Bagian 11

5779 Words
Hari ini adalah hari besar bagi Sam. Pesta peresmian proyek baru kakaknya akan menjadi pesta yang besar. Diane tidak tahu berapa banyak undangan yang akan hadir dalam pesta tersebut, yang pasti Sam memintanya untuk jadi pendamping. Pilihannya adalah tampil menarik atau mempermalukan Sam di depan seluruh para undangan. Emiline telah mengatur beberapa hal penting seperti hidangan pesta, alunan musik dansa, dekorasi ruangan dan lebih banyak dari yang Diane tahu. Ia beruntung karena Sam tidak memintanya untuk mengatur semua itu karena Diane memang tidak begitu suka dengan pesta dansa. Membosankan. Selagi menunggu kabar dari kontak Raveen yang menyelidiki keberadaan Emma, Diane bisa mempersiapkan diri mulai sekarang. Ia, Jules dan Regan sudah membuat janji akan bertemu di Road City pukul sepuluh pagi. Sementara itu Diane akan bersiap-siap. ia butuh beberapa barang untuk dikenakan malam pesta nanti. Ya apa salahnya memanjakan diri? Lagi pula Diane sudah lupa kapan terakhir kali ia berbelanja. Biasanya ia hanya pergi belanja bersama Jules dan Regan. Pergi belanja bersama seorang detektif akan menjadi momen yang jarang. Menarik sekali. Diane butuh waktu kurang dari satu jam untuk bersolek. Ia hanya mengenakan setelan kemeja putih yang dibalut oleh mantel hitam favoritnya kemudian dilengkapi oleh jins berwarna biru pucat. Syal dari kain satin yang lembut berwarna kelabu melingkar di seputar leher. Rambut hitam ikalnya tergerai ke belakang punggung. Goresan eyeliner yang lembut berpadu dengan nuansa biru gelap matanya yang nampak berkilau. Polesan tipis lipstik berwarna ungu pucat menyatu dengan kulit kecokletan itu. Seperti biasa, Diane tidak memakai riasan yang mencolok. Hanya bot berbulu berwarna cokelat gelap yang ia kenakan sedikit menarik perhatian. Siapapun wanita akan iri dengan penampilan Diane. Pikir Raveen. Dan hanya pria bodoh yang tidak tertarik dengan Diane. Ia sendiri bahkan ingin meneteskan liur tiap kali rambut hitam itu berkibar lantaran tertiup angin kemudian mengumpul lagi jadi menjadi satu dan membingkai wajah Diane dengan begitu anggun. Sangat cantik. Sangat menarik. Raveen membayangkan akan seperti apa rasanya jika ia menyentuh rambut itu. Apa rambut itu sehalus kelihatannya? Apa rambut itu akan tetap terlihat berkilau dalam ruang gelap? Ya, lalu bagaimana rasanya jika ia menyentuh wajah itu. Kulit yang lembut di bawah sentuhannya sudah cukup untuk merangsang gairah. Persetan, membayangkannya saja sudah membuat Raveen marasakan tonjolan keras di bawah jinsnya. Sialan. Penampilannya tidak semenarik Diane, tapi Raveen memang tidak pernah peduli. Rambut cokelatnya sudah hampir panjang dan acak-acakan. Sepertinya ia melupakan jadwal mencukur rambut. Jaket cokelat yang ia kenakan membalut kaos dalam berwarna putih polos sekaligus menyembunyikan senjata yang siaga di balik punggung. Jins yang ia kenakan berwarna hitam. Warnanya hampir pudar. Dilengkapi oleh bot yang biasa dikenakan. Tidak begitu menarik. Tidak setara dengan standar seorang puteri dari Hakim Agung–Diane Hampton. Bagi Raveen, penampilan hanya unsur penunjang ketertarikan bukan berarti ia akan mengabaikannya, tapi jika sudah berurusan dengan selera wanita, pria mana yang bisa bertahan? Kebanyakan pria tidak begitu peduli dengan style. Atau mungkin memang hanya ia yang tidak peduli. Tapi apa itu penting? Raveen menyukai penampilannya. Pendapat orang tidak begitu penting bagi Raveen. Berbelanja adalah hal terakhir yang diinginkan Raveen. Kutukan apa yang menyertainya sampai ia harus menemani tiga orang wanita berbelanja, memanjakan diri dan duduk di tempat yang nyaman sambil mengobrol sementara orang lain sibuk dengan rambut mereka. Hari ini bukan hari keberuntungannya. Sejak pertama kali mendengar kata ‘belanja’ ia telah meutuskan bahwa ia membenci hal itu. Tapi Diane memintanya untuk tetap tinggal. Menemani mereka memnjakan diri sepanjang hari sementara Raveen mau muntah. Astaga yang benar saja. Apa Diane ingin bermain-main dengannya? Jika memang benar, maka wanita itu berhasil. “Kau ikut bersama kami!” pinta Diane. Samar-samar Raveen mendengar kecaman tersirat dalam nada suara itu. Jules dan Regan berdiri di samping mobil Diane mengangguk setuju. Raveen tersenyum pada dua wanita itu, namun ia juga tidak bisa menyembunyikan suasana hatinya yang kacau. Ini tidak akan terjadi. Ia tidak akan ikut bersama tiga wanita itu untuk belanja. “Maaf Miss Hampton, ku pikir aku tidak dibayar untuk menemanimu berbelanja.” “Memang tidak,” aku Diane, bahunya terangkat dengan tidak acuh. “Tapi kau dibayar untuk memastikan keamananku.” “Apa yang kau pikirkan sampai seorang pembunuh berani mengusikmu di tengah keramaian?” “Itu mungkin saja terjadi. Tidak ada yang tahu, kan?” “Kau harus ikut bersama kami, Detektif Alex!” suara Regan menyusul di belakang. Raveen