Bagian 10

3496 Words
“Tentu saja tidak. Aku menunggumu di kedai dekat Universitas. Aku pikir aku bisa menghabiskan waktu seharian disana, tapi aku hanya bertahan selama beberapa jam dengan pembicaraanku yang membosankan bersama seorang pemilik kedai. Aku merasakan insting buruk, karena itu aku segera kembali ke Universitas untuk memastikan kau baik-baik saja. Tapi kelasmu sudah berakhir ketika aku datang. Seorang mahasiswa mengatakan padaku bahwa dia melihatmu berjalan ke area belakang gedung dan aku segera kesana sebelum melihat dua orang petugas keamanan sedang berlari masuk ke dalam gudang lalu aku mendengar teriakanmu. Disanalah kau berada. Berdiri dengan ketakutan. Wajahmu sangat pucat seolah kau baru saja melihat hantu.” Diane mendelik dengan ngeri. “Lebih buruk, detektif. Lebih buruk. Aku melihat mayat!” “Yah,, setidaknya kita dapat pelajaran dari semua kejadian ini,” seolah dapat membaca sorot mata Diane, Raveen menjawab pertanyaan yang terbesit dalam benak Diane. “Pelajaran bahwa aku tidak bisa membiarkanmu sendiri lagi dan juga pelajaran bahwa kau sebaiknya tidak berusaha menjauhkan aku dari hidupmu.” “Aku tidak bicara begitu.” “Memang kau tidak bicara seperti itu, tapi kau menghendakinya. Aku tahu dengan sangat baik kau berusaha menjauhkan aku dari hidupmu, Manis.” Tatapan yang dilayangkan Diane berkesan sinis. “Itu tidak benar.” Diane berbohong. Sepert lima belas tahun lalu, Raveen tahu Diane berbohong karena faktanya Diane memang berusaha menghindari semua orang yang bersikap overprotektif padanya. Diane membenci Sam sekaligus pengawal tampan yang disewa kakaknya ini. “Aku tidak berusaha untuk menjauhkanmu. Aku hanya,,, berusaha menghindarimu.” Lanjut Diane. “Nah, apa bedanya?” “Itu jelas berbeda.” Ketika Raveen menopang berat tubuhnya dengan kedua lengan yang telipas di atas meja, pikiran Diane tak terkendali. Astaga, ia tidak tahu kalau warna mata emas itu begitu indah dan memesona. Ada kilat jahil disana. Mengejutkan Diane, tapi Raveen lebih tampan dari biasanya. Dengan rahang yang bebas dari cambang, kecokelatan kulit pria itu yang indah dipandang dan otot-otot yang tidak terlalu besar dan mencolok namun cukup ramping dan tidak mengurangi sisi ‘jantan’ nya, ditambah lagi aroma khas perpaduan tanaman segar. Rahang Raveen sekeras baja, bahunya sedikit lebih lebar dari yang Diane pikirkan. Pria itu memiliki gestur yang sempurna. Pikir Diane. “Jadi bisa kau jelaskan kenapa kau berusaha untuk ‘menghindariku’? Aku tidak ingat pernah berbuat kesalahan padamu.” “Memang tidak,” jawab Diane. “Aku hanya tidak suka padamu. Apa yang salah dengan itu.” “Kau pasti punya alasan.” Kilat jahil itu kembali melintas sekilas di mata Raveen. “Tidak. Tidak ada alasan apapun.” Raveen menegakkan tubuhnya. Senyum kecut tersungging di wajah tampan itu. Dari mimik wajahnya, Diane bisa menebak kalau Raveen tidak benar-benar berniat mengorek fakta lebih jauh tentang alasan mengapa Diane berusaha menghindar. Karena faktanya adalah Raveen telah mengusik pikiran Diane sejak perjumpaan mereka setelah lima belas tahun berlalu–dan Diane tidak suka. Diane tidak seperti wanita kebanyakan. Diane terlalu keras kepala untuk mengakui kekagumannya di depan seseorang. Tentu saja, ia tidak akan membuat Detektif itu menebar pesona setelah Diane mengaku bahwa ia mengagumi Raveen. Lalu setelah itu, Raveen akan