Hidupnya terasa bahagia ketika begitu banyak keluarga yang melimpahkan kasih sayang. Tapi hidup bergelimangan harta dan kemewahan bukanlah sebuah pilihan. Selalu ada yang kurang tanpa kehadiran sosok ibu. Bahkan kekayaan materil sebesar apapun yang diberikan sang ayah padanya, tidak akan pernah mengubah kenyataan bahwa ia hanya diberi apa yang dia butuhkan bukan yang benar-benar dia inginkan. Begitulah kehidupan Diane Pattel Hampton berputar. Puteri dari Hakim ternama Maccon Hampton ini memiliki kebiasaan aneh yang jarang dimiliki oleh anak dikalangan atas. Tapi begitulah yang diajarkan hidup pada Diane. Memiliki paras yang elok nan eksotis tidak menjadikan Diane sebagai wanita yang suka memanjakan diri. Hidupnya terus berjalan layaknya wanita sederhana. Diane adalah pribadi yang ambisius, punya keinginan besar, serta mimpi yang berderet dan terjamin akan diwujudkan juga keras kepala.
Hampir sama seperti kakak laki-lakinya-Samuel Patress Hampton atau yang akrab dipanggil Sam, Diane menggemari berbagai bidang olahraga. Hampir setiap pagi Diane menyempatkan diri untuk pergi ke gelanggang olahraga bersama kakaknya, Sam. Pada usianya yang ke-12 tahun, Diane menjadi wanita yang lepas kendali. Kesibukan ayahnya sebagai seorang Hakim membuat Diane tidak mendapat perhatian lebih dari orang tua. Terlepas dari fakta bahwa Katherine Hampton-sang ibu yang sudah tiada. Diane memiliki dua orang kakak yang sama keras kepalanya, dan ia harus bersyukur karena menjadi anak bungsu dalam keluarga. Kakak perempuan tertuanya, Emiline Sanders adalah satu-satunya wanita yang bisa Diane andalkan dalam keluarga. Namun, tidak seperti yang Diane pikirkan, Emiline sama sekali tidak bisa menjadi ibu pengganti yang baik untuknya. Sementara Sam, entah bagaimana lelaki itu membuat Diane jengkel dengan sikap berlebihannya. Sam sering kali mengundang teman-temannya yang bisa dibilang sama ‘anehnya’ dalam setiap acara keluarga yang diselenggarakan sang ayah. Yang membuat Diane jengkel, Sam dan hampir semua temannya selalu mengejek Diane sebagai si kutu buku yang ambisius.
Entah bagaimana, Diane mengutuki sebutan itu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi soal kerusakan pada matanya akibat terlalu banyak membaca, mereka benar juga. Diane merasakan perubahan sikap Emiline sejak kakaknya itu sudah semakin dewasa dan mengencani seorang pria bernama Jack Allister. Penunggang kuda yang tampan. Betapa bodohnya Emiline karena bersedia mengencani playboy seperti Jack. Tapi Diane tidak bisa menghindari fakta bahwa tidak ada satu wanitapun yang tidak akan terpikat oleh pesona Jack. Ia sendiri diam-diam menggaguminya. Tapi Diane tidak sebodoh Emiline yang dengan mudahnya mengorbakan kencan pertama hanya untuk seorang playboy seperti Jack. Pada usia Emiline yang ke dua puluh, Diane tahu kakaknya itu tidak akan pernah berpikir dengan otak saat menghadapi pria. Diane harus membujuk kakaknya untuk menjauh, dan betapa sialnya ia karena usahanya hanya menghasilkan dampratan keras bagi dirinya sendiri. Seharusnya Diane tidak berlagak seperti wanita dewasa di hadapan Emiline. Usianya baru dua belas tahun, dan dia sudah tumbuh dewasa sebelum waktunya. Begitulah yang dikatakan Sam. Pertautan usianya dengan Sam hanya berkisar lima tahun. Tapi berani-beraninya Sam mengatur hidup Diane, bahkan dengan tega mempermalukan Diane di hadapan semua teman laki-lakinya. Suatu hari nanti, saat Diane sudah mencapai kata dewasa, ia berjanji akan membalas setiap perlakuan Sam. Tunggu saja.
Siang ini seperti biasa, bel sekolah sudah berbunyi nyaring. Para murid dari sekolah ternama Milora School tengah berbubaran meninggalkan halaman sekolah. Namun Diane, harus menunggu supir pribadinya yang beberapa hari terakhir datang terlambat. Ia sebagai gantinya harus menunggu Sam menyelesaikan kegiatan tambahan bersama empat orang teman lelakinya untuk bermain basket. Berbekal buku biologi, Diane duduk tenang di pinggir lapangan. Sam sepertinya akan semakin lama bermain dengan teman-temannya.
Sepanjang pertandingan Diane bisa menghitung Sam sudah mencetak tiga gol dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Sementara dua gol berikutnya disusul oleh Lyon salah satu temannya dengan postur tinggi kulit putih dan rambut gelap. Jika diperhatikan lebih baik lagi, Lyon pasti memiliki darah latin dari gennya. Lelaki itu bukan hanya tinggi dan menawan, tapi Lyon memiliki sisi humoris yang membuat setiap wanita jengkel. Sayang sekali Lyon bersikap seperti playboy. Jika tidak, Diane mungkin sudah tertarik dengannya. Sementara Bruce, laki-laki dengan perawakan sinis dan kurus namun memiliki mata yang indah dipandang bermain dengan baik dalam pada barisan pertahanan. Bruce dibantu oleh Raveen yang memainkan posisinya dengan cukup baik. Alexander Raveen, atau yang akrab dipanggil Raveen sangat membantu tim dengan kualitas permainan yang tidak kalah baiknya dengan Sam. Pria berusia sebaya dengan Sam itu memiliki sikap paling aneh jika dibandingkan dengan ketiga teman Sam yang lain. Raveen bersikap sangat tertutup dan usut-usut siswi yang suka sekali bergosip mengatakan kalau Raveen sangat pendiam, dingin, dan menyukai segala hal yang berbau skandal. Satu teman Sam yang tidak kalah anehnya dengan Raveen adalah Joan. Laki-laki culun dengan kecerdasan yang tinggi itu memiliki selera humor yang cukup aneh. Entah bagaimana Sam bisa berteman dengan orang cendekiawan seperti Joan. Tampangnya tidak begitu memikat seperti tiga teman Sam yang lain, namun jika diminta untuk memilih mana yang jauh lebih baik dari mereka, maka Diane tidak akan pernah ragu untuk memilih Joan. Tampaknya Joan memang lelaki yang paling menyenangkan untuk diajak bicara ketimbang tiga lelaki aneh lainnya.
Tapi kenyataannya adalah Joan cukup merepotkan tim dengan permaiann yang berantakan. Bruce dengan piawai suka menggantikan posisi Joan saat tim lawan berhasil menerobos barisan depan. Sementara Raveen masih berdiri di untuk membloking barisan belakang. Terlepas dari semua sikap menjengkelkan mereka, Diane sangat menikmati pertandingan ini. Suatu hari ia bermimpi bisa bermain basket sebaik permainan kakaknya, Sam.
Kakak laki-lakinya itu cukup antusias dengan berbagai macam bidang olahraga. Diane bahkan berniat untuk meminta Sam beradu tanding dengannya. Ia akan tahu seberapa besar kemampuannya menggiring bola ke dalam keranjang. Tapi niat Diane terurung dengan segala kesibukan yang dibuat Sam bersama empat orang aneh itu. Kalau saja Diane bisa mengusir mereka...
Pemikiran itu membuat Diane jengkel. Dan omong-omong sudah berapa jam ia menunggu Sam? Satu jam? Tidak, mungkin lebih tiga puluh menit. Satu jam lewat tiga puluh lima menit. Astaga, disaat musim semi ini Diane seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Merawat dua ekor kucing peliharaannya-Minnio dan Finggo. Memanjakan kucing jantan arogan dengan warna bulu abu-abu yang lebat itu dengan membeli beberapa mainan dan memperbanyak persediaan makanan. Itulah yang ia lakukan di musim semi. Tapi sepertinya tahun ini berbeda. Sam dan supir pribadinya telah mengacaukan acara musim semi Diane. Dan disaat semuanya terasa sulit, selalu saja ada masalah.