berbalik untuk memberi wanita itu senyuman manis. Kemudian Jules mengangguk dengan setuju. “Akan sangat menyenangkan kalau kau ikut,” ujar Jules. Sambil menghela napas panjang, Raveen bicara, “Baiklah karena kalian memaksa.” Raveen mengikuti langkah mereka masuk ke dalam gedung tempat pusat perbelanjaan. Kalau indra mendengarannya tidak salah, ia bisa mendengar tawa cekikiran Diane yang berjalan lebih depan. Tentu saja ia tidak salah. Wanita itu pasti senang karena berhasil membuatnya kesal. Itu pasti. Diam-diam ia menggerutu sendiri. “Aku benci ini, aku benci ini...” Tawa Diane hampir pecah ketika mendengar suara itu. Apa yang dipikirkan Raveen? Apa pria itu tidak sadar kalau Diane bisa mendengarnya? Membuat Raveen kesal ternyata cukup menyenangkan juga. Sepuluh menit untuk satu sepatu. Itu janji Diane sebelum memasuki toko sepatu bersama kedua temannya. Hanya satu sepatu dan sekarang sudah hampir satu jam. Raveen menunggu di kursi yang disediakan oleh pemilik toko, menghitung detik demi detik, menit ke menit, dan berakhir pada satu angka. Melihat seorang pelayan toko menawarkan sekurangnya lima belas sepatu pada ketiga wanita itu, lalu mereka mencobanya satu per satu. Tertawa sesekali. Mencari warna bagus yang menurut Raveen semua barang-barang itu sama tidak menariknya. Atau karena ia sudah bosan. Ia mau muntah tiap kali seorang wanita berambut pirang yang duduk di kursi kasir memandanginya sambil tersenyum. Kemudian datang hampir tiga kali untuk menawarkan secangkir brendi yang mereka punya dengan kualitas terbaik–tapi Raveen menolak. Pertama dengan sedikit lembut. Kemudian tawaran selanjutnya ia tolak dengan jengkel. Ketiga ia hampir gusar. Dan jika ada babak selanjutnya, Raveen akan mencekik wanita pirang bertubuh mungil itu. Sialan, yang ia butuhkan saat ini adalah kantong muntah. Itu pertama. Yang kedua, keluar dari tempat mengerikan ini secepatnya. Tidak ada yang lebih menyiksa ketimbang menunggu para wanita memilih satu sepatu selama berjam-jam sementara dua orang pelayan terus berusaha menggodanya. “Mana yang lebih bagus?” Raveen mengalihkan tatapannya dengan sedikit terkejut ketika Regan datang dengan dua sepatu berwarna jingga dan biru terang. Wanita itu mengangkat dua sepatunya sampai sejajar bahu sambil menyunggingkan seringaian lebar. Seolah Raveen tertarik saja. Sambil membalas senyum manis itu, Raveen menjawab, “Dua-duanya bagus.” “Tidak, pasti ada salah satu yang lebih bagus.” Merasa bahwa perbincangan itu hanya akan membuat penyiksaannya semakin panjang, Raveen segera memutuskan, “Aku suka yang biru.” Entah karena pandangannya yang kabur lantaran kepalanya sudah pening atau memang nyata, Raveen melihat kerutan di dahi Regan. Oh, sepertinya wanita itu tidak akan berhenti menambah penyiksaan Raveen. “Sayangnya aku punya gaun berwarna jingga yang sangat cocok dengan sepatu ini. Tapi aku juga suka yang biru.” Sial. “Kalau begitu kenapa tidak kau beli dua-duanya saja?” “Ide bagus.” Raveen menghela napas ketika Regan kembali bergabung dengan dua temannya. Ketika ia mengira bahwa penyiksaannya akan segera berakhir, pelayan berambut pirang itu datang lagi. Raveen menggeram dan berharap semoga wanita itu mendengarnya, tapi ia salah. Ketika wanita itu mengedipkan sebelah matanya dengan cara sensual, Raveen membelalak. Ia baru menyadari satu hal. Pakaian penjaga kasir ini terlalu ketat. Membentuk lekuk tubuhnya yang mungil dan hampir datar seperti papan kayu. Tingginya hanya mencapai seratus lima puluh lima sentimeter, sementara rambut pirangnya dijalin hingga mengembang besar dan memperlihatkan bentuk kepalanya yang kecil. Terlalu berlebihan. Pikir Raveen. Sebelum ia memikirkan yang lebih jauh lagi, wanita itu sudah merapat duduk di sampingnya lalu tersenyum manis. Astaga, apa lagi sekarang. Raveen beringsut dalam upayanya yang sia-sia ketika wanita itu tetap mendekat. “Aku sudah bilang aku tidak ingin minuman apapun. Terima kasih. Kau bisa cari tempat lain untuk duduk sekarang.” “Sebenarnya aku hanya ingin mengobrol,” aku wanita itu. Satu tangannya yang kecil melingkar di sekitar lengan Raveen yang berotot. Raveen bisa merasakan wajah wanita itu merona begitu menyentuh lengannya. Kemudian entah bagaimana mata hazel wanita itu sudah terfokus pada bibirnya dengan cara yang menurut Raveen terlalu memancing emosi. Atau mungkin sensasi. Ya, gairah lebih tepatnya. Kilat tajam sekilas melintas ketika wanita itu membasahi bibir bawahnya sampai membuat Raveen meringis. Ya ampun, ia juga pria normal. Siapa yang peduli? Sejauh ini Raveen tidak pernah menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita karena ia memang sengaja menjaga diri dari makhluk paling menggoda seperti wanita. Mungkin sekarang Raveen tahu alasannya, tapi ia harus tetap terkendali. Ia harus berpikir dengan akal sehatnya atau pelayan kecil ini akan membuat Raveen gila. “Permisi,” Raveen menjauhkan tangan wanita itu dari lengannya. “Aku pikir kau punya banyak pelanggan yang harus dilayani.” “Panggil saja Danna.” “Ya, Danna.” Danna mendekat. Mencoba mengalihkan perhatian Raveen, namun pria itu tidak menatapnya. Wajahnya tetunduk dengan cara yang membuat Danna semakin memesona. “Kau disini bersama siapa?” Oh, sial. Sepertinya wanita ini tidak mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jangan menyentuh’. Raveen hanya mengangguk kemudian berpaling seakan-akan ia sama sekali tidak acuh dengan keberadaan Danna yang jelas-jelas telah mengusik ketengan Raveen. Ya ampun, Raveen benar-benar ingin muntah sekarang. “Apa kau punya kekasih?” Astaga, wanita ini bicara dengan blak-blakan. Sekali lagi Raveen tersenyum. Kilat jahil melintas di mata emasnya ketika ia bertemu pandang dengan Danna. “Menurutmu, apa aku punya kekasih?” “Aku pikir punya atau tidak bukan masalah besar. Ada bar di dekat sini,” Raveen berharap ia tidak menyadari maksud tersirat dari pernyataan terakhir Danna, tapi sayangnya Raveen tidak bodoh. Wanita ini berniat menggodanya atau bisa lebih buruk lagi. Jadi sebaiknya ia mengabaikan maksud tersirat itu. “Oh ya, aku tahu.” “Aku selalu datang setiap malam. Apa kau suka bar, minum-minum, dan… wanita.” “Aku suka semuanya.” “Itu bagus. Tidak ada pria yang bersamaku malam ini,” Danna mendekat. Satu tangannya sudah melingkari lengan Raveen. Bahkan wanita itu nyaris memeluk Raveen. “Kita bisa…” “Permisi!” seruan Diane terdengar begitu tegas dan ketus. Nyaris membuat Danna terlonjak dari posisinya ketika Raveen segera bangkit berdiri. “Ah, kau datang, Sayang.” Raveen mengedipkan satu matanya pada Diane sebagai isyarat. Danna menyusul bangkit dengan perasaan kesal yang sangat kentara bahkan tanpa harus dilihatpun Raveen bisa menyadari wanita itu tengah bersungut-sungut. Raveen hanya memperhatikan tatapan tajam Diane yang terfokus pada Danna, dan ia sudah bisa menebak situasinya. “Siapa dia?” tanya Danna dengan gusar seolah seseorang telah menggangu momentumnya menggoda pria tampan yang akan dijadikan umpan nanti malam–jika memang benar. Raveen yakin pasti benar. Bar, minuman keras, wanita, apalagi kalau bukan seks. Ketika Diane membuka mulut untuk angkat bicara, Raveen membungkam wanita itu dengan jawaban singkat. “Perkenalkan dia,,, isteriku,” Diane membelalak. Matanya terbuka lebar. Kemudian Jules dan Regan menyusul di belakang Diane. Raveen segera mengambil tindakan cepat. “Dua dua wanita ini, puteriku,” Raveen menunjuk Jules. “Dia… Janet dan Julia. Puteriku yang paling manis.” Ketika Danna diam sambil melongo, Raveen bisa merasakan aroma kemenangan yang menggantung di udara. “Kami keluarga bahagia,” ujar Raveen, sedikit terlalu melebih-lebihkan. “Ya,,, mungkin itu yang membuat aku dan isteriku terlihat awet muda.” “Apa yang dia bicarakan,..” ucapan Jules menggantung ketika Raveen menarik Jules mendekat kemudian melingkarkan satu tangannya di bahu Jules. “Oh, apa yang baru saja papa ajarkan, Sayang? Bersikaplah yang sopan.” Diane mendelik kesal. Dan bisa dipastikan Raveen wanita itu akan mengoceh sepanjang perjalanan. Tapi yang terpenting tidak sekarang. Raveen menyeringai lebar, kemudian menarik Diane dalam pelukan yang ia rasa sedikit dipaksakan karena Diane mulai memberontak, menatapnya dengan tatapan yang mengatakan bahwa-jelaskan-padaku-sekarang!. “Aku juga mencintaimu, Sayang. Jangan melihatku seperti itu! Aku pikir kau sudah selesai dengan sepatu-sepatu itu dan mari kita kunjungi toko lain di gedung ini. Ayo, ayo..” Secapat mungkin Raveen menarik tiga wanita itu untuk keluar dari toko sepatu sebelum melepas rangkulannya dari Diane. “Apa itu?!” tanya Diane begitu ia lepas dari genggaman Raveen. Pertanyaannya sedikit menuntut. Raveen berpikir bahwa menjelaskan bukanlah ide yang menarik. “Lupakan saja. Aku memang tidak waras sesekali.” Kemudian ia beranjak pergi melalui tiga wanita itu dengan perasaan gusar. Jules dan Regan memberi tatapan heran di bekang Raveen. Dua wanita itu kemudian menatap Diane. “Aku terkejut pria tampan seperti Alex bisa jadi gila sesekali.” “Aku juga,” timpal Diane, tidak tahu mana yang lebih ia percaya. Kemudian waktu berjalan dengan sangat lamban. Tiga jam berikutnya dihabiskan Raveen untuk menunggu sementara tiga wanita itu cekikikan di ruang kecantikan. Memata rambut mereka, menghias wajah mereka dengan selai putih polos dan mentimun di mata. Raveen lebih suka jika mentimun itu di makan. Kenapa para wanita selalu melakukan hal-hal aneh terhadap buah dan sayuran? Yang benar saja. Dua jam lagi mereka mengobrol di kedai. Bertukar pendapat tentang kematian Sarah secara blak-blakan. Sesekali membuat Diane bergidik ketakutan, sesekali membuat Diane tertawa cekikikan. Astaga… waktu terasa berputar lambat dalam penderitaan. Hari yang panjang...  ... Beruntung semua itu berakhir sebelum Raveen memutuskan bahwa ia ingin mati. Dan semua penjarahannya terbayar oleh kepuasan malam ketika Diane keluar dari kamar dengan balutan gaun hitam berpotongan rendah setinggi lutut kemudian di tambah dengan renda yang menutupi bagian d**a. Syal setinggi lutut menggantung di salah satu bahu Diane. Raveen hampir tercekat ketika Diane berbalik untuk menatapnya kemudian senyum lebar tersungging di wajah wanita itu. Selama sesaat Raveen lupa bagaimana cara bernapas. Tatapannya meluncur dengan liar ke setiap lekuk tubuh Diane. Wajahnya yang anggun, lalu turun pada tulang selangka yang ditutupi renda namun masih bisa terlihat kentara, pinggul yang ramping, sepasang kaki dengan kulit mulus yang jenjang dan sepatu berhak tinggi yang dikenakan Diane, kuku-kuku jarinya yang mengilap. Ya ampun, Diane benar-benar cantik. Siapa pria yang bisa berpaling dari wanita ini? Raveen ragu jika memang ada pria yang tidak tertarik pada Diane. Tatapan Raveen terasa tajam, begitu intens hingga membuat Diane merunduk untuk memastikan tidak ada yang salah dengan gaun yang ia kenakan. Atau mungkin gaunnya memang terlalu ketat. Raveen hanya menatapnya, namun Diane merasa pria itu seakan telah menggerayangi setiap lekuk tubuhnya. Diane tidak biasa mendapat perhatian sebesar ini dari seorang pria, maka jelas jika ia gugup. Bisa jadi penampilannya terlalu mencolok atau vulgar. Sampai malam ini Diane belum pernah merasa begitu terekspos. Dan sekarang, Raveen memandanginya seolah ia adalah hidangan pembuka yang lezat dan manis... Dibalut jas hitam dan kemeja berlengan panjang, Raveen nampak sangat menawan. Pria itu memang tampan. Hanya saja mala mini terasa jauh lebih menawan. Cambangnya sudah dicukur dan rambutnya tidak seberantakan pagi tadi, meski begitu tidak sedikitpun mengurangi ketampanan Raveen. Diane merasa rona pink mulai menghiasi wajahnya. Apa Raveen sadar bahwa penampilannya bisa saja menarik seluruh perhatian para undangan wanita? Sejujurnya Diane tidak begitu suka. Tidak. Sebenarnya ia suka, hanya saja jika ada wanita lain yang tertarik pada Raveen.. Oh, tentu saja tidak. Lagi pula apa kepentingannya? Ia tidak bisa berhenti memandangi Raveen dan entah bagaimana Diane juga merasa sebaliknya. Tapi seharusnya ia tidak perlu begitu peduli. Pria ini memang tampan, Diane mengakui. Bukan berarti Raveen telah memikat Diane. “Kau cantik.” Komentar Raveen membuat Diane merona. Sekali lagi ia harus berusaha keras menyembunyikan sensasi merah muda yang menjijikan itu. Jika memang benar Raveen sedang berusaha merayunya... yang benar saja. Diane tidak termakan rayuan. Tapi siapa yang dapat memungkiri bahwa mungkin Raveen menjadi satu-satunya pria yang bisa merobohkan benteng pertahanan itu. Ketika Diane mendekat, Raveen merasa udara di sekitar mereka semakin tipis. “Itu karena kau yang melihatnya.” “Tidak. Aku serius. Kau benar-benar cantik.” Tatapan Diane menyelidik. Wanita itu berusaha mencari kilat jahil yang melintas di mata emas Raveen, namun tidak berhasil. Diane melihat ketulusan disana. Hanya ada ketulusan yang jarang ia temukan di mata pria lain. Meski kelihatan kejam, dingin dan arogan, tatapan Raveen mampu menjanjikan satu hal pada Diane. Satu hal yang tidak pernah Diane rasakan terhadap rentetan pria dalam kehidupannya. Kebahagiaan. Siapa yang menyangka Diane bisa menemukan rasa itu dalam sosok Raveen? Ia tidak begitu percaya dengan seorang pria. Diane sudah banyak belajar dari lingkungannya yang luas. Sejauh ini Diane belajar bahwa begitu banyak pria di kalangannya yang selalu menganggap wanita itu sebagai hal yang remeh. Tidak jauh lebih penting dari hidupnya, tapi Diane merasakan hal yang berbeda terhadap Raveen. Pria ini menjanjikan keamanan, kenyamanan bahkan kebahagiaan yang masih sulit untuk dimengerti. Sebaiknya ia tidak perlu mengerti lebih jauh. Diane tidak akan memulai sesuatu yang tidak bisa ia selesaikan. Diane berdeham. “Aku anggap itu sebagai pujian, Detektif.” Raveen baru tersadar dari lamunannya tentang Diane. Fantasi yang membuatnya semakin tergila-gila pada wanita ini. Siapa bilang berada dekat dengan Diane merupakan suatu keuntungan? Satu-satunya yang bisa menyiksa Raveen adalah Diane. Berada di dekat wanita itu membuat Raveen ingin menyentuhnya, memilikinya.. sementara ia tidak bisa melakukan dua hal itu. Hubungannya dengan Diane sebatas rekan bisnis biasa. Raveen menjamin keamanan Diane dan Diane mempercayai Raveen untuk menjamin keselamatannya. Betapa membosankannya bila tinggal bersama wanita cantik dengan beribu fantasi gila sementara ia tidak punya kesempatan sedikitpun untuk mewujudkan salah satu fantasi itu. “Apa kau sudah siap?” tanya Raveen, merasa terusik oleh pertanyaannya sendiri yang kurang tepat. Namun ia hanya berusaha menyuarakan apa yang melintas di pikiran. “Tergantung apa pendapatmu tentang gaun ini?” Diane beringsut lebih dekat dan merendahkan suaranya. “Apa gaunnya terlalu ketat?” Ya, karena Diane yang mengenakannya tidak kelihatan buruk. Justru mempertegas lekuk tubuh yang indah itu. Begitu pas, begitu anggun. Apa gaunnya terlalu ketat? Raveen ingin tertawa. Tentu saja. “Tidak.” Ia berdusta. Tapi tidak sepenuhnya berdusta mengingat apa yang dipikirkannya tentang Diane dan gaun hitamnya yang seksi. Gaunnya membungkus tubuh dan pinggul ramping Diane dengan sangat apik. Lebih tepatnya elegan. Diane sangat cocok mengenakan gaun itu. Seketat apapun gaunnya, Diane tetap terlihat cantik. Tapi bagaimana jika seluruh pria di pesta nanti akan memperhatikan Diane dengan cara yang sama seperti Raveen memperhatikannya? Bukankah itu sama saja seperti membiarkan Diane menjadi bahan tontonan para pria? Pemikiran itu membuat Raveen gusar. Mungkin sedikit konyol, hanya saja ia merasakan sensasi aneh begitu tahu Diane akan menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata. Siapa yang bisa menjamin kalau ternyata beberapa dari pria itu adalah pria bermata jelalatan? Raveen mendekat, tangannya meraih syal yang menggantung di bahu Diane, melentangkan syal tersebut kemudian melilitkannya ke seputar d**a dan pangkal leher Diane. Sekarang semuanya aman. Tidak akan ada pria yang bisa membayangkan surga apa yang ada di balik syal hitam ini. Kalau hanya ada ia dan Diane, mungkin Raveen membenci syal yang menghalangi pemandangan indahnya ini, tapi kalau ada ratusan pria dalam satu ruangan yang sama, Raveen memberkati syal itu untuk tetap berada di tempat yang seharusnya. “Sudah lebih baik.” Diane mencium aroma maskulin itu ketika Raveen mendekat. Ia berupaya keras untuk menelan liurnya serta mengabaikan sensasi aneh yang mulai merambat di sekujur tubuh. “Aku pikir aku sudah siap.” Raveen tertawa. Tawa yang membuat Diane semakin merona. Mereka tidak bicara lagi sampai mobil yang mereka tumpangi melintas di tengah keramaian kota. Hari sudah gelap dan akan semakin gelap sebentar lagi, namun kota masih saja terasa ramai, padat dan menyesakkan.  ... Pestanya begitu besar. Terlalu besar untuk ukuran orang kumuh yang tinggal di gubuk bobrok seperti ia. Apa yang ia kenakan tidak begitu mewah dan berkelas, namun masih bisa ditolerir ketika bergabung di tengah keramaian. Sang Murderer tersenyum, sekaligus merasa sesak karena dirinya bisa bergabung dalam acara semewah ini. Ia mengakui bahwa Samuel benar-benar hebat. Keturunan si b******n Maccon yang berbakat. Bisnisnya sukses besar dan hanya dengan menjentikkan jari, Sam akan kaya tujuh turunan. Luar biasa menarik. Ia tidak memakai hiasan yang mencolok, tidak juga tampil biasa. Ia tidak berbaur namun tidak juga menutup diri. Ia tidak membiarkan cerminan asli dirinya mendominasi. Bagaimanapun, ia tidak bisa membiarkan orang lain curiga atas segala tindak tanduknya. Tidak ketika rencananya sudah sampai di tengah jalan. Matanya terus menyapu sekitar mencari dimana Diane berada. Rumah ini masih sama seperti yang dulu. Terakhir ia memijakkan kakinya disini adalah lima belas tahun yang lalu ketika sang Hakim menyelenggarakan pesta yang hampir tidak kalah besarnya dengan pesta ini. hanya saja ia sudah merasa lebih tua disini. Lebih kuat. Lebih mendominasi. Ia tidak serapuh dulu lagi. Tangannya sudah membunuh beberapa nyawa. Ia sudah tidak sabar menanti tangan ajaibnya melakukan sesuatu pada Diane. Mencekik wanita itu mungkin bukan ide yang menarik. akan ia gunakan trik itu untuk Sam. Menguliti Diane akan menjadi pertunjukan yang sangat menarik. Ia hampir tertawa, tapi tawanya tertahan di tenggorokan. Jangan sampai tingkahnya jadi pusat perhatian. Di setiap sudut ruangan hanya ada tamu, mungkin Diane ada di ruang dalam. Itu berarti ia harus menunggu. Tapi dimana tempat yang cukup menarik untuk menunggu Diane? Tentu saja... Sang Murderer berjalan menjauh dari rerumunan menuju balkon yang hanya dihuni oleh beberapa orang. Ia melihat Sam disana, sedang bicara dengan seseorang... Sam yang manis sudah jadi pria kaya sekarang. Setelah jas berwarna hitam yang melekat di tubuhnya dengan sangat pas dan pastinya harga jas itu sangat mahal. Desainnya terlihat sama seperti jas pria pada umumnya, namun yakin kalau teksturnya beda. Benar-benar pria idaman. Sayangnya ia yang harus mengakhiri ajal pria itu.   Diane berhenti di tengah ruangan. Pandangannya teralih ke berbagai sudut ruangan. Entah ia berhalusinasi atau memang nyata, Diane bisa merasakan beberapa sorot mata terarah tajam padanya–atau pada Raveen. Hal serupa jelas membuat Diane terusik. Ia mendekat sekedar berbisik pada Raveen. Pria itu harus mencondongkan tubuh untuk melihat Diane dengan lebih jelas. “Ada apa, Manis? Kau terlihat gugup.” “Apa penampilanku kelihatan aneh?” “Bukankah aku sudah bilang kau kelihatan cantik?” “Bukan itu. Kenapa tiga pria disana melihatku begitu?” Raveen mengarahkan pandangannya ke tempat dimana tiga pria dengan setelah tuksedo yang dimaksud Diane tengah berdiri memandang mereka dengan sorot tajam. Kemudian Raveen tertawa. “Ku pikir hampir semua orang melihatmu seperti itu.” “Aku tidak bisa berdiri dengan tenang saat semua orang melihatku seakan aku ini stiek kentang yang gurih.” “Aku tidak melihatmu begitu.” “Oh ya, lalu seperti apa aku dimatamu?” “Seperti sebutir rasberi yang segar dan siap untuk dimakan.” Diane terperanjat. Apa yang dipikirkan Raveen sampai mengingatkan Diane pada buah favoritnya? Persetan, apa maksud Raveen atas perumpamaan itu? Diane memutuskan bahwa sebaiknya ia pura-pura tidak peduli. Atau memang karena ia mulai khawatir. Ketika Raveen tertawa lagi, urat sarafnya yang tegang mulai mengendur. Astaga Diane suka mendengar suara tawa itu. Yang membuat ia terkejut sekaligus heran adalah ketika Raveen menawarkan satu lengannya pada Diane. “Kalau begitu akan jauh lebih aman bila kau bersamaku, Manis. Mereka tidak akan melihatmu seperti itu lagi begitu tahu kalau kau sudah ada yang punya.” “Dan kau tidak akan bisa bicara begitu lagi ketika aku bilang aku sudah punya kekasih. Apa aku lupa mengatakan yang satu itu padamu?” “Aku ingat sekali yang satu itu,” satu tangan Raveen yang bebas menepuk lengan yang sebelumnya ia tawarkan untuk Diane. Satu alisnya terangkat dan semburat jahil melintas di wajah tampan itu. “Tapi untuk saat ini, sebaiknya kau cari aman.” Sambil mendengus kesal Diane melingkarkan satu tangannya di lengan Raveen. Melumat habis jarak yang ada di antara mereka. Membuat tubuhnya dengan tubuh Raveen begitu dekat. Kemudian sesuai yang dikatakan Raveen, perlahan tatapan-tatapan beberapa undangan itu mulai berpaling dari mereka. Syukurlah... tapi Diane justru mendapati dirinya enggan melepas Raveen. Mereka berjalan melintasi area pesta untuk mencari keberadaan Sam. Pada satu titik, Diane menemukan Sam sedang berdiri disana. Di balkon yang dibingkai oleh pintu besar yang membelalak. Sam sedang bicara dengan kekasihnya–Dean. Nampak sangat serius karena kakaknya terus berusaha menangkup wajah Dean sementara Dean sendiri berupaya menjauhkan tangan Sam dari wajahnya. Yah, seperti biasa mungkin mereka sedang bertengkar. Diane terkejut kekasih Sam itu datang di acara pesta besar. Tapi Sam sudah sering sekali membujuk Dean. Diane tidak habis pikir apa yang diinginkan Sam dari wanita itu? Sam jelas pantas mendapatkan yang lebih baik. Hubungan kakaknya dengan Dean tidak pernah berjalan mulus, tapi Diane kagum karena mereka masih sanggup bertahan sampai saat ini. Setelah lama tidak melihat Dean, Dean sudah mengalami banyak perubahan sekarang. Tubuhnya sedikit lebih kurus. Wanita itu mengenakan gaun berwarna kelabu yang nampak serasi dengan kulit dan rambut gelapnya. Matanya yang membuat Diane terkesima masih sama seperti dulu. Mata yang begitu serupa dengan Sam. Jadi Dean juga belum menikah? Kalau Sam benar-benar mencintai wanita itu kenapa ia tidak menikahinya saja? Namun, Diane ragu kalau Dean akan menjadi ipar yang baik untuknya. Yah, setidaknya Sam harus punya pendamping, kan? Kakaknya sudah cukup umur. Hidupnya juga sudah lebih dari sekedar mapan. Jadi apalagi yang ditunggu Sam? Sebenarnya Diane lebih memedulikan satu hikmah di balik semua itu. Kalau Sam menikah, Sam tidak akan punya kesempatan untuk mengusik hidupnya lagi. Astaga, Diane bisa saja mendesak kakaknya untuk segera menikah, dengan begitu ia bebas dari satu kungkungan. “Aku pikir sebaiknya aku menemui Emiline lebih dulu.” “Aku akan menunggu disini,” putus Raveen. Ia membiarkan Diane pergi dan hilang di tengah rerumunan pada undangan. Emiline nampak di sudut ruangan. Perutnya yang sudah buncit membuat Diane mudah mencari wanita itu. Dengan balutan gaun ukuran ibu hamil berwarna kuning yang menyatu dengan kulit pucat dan rambut pirang wanita itu, Emiline nampak sangat anggun. Kulit Emiline mewarisi gen ayahnya sementara rambut pirangnya mewarisi gen Katherine Hampton–ibu mereka. Kakaknya Emiline tidak begitu gemuk namun tidak juga kurus. Mengingat Emiline sudah jadi ibu dari satu anak dan sekarang usia putera pertamanya sudah mencapai enam tahun. Kakaknya yang satu ini sudah mengalami banyak peubahan sejak menikah. Emiline yang biasanya suka bersantai di rumah sekarang menjadi ibu rumah tangga yang super sibuk. Bukan hanya mengurus Diaval Allister jagoan kecilnya, tapi juga dituntut untuk mengurus suaminya–Jack dan bayi mereka yang ada dalam kandungan. Setelah hampir lima bulan tidak melihat batang hidung kakaknya ini, wajar jika Diane merindukan Emiline. Dan sekarang adalah kesempatan yang ia miliki untuk melepas kerinduan itu. Sejak Katherine meninggal karena kecelakaan, hanya Emiline yang berperan sebagai ibu dan kakak bagi Diane. Tapi sekarang semuanya berbeda. Setelah menikah Emiline tinggal bersama Jack di kota asal pria itu, Chicago. Menjalani rumah tangga mereka disana dan Diane kesepian lagi. Hanya ada ayahnya yang hampir setiap hari keluar kota dan kakaknya yang suka mengatur-atur, Sam. “Emiline!” Emiline memutar tubuhnya begitu mendengar aksen kental yang familier bahkan hampir mirip dengan suaranya. Itu Diane. Senyum merekah memperlihatkan lesung pipi yang dalam di wajah cantik Emiline. Mata hijaunya masih semurni zamrud–persis seperti yang Diane kenal. Rambut pirang Emiline membentuk jalinan kepang yang panjangnya sepinggul. Meski sudah menjadi ibu dari satu anak atau mungkin dua sebentar lagi, Emiline teta terlihat cantik seperti Katherine. Mungkin kecantikan kakaknya mewarisi kecantikan Katherine Hampton. Wanita itu tertawa kecil sebelum bergegas mendekat dan memusnahkan jarak diantara mereka dengan dekapan erat. “Oh, Diane! Aku sangat merindukanmu...” “Itu yang baru saja ingin ku katakan,” dengan sangat berhati-hati, Diane melepas dekapan Emiline kemudian menurunkan pandangannya pada perut membuncit Emiline. Kalau tidak salah ingat, usia kehamilan Emiline saat ini sudah beranjak delapan bulan lima belas hari. Hanya dalam hitungan hari, Diane akan mendapat keponakan baru. Astaga, apa ia sudah begitu tua? “Hei, hati-hati! Aku khawatir bayi dalam perutmu merengek.” Emiline tertawa. Tawa yang sudah lama tidak di dengar Diane. Sepertinya suasana hati Emiline sudah lebih cerah sekarang. “Kau datang terlambat, Diane.” “Astaga, jangan terlalu berlebihan. Pestanya bahkan belum dimulai.” “Aku berniat untuk bertukar pendapat padamu tentang dekorasi ruangan. Sam tidak mengatakan apapun kalau kau memutuskan untuk pindah.” “Hidup mandiri,” ralat Diane. “Aku ingin hidup mandiri.” Mata Emiline menyipit. “Itu tidak kedengaran seperti kau.” “Kapan kau menilaiku dengan lebih baik? Yah, aku sudah mengerti. Kau, Sam dan papa sama saja. Selalu menganggap aku seperti bocah ingusan yang tidak bisa hidup mandiri.” “Kenapa sikapmu jadi begitu melankolis?” “Entahlah. Akhir-akhir ini otak dan tubuhku bekerja dengan lebih keras dari yang sebelumnya.” Sambil membimbing Diane berjalan ke dekat buket bunga kiriman dengan kartu ucapan, Emiline tersenyum manis. Tangannya yang kecil menyentuh lengan adik bungsu yang ia sayangi itu. Mencoba memberi kehangatan bagi Diane. “Itu awal dari kehidupan yang kau inginkan Diane. Kalau kau melangkah lebih jauh, kau akan menemukan yang lebih keras lagi. Suka atau tidak, kau harus siap.” “Tolong katakan kalau kau sedang tidak mempengaruhiku untuk kembali ke kehidupanku yang membosankan itu, ya?!” Untuk kali kedua, Emiline tertawa. Ia harus mengadahkan kepala untuk menatap mata biru Diane secara langsung. Jika disetarakan dengan Diane, Emiline memang tampak lebih mungil. Tingginya tidak lebih dari seratus enam puluh dan flat shoes yang ia kenakan malam ini membuat pendek tubuhnya semakin kentara jika dibandikan dengan Diane yang mengenakan sepatu berhak tinggi. “Aku hanya mencoba mengingatkanmu.” Perbincangan mereka sempat terhenti karena kedatangan sosok pria tinggi dengan tubuh besar dan berotot yang dikenal Diane sebagai Jack. Setelah menikah, iparnya ini juga mengalami perubahan fisik. Jack terlihat sedikit lebih gemuk dari biasanya dan cambang yang tumbuh di sekitar rahang pria itu hampir membuat Diane tidak bisa mengenalinya dengan baik. Tapi Jack masih terlihat tampan seperti lima belas tahun lalu. Si penunggang kuda yang memesona. Siapa yang bisa melupakan itu? Sudah lebih dari sepuluh tahun Jack hengkang dari pekerjaannya sebagai pemain rodeo dan mulai menjejaki dunia bisnis. Sekarang pria itu memiliki sedikitnya tiga ruko dengan perputaran yang cukup sukses sehingga lebih dari mampu membiayai kehidupan rumah tanggganya bersama Emiline dengan putera dan calon bayi mereka. Meski sudah tidak berhubungan dengan hewan-hewan ternak lagi, bagi Emiline, Jack tetap pria yang dicintainya. Koboi-nya . Pria penakhluk kuda jantan. Begitulah sebutan Diane untuk Jack. Jack merangkul Diane dengan rangkulan yang tak kalah hangatnya seperti Emiline. Pria itu memperhatikan segala perubahan Diane dengan antusias sebelum mneyeringai lebar. “Wah, Dissy, kau tampil cantik dari biasanya.” Dissy. Begitulah panggilan Jack untuk Diane sejak pertama kali melihat Diane. Entah dari mana koboi itu menemukan nama yang sangat aneh untuk Diane, namun Diane cukup senang dengan panggilan Jack. Karena memang ia sudah terbiasa. Ketika Emiline merenggut kesal, Jack meraih salah satu tangan isterinya kemudian mendaratkan kecupan yang dipikir Diane terlalu lama di punggung tangan Emiline. Senyum Emiline merekah kembali. “Dan tentunya isteri mungilku ini jauh lebih cantik.” Jack melanjutkan. Diane mengerling dengan jengkel. Ia cukup mengenal Jack. Tidak. Diane sudah mengenal Jack. Kebiasaan memang sulit dihapus. Termasuk kebiasan Jack yang suka merayu setiap wanita. Awalnya sikap Jack itu membuat Diane ragu kalau Jack pantas untuk Emiline. Ia bahkan nekat mencampuri hubungan asmara mereka sewaktu usianya masih dua belas tahun, tapi sekarang situasinya berbeda. Diane sudah mengenal Jack dengan jauh lebih baik dan ia percaya bahwa dibalik sikap Jack yang suka merayu setiap wanita, pria itu sangat mencintai Emiline lebih dari siapapun. Hanya mencintai Emiline. Semuanya sudah tebukti hanya dengan melihat kemesraan mereka yang nyaris membuat Diane iri. Melihat cara Jack menatap Emiline dengan ketulusan yang begitu dalam, cinta yang begitu luas sampai tidak dapat terdefiniskan, Diane terus berpikir kapan ia bisa mendapatkan tatapan yang sama seperti itu. Tentu saja suatu saat nanti Diane akan memiliki seorang suami. Tapi pertanyaannya adalah, apakah suaminya nanti akan menatap Diane dengan ketulusan yang sama seperti saat Jack menatap Emiline? Apa Diane akan melihat cinta yang sama seperti yang diunjukkan Jack terhadap Emiline? Ya, Raveen menatapnya dengan binar kagum ketika melihat penampilan Diane beberapa jam yang lalu. Tatapan yang menurut Diane tidak akan pernah ia dapatkan dari pria manapun. Raveen menatapnya seolah Diane adalah manifestasi dari segala keindahan di dunia sampai pria itu tidak sanggup untuk berpaling. Raveen menatapnya seolah Diane adalah hal besar yang bisa mengalihkan dunianya. Raveen menatap Diane seolah Diane diibaratkan seperti permata yang tak ternilai harganya dan pantas untuk diperjuangkan. Raven menatapnya seolah... Sialan. Kenapa harus Raveen? Tapi Diane hanya berusaha menyesuikan fakta. Hanya itu yang terbesit dalam benaknya, jadi ia bisa apa? Memikirkan Max? Berbohong pada dirinya sendiri bahwa Max pernah menatap Diane dengan cara yang sama seperti Raveen menatapnya? Mustahil. Apapun asal jangan Raveen. Apapun asal jangan Raveen. “Diane?” teguran Jack membuat Diane sadar dari lamunannya. Tubuh Diane hampir beguncang begitu Jack menyentuh bahunya yang tegang atas pemikiran tersebut. “Ya?” “Apa kau baik-baik saja?” Baik-baik setelah apa yang baru saja ia pikirkan? Jawabannya jelas tidak. “Tentu saja.” Diane berbohong. Diane paling pandai berbohong. “Aku pikir Sam ingin bicara denganmu.” “Ya, aku baru akan menemuinya.” Diane meremas bahu Emiline sebelum kakaknya mengangguk kemudian ia berlalu pergi. Sam entah bagaimana sudah ada meja tempat disediakannya wine dan gelas kosong. Kakaknya itu nampak serius bicara dengan Raveen. Walau sesekali mereka saling tertawa, kemudian nampak serius lagi, tertawa lagi dan serius lagi. Astaga, apa yang dibicarakan makhluk aneh yang menyebut dirinya sebagai ‘kuda jantan’ itu? Ketika akhirnya sorot mata Raveen bertemu pandang dengan Diane, pria itu memberi isyarat pada Diane untuk mendekat. Sam tanpa basa-basi segera menenggelamkan tubuh ramping Diane dalam dekapannya. Aroma khas Sam yang familier meneruak dalam indera penciuman Diane. “Sam, berhentilah menyiksaku seperti ini,” Diane merengek sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari dekapan Sam. “Aku bukan anak kecil lagi!” ketika akhirnya ia berhasil melepaskan diri dari kungkungan itu, Diane mendelik marah pada Sam. Anehnya pria itu justru tertawa. Diane menoleh pada Raveen dan melihat ekspresi yang tak jauh berbeda menjengkelkannya. “Ah, akhirnya aku bisa kembali,” ujar Sam “Aku senang bisa melihatmu lagi.” Diane memutar bola matanya dengan jengkel. “Aku sebaliknya.” “Astaga Diane, apa saja yang sudah terjadi dua hari ini? Kau kelihatan kacau sekali.” Pertanyaan Sam sontak membuat Diane berpaling pada Raveen. Diane mengira Raveen akan mengatakannya, namun ia justru melihat pria itu bergeming tak mengucapkan sepatah katapun. Diane dapat bernapas lega. Setidaknya Raveen bisa menyimpan semua kejadian itu tanpa harus memberitahukan Sam. Sudah dipastikan Sam akan menyeret Diane untuk pulang dan mengurungnya di kamar begitu tahu kalau Diane hampir saja terlibat dalam kasus pembunuhan seorang mahasiswi. Ya ampun, jangan sampai. “Tidak ada apapun,” Diane berdusta tanpa mengalihkan sorot intensnya dari mata emas Raveen. “Semua baik-baik saja.” “Acaranya akan dimulai sepuluh menit lagi, sebaiknya aku bersiap-siap.” Sam menepuk bahu Raveen kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah memastikan mereka sudah jauh dari jangkauan pendengaran Sam, Diane beringsut mendekat kemudian berbisik, “Terima kasih untuk semuanya.” “Untuk apa?” dahi Raveen mengeryit. “Menjaga rahasia itu dari Sam. Aku yakin Sam akan menyeretku kembali ke rumah dan mengunciku di kamar begitu tahu apa saja yang sudah terjadi selama dua hari ini.” “Sebenarnya aku baru saja ingin mengatakannya pada Sam.” Diane mendelik, Raveen menyeringai. “Jangan coba-coba! Atau kau ku pecat.” “Tukang gertak.” - BAGIAN 11
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD