Bagian 8

6092 Words
Interogasi itu berjalan sesuai dengan yang semestinya terjadi. Seorang polisi dengan tubuh tegap berkulit hitam yang meminta keterangan pada Sarah dan Diane itu akhirnya luluh. Tapi Raveen menjadi satu-satunya orang yang menyesal atas pilihan Diane untuk tidak membawa perkara itu lebih lanjut ke pengadilan. Bagaimanapun Diane tidak bisa berpikir dengan lebih baik atas pertimbangannya membebaskan Sarah dari tuduhan. Tapi sepertinya wanita itu begitu tulus. Raveen mengagumi Diane dalam hal ini. Hanya saja dilain perkara, tidak ada kata elas kasih dalam kamusnya. Tersangka tetaplah tersangka. Tidak peduli sekecil apapun masalahnya, tersangka tetap harus menerima hukum yang pantas. Diane terus berusaha menyakinkan kepala polisi lokal bahwa masalahnya dengan Sarah hanya masalah sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan. Sederhana sekali. Sarah tebakar cemburu karena Max memilih Diane. Jadi tidak ada keterikatan atau pelanggaran hukum apapun dalam masalah ini. Tindakan kasar Sarah terhadapnya sudah Diane anggap tuntas. Diane memaafkan Sarah sepenuhnya meski ia belum yakin kalau Sarah juga akan bersikap demikian. Tapi membebaskan Sarah dari jerat hukum yang tidak pantas diterima seseorang hanya karena masalah sepele sudah membuat Diane tenang. Setidaknya ia melakukan hal yang benar. Mungkin dengan kejadian ini Sarah akan berpikir dua kali untuk menyerangnya kembali. Ya, jadi semua sudah selesai. Diane menyetujui pilihan untuk menyelesaikan masalah mereka secara pribadi dan dengan begitu, ia dan Sarah dibebaskan. Diane melihat Sarah membaur dengan kota begitu cepat seolah merasa seperti burung yang baru saja tebebas dari kandangnya. Wanita itu menghilang sepecepat kedatangannya satu jam lalu sebelum menyerang Diane. Sarah belum mengatakan apapun saat ia bersama Diane digiring Raveen untuk keluar dari kantor polisi. Diane hanya melihat tatapan membara yang ditinggalkan wanita itu sebelum rambut pirang merah Sarah menghilag di tengah rerumunan pejalan kota. Washington nampak ramai malam ini. Luka memar di wajahnya yang berdenyut-denyut membuat Diane merindukan ranjang dan ingin kembali sesegera mungkin. Ditemani Raveen, ia berkendara menuju apartemennya. Tertidur pulas di dalam mobil membawa dua keberuntungan dalam waktu yang bersamaan untuk Diane. Pertama, ia mendapatkan keinginannya untuk meredakan rasa sakit yang masih berdenyut-denyut di wajahnya. Kedua, ia tidak harus menghadapi Raveen lagi. Karena menghadapi Raveen sama saja seperti membuat dirinya gila secara perlahan. Tentu saja pria itu akan jadi masalah besar untuk Diane. Terutama karena pesonanya yang tidak bisa diabaikan oleh setiap wanita. Diane hampir terlonjak dari kursi penumpang ketika merasakan tangan besar Raveen menyuruk ke dalam rambut gelapnya. Pria itu berusaha menyadarkan Diane dari tidur singkatnya lalu tersenyum ketika melihat Diane merenggangkan tubuhnya seperti seekor kucing yang malas. Raveen bertanya-tanya apa Diane menyadari kehadirannya disana sampai begitu berani melakukan pergerakan yang mengundang seperti itu. Yang mengejutkan adalah Diane memang menyadari keberadaan Raveen. Wanita itu sepertinya tidak kehilangan akal sehat sewaktu bicara dengan pembawaan santai ketika api gairah mulai menyulut mata keemasan Raveen. Sama seperti dirinya, Diane adalah masalah besar. Pasalnya Raveen juga laki-laki normal yang sewaktu-waktu akan tergiur oleh undangan yang disajikan di depan mata. Raveen butuh pengendalian diri yang besar untuk tidak merengkuh tubuh wanita itu dengan sangat erat, merasakan napasnya yang hangat melewati tengkuknya dan menghujani wajah Diane dengan ciuman nakal. Tapi fantasinya segera berakhir ketika Diane menguncang bahunya dengan rasa kesal. “Maaf, apa kau mengatakan sesuatu?” “Aku bilang, sepertinya sekarang kau sudah diizinkan pulang. Pulanglah. Mamamu pasti sendang menghawatirkanmu. Dia pasti merindukanmu.” Raveen tertawa kecil. “Itu impianku sejak aku masih jadi bocah ingusan, tapi sayang sekali, cantik, orang tuaku sudah meninggal sejak dua puluh lima tahun yang lalu.” Wajah Diane merona malu. Tiba-tiba sensasi merah muda mewarnai suasana hingga menyebabkan kecanggungan pada waktu yang kurang tepat. Beruntung Raveen segera melerainya. Jemarinya bertengger di bawah dagu Diane hanya untuk mengangkat wajah wanita itu dan menatap memar yang masih membekas di wajah anggun Diane. “Sepertinya lukamu masih membekas. Wanita itu pasti memukulmu dengan sangat keras, ya?” “Ku pikir kau yang meminta aku untuk mempertahankan luka ini.” “Ya jika kau tidak berniat untuk menyudahi perkara itu. Jadi sekarang biarkan aku membantumu, Manis. Dan setelah itu aku perlu bicara denganmu.” “Kedengarannya penting sekali.” Raveen tidak menanggapi pernyataan ironi itu dan memilih untuk beranjak keluar, membuka pintu mobil dan membantu Diane turun dari kursi penumpang. Wanita angkuh itu sepertinya masih bersikap dingin dengan menolak semua jasa yang ditawarkan Raveen. Ketika Raveen menjulurkan tangannya untuk menawarkan bantuan, Diane justru melewatinya begitu saja. Sekarang Raveen tahu satu fakta lagi bahwa Diane benar-benar berbeda dari rentetan wanita yang mengincarnya sejak ia duduk di bangku sekolah. Diane luar biasa. Mereka masuk ke dalam apartemen dengan cepat, berhenti di depan suite kemudian melenggang masuk setelah pintu tidak lagi terkunci. Begitu sampai di dalam suite, Diane membebaskan tubuhnya dari blus berwarna biru navy yang ia kenakan, melepas sepatu berhak tinggi yang membuat kakinya ditekuk sepanjang hari. Benar-benar menyiksa tapi Diane tidak punya alasan kuat untuk melepas semua peralatan itu. Kemudian ia beranjak ke lemari pendingin untuk memeriksa beberapa persediaan minuman yang masih tersisa. Tangannya menggenggam dua botol minuman beralkohol jenis koktail ketika ia beralih pada Raveen yang berdiri di sudut sofa. “Apa kau suka koktail?” “Apapun yang kau sediakan.” Raveen melepas jaketnya, menyampirkan pakaian itu di lengan sofa kemudian menggulung kemejanya dalam tiga lipatan. Ia menyisiri rambut coklat gelap dengan jemarinya sebelum meringkuk di atas sofa dengan nyaman. Diane segera bergabung dengannya dalam beberapa menit dengan sebotol koktail dan dua gelas kosong. Wanita itu memilih tempat yang strategis untuk duduk di sampingnya. “Sepertinya kau orang yang tidak tertarik dengan rumahmu, ya?” tanya Diane seraya mengisi dua gelas yang kosong dengan sebotol alkohol. “Maaf?” “Kenapa kau tidak tertarik untuk segera pulang?” Tawa kecil Raveen menghangatkan suasana. “Sepertinya kau orang yang tidak tertarik dengan keberadaanku, ya?” ketika Raveen membalikkan pertanyaan itu, Diane merona. Tapi kemudian wanita itu menyuguhkan senyuman hangat yang jarang dilihat Raveen. Lalu pergerakan Raveen terhenti. Pria itu memandangi wajah Diane lamat-lamat sebelum mengatakan, “Dimana bisa kutemukan baskom dan air dingin?” Sebelumnya Diane ragu sebentar, tapi ia memilih untuk tidak memusingkannya dengan mejulurkan salah satu jari ke arah konter. Raveen segera bangkit untuk menyelesaikan urusannya dan kembali dengan air dingin di dalam baskom dan satu kain waslap. Ia meringkuk kembali ke tempatnya, meletakkan baskom di atas meja kemudian merendam waslap tersebut. Diane bergeming memperhatikan pergerakan Raveen. Tidak banyak berkomentar ketika Raveen mengangkat waslap yang setengan kering ke atas luka memar di wajahnya. Tangannya berusaha menggapai, namun Raveen menahannya dengan satu tangan lain yang bebas. “Jangan banyak bergerak, Manis! Izinkan aku mengobati lukamu.” Kemudian Diane menyerah. Membiarkan pria itu mengobati luka memarnya dan diam memandangi bagaimana rahang indah Raveen bergerak. Pelipisnya dan bahu lebarnya yang kekar. Raveen adalah satu dari sekian banyak pemandangan indah yang ada di sepanjang hidup Diane. Tapi ia tidak suka ada dalam kecanggungan ini. Diane tidak bisa berlama-lama tinggal dalam situasi canggung bersama Raveen. Jadi ia yang mengawali percakapan mereka. “Katakan padaku bagaimana penyelidikanmu?” Raveen membasahi waslap, kemudian memerasnya kembali hingga tidak ada genangan air yang jatuh. Ia memandangi Diane sesekali kemudian beralih pada luka memar di wajah itu. “Jadi kau sudah tahu, ya?” “Apa benar ada tiga korban?” “Ya, dan semuanya sudah meninggal di tempat.” Diane bisa merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa yang sebenarnya terjadi?” “Pembunuhan, pelecehan seksual yang kasar, sekiranya itu kesimpulan yang bisa diambil oleh para pihak penyelidik.” “Bagaimana korbannya? Apa mereka dikenali?” “Sedang dalam proses indentifikasi setelah diautopsi. Kira-kira hasilnya akan keluar besok pagi-pagi sekali.” “Detektif,..” Diane merendahkan suaranya hingga terdengar seperti bisikan. “Apa para korban juga mengalami hal yang sama denganku?” Pertanyaan Diane membuat alis Raveen berkerut heran. Ia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengerti.” “Menerima surat ancaman. Apa mereka juga menerima suratnya sebelum pembunuhan?” “Belum dapat dipastikan. Korban masih belum dikenali. Hasil dari penyelidikan hanya mengatakan kalau korban meninggal setelah mengalami pelecehan seksual. Sepertinya pembunuh itu tidak mau repot-repot mengirim surat ancaman seperti yang kau terima.” “Aku harap kau benar.” Kekosongan terjadi selama beberapa detik. Setelah memastikan luka Diane sudah membaik, Raveen meletakkan waslap kembali ke dalam baskom kemudian ia meneguk koktailnya, melihat wanita itu kembali lalu memutuskan topik baru. Topik yang sedari tadi sangat ingin ia bahas. “Kenapa kau melepaskan wanita yang menyerangmu begitu saja?” “Sarah?” Diane menolehkan wajahnya untuk bertatapan langsung dengan Raveen. Lalu ia mengangkat bahu dengan tidak acuh. “Aku hanya berpikir kalau masalah ini terlalu sepele untuk dipersoalkan.” “Ya, tapi tidak ada yang tahu niat apa yang ada dalam benaknya. Bagaimana kalau dia berniat buruk padamu?” “Aku pikir itu hanya dugaanmu saja.” Tangan Raveen meremas salah satu bahu Diane hingga mengirimkan semacam sensasi aneh yang menggelitik. “Diane, kau tidak bisa mengambil keputusan untuk membebaskan dengan cepat. Kau tahu dia menyerangmu dan apa kau tidak berpikir seandainya dia melakukan hal yang sama padamu suatu saat nanti?” Butuh usaha keras untuk melawan sensasi aneh itu. Diane menangkupkan satu tangannya di atas punggung tangan Raveen. Ia tersenyum kecil. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Itu hanya instingmu saja. Aku mengenal Sarah.” “Apa kau tahu, terkadang insting berperan besar dalam pekerjaanku. Orang yang kita anggap remeh bisa menjadi tersangka yang sebenarnya. Apa kau mengerti? Baik, kau mengenalnya, tapi kau tidak tahu apa niatnya.” Kedua mata Diane menyipit ketika ia menarik satu kesimpulan dari pernyataan Raveen tentang Sarah. “Maksudmu, apa kau bermaksud mengatakan kalau Sarah adalah orang yang mengirim surat-surat bodoh itu padaku?” “Kau mengerti maksudku.” “Aku tidak bisa percaya. Maksudku, Sarah hanya membenciku karena Max berkencan denganku. Tidak ada yang serius dari itu.” “Kau tidak pernah menganggap sesuatu dengan serius bahkan ancaman surat yang kau terima, Diane. Sekalipun itu menyangkut nyawa dan keselamatanmu sendiri.” Diane merunduk untuk memikirkan kemungkinan yang ada, namun sejauh apapun ia berpikir, Diane tidak bisa mengambil kesimpulan yang logis jika ternyata Sarah yang mengirim semua surat-surat itu. Seseorang tidak mungkin bertingkah sedemikian kejam hanya untuk melampiaskan rasa cemburunya. Lagi pula, Sarah wanita yang feminism. Diane sangat mengeli sikapnya yang dingin. Sarah bukan tipe wanita yang menginginkan kematian seseorang. Jadi Diane menggeleng dan mengklaim dugaan itu. “Aku tidak tahu, tapi aku benar-benar tidak percaya jika memang Sarah yang melakukannya.” “Jadi, apa ada orang lain yang bersikap sedemikian kasar padamu? Orang yang mungkin membencimu bahkan menginginkan kematianmu?” Tatapan Diane tajam ketika ia berlaih pada Raveen. “Aku pikir kau,” katanya dengan ketus. “Karena kau terus bertanya siapa orang yang membenciku, menginginkan kematianku sementara aku tidak bisa mengingat apapun. Aku tidak bisa mengingat siapa orang yang begitu membenciku sampai mengirim surat-surat itu. Aku punya masalah besar, Detektif. Dan satu-satunya masalahku adalah bagaimana cara menyingkirkanmu dan Sam dari kehidupanku yang tenang sebelum kalian singgahi.” Tawa Raveen menggelegar. Membuat Diane jengkel dan disaat yang bersamaan membuat Diane terpana. Ia menjauhkan dirinya, meneguk habis koktail yang masih terisi penuh, kemudian mengisinya kembali sampai penuh. “Jangan terlalu banyak, Manis. Kau bisa mabuk.” “Setidaknya itu jauh lebih baik.” “Kalau begitu silahkan saja mabuk sampai kau senang, dan jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padamu.” “Maaf aku tidak tertarik. Aku sudah punya kekasih.” “Aku pikir tidak ada orang yang memikirkan kekasihnya saat ia sudah mabuk.” “Terserah padamu, Detektif.” Saat Diane mengangkat gelas ketiga, Raveen mulai terlihat resah. Kemudian pada satu titik, pria itu menahannya. “Baik, kita selesaikan ini dengan cara aman saja, ya. Tidak perlu mabuk begitu. Apa kau ingin aku pergi?” Kedua mata Diane menyipit. Perlahan senyuman nakal tersungging di wajahnya. Kepalanya yang pusing semakin berdenyut-denyut. Pada satu titik, ia merasa kesadarannya mulai menipis. Menjadi lapisan yang bergabung bersama udara dingin di malam hari. Diane mendekat untuk mencengkram kerah kemeja Raveen kemudian berbisik di telinganya. “Kau tampan sekali, detektif.” Raveen beringsut menjauh. Satu tangannya menahan pergelangan Diane yang mulai turun ke dadanya, kemudian lengannya yang berotot hingga berhenti di lekuk lehernya. “Bagus sekali. Jadi alkohol itu bekerja dengan sangat cepat, ya.” Diane tertawa renyah, tawa yang dikagumi Raveen darinya. Tentunya akan semakin terdengar indah bila Diane tidak dalam keadaan setengah sadar. Kemudian wanita itu melepas tangannya dari Raveen. Bersandar di lengan sofa untuk meredakan rasa pening di kepala. “Aku pikir kau butuh istirahat. Apa kau dengar aku?” Tubuhnya merespon dengan cepat. Diane berbalik dari posisi memunggungi Raveen. Senyum kecil di wajahnya berganti kilat tajam di mata biru gelap itu. Kemudian ia mengejutkan Raveen dengan merenggut kerah kemejanya hingga membuat Raveen merendahkan tubuh begitu dekat dengannya. “Apa kau baru saja mengatakan roti panggang?” aroma koktail dari mulut Diane meruak dalam penciuman Raveen. Sensasi keemasan yang mulai membara menatap Diane dengan intensitas besar. “Tidak aku baru saja mengatakan, kau harus istirahat.” “Aku sangat suka roti panggang. Kau bisa memoleskan selai rasberi di atasnya.” “Kau suka rasberi?” “Aku suka rasberi.” Ulang Diane dengan senyum lebarnya yang membuat Raveen memesona. “Apa lagi yang kau suka?” Raveen menikmati pemandangan indah wajah Diane di depannya. Ia belum pernah merasa sedekat ini dengan wanita itu. Setelah diperhatikan lebih baik lagi, warna mata Diane begitu gelap, begitu eksotis dan indah bahkan lebih saru dari yang biasa dilihatnya. Ia melihat warna cokelat gelap yang tiba tiba berganti ungu karena pantulan cahaya, lalu kembali menjadi biru. “Aku suka kue cokelat.” “Oh, sepertinya kau suka makanan dengan gula tinggi?” “Tidak. Kadang aku suka kue tar.” “Ya, itu sama saja.” “Beda dengan krimnya. Sam menyukai krim.” “Apa kau tidak suka krim?” “Aku membenci semua yang disukai Sam.” “Bagaimana dengan aku?” kilat jahil melintas di keemasan mata Raveen. Sekujur tubuhnya hampir meremang ketika ia merasakan tangan lembut Diane menggerayangi tengkuknya, lalu jemarinya saling terkait disana. Kemudian Ia mendengar tawa itu lagi.. “Oh, aku menyukaimu.” “Aku teman favorit Sam. Kau bilang kau membenci semua yang disukai Sam.” “Aku membuat pengecualian.” Ketika Diane mengangkat wajahnya untuk merasakan bibir Raveen yang semanis madu, Raveen menahannya. Raveen berani bersumpah demi apapun bahwa ia sangat menginginkan Diane. Lebih dari yang bisa ia bayangkan, Raveen sudah menanti momen seintim ini bersama wanita itu. Diane telah mengusik tidurnya dengan bayangan erotis yang tidak pantas. Tapi Raveen menyukai itu. Ia senang membayangkan dirinya merengkuh Diane seperti saat ini, bahkan lebih. Membayangkan tangannya menyentuh Diane dengan lebih intim, dan semua pikiran nakal yang terpendam selama ini. Tapi Raveen tidak bisa mengambil kesempatan itu sekarang. Kalau ia berkehendak, Raveen bisa saja mencuri kesempatan itu sekarang. Bertingkah seperti pria konyol yang tidak punya moral. Mewujudkan segala fantasi erotisnya yang tidak pantas. Namun, Raveen memilih untuk menolak. Ia berani bersumpah ia akan melakukannya. Akan mewujudkan semua mimpi erotis itu. Tapi tidak saat Diane dalam keadaan mabuk. Raveen ingin Diane menerima bahkan merasa senang dengan apa yang ia beri. Ia sama sekali tidak berniat menodai wanita itu. Sama sekali tidak. Bagi Raveen, kepercayaan Diane adalah segalanya. Lebih dari apapun, ia tidak akan mencuri kesempatan yang mungkin akan disesalinya nanti. Atau lebih buruk, juga disesali Diane. Maka ia segera bangkit jauh sebelum Diane berhasil menggapainya. “Aku pikir ini sudah terlalu jauh. Kau sudah punya kekasih, ingat? Mari kubantu kau, Manis.” Diane bergelung seperti anak kucing ketika Raveen membopong tubuhnya dan bergerak masuk ke dalam kamar tidur. Raveen meletakkan tubuh Diane yang dengan nyaman bergelung di atas ranjang kemudian menutupnya dengan selimut tebal sampai atas d**a. Ia tersenyum manis memperhatikan wanita itu. Setelah memastikan Diane tidur dengan nyaman, Raveen bergegas keluar sambil menutup pintu kamar tidur itu.  ... Semalam salju tidak turun, tapi sepertinya pagi ini cuaca akan jadi lebih buruk. Sebelum Diane memutuskan untuk pergi ke Universitas, ia telah meyusun rencananya untuk menemui Shimon lebih dulu. Diane sudah menghubungi Raveen sekitar jam lima pagi untuk datang ke apartemen dan menemaninya menjalani rencana baru. Sepertinya usahanya tidak sia-sia. Pria itu datang setengah jam setelah Diane menghubunginya. Raveen masih tampak kacau. Lingkaran hitam di matanya mengindikasikan kalau pria itu butuh lebih dari istirahat yang cukup. Tapi Diane tidak bisa mengingat pukul berapa Raveen istirahat. Ia juga tidak ingat ketika mendapati dirinya terbangun di ranjang–bukannya di sofa. Tidak ingat apa yang telah terjadi semalam. Hanya mengingat pembicaraannya dengan Raveen sebelum ia meneguk minuman alkohol itu. Tapi Diane masih bisa merasakan lengan Raveen yang kokoh melingkar di sekitar tubuhnya–merengkuhnya. Diane samar-samar merasakan bahu kekar Raveen dibawah sentuhannya. Ia masih sanggup merasakan kedekatan pria itu. Merasakan Raveen membopong tubuhnya, membaringkannya di ranjang dan ingatannya berhenti sampai disitu. Diane tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Meminta Raveen untuk mengakui apa yang telah terjadi mungkin akan meredakan kekhawatirannya. Tapi bagaimana jika yang tidak diinginkan memang benar-benar terjadi? Bukankah keadaan akan bertambah kacau? Selama sesaat Diane memutuskan bahwa bertanya hanya akan membuat situasi tegang di antara mereka. Sebaiknya Diane berpura-pura tidak tahu-menahu atau begitulah caranya agar tetap berada di zona aman. Diane hanya berharap semoga suatu yang buruk tidak terjadi. Ya, hanya Tuhan dan Raveen yang benar-benar tahu detailnya. Kehadiran Raveen seharusnya membuat Diane canggung. Tapi pria itu sama sekali tidak menimbulkan reaksi apapun. Setelah Raveen memarkirkan mobilnya di area parkir belakang apartemen, mereka segera bergegas menaiki sedan milik Diane menuju kediaman Shimon. Atau setidaknya mereka berencana begitu. “Aku punya beberapa kontak di daerah itu kalau kau butuh bantuan.” Ujar Raveen ketika mereka berkendara menuju perumahan yang dimasuki Shimon kemarin. Hari masih begitu pagi. Langit masih gelap dan matahari bersembunyi di balik peraduannya. Tapi saat ini adalah waktu yang tepat untuk memngintai seseorang. Diane punya firasat kalau Shimon baru akan memulai kegiatannya dan itu berarti ia punya kesempatan emas untuk membuntuti. Atau mungkin tawaran Raveen boleh juga. Ia bisa memperoleh beberapa informasi tentang Shimon dari seseorang yang bertugas di daerah yang sama. “Aku senang sekali. Apa aku bisa bicara dengannya?” “Aku sudah menghubunginya untukmu. Dia bersedia untuk menemui kita kurang dari satu jam lagi. Jadi kau masih punya waktu untuk menyelesaikan misimu.” “Dimana kita akan menemuinya?” “Bar.” “Apa?” bukan hanya terkejut, tapi Diane sekaligus heran. “Kau tahu? Dia sedang dalam penyamaran. Aku harap kau bisa bersikap loyal.” Diane berdeham. “Tentu saja.” Mobil mereka berhenti satu blok di samping bangunan tua dengan cat kelabu yang pucat. Sebuah mini van berwarna hijau gelap yang terasa familier baru saja keluar dari halaman bangunan tua itu. Seseorang di dalam mini van tersebut mengendarai mobilnya melalui perempatan jalan yang menuju jalur keluar kompleks. Tidak salah lagi. Lelaki dalam mini van yang sama seperti yang dilihatnya sehari sebelum ini pastilah Shimon. Diane memperhatikan plat nomor polisi yang tertera disana kemudian memutuskan bahwa dugaannya tidak salah lagi. Sebelum mini van itu semakin jauh, ia cepat-cepat mengambil tindakan. “Bisa kau bantu aku?” tegur Diane pada Raveen. Tatapannya terfokus pada mini van yang melaju semakin cepat. Jadi, ia tidak menunggu Raveen untuk merespon pertanyaannya dan segera menjelaskan perintah. “Aku ingin kau mengikuti mini van itu. Aku yakin Shimon ada di dalamnya. Dengar, jangan sampai kau kehilangan jejaknya, ya.” “Bagaimana denganmu?” “Aku akan menemui seseorang di rumahnya. Itupun kalau ada orang lain yang tinggal disana. Aku minta kau membuntuti Shimon kemanapun ia pergi. Simpan semua informasi penting yang kau dapat dan temui aku di blok ini satu jam lagi.” Ketika Diane melihat mata emas Raveen berkilat tajam, ia segera memasang wajah memelas. “Aku mohon,” Raveen mengangguk dengan malas. “Baiklah. Silahkan turun, Lady.” “Oh, bagaimana aku harus berterima kasih?” senyum lebar mengambang di wajah anggun Diane. “Akan kupikirkan nanti.” Kalau saja Raveen tidak salah dengar, maka ia pasti sudah menduga bahwa Diane memekik kegirangan. Wanita itu sudah memutari mobil dan berjalan menuju bangunan tua dengan dinding kelabu pucat sebelum mobilnya melintas mengikuti kemana arah yang dituju mini van milik Shimon. Raveen sudah tidak melihat keberadaan Diane ketika ia menempuh jarak sepuluh meter menuju pintu keluar kompleks. Raveen memperlambat lajunya, berupaya untuk tidak telihat mencurigakan. Disaat yang bersamaan, Diane menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kayu bangunan tua itu. Ia menghela napas sejenak untuk meredakan kekhawatirannya sebelum menjulurkan tangan dan mengetuk pintu. Tidak ada tanda keberadaan seseorang dalam rumah tua itu. Diane mulai merasakan harapannya perlahan pudar. Tapi ia mencoba kembali dan pada ketukan ketiga, sekilas Diane melihat pergerakan di dalam ruangan melalui jendela yang tersibak. Seorang wanita tepatnya. Wanita itu memutar kenop pintu hingga engselnya berdecit saat pintu perlahan terbuka. Diane memperhatikan sosok tubuh tinggi dan ramping dibalut oleh kain katun berwarna biru pucat yang kelihatan kontras dengan mata gelapnya. Diane pikir wanita itu lebih muda dari yang kelihatannya. Rambut berwarna tembaga yang diselingi oleh uban di setiap selanya dan alis yang berkerut. Kulitnya tidak kencang namun tidak juga keriput. Jika ditaksir dari yang terlihat usianya mungkin telah mencapai awal lima puluh tahun. Diane berhenti menerka-nerka ketika suara yang lebih lantang dari yang seharusnya menegur dengan sapaan kasar. “Apa aku mengenalmu?” Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin wanita itu masih berusia empat puluh tahun. Hanya saja kelihatan sedikit lebih tua. Namun, semuanya jadi terasa wajar jika dilihat dari perawakannya yang sinis. Siapapun orang yang melihatnya pasti tidak bisa menyingkirkan kesan sinis dari wajahnya bahkan caranya menyambut seorang tamu. Wanita ini jarang sekali tersenyum. Simpul Diane. “Oh, tidak,” sahut Diane, awalnya terdengar ragu-ragu, kemudian ia berdeham dan mencoba menyesuaikan keadaan. “Kita tentu belum saling mengenal. Sebelumnya apa benar ini rumah Mr. Shimon?” “Ya. Siapa kau?” “Umm, namaku… Katherine. Ya. Ketherine Garey. Aku seorang agen dari jasa investasi. Mr. Shimon menghubungi kantor kami untuk mendaftarkannya sepekan lalu. Seperti yang kau tahu, kami harus melakukan survei sebelum menyetujui investasi itu.” Ide mengikutsertakankan kantor jasa investasi dalam penyamarannya adalah pemikiran yang payah. Tapi Diane tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih baik lagi. Setidaknya ini hanya akan jadi kebohongan kecil yang tidak akan disadari Shimon seandainya wanita ini mau tutup mulut. Namun jika wanita ini menceritakan kedatangan seorang agen tidak dikenal pada Shimon, yah, Diane sudah menggunkan nama lain yang kemungkinan bisa menutupi identitasnya. Yang jadi ironi, hanya nama Katherine-ibunya-lah yang terbesit dalam benak Diane saat itu. Jadi ia terpaksa menggunakannya. Ketika wanita itu hanya memandanginya dengan skeptis, Diane mulai mencium aroma kegagalan dalam penyamaran kecilnya ini. “Sayang sekali,” kata wanita itu. “Shimon baru saja pergi beberapa menit yang lalu.” “Oh, sebenarnya aku hanya akan melakukan survei terhadap bangunan dan beberapa aset yang dimilikinya. Mr. Shimon sudah menyetujui kunjungan ini dan aku bisa melakukan survei tanpa kehadirannya. Hanya, kau perlu menemaniku melihat isi bangunan ini.” Dugaan akan kegagalan rencananya segera ditepis ketika wanita itu menggeser tubuh hingga memberi akses bagi Diane untuk masuk. “Masuklah.” Diane merasakan senyuman kecil yang hampir saru di wajah wanita itu, disaat yang bersamaan ia membalasnya dengan senyum lebar. Tidak ingin mengunjukkan sikap yang mencurigakan sedikitpun, Diane segera melenggang masuk ke dalam rumah dengan santai. Hal terakhir yang diinginkannya adalah tertangkap basah. Ia terus berharap Raveen bisa membuntuti Shimon dan menangkap jejak informasi yang penting. Atau jika terjadi sesuatu yang buruk, keberuntungan bergantung pada secepat apa Raveen kembali untuk membawa Diane pergi. Aroma masakan yang dipangang segera menyeruak dalam indra penciumannya tepat ketika Diane memijakkan kaki dan melihat suasana ruang depan. Tidak begitu banyak dekorasi–berbanding terbalik dengan rumah Dokter Meilyn. Shimon mungkin bukan tipe pria yang menyukai barang-barang klasik seperti adik bungsunya–William. Namun, jika dipertimbangkan dengan keadaanya, wajar jika dekorasi ruangan tidak terlalu mencolok. Pertama, karena Shimon tipe pria penjudi dan mungkin saja semua barang-barang antik diruangan ini telah dijual habis untuk membayar utangnya sampai tak menyisahkan satupun. Kedua, mungkin Shimon tidak menyisahkan waktu untuk mendekor ruangan dalam upaya pelariannya dari bos mafia. Dan ketiga, boleh jadi bangunan ini hanya rumah sementara yang ditempatinya untuk berlindung dari kejaran para penagih utang. Ya ada begitu banyak kemungkinan, tapi pertanyaan penting yang seharusnya ia pikirkan adalah: siapa wanita ini? Pelayan rumah tangga tentu bukan jawaban yang tepat. Maka, sudah menjadi tugas Diane untuk mencari tahu. Diam-diam, Diane menyelipkan satu tangannya ke dalam tas kecil yang menggantung melewati bahunya untuk menekan tombol ‘rekam’ pada alat perekam suara yang tersembunyi di balik tas kulit hitam yang eksotis itu. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Diane memulai permainan strategi ini. “Mr. Shimon tidak bicara tentang keluarganya. Apa kau salah satu keluarga?” “Aku isterinya. Sebenarmya,,, akan segera jadi mantan.” Pernyataan Meilyn bahwa isteri Shimon-Isabelle yang sudah meninggalkan suami dan anaknya sejak tiga tahun silam sepertinya mulai diragukan. Tapi Diane lebih tidak mempercayai fakta bahwa wanita ini benar-benar isteri penjudi itu. Atau jika memang benar, wanita ini pasti bukan Isabelle. Hanya saja Dokter Meilyn sebelumnya tidak pernah mengatakan soal isteri baru Shimon. Satu-satunya kemungkinan yang bisa diterima adalah Shimon telah menikah belum jauh-jauh ini. Dan apa yang baru saja ia dengar–akan segera jadi mantan. Tentu saja. Diane butuh penjelasan secara rinci. “Oh, aku pikir Shimon sudah tidak berhubungan dengan isterinya lagi. Aku minta maaf, tapi itulah keterangan pribadi yang kupelajari tentang Shimon.” “Memang benar,” kata wanita itu. Anehnya ia tidak mengunjukkan kepudulian sedikitpun. Itu berarti wanita ini benar-benar bukan Isabelle. Diane menanti keterangan selanjutnya dengan antusias. “Aku menikah dengannya dua tahun lalu.” “Kupikir dokumen keterangan milik Shimon itu sepertinya belum diperbarui, ya? Jadi apa saja yang aku lewati? Apa Shimon punya anak lain?” “Hanya seorang puteri. Puteri dari isteri pertamanya.” Diane beranjak mendekat untuk memastikan semua pernyataan itu terekam dalam rekaman suara sehingga ia bisa menjadikan pengakuan isteri Shimon ini sebagai bukti nyata. Semakin detail penjelasan yang diterimanya, maka akan semakin dekat ia dengan fakta. “Kalau tidak salah namanya Emma, bukan?” “Tepat sekali.” “Uh-huh, sebenarnya aku butuh keterangan dari seluruh anggota. Investasi ini bukan sekedar investasi sembarang. Apa Emma sudah bekerja atau Shimon masih menanggung hidupnya?” Wanita itu bergeming sesaat. Takut-takut untuk membeberkan informasi yang diasumsikan Diane sebagai informasi penting. Ia sudah memegang kunci emasnya sekarang. Hanya butuh usaha untuk membuka gerbang kemenangan. Ketika wanita itu ragu untuk menjawab, Diane menegaskan, “Mr. Shimon sudah menyetujui persyaratan ini sepekan lalu. Investasi besar ini butuh keterangan rinci agar kami benar-benar yakin untuk menyetujui kerja sama. Para klien yang menginvestasikan dananya telah menandatangani persyaratan yang diajukan jauh sebelum survei dilakukan. Jadi tidak perlu khawatir untuk kerahasiaannya. Kami memasang motto untuk bersikap ‘loyal’ pada setiap investor.” “Aku tidak tahu suamiku punya dana sebanyak itu untuk diinvestasikan. Dia tidak pernah mengatakannya padaku.” Gelombang kekhawatiran melanda sekujur tubuh Diane. Mengalir bersama peredaran darahnya dengan tempo yang cepat. Ia butuh segenap pengendalian diri untuk tetap terlihat meyakinkan. Diane tidak akan menghancurkan penyamarannya saat itu juga. Tidak saat ia sudah semakin dekat dengan fakta. “Kami tidak selalu menarik dana dengan jumlah besar. Para investor bebas menamkan modalnya sesuai dengan yang ia sepakati. Biasanya modal itu ditanam secara berkala. Kami memiliki program semacam ‘modal berjangka’.” “Aku tidak tahu, hanya sedikit aneh mendengar suamiku melakukan investasi besar.” Tentu saja. Shimon seorang penjudi. Hidupnya melarat dan sekarang pria itu diincar oleh sejumlah bos mafia yang menagih utang. Belum lagi, Shimon memeras kakak perempuannya hanya untuk menutupi sejulah utang-utang yang mulai membengkak itu. Memang aneh jika Shimon memberi kelonggaran uangnya untuk diinvestasikan dan sudah semestinya hal itu mustahil untuk terjadi. Tapi siapapun tahu bahwa investasi memungkinkan modal seseorang berkembang. Dan jika disangkut mautkan Shimon bisa melipatgandakan dana yang ia miliki untuk menutup utang-utang tersebut. Bisa saja, kan? Kelihatannya wanita ini tidak cukup dekat dengan suaminya. Jika terbukti salah, wanita ini pasti sudah menolak pernyataan Diane tentang bisnis investasi yang dijalankan suaminya. Namun, Diane mendapati wanita itu ragu-ragu dengan asumsinya sendiri–dan itu berarti baik. Diane hanya butuh sedikit sentuhan untuk menyakinkannya. “Semua orang memungkinkan untuk melakukan investasi ini, Ma’am.” “Panggil saja Maggie.” Magie. Nama yang menarik untuk seorang isteri. “Tentu saja. Beberapa dokumen tentang puteri Mr. Shimon yang bernama Emma sedikit rancu. Aku ingin memastikan data asli tentang Emma. Dimana aku bisa menemuinya?” “Emma tidak tinggal bersama Shimon,” cetus wanita itu dengan sedikit gusar. Pengakuannya membuat Diane tertarik. Ya, sedikit lagi… sedikit lagi... kau sudah dekat dengan faktanya. “Maaf kupikir Emma tinggal bersama ayahnya. Tapi sebenarnya keterangan ini juga dinyatakan Shimon sepekan ketika agen lain di kantor menghubunginya. Hanya saja keterangan Shimon itu belum dapat dipastikan selama bukti nyatanya belum ada di tangan.” “Sayang sekali. Aku tidak bisa membantumu untuk meyakinkannya. Kemana Emma pergi aku juga tidak tahu.” “Maksudmu,,, Emma pergi secara sukarela? Apa dia berniat mencari pekerjaan?” “Itu kedengaran konyol. Puterinya baru berusia dua belas tahun.” “Jadi,,, dimana Emma sekarang? Aku ingin tahu apa dia mewarisi sejumlah dana yang diinvestasikan ayahnya.” “Aku tidak tahu.” Maggie menangkat kedua bahunya dengan tidak acuh. Nampak tidak peduli dengan Emma maupun semua informasi yang dibutuhkan wanita yang mengaku dirinya sebagai agen jasa investasi itu. “Sayang sekali. Mr. Shimon memiliki beberapa dana yang tertulis atas nama Emma. Aku pikir puterinya itu salah satu orang yang berhak mewarisi dananya kelak.” “Apa katamu? Apa dia hanya menuliskannya atas nama Emma.” “Ya, seingatku begitu. Tapi dananya bisa beralih dengan persetujuan Emma. Aku harus berurusan dengan Emma jika ingin memindah-alihkan dana itu.” “Tapi Emma sudah ada di tangan seorang makelar. Shimon sendiri yang menandatangi persetujuan peralihan Emma. Emma mungkin sudah tidak berhak mewarisi dana milik Shimon lagi...” Maggie seketika membatu. Ia telah membongkar rahasia yang seharusnya tidak diketahui oleh siapapun. Bagaimanapun Maggie sudah berjanji pada Shimon tidak akan membongkarnya terutama pada Meilyn. Tetapi, Shimon sendiri tidak pernah mau mengaku soal tabungan investasinya dan hak waris yang dialihkan untuk Emma. Jadi wajar jika Maggie memprotes. Tindakan suaminya untuk menutupi semua ini jelas tidak tepat. Karena Maggie isterinya, maka ia juga berhak menapat bagian atas dana itu–dan Shimon tidak mencantumkan namanya. Ketika Diane mendekat, Maggie dilanda perasaan khawatir. “Maaf, Mrs. Maggie, aku pikir aku tidak salah dengar kalau kau menyebutkan makelar. Apa Shimon berniat menjual puterinya?” “Aku tidak tahu.” Singkat jawaban dari Maggie. “Kami menjamin kerahasiaan, Mrs. Maggie” tegas Diane. “Kau hanya akan berurusan dengan petugas polisi jika menutup-nutupi faktanya. Semua keterangan harus kami data. Kami memberi toleran besar seandainya klien kami mengalami kesulitan. Jadi dimana Miss Emma?” “Satu-satunya yang kutahu adalah Emma tidak tinggal dengan suamiku. Suamiku tidak pernah mengatakan apapun tentang makelar. Dan hanya itu yang perlu kau tahu. Kalau kau ingin informasi lebih, silahkan tanya langsung pada Shimon. Sekarang aku tidak terima tamu lagi. Kalau kau tidak keberatan, silahkan keluar!” “Mrs. Maggie, tidak ada gunanya menutupi semua itu. Kami sudah mendata secara terperinci segala bisnis yang dijalankan oleh suami anda. Beberapa kontak dan juga pekerjaannya. Aku bisa mengatakan bahwa Mr. Shimon memiliki sejumlah utang yang belum tertutupi seandainya kau meragukan itu. Aku juga tahu bahwa Mr. Shimon telah terhubung dengan seorang bos mafia yang mengejarnya. Tapi seperti yang kau tahu, rahasia semacam itu tidak ada sangkut mautnya dengan investasi ini. Kami menerima setiap klien dengan tangan terbuka. Yang kami butuhkan hanyalah keterangan dan persetujuan dari Miss Emma. Dana peralihannya tidak akan dimiliki oleh siapapun tanpa persetujuan Emma.” Diane hampir tersentak ketika Maggie merenggut lengannya dengan kasar kemudian menyeretnya menuju pintu masuk. “Sudah kubilang aku tidak tahu apa-apa. Tanyakan saja pada Shimon dimana puterinya itu. Aku tidak mau campur tangan.” “Mrs. Maggie, tapi...” pintu dibanting hingga tertutup di depan wajah Diane. Samar-samar Diane mendengar suara klik kunci yang diputar dan selama sesaat ia menyadari kalau Maggie sudah tidak berniat untuk bekerja sama. Meski tidak mendapat keterangan pasti tentang keberadaan Emma, setidaknya Diane sudah mendapat informasi sekaligus pengakuan penting bahwa Shimon benar-benar menjual Emma. Menyerahkan gadis berusia dua belas tahun itu pada seorang makelar. Ayah macam apa yang tega menjual puterinya sendiri hanya untuk menutupi utang-utangnya? Yang pasti bukan ayah yang baik. Merasa tidak ada gunanya lagi berdiri disana, Diane segera kembali menuju blok tenpat Raveen meninggalkannya sebelum ini. Ia melihat arloji. Masih ada waktu kurang lebih tiga puluh menit dari yang ia janjikan dengan Raveen. Maka, Diane memutuskan untuk mencari informasi lain tentang Shimon. Jika Maggie bersikap tertutup, beberapa orang tetangga mungkin bisa mengatakan beberapa informasi penting lainnya tentang Shimon. Tapi sebelum itu, Diane ingin membeli kopi panas di sebuah kafe kecil yang berjarak dua blok dari tempatnya berdiri.  ... Mini van itu berhenti disebuah klub perkumpulan. Beberapa orang bergandengan dengan pasangannya memasuki klub tersebut. Raveen melihat Shimon turun dari mobilnya sebelum beranjak masuk ke dalam klub. Ia tidak berpikir panjang untuk membuntutinya. Lampu yang terang redup menyorot seisi klub. Semacam pesta malam yang diadakan untuk bersenang-senang. Dengan cepat Raveen menembus rerumunan pasangan hanya untuk mengikuti jejak Shimon. Tapi ia melihat Shimon menghilang di sebuah lorong gelap. Raveen menunggu di balik dinding pembatas. Sesekali mengadahkan kepalanya untuk mengulur waktu sebelum memutuskan segera bergabung dengan Shimon. Langkah kakinya yang pelan dan hati-hati menyusuri sepanjang lorong. Jejak Shimon sudah tidak terlihat, tapi Raveen yakin pria itu pasti berbelok ke kanan disisi pertigaan. Dan disanalah Shimon berada. Berkumpul dengan lima orang pria lainnya. Hanya ada mereka dan perbincagan mereka dan beberapa botol wiski. Secepat pergerakannya, Raveen mengendap-endap masuk ke ruang ganti untuk mengganti kemejanya dengan pakaian pelayan sesegera mungkin. Kemudian ia kembali ke meja para pelayan untuk mengambil sebuah nampan yang terisi beberapa botol wiski dan gelas kosong. Ketika Raveen kembali menyusuri lorong, ia mendengar perbincangan ilegal disana. Pembicaraan makelar dan pertukaran seseorang untuk menutupi utang-utang yang akan semakin terdengar jelas jika ia mempercepat pergerakannya. Raveen bergabung dengan enam orang pria dimana salah satunya adalah Shimon, hanya untuk menyajikan tiga botol wiski baru bagi mereka. Dengan senga ia memperlamban pergerakannya, untuk mendapat informasi lebih rinci akan pembicaraan mereka. “Aku sudah memastikannya. Dia sudah diantar ke markas yang kau maksud.” Satu dari pria itu bicara. Raveen tidak bisa melihat wajahnya secara langsung. Namun, ia memperhatikan pantulan cahaya dari gelas kosong yang memperlihatkan seorang lelaki berperawakan bengis. Rambut panjang berwarna hitam yang terikat, kulit putih dan rahang yang dipenuhi cambang. Kemudian ia menggeser gelasnya ke samping dan mendapati sosok yang serupa. Hanya saja pria ini berkulit hitam dan memiliki tubuh yang tinggi dan besar. Shimon duduk di samping pria itu. Samar-samar Raveen memperhatikan setiap detail pergerakan mereka melalui cahaya yang terpantul. Kemudian ia mendengar suara Shimon. “Dia senilai dengan utang-utang itu.” “Tidak,” sergah pria berkulit hitam yang duduk di sisi yang paling sudut. Matanya cekung dan kepala botak. “Dia bisa saja tidak menghasilkan uang jika dia memberontak. Pelangganku tidak suka gadis yang memberontak.” Memberontak? Apa yang mereka maksud dengan memberontak? Siapa yang memberontak? “Dia tidak akan memberontak,” tegas Shimon. Nada suaranya begitu lantang dan yakin. “Puteriku tidak akan memberontak. Dia sudah ku kendalikan.” Raveen mengepakkan gelas-gelas kosong yang sudah tidak terpakai ke atas nampan. Wajahnya membantu namun pergerakan tangannya tidak terhenti. Ia tahu satu fakta bahwa yang dibicarakan Shimon adalah Emma–puterinya sendiri. Jadi kabar buruknya adalah, Shimon telah menyerahkan Emma pada seorang makelar dan pria ini benar-benar gila karena membiarkan puterinya yang tidak bersalah menjadi b***k seks. Ini jelas bukan kasus sembarang kasus. Shimon telah menyalahi peraturan yang berisi hak-hak seorang anak. Tindakannya bisa saja dilaporkan pada pihak berwenang, tapi tidak semudah itu. Menangkap Shimon sama saja seperti menangkap tikus got yang suka berkeliaran. Harus ada strategi. Tindakan gegabah mungkin bisa membahayakan keselamatan Emma. Karena itu Raveen harus berhati-hati. Tak ingin dicurigai karena terlalu lama berada di ruangan mereka, Raveen segera beranjak menuju kayu pemisah antara ruangan yang satu dengan yang lainnya. Ia meletakkan nampannya di meja, mengeluarkan serbet kemudian beralih pada pada lemari penyimpanan kecil yang terdapat di sudut ruangan. Diam-diam ia merapatkan tubuhnya pada kayu pembatas, menjaga agar indera pendengarannya tetap tajam dan menyimak perbincangan mereka. “Apa jaminanmu?” “Untuk sementara ini aku hanya bisa menawarkan puteriku. Akan kupastikan dalam waktu sebulan aku bisa menggatinya dengan uang. Beri aku waktu sebulan.” Ujar Shimon. “Sebulan untuk sebagian utangmu. Jika kau mengulur waktu lagi, utang itu akan bertambah sepuluh persen lagi.” “Kali ini aku tidak akan mengulurnya.” “Itu bagus, semakin cepat kau membayar utang-utang itu, semakin cepat juga kau lepas dari pengawasan anak buahku.” Raveen melihat Shimon beranjak menjauh dari lima pria itu untuk keluar melalui lorong yang sama. Ia segera kembali ke ruang ganti, mengnakan pakaiannya kembali kemudian begegas menuju mobil. Ia mempunyai lima belas menit untuk sampai di blok utama tempat ia meninggalkan Diane. - BAGIAN 8
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD