“Aku pernah melihat Mr. Shimon menyeret puterinya.” Kata salah seorang pengawai kasir bernama Terry di kafe yang dikunjungi Diane dua puluh menit lalu. Diane tidak menyangka akan menemukan seorang sumber informasi lain di kafe tersebut. Sebelumnya ia berniat untuk mengunjungi beberapa rumah tetangga, tapi sepertinya ia tidak perlu repot-repot. Pegawai wanita berusia dua puluh lima tahun yang berambut merah dan memiliki mata gelap yang besar ini bisa memberi informasi yang ia butuhkan.
Jam sibuk sudah berakhir dan sekarang ia duduk bersama Terry pada salah satu meja dengan nomor tujuh. Diane harus berbohong lagi dengan mengatakan bahwa dirinya adalah saudara jauh Shimon yang sedang merantau. Setiap yang diinformasikan Terry telah terekam dalam rekaman suara yang tersembunyi dibalik tas itu.
“Itu pasti Emma. Aku mengenal sekali gadis kecil itu.” Sahut Diane dengan sedikit antusias.
“Ya, aku tidak tahu betul namanya. Tapi yang ku tahu gadis berambut pirang itu puteri Mr. Shimon.”
“Kemana Mr. Shimon menyeret puterinya pergi?”
“Tidak tahu. Aku hanya melihat dia membawa puterinya ke dalam mobil dan sepertinya puterinya terlihat tidak senang. Karena puterinya memberontak. Tapi Mr. Shimon memaksanya dan entah kemana mobil itu pergi. Sejak hari itu aku tidak pernah melihat puterinya kembali.”
“Kapan itu terjadi?”
“Dua hari yang lalu. Malam tepatnya. Terlalu malam untuk dilihat banyak orang. Kebetulan aku sedang lewat jalan itu.”
“Apa ada orang lain dalam mobilnya?”
“Ya. Pria berkulit hitam dengan kepala botak dan disampingnya pria berambut panjang, dan wajahnya dipenuhi cambang. Sekiranya itu yang kulihat. Mereka ada dalam mobil yang membawa Emma.”
Diane tertegun sejenak. Kemudian ia menyesap kopinya sambil memfokuskan diri pada kasus itu. “Jadi, apa kau tahu informasi lain tentang Shimon?”
Terry mengangkat bahu sambil mengerutkan dahi. “Hanya itu yang kutahu. Dia jarang sekali berkunjung ke kafe ini. Mr. Shimon juga tidak suka berbaur dengan lingkungannya. Keluarga kecilnya agak sedikit tertutup,” ketika Terry mencondongkan tubuhnya untuk berbisik, Diane menajamkan indera pendengarannya. “Ku dengar dia sering bertengkar dengan isterinya akhir-akhir ini. Tapi itu hanya gosip penduduk kompleks saja.”
“Begitu? Aku tidak tahu kalau banyak sekali perubahan yang terjadi pada saudara jauhku itu.”
“Yah, sekarang kau tahu. Sebaiknya kau jangan mengatakan apapun tentang pembicaraan kita ini.”
“Aku tidak akan mengatakan apapun,” Diane melihat arlojinya kemudian memutuskan bahwa sebaiknya ia menyudahi perbincangan ini dan segera menemui Raveen. Maka ia segera berkemas. “Aku senang sekali bisa bicara denganmu. Kupikir aku harus pergi.”
“Kembalilah kalau kau punya waktu,” kata Terry sambil mengikuti Diane yang bangkit beridiri. “Kita bisa mengobrol dengan lebih santai.”
“Pasti. Terima kasih untuk waktumu, aku harus pergi sekarang.”
Terry segera kembali ke meja kasir sewaktu Diane beranjak keluar dari kafe. Wanita itu menghilang secepat kedatangannya.
...
Diane melintasi jalan untuk mencapai sedan tua yang terparkir di blok utama. Ia segera masuk begitu pintunya terbuka. Ketika Diane bergabung, Raveen tengah berkutat dengan ponselnya sebelum beralih pada wanita yang duduk di sampingnya.
“Bagaimana?” tanya Diane. Rona diwajahnya mengatakan bahwa ia sangat berharap mendengar berita baik. Raveen kecewa karena tidak bisa memenuhi harapan itu. Namun ia bermaksud mengatakan yang sebenarnya.
“Jangan tersenyum seperti itu, Manis. Kau membuat aku semakin sulit untuk mengatakannya.”
“Jadi biar kutebak. Informasi buruk apa yang kau dapat?”
“Aku membuntuti Shimon sampai disebuah klub. Dia bertemu dengan lima orang pria dan salah satu diantara mereka adalah makelar. Aku menangkap informasi dari pembicaraan itu kalau Shimon menjadikan puterinya sebagai jaminan selama sebulan selagi ia memperoleh uang untuk menutupi utang-utangnya.”
Penjelasan Raveen membuat tenggorakan Diane tercekat. “Jadi itu benar,,”
Kali ini Diane membuat Raveen tertarik. Jika ia tidak salah tangkap, Diane pasti telah mengetahui informasi ini sebelumnya. “Katakan, Manis. Bagaimana kau bisa tahu semua ini? Apa kau menemui seseorang?”
“Aku bertemu isterinya. Dia mengatakan Shimon menyerahkan Emma pada seorang makelar. Tapi aku tidak tahu motif itu sebelumnya. Isterinya memilih untuk menutupi semua itu.”
“Isteri?” kedua matanya disipitkan. “Aku tidak ingat Shimon memiliki isteri yang tinggal bersamanya.”
“Tentu saja. Shimon telah menikah lagi sejak dua tahun lalu. Wanita bernama Maggie itu mengakui dirinya sebagai isteri Shimon. Apa lagi yang kau dapat? Apa kau tahu dimana Emma berada?”
“Tidak. Tapi aku sudah menghubungi kontakku. Dia akan membantu kita. Dia kenal beberapa makelar di kota ini dan dia akan menyelidiki keberadaan Emma untukmu.”
“Kau bilang Shimon menjadikannya jaminan?”
“Ya.”
“Jaminan apa? Apa yang harus dipertaruhkan Emma?”
Pernyataan itupun tak terhindarkan. Seharusnya Raveen tahu bahwa tidak mudah menyembunyikan faktanya dari Diane. Pada akhirnya ia harus menjelaskan sesuatu yang sudah jelas tidak ingin ia katakan.
“Semacam b***k seks.”
“Oh Tuhan,..”
“Dengar, jangan katakan ini pada klienmu. Situasinya akan semakin buruk jika dia tahu. Sebaiknya kau lanjutkan saja rencanamu dan aku akan menghubungi kontakku secara berkala untuk memastikan Emma baik-baik saja.”
“Aku berterima kasih sekali. Jadi bagaimana dengan pertemuannya siang ini?”
“Aku rasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku baru saja menghubunginya dan dia sudah bersedia untuk membantu, jadi sebaiknya kita fokus pada masalah lain.”
Dahi Diane berkerut, mata birunya menyipit. Ia memperhatikan Raveen lamat-lamat sebelum bicara, “Masalah apa?”
Raveen menyeringai lebar hingga memperlihatkan lesung pipinya yang memesona. “Apa lagi? Masalahmu, Manis.”
“Oh,” Diane cepat-cepat mengalihkan wajahnya sebelum Raveen melihat rona merah yang perlahan mulai bersemi. Rona sialan yang dibenci Diane ketika terpana oleh pesona detektif tampan itu. “Sebaiknya kau antar aku ke Universitas sekarang. Aku harus melanjutkan studi ku.”
Tanpa komentar sedikitpun, Raveen menginjak pedal gas, mengendarai mobil menuju Universitas yang dimaksud Diane.
...
Sarah melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya sesekali. Ia telah menerima sepucuk surat atas nama Max yang mengatakan bahwa ia harus datang ke gudang penyimpanan di belakang tebing. Tepatnya satu blok dari gedung Universitas. Sudah lama sekali Max berniat untuk menemuinya. Terakhir kali pria itu mengatakan bahwa mereka harus menjaga jarak untuk sementara. Tidak boleh ada seorangpun yang tahu hubungan gelap yang terjalin di antara mereka. Surat yang dikirimkan Max ini mengejutkannya. Kenapa Max harus repot-repot mengirimkan surat hanya untuk menemuinya? Apa pria itu sudah bosan memakai cara praktis dengan mengirimkan pesan atau meneleponnya secara langsung? Tapi Sarah tidak peduli. Satu-satunya yang ia pedulikan adalah Max.
Ingatan ketika Max menariknya dan membawanya ke atas ranjang masih terasa segar. Sarah ingat betul hubungan panas dan kompleks yang mereka jalin di belakang Diane. Wanita itu memang sialan karena membuat Max menjauhinya. Dan lihat sekarang. Siapa yang akan ditemui Max? Tentu saja Sarah–bukan Diane. Itu berarti satu hal–Max masih menginginkannya.
Yah, siapa bilang menjadi p*****r dalam hubungannya sendiri itu menyenangkan? Tapi siapa yang peduli. Sarah mencintai Max dan Max hanya menginginkannya. Bayang-bayang erotis secara bergiliran muncul dalam benaknya, membuat bulu kuduk Sarah meremang. Max ingin mereka bertemu di tempat sesunyi ini. Pernyataan itu telah mengindikasikan satu hal. Memangnya apa yang akan dilakukan oleh pria dan wanita saat mereka menghendaki tempat sesunyi itu untuk jadi tempat pertemuan? Tentunya hal-hal yang membangkitkan gairah akan terjadi setelah ini.
Sarah menoleh ke segala sudut sekedar memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang akan menyadari keberadaannya selain Max. Kemudian ia menunggu. Berharap ponselnya berdering dan ia bisa mendengar suara Max disana.. atau jika beruntung Max bisa langsung menemuinya dan mengatakan betapa cantiknya setiap lekuk tubuh Sarah... Astaga, organ dalam tubuhnya sudah bereaksi hanya karena bayangan erotis itu. Sarah membutuhkan Max sekarang.
Lima menit dan belum ada tanda kemunculan Max. Sarah mengangkat ponselnya, berniat untuk menghubungi pria itu, namun niatnya terurung saat itu juga. Ia tidak akan merusak momen ini. Moment dimana ia harus menyiksa dirinya sendiri karena menantikan kedatangan Max.
Kemudian Sarah mendengarnya...
Suara gemerisik barang yang terinjak dari arah berlawanan. Ia tersenyum puas, menanti lengan besar Max merengkuhnya. Menanti pria itu menatapnya dengan kilat yang sarat akan gairah kemudian menyapukan bibirnya ke bibir Sarah dengan ciuman yang keras dan panas. Tapi tidak ada siapapun. Tidak ada yang terjadi. Sarah menunggu lagi. Menahan keinginan kuat untuk berbalik dan mendapati sosok Max disana. Ia ingin semuanya tampak seperti kejutan. Kemudian tidak terjadi apa-apa. Suara gemerisik itu telah lama berlalu dan digantikan oleh hembusan udara dingin yang menggantung di langit desember. Salju akan turun mala mini. Pikirnya. Tapi Max akan menghangatkan tubuhnya di ranjang. Nanti.
Sabar...
Dua menit berlalu, dan tidak ada siapapun. Merasa gusar dengan permainan Max yang terlalu lamban, Sarah menoleh. Melihat betapa senyapnya gudang penyimpanan itu. Barang-barang berhamburan di segala tempat. Kumuh, kotor. Cabang-cabang di setiap sudut ruangan membuat suasana menjadi semakin tidak menyenangkan.
Dan suara germerisik itu kembali lagi...
“Max!” seru Sarah dengan sedikit khawatir. “Max! Apa itu kau?”
Tidak ada jawaban.
“Max, aku tahu itu kau. Keluarlah sekarang! Berhenti membuat aku takut!”
Tidak ada jawaban.
“Max!” semakin lama seruannya semakin tinggi. Sarah mundur beberapa langkah ketika suara gemerisik dari arah yang tak menentu kian mengisi kekhawatirannya. “Max, keluarlah! Ini tidak lucu. Max,,,”
Sebuah jarum besar tertanam di bahunya. Sarah menengang dalam seketika. Pandangannya mulai kabur. Sebuah tangan mencengramnya dengan kuat. Mengirimkan semacam gelombang asing yang membuatnya mati rasa. Ia tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Semuanya tegang. Dan sebelum matanya terpejam, Sarah melihat seseorang dibelakangnya...
...
Hari sudah semakin siang ketika Diane meminta Raveen untuk melanjutkan tugasnya yang lain di kantor penyelidik selagi ia menyelesaikan studinya. Pria itu–dengan sedikit paksaan akhirnya bersedia untuk meninggalkan Diane sampai batas waktu yang mereka tentukan. Dan sekali lagi Diane lepas dari pengawasan Raveen. Setidaknya tidak aka nada orang gila lain yang berniat menampar wajahnya atas alasan cemburu, dan Diane tidak memerlukan Raveen untuk mengawasi setiap pergerakan orang-orang di Universitas tersebut. Raveen hanya akan menarik perhatian. Lebih-lebih Max. Kekasih yang baru saja berdamai dengannya sejak semalam itu segera menemui Diane begitu Raveen melenggang pergi. Seperti yang dipikirkan Diane, nampaknya Max salah paham dengan keberadaan Raveen.
“Siapa pria itu? Tunanganmu?” Tanya Max dengan sedikit ketus. Rona merah padam di wajahnya menjadi hiburan tersendiri bagi Diane. Mereka berjalan menyusuri lorong secara berdampingan. Membiarkan beberapa mahasiswa berlalu lalang seperti yang sewajarnya. Suasana di Universitas memang tidak pernah lepas dari keramaian.
“Kenapa kau begitu peduli?”
“Demi Tuhan, Sayang. Katakan saja siapa pria itu? Apa dia mengganggumu?”
“Tidak, dia melindungiku.”
“Apa?” Max berhenti sebentar. Tangan besarnya menghentikan Diane dan memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadap-hadapan. Sekilat Diane memperhatikan mata biru pucat Max yang tampak menyala di tengah lorong gelap. “Apa katamu?” ulang Max, segera mengalihkan perhatian Diane.
Diane tersenyum masam sebelum menjelaskan, “Aku bilang dia melindungiku. Atau sekiranya begitu.”
“Apa yang kau pikirkan, Sayang. Aku bisa melindungimu. Kenapa harus orang lain?”
“Dia seorang detektif, Max. Pengawal pribadiku. Sam yang membayarnya untuk menjagaku.”
Max mengernyitkan dahinya. Membuat Diane merasa bahwa pengakuannya barusan tidak lebih dari sekedar cukup. “Aku tidak mengerti. Untuk apa Sam mebayar seorang detektif? Apa ada sesuatu yang terjadi? Ini pasti hal besar, ya?”
Kedua bahu Diane terangkat. “Seperti yang kau tahu. Sam selalu melebihkan segalanya. Awalnya aku juga menolak, tapi aku tahu aku tidak bisa berbuat apapun.”
“Aku masih tidak mengerti.”
“Ceritanya panjang. Tidak sekarang. Akan ku ceritakan nanti.”
“Sebaiknya sekarang!” desak Max, kedua tangannya bertengger di bahu Diane.
“Tidak, Max. Sudah beberapa hari aku tidak masuk kelas. Aku harus mengejar pelajaran.” Jawab Diane sambil mengayunkan sebuah buku filosofi hukum yang ada dalam genggamannya.
“Kau janji akan menceritakannya?”
“Aku janji.”
“Baiklah, Sayang. Sampai jumpa lagi nanti. Aku pastikan aku akan segera menemuimu begitu kelasku usai.”
“Aku akan menunggu.”
Sekujur tubuh Diane hampir tegang ketika Max mendaratkan kecupan singkat di dahinya kemudian beranjak menjauh. Sudah sejak lama bahkan hampir tidak pernah ada pria yang menciumnya seolah Diane adalah miliknya seorang. Satu-satunya pria yang melakukan itu hanyalah papanya. Meski hidup dalam keluarga mewah dan suka memanjakan diri, Diane selalu bersikap dewasa dalam menjaga dirinya di hadapan pria. Pengalaman Emiline membuatnya takut. Tapi sebenarnya bukan itu. Diane memang tidak bisa berhenti untuk bersikap gugup jika dihadapi dengan seorang pria. Tapi ia mengenal Max. Lebih dari yang dirasakannya, ia percaya pada Max. Hanya saja Diane butuh waktu untuk menerima pria itu. Dalam beberapa detik Diane berhasil meregangkan kembali otot-ototnya yang hampir membatu. Max belum beranjak jauh darinya ketika ia ingat akan sesuatu.
“Max!” seru Diane. Suruannya kemudian membuat langkah Max tehenti. Ketika pria itu membalikkan tubuhnya, Diane mengatakan. “Besok Sam akan mengadakan pesta peresmian. Aku harap kau bisa datang.”
“Tentu saja, Sayang. Kapan pestanya dimulai?”
“Pukul depalan malam.”
“Aku akan datang.” Max melanjutkan langkah yang sebelumnya terhenti.
...
Rasa sakit yang ditimbulkan oleh goresan tali tambang di pergelangan tangannya membuat Sarah sadar. Butuh waktu semenit penuh sebelum ia bisa menyadari keberadaannya di gudang penyimpangan dengan sekujur tubuh yang terikat dan mulut yang disekap...
Astaga, ia dalam bahaya.
Sekarang Sarah mengingat semua detail kejadiannya. Ia menerima surat atas nama Max, kemudian ia datang ke gudang penyimpanan di belakang tebing dan seseorang menusuk bahunya dengan jarum suntikan yang berisi obat bius. Dan ia mengenali orang itu... sialan. Ia mengenalinya. Betapa bodohnya Sarah karena masuk perangkap orang yang berniat buruk padanya.
Pandangannya sontak teralih saat ia mendengar suara bedebum ponsel yang jatuh ke lantai gudang. Kemudian ia melihatnya lagi. Sang Murderer sedang berdiri di salah satu sudut ruangan. Tersenyum padanya–seperti orang yang tidak waras. Atau memang begitu. Orang ini sudah tidak waras. Dalam upayanya yang sia-sia, Sarah memberontak, mencoba untuk berteriak meminta pertolongan. Namun tidak ada siapapun dalam gudang selain ia dan orang gila yang terus tersenyum memandanginya.
Sekujur tubuhnya tegang ketika ia melihat cahaya menembus perak yang runcing dalam genggaman Sang Murderer.
Oh Tuhan,,, pisau. Jangan pisau.
Sarah berteriak dalam diam. Orang ini tentu tidak akan membunuhnya, tentu saja tidak. Tidak jika ia beruntung. Tapi ia salah besar. Sang Murderer mengangkat pisaunya. Merasakan tekstur lembut pisau itu di bawah sarung tangan hitam, kemudian mencium aroma kematian. Selalu menyenangkan jika kematian sudah dekat. Merasakan denyut jantung yang perlahan lemah kemudian pudar. Tidak ada kehidupan. Sang Murderer tertawa bebas. Merasakan kemenangan ada dalam genggamannya. Ia melihat Sarah lagi. Melihat keringat mulai membasahi dahi wanita itu. Sarah mungkin bukan target yang tepat, tapi kematian Sarah adalah peringatan untuk Diane. Ya,,, lagi pula p*****r ini pantas mati, kan? Tidak. Semua p*****r itu pantas mati. Ibunya juga sudah mati. Ibu yang ia sebut sebagai p*****r. Ingatan itu membuat Sang Murderer meringis, tapi kekecewaaannya sudah lama berlalu. Ia harus menyingkirkan yang pantas untuk disingkirkan dan pada puncaknya, ia akan bermain-main dengan Diane. Menyenangkan sekali melihat keluarga Hampton itu berduka atas kematian Diane. Puteri kesayangan sang hakim...
Persetan. Mereka semua akan mati. Hanya saja Sang Murderer ingin melihat penderitaan sebelum kematian itu. Penderitaan sebagai hukuman yang pantas bagi mereka.
Para pengkhianat.
Bajingan.
Keparat.
Wajah Sarah sudah lebih pucat dari kelihatannya. Seharusnya ia tidak membuang-buang waktu. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan ini. Setidaknya sebelum Diane menerima pesan itu dan datang, semua sudah harus ada pada tempatnya. Sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Kakinya melangkah maju. Lebih dekat dengan Sarah dan terhenti tepat di hadapannya. Ia tersenyum melihat ketakutan itu. Ketakutan yang terpancar jelas dari wajah Sarah–si p*****r kecil. Menarik sekali.
“Bagaimana rasanya, Sarah? Sakit?”
Suara teriakkan di balik kain penyekap membuat tawa Sang Murderer menggelegar.
“Sabar... jangan terburu-buru! Tentu saja aku akan mempercepat ajalmu. Tidak ada gunanya kau berteriak. Tidak akan ada yang menolong.”
Teriakan lagi.
“Sialan! Wanita jalang sialan! Berhenti berteriak!”
Dan pada teriakan selanjutnya, pisau itu telah tertanam. Tepat di atas jantungnya. Sarah memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya. Membawa aroma kemenangan yang menggantung di udara. Kemudian tawa Sang Murderer menggelegar.
Permainan sudah dimulai Diane...
Satu–kosong.
...
Di gudang penyimpanan.
Isi pesannya mengatakan demikian. Diane berkutat dengan pikirannya selama kurang dari sepuluh menit. Jadi, mengapa Sarah mengirimkan pesan itu melalui ponselnya? Seingat Diane masalah mereka sudah berakhir seiringan dengan berakhirnya tuntutan itu. Tapi itu menurut Diane–Sarah belum tentu beranggapan sama. Jadi Diane memberanikan diri untuk menemui Sarah. Diane bertekad akan menyelesaikan masalahnya dengan Sarah saat itu juga. Ia tidak bisa membiarkan ada satu orang saja yang membencinya. Tidak ketika Diane hanya menginginkan kedamaian.
Jalan setapak menuju gudang terlihat senyap. Namun hal itu terasa wajar. Sudah jarang sekali ada orang yang melintas di jalan ini. Jadi satu lagi pertanyaannya adalah–mengapa Sarah memilih gudang penyimpanan sebagai tempat pertemuan mereka? Apa tidak ada tempat lain untuk membicarakan masalah secara baik-baik? Seperti kafe atau kedai. Perasaanya didominasi oleh rasa khawatir. Meski begitu, tak sedikitpun menyurutkan niat Diane untuk meneruskan langkahnya menuju gudang penyimpanan.
Ia berhenti tepat di depan pintu. Menoleh ke sekitar untuk mencari keberadaan Sarah sebelum mengumpulkan keyakinan diri dan mendorong pintu. Tidak ada suara apapun. Tidak ada seseorang. Hanya kegelapan yang nyata. Diane menyusuri sepanjang gudang, tangannya merambat di dinding untuk mencari tombol lampu dan begitu ia menemukannya, lampu segera menyala. Menimbulkan bunyi klik dalam suasana senyap di dalam gudang. Diane mengerling ke sekitar. Merasakan aroma busuk atau bau darah yang menggantung disekitarnya. Mungkin halusinasinya terlalu berlebihan. Ia berjalan lagi. Selangkah demi selangkah dan pada satu titik, sepatunya menginjak sesuatu yang lembut dan bergerak. Perlahan-lahan Diane merundukkan kepalanya, mendapati sosok tubuh berlumuran darah di bawah kakinya.
Dan saat itulah Diane berteriak.
Tubuhnya terhuyung-huyung hingga membentur dinding. Kedua tangannya menutupi sebagian wajah dan sekarang Diane sudah benar-benar menangis. Ada begitu banyak darah. Ada pisau tajam yang tergeletak tak jauh dari mayat Sarah. Diane tersentak bukan main. Adrenalinnya terpacu. Ia tidak bisa bernapas dengan lebih baik. Darah membuatnya ketakutan. Diane tidak suka dengan darah. Terakhir kali ia melihat darah di kakinya karena infeksi, Diane jatuh pingsan. Lalu di usia remajanya, ia melihat Sam berkelahi dengan salah satu temannya hingga hidungnya mengeluarkan darah, Diane tidak bisa berhenti menjerit kalau Sam tidak memukul kepalanya dan membuat ia pingsan. Tapi itu hanya sebagian kecil. Sekarang, ada darah dimana-mana. Ada pisau. Darah di pisau, darah di tubuh Sarah, di wajah, di kulit pucatnya. Astaga, Diane akan kena serangan jantung!
Ia terhanyut dalam suasana mencekam ini sampai tidak sadar bahwa jeritannya telah mengundang banyak perhatian. Dua orang pria petugas keamanan yang sedang berkeliling segera menyerbu masuk ke dalam gudang begitu Diane berteriak. Seorang lainnya–mahasiswa Universitas yang sedang berjalan-jalan menyusul ke sumber suara. Mata mereka membelalak begitu melihat mayat wanita yang tersungkur berlumuran darah dengan pisau yang tergeletak tak jauh darinya. Kemudian tiga pasang mata itu tersorot pada Diane. Diane tidak bisa berpikir dengan lebih baik lagi. Mereka tentu tidak beranggapan kalau Diane yang melakukan semua ini, kan? Jika benar, Ya Tuhan... yang benar saja.
Ketika Raveen menyeruak masuk ke dalam gudang bersama lima orang mahasiswa lain yang penasaran, pikiran Diane semakin kalut.
“Diane,,”
Raveen mendekat. Diane segera menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan Raveen. Membenamkan wajahnya ke balik jaket kulit hitam yang dikenakan pria itu dengan napas yang tak lagi beraturan. Tidak mampu merasakan tubuhnya lagi. Lututnya lemas.
“Darah,,,” suara Diane terdengar lebih Rendah dari bisikan sehingga Raveen harus mencondongkan tubuhnya untuk mendengar dengan lebih baik. “Dia berdarah.”
Ketika semakin banyak yang berdatangan, Diane jatuh pingsan.
...
“Diane..?”
Suara itu begitu lembut begitu dekat, begitu jelas. Diane berusaha keras untuk membuka matanya ketika tangan yang kuat menyentuh wajahnya dengan sangat lembut. Perlahan, Diane mengerahkan tangannya untuk menangkup tangan besar itu, kemudian ia membuka matanya.
“Pelan-pelan saja!”
Ingatan akan kejadian sebelum ini terulang kembali. Ada darah, ada pisau, tubuh itu dilumuri darah. Banyak sekali darah...
Tubuh Diane hampir tersentak. Kemudian Raveen mengguncang bahunya hingga ia benar-benar sadar. Matanya terbuka lebar dan napasnya tidak beraturan. Diane bangkit dalam posisi duduk. Diluar kehendaknya ia medekap Raveen dengan begitu erat. Mencoba bersembunyi dari gambaran tubuh Sarah yang terus membayanginya seperti setan dalam film horror.
“Dia berdarah, Raveen! Dia berdarah!”
Diane merasakan tangan kekar Raveen membelai rambutnya–menenangkannya.
“Tidak apa-apa. Kau sudah aman sekarang. Hei, tidak apa-apa!” dengan sangat lembut, Raveen melepas Diane dari tubuhnya kemudian menangkup wajah wanita itu. Mata biru Diane bertemu pandang dengan intensitas mata emas Raveen. Raut wajah Raveen memberikan janji keamanan bagi Diane sehingga Diane kembali bernapas lega. Setidaknya untuk beberapa waktu. Meski bayang-bayang tubuh Sarah yang tergeletak bersimbah darah tidak akan pernah bisa terhapus dalam ingatannya.
“Raveen, bagaimana Sarah...”
“Sshhh... nanti. Jangan sekarang.”
Raveen menarik Diane dan menawarkan kehangatan dalam pelukannya, dan dengan senang hati Diane menerima tawaran itu. Untuk saat ini ia butuh ketenangan. Ia butuh seseorang untuk membuatnya merasa aman dan terlindungi. Diane bersyukur karena Raveen-lah orang itu.
Selama semenit penuh mereka tidak bicara. Diane menyibukkan diri dengan pikirannya sementara Raveen terus berusaha memberi kenyamanan bagi Diane. Dan pada satu titik, Diane mempertanyakan keberadaannya. Ia melepaskan diri dari Raveen. Melihat keadaan sekitar namun tidak mampu memahami dimana ia berada. Hanya beberapa almari kecil di ruangan itu. Tidak ada sofa, hanya ada tirai penutup.
“Dimana aku?”
“Kantor polisi.”
“Apa?” dahinya berkerut heran. Lebih mengunjukkan keterkejutan. Ketika ia membaca tatapan yang diberikan Raveen, Diane baru mengerti. “Tolong jangan katakan kalau kalian berpikir akulah yang membunuh Sarah.”
Raveen meraih bahu Diane. Meremasnya dalam upaya untuk menenangkan wanita itu. “Hanya ada kau disana. Petugas keamanan dan seorang mahasiswa itu jadi saksi. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku tidak punya bukti yang cukup kuat untuk membebaskanmu dari tuduhan. Unit TKP menemukan ponsel Sarah disana, orang terakhir yang dihubunginya sebelum kejadian adalah kau. Itu memperkuat dugaan kalau kau yang bertanggung jawab atas kematian Sarah.”
“Aku tidak,, maksudku, ya. Aku memang menerima pesan dari Sarah, tapi aku sama sekali tidak merancang pembunuhan apapun. Aku hanya menerima pesan untuk menemuinya di gudang dan begitu aku sampai disana, keadaan sudah kacau.”
“Kapan kau mendapat pesan itu?”
“Sepuluh menit sebelum aku memutuskan untuk pergi ke gudang.”
“Dimana kau saat menerima pesan itu? Apa ada seseorang bersamamu?”
“Di koridor. Dan ya, sebelumnya aku bicara dengan Victoria. Dia ikut kelas yang sama denganku. Kami keluar kelas bersama-sama.”
“Victoria..” Raveen mengulangi nama yang sama untuk mengingatnya.
“Jadi apa aku bebas? Demi Tuhan, bukti apa yang harus aku beri agar aku bisa bebas? Aku tidak bersalah!” Diane menegaskan kalimat terakhirnya dengan lebih lantang.
“Aku percaya padamu.”
“Ya, kau percaya. Dan aku tetap jadi tersangka. Demi Tuhan, Raveen... aku tidak membunuh Sarah!”
“Aku tahu. Karena itu kau akan menjalani penyelidikannya dengan tenang.”
Pernyataan Raveen sontak direspon dengan gelengan cepat. “Aku tidak akan menjalani penyelidikian atau interogasi apapun. Aku tidak bersalah!”
“Diane,, Diane,, tenang, jangan khawatir! Kau hanya perlu membuktikan kalau kau tidak bersalah. Katakan saja yang sebenarnya, dan kau akan dibebaskan. Apa kau mengerti?”
“Ini gila!”
“Semua yang terjadi memang gila.”
Ketika rasa tidak nyaman mulai melingkupinya, Diane mengguncang tubuh Raveen. “Aku mohon, bantu aku. Aku tidak membunuh Sarah!”