Regan-temannya yang dikenal dengan sikap pemalu masih saja bertingkah bodoh karena mencari masalah pada si kejam Lina dengan merespon rayuan Bones. Regan menyakinkan Diane bahwa Bones sudah benar-benar memutuskan Lina beberapa hari yang lalu, dan betapa bodohnya Regan karena termakan oleh rayuan Bones. Bocah sinting itu selalu mendekati seluruh siswi. Bagaimana Regan bisa berpikir kalau Bones benar-benar tertarik padanya? Dan Jules MacKade teman lainnya yang arogan tidak pernah mau berhenti memprovokasi Lina. Jules dengan keras membela Regan dan menentang Lina dengan berbagai macam tuduhan atas Bones yang sialan. Tapi begitulah karakter puteri dari pengacara ternama William MacKade. Jules satu sahabat yang dikenal Diane tidak akan pernah menyerah sampai kebenaran berpihak padanya. Tapi Jules sama bodohnya dengan Regan hingga memacu konflik yang panas dengan Lina. Dan sekarang Diane harus terseret dalam masalah dua sahabat yang sebaya dengannya itu. Lina memusuhi mereka juga selalu berusaha mengusik mereka.
Sekarang semuanya dimulai lagi. Dari bangkunya, Diane melihat Jules sedang menarik Regan menjauh dari Lina. Ia berdiri ketika menyadari bahwa mereka sedang menghampirinya. Regan, dengan wajah berseri-seri tidak mengatakan apapun saat Jules menarik lengannya dengan kasar. Langkah mereka terhenti di depan Diane.
“Lina sudah benar-benar tidak waras,” gerutu Jules. Wajah kecilnya merah padam. Kuncir ekor kudanya mengendur karena pertarungan sengit yang baru saja terjadi. “Seharusnya aku tahu kalau dia sudah gila.”
Mencoba memahami masalah barunya, Diane memtuskan untuk bertanya. “Apa yang terjadi?”
Jules mencondongkan tubuhnya untuk menatap Diane lebih dekat. Pelototan sengitnya bertemu dengan pandangan Diane yang semakin kabur tanpa bantuan kaca mata. Diane diam-diam memperhatikan mulut kecil Jules bergerak tanpa henti. Temannya itu seperti sedang mengatakan kalimat mantra dengan cepat. Ia membayangkan karakter tokoh pesulap pada sinema kartun kesuakaannya. Kalau ditanya, Diane akan dengan mantap mengatakan bahwa Jules sangat cocok untuk peran penyihir tua yang suka mengucapkan mantra dengan cepat. Sial, fantasinya selalu berlebihan. Bayangan itu membuat Diane tidak mampu menyimak apa yang baru saja dikatakan Jules. Ketika temannya menarik napas panjang untuk jeda, Diane ragu-ragu mengatakan, “Maaf, apa katamu?”
Jules menepuk dahi dengan satu telapak tangannya yang terbuka. Regan yang masih berseri-seri memilih untuk mendahului jawaban sinis Jules tentang Bones.
“Bones mengajakku berkencan.” Jawab Regan. Terdengar sederhana, namun berhasil membuat Diane membelalak.
“Itu tidak boleh tejadi, Regan.” Teriak Diane. Hampir tidak menyadari suaranya yang mengalihkan perhatian para pemain basket. Meski begitu tidak menghentikan permainan mereka. Kemudian, Diane melanjutkan. “Kau akan menyesal seperti Emiline.”
“Apa yang terjadi dengan Emiline?” Tanya Regan, ragu-ragu namun terdengar antusias untuk mengetahui penjelasan Diane tentang kakak tertuanya itu.
“Jack mempermainkan Emiline. Atau begitulah yang dikatakan Sam.”
Dahi Regan berkerut dalam. Kedua matanya menyipit saat ia mendengar satu kata asing yang sulit untuk dimengerti. “Mempermainkan? Apa yang kau maksud Jack mempermainkan Emiline?”
“Bagaimana aku menjelaskannya? Aku tidak tahu pasti, tapi Sam mengatakan apapun itu berarti buruk. Dia bilang, Jack tidak benar-benar mencintai Emiline.” Diane mencondongkan tubuhnya dan berbisik. “Sam bilang, Jack mencuri-curi kesempatan untuk mencium Emiline pada kencan pertamanya.”
Mata sehijau zamrud Jules membelalak. “Apa yang salah dengan itu?”
Diane mengangkat kedua bahunya. Kemudian ia berpaling ketika Regan menyuarakan pikiran yang tebesit dalam benaknya.
“Tapi bagaimana kau bisa tau kalau Bones tidak mencintaku?”
“Tentu saja aku tahu,” jawab Diane dengan yakin. “Bones ingin mempermainkanmu dalam kencan pertamanya. Itulah yang dialami Emiline.”
Pengakuan Diane tentang kakaknya membuat rona di wajah Regan berganti menjadi perasaan khawatir. Ia dengan cepat berpaling pada Jules dan berharap temannya yang satu ini memiliki respon berbeda tentang apa yang dikatakan Diane. “Apa itu berarti aku tidak bisa mengencani Bones.”
Jules dengan frustasi mulai bersedekap sambil melayangkan tatapan sinis. Wanita ini benar-benar arogan. “Aku setuju dengan Diane. Itu demi kebaikanmu, Regan.”
“Kalau begitu apa yang harus aku katakan pada Bones?”
“Sangat sederhana. Tolak saja setiap kali dia mencoba mengajakmu berkencan,”
“Tapi aku tidak bisa,”
“Ya, kau bisa, Regan” sergah Diane. Kedua tangannya menangkup salah satu pungnggung tangan Regan. “Tidak apa-apa. Emiline juga menangis karena semua ini. Sekarang kau boleh menangis karena menolak Bones. Itu yang terbaik.”
Kali ini Jules menentang Diane. Ia dengan cepat memutar bahu Regan hingga wanita itu bertatapan dengannya. “Tidak, Regan. Kau tidak boleh menangis karena Bones! Ya ampun, apa yang kau pikirkan? Bones jelas bukan pria yang baik untukmu.”
“Tidak apa-apa, Jules. Kita harus memahami perasaan Regan.” Sela Diane. Merasa frustasi, Jules memutar pandangannya dengan sinis. Mereka secara tidak sengaja dikejutkan oleh kedatangan Lina dan tiga orang teman wanita penggosip itu. Jules yang melangkah maju dengan sorot menantang sementara Diane dan Regan mulai melangkah mundur. Akan ada perang lagi sekarang.
“Jadi apa sekarang kau mengerti?” Lina memulai. Tubuhnya hanya berjarak beberapa senti dari Jules, dan tatapannya tidak kalah sinis. “Kau dan dua temanmu itu harus mengakui kesalahan kalian dan aku ingin kau, terutama Regan, minta maaf padaku!”
“Apa kau baru saja menggertakku? Wanita gendut!”
Sarkasme yang dihanturkan Jules dengan berani membuat Lina mendelik marah. Regan dengan takut-takut mulai menjauh dari mereka sementara Diane masih saja berkutat dengan jemarinya untuk meredakan rasa khawatir. Betapa sialnya karena pria-pria di lapangan itu tidak bisa membaca suasana yang memanas ini. Seharusnya Sam dan keempat teman tidak bergunanya bisa melerai perdebatan ini, namun dengan santainya mereka bermain basket...
Astaga, Diane benar-benar ingin menjambak rambut Sam.
Setelah adu mulut selama beberapa menit itu berlangsung, pertarungan sengit yang tak inginkanpun terjadi. Lina dengan cepat mejambak rambut kecoklatan Jules hingga membuat kuncir ekor kudanya terlepas, dan Jules dengan bodohnya membalas Lina dengan upaya yang sama. Dua teman Lina tanpak berusaha melerai pertikaian mereka dengan menarik Lina, namun satu yang lain bertingkah bagai cheers leader yang koyol. Bersorak atas Lina. Hal itu membuat Diane jengkel. Sangat tidak adil tentunya Lina bersikap kasar pada Jules. Sebagai seorang teman tentu saja Diane tidak bisa diam melihat Jules kesulitan melawan Lina yang jelas bukan tandingan yang setara. Maka, Diane memberanikan diri untuk maju. Kedua tangannya berusaha memisahkan mereka. Al hasil, tindakannya hanya membuat ia terjerumus dalam pertikaian. Dua orang teman Lina yang sedari tadi berusaha melerai sepertinya beralih untuk turut berperan serta. Dan betapa bodohnya Diane karena mengambil tindakan nekat. Tubuhnya terombang ambing, sementara ia tidak bisa melakukan perlawanan apapun.
Pertikaian para wanita ini berhasil mengalihkan perhatian Sam dan para pemain basket lainnya. Terutama ketika Diane berteriak sambil mendorong Lina dan Jules menjauh satu sama lain. Sam mengagumi kekuatan tak terduga adiknya itu. Tapi kondisi Diane sudah benar-benar kacau. Ikat rambutnya sudah tidak tertata dengan rapi. Bahkan salah satu pitanya merosot hingga membuka kepangan kecil Diane. Semantara wajahnya babak belur. Lyon dan Bruce tidak bisa menahan tawanya. Dan pada satu titik, bola basket yang dilempar tim lawan bergerak keluar area pertandingan. Mengarah pada rerumunan wanita-wanita itu. Sam mendelik ketika melihat Diane berniat untuk mendekati Jules namun langkahnya justru terhenti karena pendaratan keras bola basket di bagian samping kepalanya. Diane ambruk dengan seketika. Hanya dalam waktu dua detik, teman-teman wanitanya sudah membentuk lingkaran kecil di sekitar Diane.
“Oh, sial!” Sam tidak bisa berdiam diri. Ia mengikuti kehendak kakinya untuk berlari membelah rerumunan para wanita yang bertikai itu untuk berlutut di samping adiknya yang hampir kehilangan kesadarannya. Lyon, Bruce, Raveen dan Joan menyusul dengan cepat kemudian berdiri di belakang Sam. Menarik tubuh Diane, Sam membarkan wanita itu jatuh di pangkuannya.
“Diane! Apa kau baik-baik saja?” tiga detik berlalu dan tidak ada jawaban. Sam semakin panik. Ia mengguncang tubuh Diane. Empat teman di belakangnya memperhatikan kelopak mata Diane yang naik turun dengan sayu. Mereka berjejer menunggu respon Diane seperti orang i***t. Ketika Diane tak kunjung menjawabnya, Sam mengguncang tubuh kecil wanita itu sekali lagi. “Diane?! Kau mendengarku?”
“Tujuh bintang.”
Kalimat singkat dengan suara samar yang dikatakan Diane membuat Sam bersungut-sungut heran. Ia melirik Joan dan Raveen yang berdiri di sampingnya dengan wajah masam. “Bintang? Apa yang dia maksud dengan bintang?”
“Bintang,... salah satu temannya mungkin?” Joan menyuarakan pendapatnya.
“Dia tidak punya teman dengan nama bintang.” Tegas Sam.
“Fantasi berlebihannya tentang bintang, atau itulah yang dia ingat dari buku bacaannya.” Suara Lyon menyusul di belakang.
Mendegus kesal, Sam menolak pendapat itu. “Dia tidak begitu suka dengan ilmu astronomi!”
“Mungkin saja dia sedang bermimpi.” Pendapat Bruce menjadi yang terakhir sebelum Diane angkat bicara.
“Ada tujuh bintang di kepalamu.”
“Luar biasa!” Teriak Raveen. Matanya membelalak. “Disaat seperti ini dia masih bisa menghitung,”
Diane jatuh tak sadarkan diri setelah mendengar komentar terakhir lelaki itu.
...
Pesta perayaan yang digelar oleh sang hakim berlangsung dengan mewah dan megah. Para undangan sudah menadati bagian kursi dan meja yang disediakan. Tidak sedikit dari mereka yang berdiri diberbajai penjuru ruangan. Rumahnya sudah seperti istana megah. Pikir Diane ketika ia menuruni tangga bersama Regan dan Jules. Tatapan Diane menyapu sekitar. Ia kelihatan begitu gugup untuk menyambut para tamu papanya. Tapi Sam ada di depan balkon bersama empat orang temannya yang lain. Kakaknya begitu santai dan menikmati suasana pesta. Diane melihat mereka sesekali tertawa lalu kembali membicarakan hal-hal lazim seperti pertandingan futsal, basket internasional yang malam lalu diputar dan sekiranya beberapa hal lain yang acap kali diperbincangkan oleh para pria. Di sudut rungan, Diane melihat Emiline bersama pasangannya Jack sedang bercakap-cakap dengan sekurangnya lima orang wanita dan tiga orang pria yang usianya sebaya. Diane bisa menduga kalau mereka semua adalah teman asrama yang diundang Emiline untuk menghadiri pesta.
Papanya adalah orang hebat sampai bisa menyelenggarakan pesta syukuran atas terselesainya kasus yang selama ini membuat papa terlihat sibuk. Tidak satupun yang terlewat. Semua sudah dipastikan diundang. Bahkan orang tua dari teman-teman Sam yang kebanyakan para politikuspun ikut menghadiri acara. Diane semakin gugup ketika Regan dan Jules meninggalkannya untuk menemui orang tua mereka masing-masing. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Sam. Kakaknya memberi isyarat pada Diane untuk datang lebih dekat. Diane dengan ragu-ragu menghampiri kawanan pria aneh itu. Balutan gaun sederhana dengan hiasan kecil berwarna biru navy yang dikenakan Diane nampaknya mengundang perhatian para tamu. Rambut gelapnya terjuntai di atas bahu. Membingkai wajah Diane yang anggun dan mata biru yang indah.
Lyon si playboy yang pertama kali mengomentari penampilan Diane saat gadis dua belas tahun itu hadir ditengah rerumunan pria yang usianya terpaut lima tahun dengannya.
“Wah, gaunnya indah sekali. Apalagi jika dia yang mengenakannya.”
“Itu adikku.” Jawab Sam dengan bangga. Perut Diane hampir melilit mendengar komentar Lyon. Alih-alih ia melayangkan pelototan sengit pada si playboy yang membuat Sam, Bruce, Joan dan Raveen cekikikan.
Bruce menggelengkan kepalanya. “Sayang sekali, Lyon, sepertinya dia satu-satunya wanita yang tidak akan termakan oleh rayuanmu.”
“Yah, sayang sekali. Tapi suatu saat nanti, aku akan membuat Diane mengagumiku,”
“Tidak akan.” Jawaban Diane salanjutnya direspon oleh cekikikan yang sama dari ke empat pria itu. Lain halnya dengan Lyon yang mendengus jengkel.
Setelah puas mempermalukan temannya sendiri, Sam menegur adik pemenpuannya. “Diane, boleh aku minta bantuanmu? Teman-temanku dan aku ingin main playstation. Kotak playstationnya ada di tas milik Bruce yang diletakkan di kamar tamu. Kau bisa mengambilkannya untukku?”
“Ya.” Meninggalkan tatapan sengitnya pada ke empat pria itu, Diane berbalik menuju ruang tamu. Ia dengan cepat menyusuri lorong dan berhenti ketika bertemu pandang dengan tiga orang wanita disana. Diane mengenali mereka sebagai teman wanita yang sebaya dengan Sam. Salah satu dari mereka adalah kekasih Sam. Namanya Dean. Dean adalah tipe wanita tomboi yang tidak begitu suka memakai riasan. Kekasih Sam itu bahkan tidak mengenakan gaun seperti dua wanita lainnya-Helena dan Goul. Dean suka sekali dengan warna hitam. Goresan eyeliner di matanya membuat Dean mirip seperti penyihir dalam tokoh kartun itu. Perawakannya sinis. Tingginya mencapai seratus enam puluh lima sentimeter dan kulit putih Dean kontras dengan rambut gelapnya. Wanita itu hanya mengenakan mantel hitam yang menutupi kaos oblongnya. Diane menghargai usaha Dean untuk tampil lebih baik dari biasanya yang hanya mengenakan jaket pria dengan sobekkan diberbagai sisi dan jins usang. Diane bertanya-tanya bagaimana Sam bisa mengagumi wanita tomboi yang sinis ini. Usianya sebaya dengan Sam dan Dean miliki sisi misterius bahkan kadang bersikap aneh. Persetan, semua teman Sam memang aneh. Hanya saja kekasihnya ini jauh lebih aneh. Tidak ada yang mengetahui latar belakang Dean selain sebagai seorang montir di bekel Flagginan yang hampir bangkrut itu. Dean bekerja paruh waktu disana. Entah dimana wanita ini tinggal, namun kebanyakan dari temannya adalah preman-preman jalanan. Tidak diragukan jika penampilan dan sikap Dean mencerminkan lingkungannya. Diane sudah memutuskan akan menasehati Sam untuk tidak mendekati wanita ini lagi nanti. Ia tidak mungkin membiarkan Sam terjerembab dalam lingkungan yang salah. Dan tidak ada yang dapat menjamin sebaik apa sikap Dean saat bersama Sam.
Helena dan Goul memalingkan wajahnya dengan sinis saat bertemu pandang dengan Diane, namun Dean hanya tersenyum kecut sebelum mereka berlalu pergi ke arah yang berlawanan. Tawa mereka terdengar jauh di belakang. Diane merenggut kesal mengetahui fakta bahwa dirinyalah yang jadi bahan tawaan para wanita sinis itu. Apa ia berpenampilan seperti badut? Riasannya terlalu tebal atau gaunnya sobek sehingga menjadi hiburan bagi mereka? Sial, Diane akan memastikan untuk memaki Sam atas perlakukan teman-temannya nanti.
Pintu ruang tamu telah terbuka ketika Diane masuk untuk menggeledah tas milik Bruce dan menemukan playstation. Tetapi terlalu banyak barang yang berserakan untuk diabaikan. Boneka mainan milik Diane terhampar begitu saja. Disisi lain ruangan luas itu juga terdapat mainan kayu milik Emiline saat masih anak-anak yang seharusnya berada di gudang. Riasan milik mamanya yang sudah meninggal terhampar bersama tas-tas milik teman Sam. Diane tidak butuh desakan untuk membenahi kamar itu. Hasilnya ia telah membuang waktu sepuluh menit untuk menata ulang ruangan menjadi lebih bersih dan ranjang kecil di pojok ruangan sudah tidak terhampar oleh barang-barang lagi. Ketika Diane baru ingat niatnya, ia segera berjalan memutari ruangan untuk memilah salah satu dari empat tas hitam yang hampir sama dan berjejer di hadapannya. Sial, Diane lupa bertanya mana tas yang dimaksud Sam.
Jadi, Diane terpaksa menggeledahnya satu persatu sampai ia menemukan playstation disana. Ketika Diane menggeledah tas milik Joan, Diane menemukan beberapa mainan tradisonal yang terbuat dari kayu dan sepertinya dirancang sendiri oleh Joan. Di sela-sela mainan itu terdapat tumpukan buku fisika dengan angka yang berfarian. Tanpa harus ditanya, Diane sudah tau kalau tas itu milik Joan. Hanya Joan satu-satunya teman Sam yang begitu menyukai ilmu fisika. Angka sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan Joan yang membosankan. Pantas jika selera humornya sungguh aneh. Diane menutup kembali resleting tas Joan, kemudian beralih pada tas hitam berikutnya.
Ia terperanjat ketika menemukan dua macam majalah dewasa yang memampangkan pose seorang wanita dengan tidak wajar. Tas ini pasti milik, Lyon. Pikir Diane. Siapa lagi kalau bukan lelaki dengan mata jelalatan yang suka menggoda setiap wanita di sekolah. Tanpa mengulur waktu, Diane menutup resleting kemudian mencoba menebak dua tas lain yang masih tersisa. Yang satu pasti milik Raveen, dan mungkin ia pikir instingnya benar saat membuka tas paling pinggir di dekat meja rias. Terdapat tiga buku sejarah disana. Dua buah surat kabar, dan sebuah buku peradaban yang jarang sekali di temukan dalam tas seorang pria berusia tujuh belas tahun.
Ketika Diane tertarik dengan salah satu gambar visual yang terpampang pada buku sejarah, Diane tidak bisa menahan keinginannya untuk menarik buku itu keluar dan melihat isinya. Luar biasa seorang Raveen bisa mengumpulkan beberapa foto dan artikel artikel singkat tentang sejarah kota, bahkan Negara dalam buku setebal ini. Bahkan Raveen punya photo seorang Raja Inggris yang tewas dalam peperangan. Dan artikelnya,... artikel tentang pembunuhan yang keji dan sadis, tentang mata-mata yang tertembak dalam kasus pelarian seorang buronan membuat Diane tertarik untuk membaca. Mungkin tidak ada salahnya kalau Diane membaca barang satu atau dua artikel. Tadinya Diane hanya berniat membaca satu artikel tentang seorang Duke Inggris yang sangat dielu-elukan itu namanya pada abad ke-18. Namun artikel menarik lainnya tentang beberapa Klan yang bertempur di tanah Skotlandia menyita perhatian Diane sampai ia tidak sadar sudah berapa waktu yang ia lewati.
Ketika Diane hendak melanjutkan bacaan tentang skandal rahasia Klan Marquess di Skotlandia yang masih menjadi pertanyaan dalam sejarah, suara pintu terbuka mengejutkannya. Diane sentak berdiri dengan buku yang tertutup dalam genggamannya lalu mendelik pada Sam dan empat laki-laki lain di belakang.
“Diane?... Ku pikir kau lupa,...”
Ketika Diane menjatuhkan pandangannya pada jam dinding yang tergantung tepat di atas kepala pintu, ia terhenyak. Sambil mencari-cari alasan untuk memperbaiki dugaan Sam. “Aku baru akan,... Kau seharusnya menunggu sampai aku datang.”
“Aku berubah pikiran.” Kata Sam sambil memperhatikan sikap gugup adiknya yang tidak biasa. “Emiline memenuhi kamarku dengan sampah-sampah miliknya, jadi aku akan bermain di ruang tamu saja.” Pandangan Sam turun pada buku berukuran tebal yang ada dalam genggaman Diane. “Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan?”
Betapa bodohnya Diane membiarkan Sam dan empat temannya melihat ia disini dan sedang memegang buku sejarah milik Raveen. Astaga, Diane lupa meletakkan buku itu kembali.
“Itu buku milikku,” sahut Raveen sambil melangkah maju hingga postur tubuhnya sejajar dengan Sam. Pria dengan balutan jins lusuh, dan tinggi mencapai seratus tujuh puluh itu nampak kaku ketika melihat Diane. Raveen memiliki mata keemasan yang begitu berkilau dan tatapan tajamnya benar-benar membunuh. Seolah pria itu dapat melelehkan puncak salju hanya dengan menatapnya... Tinggi Sam dan Raveen hampir sama, hanya saja bahu Raveen lebih merosot dan rambut cokelat gelapnya kontras dengan rambut pirang keemasan milik Sam. Melihat dua pria tampan itu sedang berdiri dengan tatapan mengintimidasi yang terarah padanya membuat Diane gugup.
“Maaf, aku tidak sengaja menemukannya. Buku ini ada di atas tasmu yang terbuka dan aku berniat mengembalikannya,” Diane berbohong. Raveen tahu Diane berbohong. Ia ingat betul bagaimana posisi tas yang ia letakkan terkunci rapat dan terletak paling pinggir dari tas-tas yang lain. Tapi sekarang kondisinya sudah berubah. Beberapa buku sejarahnya berhamparan di atas lantai dan tasnya entah bagaimana sudah bergabung bersama tiga tas lain.
“Aku pikir Raveen tidak meninggalkan barang-barangnya sembarangan, dan..” ketika Sam hendak bicara bahwa adiknya adalah pembohong yang pandai, Raveen menyela dengan segera.
“Dia benar. Aku mungkin lupa mengunci tasku dan meninggalkan buku-bukuku di sembarang tempat. Lagi pula terakhir kali yang ku ingat aku memang mengeluarkan semua barang-barang itu. Dan omong-omong, terima kasih untuk bantuanmu Diane. Aku menghargainya.”
Diane mengangguk dengan lugu. Rona merah menghiasi wajahnya.
“Boleh aku minta bukuku kembali?” ketika Raveen menggulurkan tangan Diane melanglakah maju hingga terhenti dalam jarak kurang dari satu meter dari tatapan mematikan Raveen. Ia dengan cepat mengembalikan buku itu, bertemu pandang dengan Raveen sejenak sebelum memutuskan untuk keluar dari ruangan. Diane baru bisa bernapas lega ketika mendengar suara pintu tertutup di belakangnya kemudian disusul oleh suara tawa keras. Ia bersungut-sunggut kesal ketika untuk kali kedua menyadari bahwa tawa sialan itu diperuntukkan baginya. Sial.
-
PROLOG