaskan siapa ia pada Diane, Raveen bicara,
“Baik, tunggu disini sebentar.”
Diane memperhatikan Raveen menjauh dan menghampiri petugas kasir disana kemudian mulai berbicara pada petugas itu sambil menunuk Diane sesekali. Cara pria itu berjalan, dan gesture tubuhnya membuat Diane terkesima. Aura maskulin Raveen benar-benar terpancar meski wajah tampannya dipenuhi oleh noda oli sekalipun. Diane berpikir pekerjaan bengkel sangat tidak cocok untuk pria berperawakan dingin dan mata emas tajam yang mengingatkan Diane akan sesuatu yang terasa familier, hanya saja ia tidak benar-benar ingat. Tapi pria yang baru saja bicara dengannya ini, benar-benar intens, benar-benar indah dan astaga.. benar-benar tampan.
Diane dikagetkan oleh kehadiran dua temannya saat ia tengah bergeming memperhatikan sisi maskulin Raveen dari kejauhan. Regan dan Jules dengan segera bergabung di samping Diane. Kehadiran mereka sontak membuat Diane terkejut sekaligus kesal. Terutama karena mereka mengganggu Diane dari pemandangan menabjubkan petugas bengkel yang tampan itu.
“Bagaimana?” tanya Jules ketika Diane tidak bicara apa-apa.
“Sedang diusahakan.”
“Kenapa kau tidak menelepon Sam saja? Dia bisa membawakan mobil baru untukmu.” Saran Regan mendapat pelototan sengit dari Diane. Regan memang terbiasa dengan kehidupan manjanya yang sulit dimengerti oleh Diane dan Jules. Tapi Diane cukup mengenal Regan untuk tahu bahwa kehidupan Regan yang berkecukupan selalu terpenuhi dengan praktis. Segalanya dianggap mudah oleh Regan dan itulah kehidupan yang sedang Diane hindari saat ini. Ia harus belajar hidup dengan lebih keras sebelum menjadi ketergantungan seperti yang dialami Regan.
“Tidak bisa, Regan” Diane tidak terkejut ketika Jules yang mendahuluinya untuk bicara. “Diane sedang tidak ingin merepotkan Sam.”
“Tidak. Bukan merepotkan. Tapi ingin hidup mandiri.” Ralat Diane sesegera mungkin.
Jules tampak menrengut heran. “Apa bendanya?”
Sambil mendesah, Diane berusaha mengumpulkan sisa kesabarannya. “Tentu saja beda, Jules. Merepotkan terdengar lebih buruk ketimbang belajar hidup mandiri.”
“Ya, setidaknya dua kata itu punya arti yang sama.”
Diane memutar matanya dengan jengkel. Ia kemudian berpaling lagi ketika Raveen berjalan mendekat. Jules yang tanpa sadar mencengkram lengan jaket Diane ketika terkesima melihat seorang lelaki tampan mendekat pada mereka. Jules baru mengendurkan cengramannya ketika Diane mendesis.
“Astaga, apa kau lihat pria itu? Dia benar-benar tampan, bukan?”
Entah bagaimana pengakuan Jules membuat Diane jengkel setengah mati. Ia dengan cepat membantah pengakuan itu. “Sshh,, dia sama sekali tidak tampan. Dan kalau kau mau tahu, dia hanya seorang pekerja bengkel disini.”
“Lalu apa masalahnya?” Jules tersenyum pada Raveen yang entah bagaimana tersenyum balik. Astaga, darah di tubuh Diane mulai mendidih. Laki-laki ini bukan hanya tampan, tapi dia juga seperti malaikat yang turun dari syurga. Persetan. Seumur hidupnya Diane belum pernah menjumpai malaikat. Bagaimana ia bisa menyetarakan Raveen dengan itu? Ketika Raveen mendekat, Diane merasakan cengkraman Jules erat kembali.
“Eric akan menangani mobilmu.” Kata Raveen. Ia tidak bisa menahan tawanya ketika dua wanita yang berdiri disamping Diane hampir menganga dengan melihatnya sementara Diane sendiri mulai jengkel tidak karuan.
“Siapa?” tanya Diane, jelas tidak mendengar Raveen karena ulah dua temannya yang berdiri seperi patung i***t ini.
“Eric.” Tegas Raveen. “Dia salah satu montir disini. Dia meminta nomor yang bisa dihubungi dan kau bisa menyelesaikan administrasinya sekarang. Petugas kasir itu menunggumu.”
“Ya, tentu saja. Terima kasih.”
Raveen mengangguk pelan sambil mengunjukkan sederet gigi putihnya ketika berjalan melewati Diane sambil mengenakan jaket kulitnya lalu menghilang dengan begitu cepat. Diane dengan perasaan kesal meninggalkan dua temannya yang sibuk mencari-cari jejak kepergian Raveen.
Sang Murderer duduk di perapian memandang tungku dan api yang membara. Malam ini salju turun lebih cepat dari dugaannya. Darahnya kian mendidih. Ia telah menunggu bertahun-tahun lamanya untuk semua ini. Melihat Diane Hampton, sang puteri hakim yang tubuh dewasa lebih dari yang seharusnya membuat ia hampir berteriak. Tapi ia tidak akan bertindak gegabah. Ia sudah begitu lama dan menanti semua ini. Mengumpulkan kekuatan besar juga tekad untuk menyelesaikan masalahnya dan membuat jiwanya tenang. Setan dalam dirinya sudah terkurung selama puluhan tahun lamanya, dan sekarang ia akan membebaskan setan itu. Ia sudah tidak sabar untuk melakukan ini.
Diane Hampton tidak lebih dari p*****r hina dimatanya. Ia jauh lebih pantas untuk menggantikan posisi Diane dalam keluarga Hampton. Seiringan dengan keinginan yang semakin kuat, darah terus mengalir memacu adrenalin. Ia harus melakukan sesuatu. Sudah terlalu lama niatnya terurung. Ia tidak boleh menundanya sekarang. Janji yang sudah ia ikat dengan seseorang tidak bisa ia langgar begitu saja. Kesetiaan adalah segalanya bagi Sang Murderer. Dan baginya, keluarga Hampton bukan apa-apa. Mereka adalah sekumpulan penghianat besar yang bersembunyi dibalik gelarnya. Makhluk menjijikan.
Sang Murderer meraih kotak dari kayu yang hampir lapuk di atas almari. Ia kemudian mengamparkan isinya lalu membanting kotak itu hingga jatuh terpintal-pintal di atas lantai kayu yang kokoh. Api di perapian semakin panas ketika ia berlutut untuk meraih sebuah kerton kotak kecil dengan gambar Diane disana. Ia tersenyum lebar sambil memandangi wanita dewasa cantik dan sialan itu. Diane sedang tersenyum. Kelihatan begitu bahagia. Blus hitam yang dikenakan Diane begitu mewah dan ia mengenal rancangan desainer terkenal itu. Sepatu bot berwarna cokelat tua itu juga bermerek dan pastinya dibeli dengan harga yang luar biasa fantasis. Semua itu membuat Sang Murderer makin mendidih.
Sialan...
Diane Hampton tidak pantas atas semua itu. Diane Hampton tidak pantas hidup. Dan Samuel, ya... mungkin laki-laki itu akan dapat gilirannya nanti. Begitu pula dengan Emiline dan si pecundang Maccon. Tapi ia menginginkan untuk bermain-main dengan di manis yang selalu dimanjakan itu dulu sekarang. Diane tidak pantas mendapat kebahagiaan yang begitu besar dari keluarganya, dan ia menginginkan kematian wanita itu. Gadis yang paling di sayang oleh seluruh anggota keluarga akan berakhir dengan malang. Diane yang malang.
Tapi p*****r kecil itu pantas mendapatkannya!
Sang Murderer sudah menghabiskan Katherine tujuh belas tahun silam. Sekarang penantiannya membuat ia haus. Keluarga Hampton memang bodoh karena menganggap kematian Katherine murni karena kecelakaan. Itulah mengapa ia memang pandai dalam merancang pembunuhan. Satu persatu dari mereka akan mati. Penghianat sialan pantas dimusnahkan dari bumi ini. Namun, sebelum mereka semua lenyap dengan mengenaskan, Sang Murderer akan memastikan penyiksaannya untuk keluarga Hampton. Keinginan yang terus mengalir deras bagai air itu membuatnya tertawa keras-keras. Akan dari mana ia memulai permainan ini? Terror... Ya, mungkin terror menjadi pilihan yang tepat. Sang Murderer beranjak menuju kursi dan meja di samping perapian. Ia mengenakan sebuah sarung tangan sebelum duduk menghadap mesin tik yang sudah siap. Sang Murderer memainkan jemarinya diatas mesin tik manual dan mencetak beberapa kalimat disana. Diane Hampton adalah incarannya.
-
BAGIAN 1