Raveen menangkup dua tangan kecil yang rapuh itu. Ia menatap Diane kemudian tersenyum kecil. “Semua akan baik-baik saja,” katanya dengan suara lembut. “Percayalah padaku.” Ia melanjutkan. Tatapan Raveen mengunci sekaligus membungkam Diane. “Apa kau mau semua ini segera berakhir?”
Diane mengangguk.
“Kalau begitu lakukan saja. Katakan yang sebenarnya, dan kau akan bebas. Aku ada bersamamu. Jangan khawatir!”
Kerenggangan yang terjadi diantara mereka dipecahkan oleh kehadiran seorang kepala penyelidik yang menerobos masuk. Pria bertubuh besar dan tinggi itu menegur Raveen tanpa basa-basi.
“Apa kau keberatan? Miss Hampton harus segera memberi keterangan.”
Raveen berbalik, menatap polisi itu dengan tajam sebelum berpaling pada Diane kemudian beralih pada polisi itu lagi. “Dia baru saja siuman. Beri dia waktu beberapa menit lagi.”
“Pihak polisi sudah menunggu tiga jam untuk mendapat keterangan itu. Seandainya Miss Hampton tidak keberatan...”
“Tentu saja,” ujar Diane. Ucapannya berhasil mengalihkan perhatian Raveen. Dengan sedikit kenyitan pada dahi, Diane sudah berhasil meyakinkan Raveen bahwa ia siap menghadapi apapun yang terjadi. “Aku sudah siap memberi keterangan.”
Dibantu Raveen, Diane turun dari kasur pasien kemudian beranjak mengikuti kepala penyelidik yang keluar lebih dulu dari mereka.
Sekali lagi Diane harus menghadapi interogasi seperti yang sebelumnya, hanya saja interogasi kali ini lebih menyudurkannya seolah ia adalah kambing hitam dalam masalah yang sama sekali tidak ia mengerti. Sesuai dengan apa yang dikatakan Raveen, Diane memberi keterangan yang sebenarnya. Kejadian yang ia alami sejak semalam, perseteruannya dengan Sarah hingga ia menemukan wanita itu disana. Beruntung Raveen ada disana. Menemaninya. Sesuai dengan apa yang dijanjikan pria itu pada Diane. Dan sekali lagi Diane harus berterima kasih karena Raveen menyelematkannya dari tuduhan dengan meminta kepala penyelidik untuk menghubungi Victoria. Meminta pengakuan dari wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu bahwa Diane ada bersamanya ketika pembunuhan terjadi.
Kehadiran dan pengakuan Victoria telah meredakan tuduhan tak beralasan pada Diane. Kemudian ada dua saksi lain yang mengaku ada bersama Diane sepanjang jam pelajaran. Diane tidak mencuri jam pelajaran sedetikpun untuk melakukan aksi kriminal itu. Semakin banyak saksi, tuduhan atas Diane semakin menipis. Meski begitu bukti bahwa Diane orang terakhir yang dihubungi Sarah tidak bisa ditepis begitu saja. Keputusan finalnya, kepala penyelidik itu memberi kebebasan pada Diane sampai mereka berhasil menemukan fakta siapa pembunuh Sarah yang sebenarnya. Entah apa yang dikatakan Raveen sampai pria itu memutuskan demikian. Yang pasti Diane berhutang terima kasih pada Raveen. Tapi jika dipikir-pikir, ia tidak bersalah dan terbebas dari tuduhan memang sudah menjadi haknya, jadi apa yang perlu diberi terima kasih?
Semua berjalan begitu lamban dan Diane baru bisa kembali sebelum tengah malam. Tapi kabar buruknya adalah, beberapa polisi sedang melakukan penyelidikan di suite nya untuk mencari bukti tentang pembunuhan ini. Atas alasan yang sama Diane terpaksa menerima tawaran Raveen untuk menginap di apartemen pria itu sementara waktu. Kalau ia beruntung, semua hanya akan berlangsung dalam waktu sehari semalam. Kalau tidak,, yah ia bisa menghabiskan satu minggu yang membosankan bersama Raveen karena kasus sialan ini.
Apartemen Raveen terletak di tengah keramaian kota. Lokasi yang menurut Diane sangat tidak strategis dan disisi lain sangat menjamin keamanan. Setidaknya apartemen itu ramai sepanjang waktu sehingga tidak memungkinkan orang sinting mengendap-endap ke dalam suite untuk meletakkan surat teror gilanya. Sungguh ironi. Diane tidak mungkin berharap dapat tinggal lama disana bersama Raveen. Tidak ketika teror gila itu sudah berakhir. Untuk sementara ini, ia harus berjaga. Berada di dekat Raveen mungkin akan menjamin keamanannya.
Raveen memutar kenop pintu kemudian mendorong pintu suite dengan ruangan yang besar dan dekorasi yang sederhana. Dindingnya dilapisi oleh wallpaper dengan tema yang begitu sederhana. Barang-barang tertata rapi, diletakkan sesuai dengan tempatnya. Mengherankan memang, tapi mengingat bagaimana Raveen, semua jadi terasa wajar. Begitu Diane melangkah masuk, aroma wewangingan yang begitu maskulin menyeruak masuk dalam indra penciumannya. Aroma khas Raveen yang ia suka. Konter dengan meja yang terbuat dari kayu ek terdapat di sudut kiri ruangan. Tidak banyak hiasan dinding, hanya beberapa lukisan kecil yang diduga Diane sebagai fasilitas apartemen. Di sudut kanan terdapat tirai jendela dan ditengah ruangan ada tiga sofa empuk juga satu sofa malas. Televisi besar menggantung disudut dinding. Dilietakkan dalam posisi yang begitu strategis sehingga orang bisa melihatnya dari sudut manapun. Tidak ada barang-barang antik. Hanya ada setumpuk buku di lemari kayu dan rak yang dipenuhi oleh sepatu. Lantainya terbuat dari kayu halus dan tidak bercorak. Ruangan itu mengingatkan Diane dengan motel yang pernah ia kunjungi dalam perjalanan bersama Emiline sekaligus ruangan yang menjadi faforitnya.
“Lakukanlah apa yang perlu kau lakukan. Jangan terlalu canggung. Kalau kau mau mandi, kamar kecilnya ada di dalam. Aku akan memakai kamar kecil umum untuk sementara. Kau bisa menggunakan kamarku selagi kau disini. Kalau ada yang kau butuhkan, katakan saja.”
Raveen menujukkan Diane kamar yang ada dalam suite tersebut sekaligus kamar kecilnya. Sama seperti ruang depan, dua ruangan dalam satu tempat itu tidak kalah bersihnya. Kamar kecilnya beraroma segar. Identik dengan aroma tubuh Raveen dalam beberapa kesempatan saat Diane memeluknya. Suite ini tidak terlalu buruk untuk ditempati. Jauh dari bayangan Diane, ia akan nyaman untuk tinggal walau hanya sementara. Kemudian Raveen berbalik. Pria itu belum sempat melangkah ketika Diane bicara.
"Sebebarnya aku ingin bilang terima kasih,"
Raveen tersenyum lebar, memperlihatkan sederet gigi putih dan lesung pipi yang memesona. "Aku rasa itu saja tidak cukup. Setelah semua masalah yang kuhadapi aku pantas mendapatkan lebih."
Diane bersungu-sungut. Tingkahnya memecah tawa maskulin Raveen. Kemudian ia merenggut tas punggung berisi baju miliknya dari genggamam Raveen. "Jadi apa yang kau inginkan? Seember bir? Pesta makan malam? Sekoper uang?"
"Nanti akan kupikirkan. Sebaiknya aku pergi. Ingat, jika butuh sesuatu katakan saja."
"Tentu saja."
Membasuh tubuhnya dengan air panas adalah ide yang menyenangkan. Setelah semua yang ia lewati hari ini, Diane ingin memanjakan diri. Selama beberapa hari belakangan ia jarang sekali melakukanya–bukan berarti sekarang waktu yang tepat. Kalau dipikir dengan lebih baik memang bukan. Ia ada di apartemen Raveen, bahkan di dalam suite pria itu. Tapi siapa yang tahu kalau Diane akan memiliki kesempatan yang sama di lain waktu? Jadi ia melakukannya. Menghabiskan waktu selama satu jam penuh di dalam kamar kecil, untuk membersikah diri, membasuh tubuhnya dengan air hangat dan melepas semua kepenatan itu seiring dengan air yang mengalir jatuh dari tubuhnya.
Kejadian Sarah membuat Diane trauma. Sebelumnya ia tidak pernah melihat orang mati. Dan sekarang Diane menyaksikan itu tepat di depan matanya sendiri. Diane beruntung karena tidak menyaksikan secara langsung detail pembunuhannya. Sarah sudah pasti dibunuh. Ada pisau sebagai barang buktinya disana. Dan tubuh wanita itu, bersimbah darah. Sangat banyak sampai membuat bulu kuduk Diane meremang tiap kali mengingat gambaran yang sama. Tapi Diane tidak membiarkan ketakutan mendominasi pikirannya sepanjang waktu. Terlalu banyak masalah yang harus ia pusingkan sekarang. Terutama masalah Shimon dan nasib Emma. Nasib gadis malang itu tergantung pada seberapa cepat Diane mengambil tindakan. Emma benar-benar akan celaka di tangan seorang makelar yang berniat menjadikannya sebagai b***k seks. Sementara Emma masih telalu dini untuk hal-hal seperti itu.
Lepas memanjakan tubuhnya, Diane kembali dengan kaos longgar berwarna putih polos dan celana santai sepanjang lutut. Ia mengambil waktu satu jam untuk mengeringkan rambut dan mengepakkan barang-barangnya. Setidaknya Diane membawa semua peralatan yang dibutuhkan selama beberapa hari. Beruntung Raveen memberinya kesempatan untuk mengambil semua barang-barang itu jauh sebelum mereka pergi ke apartemen ini. Jadi Diane tidak perlu belanja baju dan barang-barang baru untuk beberapa hari kedepan. Diane berharap ia bisa tinggal lebih lama. Ia merasa aman disini. Tidak ada teror dan orang sinting yang melempar surat kaleng hingga membuat kaca suite nya pecah. Pilihannya hanya dua. Tinggal bersama Raveen untuk sementara waktu atau kembali ke rumahnya yang megah dan menjalani keseharian yang membosankan bersama Sam. Tentu saja pilihan kedua bukan ide yang menyenangkan. Jadi Diane hanya bisa berharap Raveen tidak keberatan dengan keberadaannya dengan waktu yang lebih lama disini. Ya semoga saja ia bisa.
Rasa lapar mengambil alih kendali pikirannya. Diane tidak ingat kapan terakhir kali ia makan, tapi yang pasti cacing dalam perutnya sudah tidak bisa menunggu lagi sekarang. Ketika ia membuka pintu kamar, aroma daging yang dipanggang dan kopi panas segera menyeruak dalam indra penciumannya, menjawab semua masalah yang dialami oleh perut kurus Diane.
“Akhirnya si siput keluar,” Diane menjulurkan kepalanya melihat Raveen tengah berdiri di konter dengan beberapa alat masak. “Kau tahu berapa lama waktu yang kau ambil untuk bersolek?”
Pria itu terlihat lebih bersih dari sebelumnya. Diane menduga kalau Raveen baru saja bercukur. Rahangnya sudah bersih dan rambut cokelat gelap Raveen masih terlihat basah, meski begitu tidak sedikitpun mengurangi aura maskulin yang selalu mencuri perhatian Diane. Raveen mengenakan kaos biru gelap, hampir samar dengan warna hitam bila dilihat dari jauh dan jins longgar sepanjang mata kaki. Otot-ototnya lebih kentara dengan balutan kaos yang mengepas. Sebelumnya Diane selalu melihat tubuh Raveen terbungkus oleh kemeja dan jaket kulit hitam yang biasa dikenakan pria itu. Tapi sekarang ia tahu bahwa tubuh Raveen lebih kekar dan mengagumkan dari yang ia bayangkan.
Mengabaikan penampilan Raveen yang mengusik pikirannya, Diane mengangkat bahu dengan tidak acuh sambil berjalan dan menarik kursi di dekat konter. “Aku melakukannya hampir setiap hari. Sebenarnya aku tidak bersolek. Hanya mandi sebentar.”
“Sebentar, ya? Luar biasa sekali. Kau mengambil waktu dua jam untuk mandi. Apa setiap wanita melakukannya?”
“Kenapa kau begitu peduli?”
“Aku hanya penasaran,” Raveen mendorong sepiring daging panggang yang telihat masak dan beraroma sedap ke hadapan Diane kemudian mematikan mesin pemanas kopi sebelum mengambil secangkir penuh kopi hitam. “Aku yakin kau pasti lapar.”
Diane tidak malu-malu ketika menerima piring itu kemudian mulai melahap jatah makanannya dengan antusias. Rasa manis dan gurih memberi aroma yang begitu sedap. Sekarang mulutnya penuh dengan potongan-potongan kecil daging panggang. Ia menelan daging itu dengan tidak teburu-buru sebelum bicara, “Bagaimana kau tahu kalau aku lapar?” tanya Diane. Kedua tangannya sibuk menyiapkan potongan kedua daging panggang untuk dimakan.
Raveen meletakkan secangkir kopi di dekat piring makan Diane, sementara ia menyesap secangkir kopi lainnya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan wanita itu. Ia mengerling dengan tidak acuh. “Kelihatan jelas. Hampir seharian ini kau belum menyentuh makanan apapun. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, kita sudah bersama sejak kau mengganggu tidur nyenyakku pagi tadi dan meminta aku untuk membuntuti Shimon.”
Diane tertawa pelan. “Kau tidak makan?”
“Sudah. Satu jam yang lalu. Menunggu ayam betina sedang mengeram telur di kamarku terasa membosankan, jadi aku pikir sebaiknya aku makan duluan.”
“Sudah aku bilang aku hanya mandi.”
“Mandi dan sedikit berdandan.”
“Aku tidak menyentuh make-up sedikitpun.”
“Tentu saja karena aku tidak punya meja rias di kamarku.”
Sekali lagi Diane tertawa pelan. Tawa yang mulai dikagumi Raveen. Pria itu baru menyadari kalau ini adalah kali pertama Diane tertawa di depannya. Bukankah itu pertanda baik?
“Masakanmu boleh juga.”
“Jangan menyinggungku dengan cara halus seperti itu. Aku tahu rasanya tidak lebih baik dari makanan murahan yang di jual di emperan jalan. Terkadang dagingnya telalu masak dan aku lupa memberi garam sehingga rasanya hambar.”
Diane memasukkan potongan kecil daging panggang ke dalam mulutnya. “Oh, mungkin ini keberuntunganku. Semua bumbunya terasa.”
“Itu berarti aku tidak perlu menyiapkan kantong muntah untukmu.”
“Apa selalu seperti itu?”
“Begitulah. Sedikitnya aku selalu menyediakan tiga kantong muntah sebelum memasak.”
Selama beberapa detik Raveen hanya memperhatikan Diane, sesekali ia menyesap kopinya lalu melirik wanita itu lagi dari balik cangkir. Diam-diam ia mengagumi Diane. Cara wanita itu menikmati masakannya, cara Diane menguyah, wajah anggun Diane meski tanpa polesan make-up dan banyak lagi. Raveen berharap ia punya waktu banyak untuk memperhatikan Diane. Kalau diperhatikan dengan lebih baik, paras Diane menarik. Wanita itu tidak mirip dengan Sam, tidak juga dengan kakak perempuan tertuanya–Emiline atau dengan sang Hakim. Raveen bertanya-tanya apa paras Diane mewarisi gen ibunya yang sudah meninggal sejak wanita itu masih berusia sepuluh tahun? Kemungkinan besarnya ya. Karena Diane begitu unik dan berbeda dari saudara-saudaranya yang lain.
Pikiran Raveen segera beralih ketika Diane mendorong piring yang kini sudah kosong kemudian meraih cangkir kopi dan menyesapnya dengan cara yang membuat lutut Raveen lemas.
“Bagaimana kau ada disana?”
Perntanyaan Diane sedikit membuat Raveen terkejut. Pria itu bersikap seolah Diane secara tiba-tiba membuat Raveen harus mengalihkan pikirannya sementara Raveen belum begitu siap untuk topik pembahasan baru.
“Apa katamu?”
Diane meletakkan cangkirnya dan memandangi Raveen dengan siku bertopang di atas meja konter. “Bagaimana kau bisa ada di Universitas itu? Sebelum aku jatuh pingsan, kau masuk ke gudang penyimpanan bersama lima orang pria lainnya. Kau seharusnya ada di tempat lain.”
Cara Diane memandangnya membuat Raveen tertawa–sekaligus membuat wajah Diane merona karena salah tingkah. Namun, yang membuat Raveen lebih tertarik adalah pertanyaan Diane barusan. “Apa kebiasaanmu itu belum hilang sejak lima belas tahun lalu, Diane?”
Dahi Diane berkerut dengan heran. “Kebiasaan?”
“Ya, kebiasaanmu menghitung sesuatu sebelum kau pingsan. Aku bahkan tidak menyadari berapa banyak pria yang datang bersamaku ke gudang itu.”
Rona merah muda menghias wajah Diane. Wanita itu merunduk dalam upayanya menghindari tatapan Raveen. Ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri jika membiarkan Raveen melihat rona sialan itu–lagi. Tapi pernyataan Raveen tentangnya membuat ia malu. Diane tidak pernah tahu kalau Raveen satu-satunya orang yang menyadari kebaiasaan aneh Diane yang suka menghitung sebelum pingsan. Lima belas tahun lalu, ia menghitung tujuh bintang yang berputar di atas kepala Sam setelah bola basket menghantam kepalanya. Kejadian yang serupa juga dialami Diane ketika ia menghitung berapa banyak dokter serta perawat yang berhamburan sebelum ia jatuh pingsan begitu tahu dirinya akan menjalani operasi kecil. Tapi itu hanya satu dari sekian banyak kebiasaan aneh Diane. Tentu saja Diane tidak berniat untuk mengunjukkan yang lainnya di hadapan Raveen. Ia bersyukur jika Raveen tidak menyadarinya. Rona merah muda adalah satu dari sekian banyak kebiasaan memalukan ketika Diane merasa gugup. Jika ia terus bersikap demikian, mungkin Raveen akan menyadarinya bahkan lebih buruk menertawakannya. Oh, yang benar saja. Menjadi bahan hiburan bagi pria tampan ini adalah hal terakhir yang diinginkan Diane.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Cetus Diane.
“Jadi kau percaya kalau aku menuruti perintahmu untuk kembali ke kantor dan menyelesaikan beberapa tugas disana sementara aku tahu kalau pembunuh berdarah dingin sedang mengincarmu?”
“Maksudmu,,, kau tidak pergi?”
-
BAGIAN 10