berkuasa atas dirinya. Enak saja. Sudah waktunya Diane mengambil alih pembicaraan mereka. “Jadi apa pendapatmu tentang kejadian itu?” “Kejadian apa maksudmu?” “Kematian Sarah. Apa kau percaya kalau aku yang membunuhnya?” “Tidak sedikitpun,” suara Raveen terdengar tegas dan meyakinkan. “Tidak ada yang akan percaya jika melihat betapa lemahnya kau ketika wanita itu menamparmu selama berulang kali malam itu. Kau tidak menyerang balik saat dia menyakitimu lalu bagaimana orang berpikir kau bisa memiliki kekuatan besar sampai berhasil membunuhnya. Aku jelas akan membantah tuduhan kalau kau yang membunuh wanita itu.” “Aku senang kau percaya.” Aku Diane meski jauh di lubuk hatinya ia berharap Raveen memberi kesan lebih atas jawaban itu. Diane berharap Raveen bisa mempercayainya tanpa harus membandingkan satu kejadian dengan kejadian lainnya sehingga siapapun bisa menarik kesimpulan yang sama. Tapi tentu saja ia tidak berharap kalau Raveen akan mengatakan bahwa ia mempercayai Diane karena ia sangat mengenal Diane. Ia mengenal Diane lebih dari apapun sehingga tanpa harus diberi bukti yang nyata, ia akan tetap mempercayai Diane. Seandainya... Sial. Diane tidak seharusnya berharap begitu. Tapi apa lagi yang bisa ia pikirkan? Sementara Raveen merasa kalau pembicaraan mereka terlalu membosankan. Jadi ia mengambil alih topik yang enurutnya lebih menarik. “Apa yang biasa kau lakukan sebelum tidur, Manis?” “Minum s**u panas, mencuci kaki, menonton tv, membaca dongeng...” Raveen tekekeh. “Tentu saja. Itu yang kau lakukan dua puluh tahun lalu.” “Apa bedanya? Tekadang aku melakukan kegiatan yang sama.” “Yang benar saja.” “Aku serius,” seringaian di wajah Raveen berganti dengan kerutan pada dahi. Yang membuat Diane senang, ia berhasil menipu pria itu dengan bualan anehnya. “Sesekali aku melakukannya.” Lanjut Diane. Raveen dengan cepat memanfaatkan situasi itu dengan beranjak ke sofa malas kenmudian menyalakan saluran tv disana. “Kemarilah, Manis. Kau bilang ini salah satu kebiasaanmu sebelum tidur, bukan?” Diane dengan senang hati beranjak menjauhi konter sekaligus mendekati Raveen untuk menghempaskan tubuh di samping pria itu. Ia merebut remote kontrol dari genggaman Raveen kemudian mematikan saluran tv hingga membuat pria itu mengernyit heran. Seakan dapat membaca kerutan di wajah Raveen, Diane mengangkat bahu seraya menjawab, “Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menonton tv malam ini.” “Jadi apa yang ingin kau lakukan?” Diane baru teringat akan buku kumpulan sejarah milik Raveen yang lima belas tahun lalu sempat membuatnya merasa tertarik. Ketika itu ia harus berbohong di depan Sam dan keempat temannya termasuk Raveen sehingga Diane terpaksa mengambalikan buku itu. Setiap malam sejak ia membaca kisah-kisah pertempuran di abad pertengahan, sejarah Inggris dan para bangsawan yang namanya sangat dielu-elukan, Diane selalu membayangkan bisa mengetahui kisahnya lebih banyak. Ia tidak pernah berhenti berkhayal tentang apa yang menyebabkan pertempuran beberapa Klan di Skolandia. Tapi Diane tidak pernah mengetahui ceritanya–fakta yang sebenarnya. Ia berharap ia bisa meminjam buku itu, hanya saja Diane tidak cukup berani bicara dengan Raveen lima belas tahun lalu. Dan sekarang adalah saat yang tepat. “Membaca dongeng mungkin menarik,” ujar Diane. “Buku sejarah itu... aku pikir kau tertarik dengan sejarah dunia. Kisahnya menarik.” “Ah, ya. Tentu saja, itu sangat menarik.” “Kenapa kau tidak menceritakannya padaku?” Diane bersandar di sofa malas tanpa mengalihkan perhatiannya dari Raveen. “Cerita apa yang ingin kau dengar?” “Ceritakan padaku tentang pertempuran beberapa Klan di Skotlandia.” “Kau mungkin tidak akan menyukainya. Ceritanya penuh dengan aksi berdarah. Seperti pertempuran pada umumnya.” Darah. Pertempuran. Kata itu jelas bukan kombinasi yang cocok dengan pribadi Diane. Ia memang takut dengan darah, tentu saja jika dilihat secara langsung. Diane sama sekali tidak akan terpengaruh atau merasa takut sedikitpun jika kejadian yang mengerikan itu dituang dalam bentuk tulisan. Terkadang ia harus membuat orang lain mengerti akan apa yang benar-benar ditakutinya dengan apa yang tidak bisa mempengaruhinya. “Jangan telalu cepat mengambil kesimpulan.” “Semua wanita suka kisah yang lebih lembut. Seperti kisah romansa. Lebih sedikit puitis. Aku punya beberapa kisah romantis tentang bangsawan di Inggris.” “Aku bilang aku ingin dengar kisah tentang pertempuran beberapa Klan di Skotlandia.” Diane adalah wanita yang keras kepala. Sikapnya masih sama seperti lima belas tahun lalu. Tapi siapa yang menyangka bahwa sikap itu justru menambah ketertarikan Raveen atas Diane? “Baiklah, ingat aku sudah memperingatkanmu, ya.” “Jadi bagaimana latar belakang peperangan itu?” Wanita tidak sabaran. “Berawal dari kesalah pahaman kecil seorang Laird ternama dari Klan Milthoud bernama Tobias Milthoud. Tobias dikenal sebagai laird yang kejam, tidak berperasaan dan memiliki jiwa tangguh. Tobias menentang ketetapan yang dibuat oleh Laird Henry dari Klan Bournees tentang batas tanah kekuasaan mereka. Laird Henry mengira bahwa Tobias telah menyetujui kesepakatan yang telah ia buat atas dasar surat resmi atas nama Klan Milthoud yang dikirim pada Laird Henry. Tapi ada kecurangan yang dilakukan oleh Klan Maclean yang ketika itu memusuhi Klan Bournees juga Kan Milthoud. Klan Maclean berniat mengadu domba kedua Klan itu dengan mengirim antek-anteknya untuk menyusup ke dalam Klan Milthoud hingga mendapatkan tanda tangan Tobias akan surat tentang pengesahan batas kekuasaan. Laird Tobias yang tidak tahu-menahu tentang kesepakatan yang diklaim atas namanya mulai berselisih paham selama beberapa bulan dengan Laird Henry. Yang kemudian perselisihan itu berujung pada peperangan. Mendengar kabar bahwa kedua Klan akan berperang untuk saling menghancurkan satu sama lain, Klan Maclean merasa puas.” “Selanjutnya apa yang terjadi?” Tanya Diane dengan tidak sabaran. “Siapa yang akhirnya keluar sebagai pemenang? Apa yang di dapat bagi pemenang? Lalu apa yang dilakukan oleh Klan Maclean? Apa Klan Maclean juga memerangi salah satu dari Klan itu yang jadi pemenang?” “Yang mana yang harus ku jawab lebih dulu?” “Sebenarnya,, semuanya.” “Kalau begitu boleh aku melanjutkan kisahnya?” Diane mengangguk setuju. “Pertempuran itu tidak tejadi secara cuma-cuma. Antara Klan Milthoud dengan Klan Bournees masing-masing melakukan pengorbanan.” “Apa maksudmu pengorbanan? Apa ada yang harus dikorbankan?” “Ya. Yang menang akan mendapat hasil dari taruhannya. Klan Milthoud akan memberi tanahnya pada Klan Bournees jika mereka kalah dalam peperangan. Sementara Klan Bournees mempertaruhkan seorang Lady cantik yang bernama Arabella yang beberapa tahun lalu hampir bertunangan dengan Laird Tobias.” “Itu tidak adil!” teriak Diane. Amarahnya mulai mencuat. Pria egois memang selalu mengorbankan wanita. “Kenapa kau berpikir begitu?” “Kenapa Klan Bournees mengorbankan Lady mereka? Itu sama saja menganggap seorang Lady sebagai barang pertukaran. Mereka kejam sekali.” “Tentu saja jika itu bukan karena permintaan Sang Lady sendiri.” “Apa?” “Lady Arabella yang bersedia mengorbankan dirinya sendiri, Manis. Dia dan Laird Tobias pernah saling mencintai satu sama lain. Tapi kemudian Laird Tobias mengetahui fakta bahwa Lady Arabella hanyalah antek-antek yang dikirimkan oleh Klan Bournees untuk memata-matai Klan Milthoud sehingga Klan Bournees lebih mudah menghancurkannya. Jika seorang Laird nya sudah ada dalam genggaman Sang Lady, maka Henry akan lebih mudah menjatuhkan musuhnya. Kemudian Laird Tobias mengetahui rencana busuk kekasihnya, dan ia sendiri yang membatalkan pertunangan mereka. Tapi itu sudah lima tahun berlalu sebelum perselisihan ini kembali terjadi. Mengorbankan diri hanyalah usaha Lady Arabella untuk mencegah peperangan. Tidak ada yang mengetahui bagaimana hubungan Lady Arabella dengan Laird Tobias, tapi yang pasti Sang Lady tahu bahwa Tobias tidak akan pernah menerimanya lagi. Tobias sudah sangat membencinya. Lady Arabella berpikir bahwa mungkin Laird Tobias bisa membatalkan peperangan jika memang ia yang diajukan Klan Bournees untuk jadi barang taruhan. Tapi Sang Lady salah besar. Pergorbanannya justru membuat Laird Tobias semakin bernafsu untuk mengalahkan Klan Bournees sehingga bisa mendapatkan Lady cantik yang faktanya adalah saudara kandung Laird Henry. Tak sesuai perhitungan Sang Lady, peperanganpun terjadi. Lebih dari ratusan prajurit Klan Bournees mati sementara Klan Milthoud yang kejam mampu menjaga baris pertahanan mereka. Prajuritnya yang mati tidak sebanyak prajurit dari Klan Bournees dan peperanganpun dimenangkan oleh Klan Milthoud. “Hal yang ditakuti Sang Lady terjadi. Laird Tobias membawa hadiah peperangannya ke benteng pertahanan Klan Milthoud kemudian mengurung Lady Arabella di sel bawah tanah. Sementara Klan Bournees masih menyusun rencana untuk merebut kembali Lady mereka.” “Kau bilang Laird Tobias dan Lady Arabella pernah saling mencintai?” sela Diane ditengah penjabaran Raveen. Ia mendapat anggukan kecil dari Raveen. “Lalu mengapa Laird Tobias tega mengurung Lady Arabella di penjara bawah tanah?” “Itulah yang mereka lakukan, Manis. Peperangan tidak mengenal belas kasihan. Kebohongan kecil saja akan disebut sebagai penghianatan besar. Lady Arabella telah menghianati Laird Tobias dan Sang Lady pantas mendapat balasannya.” “Menurutku tidak juga. Laird Tobias tidak pernah tahu apa yang diinginkan Sang Lady sebenarnya. Mungkin saja Lady Arabella tidak benar-benar berniat untuk menghianatinya.” “Lady Arabella menghianatinya,” cetus Raveen dengan sedikit jengkel. “Itulah yang terjadi. Sejarah mengatakan demikian.” “Oh-oh, sejarah memang berkata demikian, tapi faktanya mungkin tidak sama.” “Jadi apa yang kau inginkan?” “Jangan berkesimpulan terlalu cepat.” “Kenapa kau terus berpikir kalau aku mengambil kesimpulan? Ini sudah jelas menjadi fakta yang dikatakan sejarah. Aku tidak ada dimasa itu untuk mengklaim faktanya.” “Kau tidak ada dimasa itu dan kau percaya begitu saja pada sejarah?” Raveen mau meledak. Wajahnya yang biasa setenang air sudah kini diliputi oleh rona merah padam yang menurut Diane menakutkan sekaligus mengagumkan. “Oh, Demi Tuhan, Diane. Kenapa kau tidak membunuhku saja?” Kalau bukan karena malu, Diane mungkin tidak bisa menyembunyikan tawanya, tapi melihat Raveen frustasi adalah hiburan yang paling menarik. “Maafkan aku,” ujar Diane, senyum jahil melintas cepat di wajahnya. “Kau boleh melanjutkan ceritanya.” Raveen ragu sebentar tapi kemudian ia beringsut untuk mencari posisi nyaman sebelum melanjutkan legenda itu. “Setelah mengetahui fakta bahwa para prajurit Bournees sedang bersiap untuk merebut kembali Sang Lady dari tangan Tobias, Tobias segera memanfaatkan kesempatannya untuk memberi hukuman mati bagi Lady Arabella,” “Oh, astaga…” sejarah kuno itu membuat Diane terhanyut sampai tidak merasa kalau dirinya sudah melongo tidak percaya. “Ya. Lady Arabella mati karena hukuman itu. Begitu mengetahui kabarnya, Laird Henry marah besar dan memutuskan untuk melancarkan serangan mendadak bagi Klan Milthoud. Tapi Laird Henry tidak tahu kalau Klan Maclean yang pernah bermusuhan dengannya sekaligus dengan Kalan Milthoud mulai bekerja sama sebagai sekutu dengan Laird Tobias. Serangan mendadak yang ia lakukan gagal karena prajurit dari Klan Maclean mengklaim serangan itu. Kemudian kekuatan Laird Tobias semakin besar dengan dukungan Klan Maclean. Mereka bersama-sama menghancurkan Klan Bournees dan mengambil hak alih tanahnya.” “Tapi Klan Maclean adalah dalang dari semua ini?” “Itu benar.” “Kenapa Klan Milthoud belum juga menyadarinya?” “Karena Klan Maclean menutupinya dengan sangat baik.” Tegas Raveen, sedikit gusar karena wanita cantik di hadapannya ini tidak pernah berhenti berkomentar sebelum ceritanya usai. “Lalu apa mereka membagi tanah milik Klan Bournees?” “Apa kau selalu seperti ini?” “Seperti apa maksudmu?” “Menyela penjelasan seseorang sebelum penjelasan itu selesai?” Sekali lagi wajah Diane merona. “Aku minta maaf.” “Jadi apa kau ingin aku melanjutkannya?” “Ya, tolong.” “Klan Milthoud tidak pernah tahu bahwa sekutunya sendiri akan berhianat sampai Klan Maclean memerangi Klan Milthoud dan membunuh Laird Tobias dalam serangan tak terduga itu. Sejak saat itu tanah milik Klan Milthoud dan Klan Bournees dikuasai oleh Klan Maclean. Itu sedikit cerita yang kuingat.” “Akhir yang menyedihkan.” “Aku sudah mengingatkanmu.” Diane mengakat bahu. “Tetapi tidak terdengar menyeramkan.” “Kau ingin aku menceritakan detailnya padamu, ya? Kau ingin aku menceritakan bagaimana hukuman mati yang harus dijalani Lady Arabella, atau bagaimana cara Klan Maclean membunuh Laird Tobias dalam peperangan yang penuh dengan darah dan aksi kejam lainnya?” Pertanyaan Raveen membuat seisi perut Diane serasa habis dikocok. Sekarang ia tahu bahwa mungkin aksi brutal dari penyiksaan tidak terdengar baik untuk diceritakan–atau karena Diane memang takut. Mendengar sedikit saja ia sudah bergidik, bahkan yang lebih buruk ingin muntah. Jadi sebaiknya Diane tidak tahu detail pembunuhan itu. Yah, bagaimanapun caranya, ia sudah tahu akhir dari kisahnya. Jadi Diane merenggangkan tubuhnya dan berpura-pura menguap seperti kucing manis yang suka bermalas-malasan. Pergerakannya hampir membuat Raveen meneteskan liur. “Sebenarnya aku ingin, tapi sayang sekali. Sudah terlalu larut dan aku kelelahan.” Entah itu halusinasinya saja atau memang nyata, Diane melihat Raveen tersenyum malu dari sudut matanya. Ia cepat-cepat berdiri sebelum membuat dirinya mejadi salah tingkah. “Sebaiknya aku tidur.” Raveen mengangkat bahu dengan tidak acuh. Raut wajahnya sudah kembali setenang air atau lebih tepatnya tidak mengunjukkan reaksi apapun. “Selamat malam. Semoga harimu menyenangkan.” Selamat malam. Semoga harimu menyenangkan. Merupakan dua kalimat dari rentetan kalimat formal yang membosankan apabila dua orang sudah tidak menemukan topik yang lebih menarik untuk dibicarakan. Dan Raveen mengatakan itu seolah-olah mereka baru saja bertemu. Hari yang menyenangkan kedengaran bagus juga. Ya ia memang mengalami hari yang menyenangkan. Menyenangkan apanya? Menyenangkan tentu tidak termasuk bertemu mayat dan melewati interogasi membosankan selama berjam-jam di kantor polisi. Jadi apa maksud Raveen? Setidaknya Diane mengalami malam menyenangkan kali ini. Merasa puas karena akhirnya ia bisa mendengar cerita yang lima belas tahun lalu selalu ia bayangkan. Mengetahui fakta yang dulu sangat ingin diketahuinya. Setidaknya dongeng menjadi penghibur kecil bagi Diane setelah melewati hari yang lebih keras dari yang pernah ia lewati ini. Diane tidak banyak berkomentar dan segera beranjak kembali ke dalam kamar. Mengunci pintu dengan rapat dan berharap ia bisa berbagi waktu lebih lama bersama Raveen. Betapa bodohnya Diane berpikir begitu. Tapi apalagi yang bisa ia pikirkan? Tinggal bersama Raveen adalah ujian besar. Tidak. Berada dekat Raveen adalah ujian sekaligus anugerah Tuhan. Disatu sisi Diane ingin menjauhkan Raveen dan disisi lain Diane berharap Raveen tetap tinggal bersamanya sepanjang waktu. Sejauh ini Diane belum pernah merasa begitu aman berada di dekat seorang pria. Bahkan Max-pun tidak. Max tidak pernah membuat Diane merasa sekhawatir ini saat jauh darinya. Tapi mengapa bersama Raveen, semuanya jadi terasa menggelisahkan? Disatu sisi Diane merasa sangat benar dan disisi lain Diane merasa sangat salah. Sial. Begitu ia mendapatkan privasinya, Diane segera menghempaskan tubuh ke atas ranjang dalam posisi telungkup sambil menguburkan wajahnya pada selimut berwarna cokelat gelap yang begitu lembut. Diane mencium aromanya dengan lebih jelas. Aroma Raveen. Ia mengumpat lagi. Bagaimana ia bisa lupa dimana keberadaannya saat ini. Aroma khas Raveen yang mulai disukai Diane begitu menyengat. Tentu saja. Ini adalah kamar Raveen dan ranjang yang ditempatinya adalah ranjang Raveen. Sensasi aneh kembali menjalar di sekujur tubuhnya hanya dengan memikirkan itu.  ... Sang Murderer tersenyum puas setelah memandangi kain putih polos yang sudah ternoda dengan noda darah sehingga warna dasarnya hampir lenyap dalam sensasi merah mengerikan. Kain yang ia gunakan untuk menyekap mulut Sarah. Ia masih bisa mencium aroma ketakutan disana. Aroma yang anehnya terasa begitu menyenangkan. Ia menyukai aroma itu... Aroma kemenangan. Ia telah menang dan Diane kalah. Tapi ini baru babak pertama. Sang Murderer tidak pernah memperhitungkan kemungkinan kalau orang-orang bodoh itu akan menuduh Diane sebagai pembunuh Sarah, tapi itu tidak jadi masalah besar. Diane akan terbebas dari tuduhan, dan ia bisa meneror wanita itu lagi. Bermain-main dengan korban selanjutnya. Namun Diane memang p*****r sialan. Berani-beraninya wanita itu menghindar dengan tinggal bersama pengawal sialan yang ia kenal sebagai-Raveen. Hal ini akan mengusik rencana yang telah ia susun dengan sangat rapi. Terornya tidak akan berjalan mulus jika Diane tinggal bersama pria yang menganggap dirinya sebagai ‘pahlawan kesiangan’. Seolah Raveen dapat membantu saja. Ia tidak akan pernah membiarkan pria itu menghalangi permainan mereka. Permainan antara ia dan Diane. Rencana mungkin akan mengalami sedikit revisi. Sang Murderer harus memikirkan cara lain untuk memuluskan alur keji yang ia buat ini. Ia tertawa ketika sekelebat pemikiran busuk melintas dalam otaknya–otak yang penuh skandal. Kemudian ia mendengar suara bedebum itu lagi. Sial. Wanita tua yang bau tanah itu pasti mendengarnya lagi. Wanita itu pasti sudah menganggapnya gila. Hampir setiap malam ketika ia merayakan keberhasilannya, wanita itu selalu menguping. Mengintip dari balik lubang kunci di gubuk sialan yang dikelilingi oleh para tetangga bermuka dua. Melihat tingkah Sang Murderer yang aneh. Lalu melarikan diri begitu ia menyadari ada seseorang menyadari perbuatannya mengendap-endap untuk mencari skandal. Dan seolah ia tidak mendengar saja suara bedebum ketika sandal murahan wanita itu ketika menginjak susuran tangga kayu yang mulai reot. Wanita itu sudah seperti kutu kecil yang mengusik ketenangan seseorang. Janda berusia tujuh puluh tahun yang entah bagaimana masih terlihat sangat bugar meski rambutnya telah memutih, bersikap manis di hadapan para tetangga, namun tidak punya cukup banyak pekerjaan sehingga mengintip kegiatan orang lain secara diam-diam. Tapi wanita itu hanyalah masalah kecil. Kutu penghalang yang bau tanah. Ajalnya tidak akan lama lagi. Sikapnya juga seperti orang gila–jadi Sang Murderer tidak begitu memperdulikan wanita itu. Ia harus tetap fokus. Tidak boleh bertingkah aneh lagi. Atau ia harus mengambil resiko kalau wanita itu akan mengundang para petugas dari rumah sakit jiwa untuk mengurungnya hanya karena ia suka tertawa sendirian di dalam bangunan bobrok yang hampir tidak pantas disebut sebagai rumah ini. Sialan. Ia mengumpat lagi. Semua ini tidak ada gunanya. Ia butuh kebebasan tersendiri untuk merayakan apa yang telah berhasil ia capai. Yang dilakukan jalang bau tanah itu membuatnya merasa terusik. Sabar… Ia arus fokus. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada pekerjaan lain yang jauh lebih penting ketimbang memikirkan rencana kecilnya untuk mempercapat ajal wanita itu. Senaiknya tidak jika ia tidak ingin masalah melebar. Semua harus dijalankan sesuai rencana–dan ia sudah berencana untuk mengirim hadiah indah bagi Diane. Sungguh kejutan yang menakjubkan. Tunggu saja. Kira-kira sampai dimana Diane sanggup bertahan. Kalau wanita itu menginginkan permaian yang lebih menantang, maka Sang Murderer dengan hati lapang akan menuruti keinginan tesebut. Diane akan segera gila atas semua teror itu. Kemudian setelah itu klimaksnya adalah Maccon Hampton akan kewalahan mendapati puteri tersayangnya dari p*****r sialan–Katherine Hampton telah gila lalu Sang Murderer tingga menutup permainannya dengan pesta kepala. Ia sudah memikirkan tempat yang indah untuk menjadikan kepala Maccon dan ketiga anaknya itu sebagai hiasan. Sebenarnya ia hanya menginginkan satu, mungkin ketiganya akan menjadi bonus yang indah. Tawanya menggelegar. - BAGIAN 10
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD