Hari tiba-tiba terasa begitu cepat. Jarum jam telah menunjukkan pukul delapan malam dan Diane masih berkutat dengan gaunnya di dalam suite. Disaat yang bersamaan, Sam menghubunginya. Sejujurnya Diane berniat untuk memutus hubungan itu namun ia mendapati dirinya sendiri menekan tombol terima hingga suara Sam muncul seberang.
“Aku ingin bicara denganmu.”
“Aku sibuk.”
Suara tawa menggelegar membuat Diane merasa terusik. Sial. Ia sudah menghadapi bahaya hari ini dan sekarang Sam membuatnya semakin kesal? Keterlaluan.
“Aku harus bicara denganmu Diane.”
“Kau sudah bicara denganku sekarang. Katakan saja apa yang ingin kau katakan Sam, waktumu hanya lima menit.”
“Tidak perlu sinis begitu. Sebenarnya aku juga perlu bicara dengan Raveen.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak hubungi dia saja?”
“Aku perlu bicara dengan kalian berdua!” tegas Sam. Nada suaranya berkesan ketus. Sementara itu hal terakhir yang Diane inginkan adalah berdebat dengan kakaknya. Ia harus memikirkan cara lain untuk menyudahi pembicaraan mereka. Apa yang dikatakan Sam sudah pasti tidak penting dan Diane tidak berniat membuang-buang waktu untuk mendengarkan kakaknya berceloteh tentang masalah bisnis atau apapun. Jadi keputusan yang paling tepat adalah menyudahi pembicaraan ini.
“Kau bisa datang ke apartemenku malam ini. Pukul sebelas. Aku ingin memeriksa keadaan kucingku disana dan kau bisa menemuiku.”
“Baiklah, hubu..”
Diane segera memutus hubungan telepon jauh sebelum ia mendengar respon lebih. Sudah cukup basa-basinya. Ia tidak benar-benar ingin bicara panjang lebar dengan Sam sekarang. Setelah memastikan riasannya cukup, Diane beranjak keluar. Ia mendapati Raveen tengan meyarungi pistol dan meletakkannya di selipan antara jins dan pinggulnya. Diane terperanjat. Tengorokannya tercekat. Ketika Raveen berbalik, pria itu sudah menemukan Diane berdiri di ambang pintu kamar dengan kaku. Raveen tersenyum hangat sebelum menegur Diane.
“Ada apa, Diane?”
“Apa kau selalu membawa itu?”
Raveen merunduk ke balik bahu dan melihat pistolnya disana. Kemudian ia memahami situasinya. “Aku selalu membawanya.”
“Apa itu dibutuhkan dalam pesta pernikahan?”
Raveen terkekeh. “Tidak, Manis. Ini hanya dibutuhkan dalam keadaan darurat.”
“Jadi seberapa daruratnya keadaan yang akan ku hadapi setelah ini?”
“Darurat atau tidak aku harus selalu membawanya untuk berjaga-jaga.”
“Berjanjilah satu hal padaku!” ketika Raveen mengernyitkan dahinya, Diane melanjutkan. “Jangan menembak seseorang di hadapanku.”
“Itu tidak akan terjadi. Ayo!”
...
Pesta pernikahannya telalu megah. Digelar seperti pesta pernikahan seorang pangeran dan permaisuri. Janji suci telah diucapkan dan beberapa undangan sudah berbaur untuk menikmati hidangan. Regan segera menyambut Diane begitu ia memasuki area pesta. Temannya itu mengenakan setelan gaun dengan lengan tebuka berwarna silver yang hampir serupa dengan warna matanya. Diane juga melihat Jules disana. Sedang berbincang-bincang dengan beberapa pria sambil menggenggam segelas anggur. Jules berpakaian dengan sangat modis. Hampir terlihat mencolok di sekitar ruangan. Balutan gaun berwarna hijau terang dan ikatan rambut yang rumit membuat Diane terkesima. Jadi apa saja yang sudah Diane lewati? Ia menghabiskan harinya untuk menenangkan diri atas kejadian yang baru saja menimpanya sampai lupa mempersiapkan diri untuk acara pernikahan ini. Diane hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah pucat tanpa riasan yang mencolok. Ia juga tidak menata rambutnya selain membiarkan rambut gelap itu terjuntai di balik punggungnya. Riasan yang tidak mencolok semakin menampakkan sisi sederhana Diane. Sangat murni. Sangat alami. Diane bertanya-tanya bagaimana penampilannya dalam pandangan Raveen malam ini. Sial. Siapa peduli soal Raveen?
Hanya saja pria ini terlihat sama tampannya dengan jas hitam dan setelan kemeja sederhana. Diane beruntung karena Raveen tidak mau repot-repot tampil modis–atau memang begitulah Raveen. Tidak ingin tampil begitu mencolok. Tidak juga tampil sembarang tampil. Setidaknya penampilan mereka setara. Regan menarik Diane dan Raveen untuk menempati bangku mereka.
“Aku dan Jules sudah menunggumu,” tegur Regan. “Omong-omong Mathews dan Laurance suda menerima buket bunga dan papan ucapan selamat yang kau kirim. Kelihatannya Laurance suka sekali mawar kuning pemberianmu. Dia meletakkannya di bagian depan untuk dekorasi ruangan.”
“Aku senang kalau dia suka. Apa aku sudah ketinggalan banyak?”
Regan melambaikan tangannya dengan tidak acuh. “Sama sekali tidak. Perayaannya baru saja ingin dimulai. Pengantin itu akan naik ke atas panggung untuk memberi ucapan terima kasih kepada seluruh undangan yang hadir.”
“Ku pikir kau juga akan memberi sambutan.”
“Oh, tentu saja. Aku lupa. Aku harus bergabung dengan Mathews sekarang. Keberatan kalau aku tinggal?”
“Tentu saja tidak.”
“Jules akan segera bergabung. Tapi kupikir tidak,” Regan mencondongkan tubuhnya untuk berbisik. “Dia sudah menemukan idaman barunya disini.”
Pengakuan Regan membuat Diane terkekeh “Pantas dia kelihatan serius sekali bicara dengan pria-pria disana.”
“Mereka teman dekat Mathews. Jangan khawatir. Jules akan baik-baik saja.”
“Aku khawatir Jules akan bertindak nekat untuk mengencani salah satu dari mereka.”
“Itu sudah dipastikan.”
Mereka cekikikan. Raveen hanya tersenyum memperhatikan dua wanita ini saling membicarakan tingkah laku temannya sendiri. Kemudian suara seseorang melalui microphone memenuhi ruangan. Regan tersetak. Ia segera bergegas meninggalkan Diane untuk bersiap. Acara berjalan semakin meriah ketika pengantin baru itu memberi sambutan hangat dengan menceritakan kisah cinta mereka dan sesekali membuat para undangan terhibur. Kemudian Regan maju memberi ucapan selamat pada kakak tertuanya yang baru saja menikah. Regan tampak sangat anggun di atas panggung. Meski begitu Regan masih bersikap malu-malu ketika memberi sambutan, kemudian sambutan dari orang tua Laurance menyusul, dan demikian sambutan-sambutan selanjutnya itu mengisi acara. Sampai acara berujung pada pesta dansa. Pengantin dan beberapa tamu undangan lainnya sudah memadati area dansa untuk bersenang-senang dengan irama lembut dari musik syahdu yang di mainkan. Sebagian yang lain sibuk menyantap hidangan dan berbincang-bincang seperti rutinitas alur pesta pernikahan yang sewajarnya. Regan dan Jules sepertinya tidak kesulitan untuk menemukan pasangaan dansa mereka. Sementara Diane, hanya duduk tenang menyesap anggurnya bersama Raveen.
“Kau kelihatan tidak senang.”
“Jangan berspekulasi, Detektif!”
“Aku tidak berspekulasi. Aku hanya ingin mengajakmu bersenang-senang.”
“Apa?”
Tatapan Diane tepaku ketita Raveen menjulurkan telapak tangannya dan berdiri dengan senyuman lebar. “Ayo kita berdansa!”
Senyum manis mengambang di wajah anggun Diane ketika ia menerima tawaran itu kemudian berjalan ke tengah lantai dansa bersama Raveen. Diane mengalungkan kedua lengannya di seputar tengkuk Raveen sementara Raveen meletakkan tangannya yang bebas di pinggul Diane. Kaki mereka bergerak pelan seirama mengikuti alunan musik. Ketika mereka saling bertemu pandang, tatapan Diane tidak sanggup beralih. Raveen telah mengunci tatapannya.
“Kenapa kau melihatku begitu?” tegur Diane, merasa terusik sekaligus nyaman menerima tatapan intens Raveen. Tatatapan itu tidak berkesan tajam, tidak juga keras, tapi lembut dan menjanjikan sesuatu yang benar-benar diinginkan Diane.
“Memangnya aku melihatmu seperti apa?”
“Sekumpulan buah beri mungkin,”
Raveen tertawa rendah. Matanya berkilat tajam. Memperlihatkan Diane betapa saratnya pria itu akan kehendak yang terurung. Apa yang sebenarnya diinginkan Raveen? Diane berharap ia bisa membaca apa yang dipikirkan Raveen. Sayangnya ia tidak cukup piawai dalam hal itu. Jadi Diane hanya bisa bertanya.
“Kurasa lebih baik.”
“Oh ya? Seperti apa?”
“Seember madu yang ingin ku santap mungkin,”
Giliran Diane yang tertawa. Ketika tangannya menyentuh rambut belakang Raveen, Diane bisa merasakan tekstur yang lembut disana. Selama sesaat ia baru menyadari bahwa hanya rambut cokelat gelap inilah yang menjadi bagian lembut dari diri Raveen. Yang lainnya nampak kasar dan begitu kekar. Diane bertanya-tanya apa ada bagian lembut lainnya dalam diri Raveen yang tidak ia ketahui? Ia berharap bisa merasakan tenstur lembut rambut itu lebih lama.
“Apa itu baik?” tanya Diane.
“Bagaimana menurutmu?”
“Seember madu tidak keliatan menyenangkan.”
“Bagaimana dengan bunga lilic yang baru saja merekah. Wanginya selalu membuat aku tergila-gila.”
“Apa kau sudah gila sekarang?” Diane memiringkan wajahnya dan memperlihatkan sederet gigi putihnya dengan tersenyum lebar. Raveen tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir itu. Bibir lembut yang benar-benar ingin ia cicipi. Tiba-tiba tenggorokannya terasa panas. Entah kapan ia kehilangan suaranya. Dalam berapa detik Raveen sudah menemukan kembali suaranya, hanya saja suara itu terdengar parau.
“Ya aku sudah gila sekarang.”
“Apa yang membuatmu gila?”
“Kau, Sayang.”
Apa yang baru saja dikatakan Raveen? Apa Raveen sadar? Atau ini hanya bagian dari gurauannnya saja? Diane berpihak pada dugaan kedua. Ia menyipitkan kedua matanya lalu menggigit bibir bawahnya. Astaga, apa Diane sadar bahwa yang dilakukannya hanya akan membuat gairah Raveen tersulut? Raveen harus berjuang keras untuk mempertahankan segenap pengandalian dirinya untuk tidak keluar dari batas kewajaran.
“Itu tidak lucu,” kata Diane akhirnya.
“Ya, lelucon yang mana?”
“Kau baru saja mengatakannya, Detektif!”
“Itu bukan lelocon, Manis.”
“Apa kau bicara serius?”
“Tergantung pada seberapa besar kau menganggap itu serius.”
Diane tersenyum manis. Kilau di mata birunya membuat lesung pipi Raveen semakin terlihat jelas.
“Kapan kau akan melepaskan kekasihmu?”
Kerutan pada dahi Diane semakin dalam. “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Aku hanya berusaha menentukan waktuku.”
“Oh-uh, aku tidak akan menerimamu.”
“Aku meragukan itu.”
“Kau pikir seberapa tertariknya aku pada seorang Detektif?”
“Kau tidak sedang membicarakan seorang Detektif. Kau bicara soal aku. Katakan, Manis apa ada peluang untukku?”
Senyum di wajah Diane semakin lebar. “Kita lihat saja nanti.”
“Untuk saat ini aku tidak bisa menunggu.”
“Kenapa?”
“Karena aku sangat ingin menciummu.”
Pengakuan blak-blakan Raveen membuat Diane membelalak. Anehnya ia tidak memiliki kemampuan untuk menjauh dari pria yang berotak m***m di hadapannya ini. Yang menjadi ironi adalah Diane juga menginginkan hal yang sama.
“Kau tertarik padaku hanya untuk menciumku?”
“Kenapa aku harus tertarik padamu hanya untuk menciummu? Aku bisa melakukan itu pada wanita manapun tanpa harus merasa tertarik.”
“Kau punya wanita lain?”
Raveen mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinga Diane. “Tidak ada wanita lain, Manis. Tidak ada wanita lain.”
Diane memejamkan matanya ketika merasakan sensasi hangat yang ditimbulkan oleh napas Raveen ketika melewati tengkuknya. Selama sesaat Diane harus menahan keinginan kuat untuk menarik Raveen dan mendekapnya erat-erat. Ketika pria itu menegakkan kembali tubuhnya, Diane hampir tersentak oleh pemikiran itu. Tapi ada hal lain yang dilihat Diane pada kedalaman mata emas Raveen. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dalam kata-kata. Mungkinkah Raveen menginginkannya sebesar Diane menginginkan Raveen? Yang benar saja. Belum genap sepekan mereka bersama dan mereka sudah saling menginginkan? Ya ampun...
Yang membuat Diane semakin tersentak adalah cengkaramn kasar seseorang pada lengannya. Pria itu menarik Diane dan menjauhkannya dari Raveen. Diane menoleh dan mendapati sosok Max disana. Kelihatan sangat marah dan menantang saat bertatapan dengan Raveen. Dan seperti biasa–Raveen tidak mengunjukkan emosi sedikitpun.
“Oh-oh, ada apa ini, Bung?” ujar Max sambil menatap Raveen. “Mencoba merebut kekasih orang?”
Diane pikir akan terjadi keributan seandainya ia tidak segera melerai. Maka ia segera menenangkan Max jauh sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.
“Max, sudahlah! Aku mohon jangan membuat keributan.”
“Kenapa kau tidak menjelaskan padaku, Diane Sayang? Apa sekarang dia jadi kekasih barumu?”
“Max!” Diane mencetus dengan kesal. “Aku mohon. Jangan buat keributan! Raveen hanya berusaha menemaniku. Itu saja.”
Pandangan yang dilayangkan Max berkesan sinis. Kerutan pada dahinya mengatakan bahwa ia tidak mempercayai sedikitpun akan apa yang dikatakan Diane. “Yang benar saja? Kalian kelihatan mesra sekali.”
“Tidak ada apapun, Max.”
Raveen melangkah maju dan mengatakan, “Seharusnya kau percaya pada Diane jika kau memang mencintainya.”
Max mendengus, sesekali tertawa. “Mempercayainya setelah dia berpelukan mesra dengan pria lain di lantai dansa? Yang benar saja. Sayang, aku pikir kita perlu bicara sekarang.”
“Baiklah, jangan disini. Kita selesaikan saja kesalahpamahaman ini di tempat lain.”
Raveen nampaknya tidak setuju dengan usulan itu. Satu tangannya menahan Diane dan tindakan itu hanya mendapat hadiah tatapan tajam dari Max. Keraguannya dipecah oleh anggukan Diane hingga pada akhirnya Raveen melepas Diane untuk bicara dengan sang kekasih.
Meninggalkan tatapan sinis pada Raveen, Max merenggut tangan Diane kemudian menariknya keluar dari area pesta. Diane ditarik dengan kasar sampai ke taman di samping gedung. Taman itu gelap dan tak berpenghuni. Hanya ada lampu hias yang menggantung di sudut taman. Max melepas Diane dengan kasar dan menghimpit wanita itu diantara dinding dan tubuh besarnya.
“Baiklah, kau bisa menjelaskan padaku sekarang.”
Diane memutar bola matanya–berharap bahwa ia tidak harus menjelaskan setiap tindak-tanduknya pada pria ini. Sudah sepatutnya Max mengerti suasana itu. Tapi kenapa Max selalu mencurigai Diane? Diane sudah bosan diintimidasi, Diane sudah bosan dituduh melakukan sesuatu yang pada kenyataannya sama sekali tidak ia lakukan, Diane sudah bosan menjawab semua pertanyaan dan kecemburuan Max. Diane pikir ia tidak terlalu banyak tanya ketika Max berselingkuh dengan Sarah. Lalu apa salahnya kalau Diane dekat dengan Raveen? Toh, Max juga melakukan hal yang sama, bukan? Pria b******n.
“Apa lagi yang harus ku jelaskan, Max? Aku sudah menjelaskan ini sebelumnya. Tidak ada hubungan khusus antara aku dan Raveen. Apa salahnya kalau kami berdansa? Dia hanya mencoba menemaniku.”
“Itu bukan jawaban yang sebenarnya. Kau bisa menungguku, Sayang.”
Diane semakin gusar. “Bagaimana aku bisa tahu kau juga hadir di acara ini?”
Max tertawa. “Lucu sekali. Kau pikir aku tidak akan datang di pesta pernikahan sepupuku sendiri?”
“Apa?”
“Laurance sepupuku, Sayang. Ini pesta pernikahan sepupuku.”
Mengejutkan sekali. Laurance tidak tampak seperti Max. Wanita itu kelihatan lembut dan ramah sementara sepupunya ini begitu kasar dan menjengkelkan.
“Aku tidak tahu itu. Jadi ini bukan salahku. Aku dan Raveen hanya berdansa. Aku tidak menemukan masalah apapun disini.”
Rona merah padam yang menyelimuti wajah Max membuat Diane bergidik. Laki-laki ini seperti ingin meledak. Diane berdo’a dalam hati semoga dugaannya tidak benar-benar terjadi.
“Tetap saja. Kau tidak bisa berdansa dengan pria lain sementara kau punya seorang kekasih. Pria itu menyentuhmu, Diane!”
“Demi Tuhan, Max,” suara Diane menggelegar. Amarahnya sudah timbul hingga kepermukaan. Max sudah mempermainkan kesabarannya. Hal terakhir yang diinginkan Diane adalah mencekik Max. “Bisakah kau berhenti menentukan batasan-batasanku? Aku tahu apa yang kulakukan tanpa harus kau ingatkan. Kenapa kau terus mencurigai aku seolah aku ini sesuatu yang harus kau awasi? Hubungan kita tidak lebih dari apa yang kumiliki dalam hidupku, Max. Ini hidupku! Aku berhak menentukan apapun yang aku lakukan, dan kau sama sekali tidak punya hak untuk membatasiku.”
Max mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Diane merapat ke dinding. Entah mengapa ia merasa sangat terdesak. Dunia jadi semakin sempit dan dinding sialan ini bersekongkol dengan Max untuk mencekiknya. Diane bisa melihat urat pada dahi dan rahang Max mengeras. Pemandangan itu hampir saja membuatnya meringis, tapi Diane tidak boleh takut pada Max.
“Diane… Diane..., sebaiknya kau jaga bicaramu, Sayang,” Max mengangkat tangannya untuk menangkup wajah Diane. Membuat wanita itu semakin tersiksa karena cengkraman kuatnya. “Kenapa aku merasa kau menggertakku?”
Menggertak? Diane berharap demikian. Bukan hanya menggertak, ia juga ingin meludahi Max sekarang. “Aku tidak menggertakmu, Max!”
“Sshhh,,, Sayang. Jangan banyak bicara. Kau bicara soal batasan seolah kau tahu apa itu batasan,” Max menggerakkan satu tangannya yang bebas ke seputar lengan Diane. Meremas lengan itu hingga membuat Diane kesakitan. “Apa dia menyentuhmu seperti ini?”
Diane berharap ia punya kekuatan besar untuk merobohkan dinding ini dan menendang Max sampai pria itu memohon ampun. Diane berharap ia bisa mencekik Max, memukul kepala Max sampai pingsan, menghajar Max... apapun yang bisa menjauhkannya dari pria b******n ini. Apa yang dipikirkannya selama ini? Inikah yang ia sebut sebagai kekasih? Ya ampun, betapa bodohnya Diane. Max jelas bukan pria yang pantas untuknya. Max adalah b******n sialan.
Ketika Max menggerakkan tangan keatas dan menyobek lengan gaun Diane, Diane berteriak namun dengan cepat Max membungkam mulut Diane dengan telapak tangannya.
“Ssttt... Sayang, jangan berteriak. Aku hanya ingin tahu apa yang kau sebut sebagai ‘batasan’ itu. Apa dia juga melakukan itu padamu? Apa dia menyobek gaunmu? Apa dia melakukan itu padamu?!” Max melingkari tangannya untuk membelai lekuk leher Diane. Seringaian lebar mengambang di wajahnya. “Aku pikir tidak.. karena aku yang akan melakukannya, Sayang...”
Sebelum Max membenamkan wajahnya dalam kehangatan tubuh Diane, pukulan telak menghantam tengkuknya. Diane segera menjauhkan diri dari Max. Pria itu hampir ambruk, namun berhasil menahan bobot tubuhnya. Diane melihat Raveen disana. Berdiri dengan amarah besar yang terlukis di wajah. Sangat jelas, sangat nyata. Diane belum pernah melihat emosi yang begitu kentara di raut wajah Raveen, dan sekarang ia melihat emosi itu. Wajah Raveen merah padam, seperti predator yang siap menikam mangsanya. Raveen hendak menghampiri Diane ketika Diane berteriak dengan panik,
“Di belakangmu!”
Raveen berbalik dengan cekatan, menghantam tinju keras di wajah Max hingga darah segar keluar dari lubang hidung dan tepi bibir Max. Raveen tidak menunggu Max bangkit untuk menghantam tinju selanjutnya.
“Terima itu untuk kelakukanmu, berengsek!”
“Raveen, sudah! Tolong,,, berhentilah!” Diane berlari untuk menggapai lengan Raveen, menghentikan Raveen dan menarik pria itu untuk menjauh meninggalkan Max yang tersungkur kesakitan di atas tanah dan rumput hijau.
“Apa yang kau lakukan? Dia berbahaya, Diane. Dia harus dibawa ke kantor polisi.”
“Sudahlah. Aku mohon jangan...”
Pandangan mereka bertemu. Raveen bisa melihat air mata mulai memenuhi mata biru Diane hingga kilaunya terlihat semakin jelas. Ia-pun luluh. Raveen membuka jas hitamnya yang ia gunakan untuk menutupi seputar gaun Diane yang sobek kemudian membimbing wanita itu kembali ke mobil.
“Diane,...”
“Aku mohon antar aku ke apartemenku,” ujar Diane sambil mempertahankan jas Raveen di atas tubuhnya. Air matanya kian merebak. Diane hanya perlu menjaga agar suaranya tidak tedengar pecah. “Aku harus memeriksa dua kucingku.”
Bagus sekali. Wanita ini masih memikirkan peliharaannya setelah apa yang baru saja terjadi.
“Kau baik-baik saja?”
“Aku mohon bawa saja aku ke apartemenku. Tolong..”
Raveen enggan mendebat Diane. Ia segera mengemudikan sedannya menuju apartemen Diane. Sepanjang perjalanan tak satupun dari mereka yang mengisi pembicaraan. Keduanya membisu. Raveen nampak fokus dengan jalan raya sementara tatapan kosong Diane terarah ke luar jendela mobil. Diane nampak sangat lesu. nampak sangat letih. Ia sudah tidak bisa berpikir dengan lebih baik lagi sekarang. Sekarang Diane tahu siapa Max sebenarnya dan sekarang Diane juga tahu satu fakta yang tak terhindarkan. Raveen yang selalu ada bersamanya. Raveen yang telah menolongnya. Kalau saja Raveen tidak segera datang, Diane sudah tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Max. Max memang b******n. Seharusnya Diane tidak sebodoh itu sampai mau memberi Max kesempatan untuk mendekatinya lagi. Diane terus berusaha untuk menjauhkan Raveen dari hidupnya, menolak semua kebaikan yang ditawarkan pria itu dan pada dasarnya–Diane butuh Raveen. Lebih dari apapun, Raveen telah menyelamatkannya dalam berbagai situasi. Diane berhutang pada Raveen. Diane merasa aman ada bersama Raveen, dan ia terus berusaha memungkirinya selama ini. Diane menyesal karena telah menyia-nyiakan kebaikan Raveen. Sejujurnya ada hal yang jauh ia sesali dari semua itu. Hal yang tidak bisa Diane pungkiri. Diane mencintai Raveen. Itu adalah fakta yang menyakitkan sekaligus membahagiakan. Diane salah besar karena telah membiarkan dirinya tejerumus dalam jeratannya sendiri. Pada akhirnya, Diane akan kalah juga.
Sesekali Diane memutar pandangannya untuk melihat Raveen, namun pria itu sama sekali tidak mengunjukkan reaksi sedikitpun. Diane bertanya-tanya apa Raveen juga merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan? Apa Raveen juga mencintainya? Tapi bagaimana bisa ini dibilang cinta? Kata cinta masih terlalu jauh untuk mereka. Lalu dengan apa Diane menyebutnya? Kagum. Ah tidak, ia bukan hanya sekedar kagum pada sosok Raveen, Diane juga merasakan sisi lain yang membuatnya bahagia dari Raveen. Ini bukan cinta, bukan sekedar rasa kagum. Perasaannya tak bisa tedefinisikan. Beribu pertanyaan juga berkeliaran disekitar Diane. Bagaimana jika Raveen hanya menganggapnya sebagai adik Sam yang keras kepala? Bagaimana jika Raveen menganggapnya tidak lebih dari sekedar klien biasa? Bagaimana, bagaimana dan bagaimana. Semuanya akan berujung pada bagaimana. Mirisnya, Diane tidak pernah punya jawaban atas pertanyaan itu.
Tak sadar mereka sudah tiba di depan suite. Raveen menahan Diane untuk masuk lebih dulu. Satu tangannya memutar kenop pintu, satu yang lain sudah bersiap di senjata. Diane bertanya-tanya kehidupan apa yang dijalani Raveen sejauh ini? Pria itu kelihatan selalu waspada. Pintu terbuka lebar. Tak ada siapapun. Tidak ada ancaman atau bahaya, setelah itu Raveen segera melangkah masuk. Diane mengekor di belakangnya. Raveen berhenti di tengah ruangan ketika mendengar suara pintu tertutup dan bunyi kunci di putar yang begema di tengah suasana senyap itu. Ia dikejutkan ketika Diane berlari dan mendekapnya dari belakang. Tubuh Diane menempel pada tubuh Raveen. Raveen menangkup kedua tangan Diane yang memeluk perutnya kemudian berbalik untuk melihat wanita itu.
Diane harus menengadah untuk bisa bertemu pandang dengan Raveen secara langsung. Bibirnya terkatup rapat ketika ibu jari Raveen bermain di sekitar rahangnya.
“Raveen,,,”
“Sshhh...” mata emas Raveen yang mulai menggelap bertemu dengan mata biru Diane. “Sudah cukup Diane. Jangan bicara lagi!”
Diane tidak menjauh justru ia melingkari lengannya ke seputar leher Raveen dan menarik pria itu mendekat. Napas mereka bertemu seiringan dengan batang hidung mereka yang beradu.
“Kenapa kau tidak melakukannya?” tanya Diane, menunggu Raveen untuk menciumnya. Ia bisa merasakan nafas berat Raveen. Aroma yang menyenangkan dan sangat Diane suka.
“Wanita lebih dulu.”
Diane menyusupkan jari-jarinya ke dalam rambut Raveen dan menarik pria itu untuk mendekat. Ragu-ragu, ia berjinjit, perlahan-lahan menyatukan diri mereka. Dengan lengan yang memeluk Raveen, Diane mulai mencium pria itu. Raveen tidak bereaksi selama beberapa detik. Ciuman Diane di bibirnya berkesan ragu. Sangat lamban dan tidak piawai. Sikap Raveen membuat Diane menciptakan kembali jarak diantara mereka. Ia menatap mata Raveen yang sudah gelap dan melihat gairah yang membara disana.
“Apa kau tidak suka?”
Raveen tersenyum masam. Lesung pipinya membuat Diane terpana. “Nanti kau menyesalinya, Manis.”
“Tidak akan. Aku belum pernah mencium pria seperti ini.”
“Sekarang kau sudah melakukannya.”
Raveen membungkam Diane dengan ciuman lembut. Ciuman yang membuat Diane melayang di udara. Tangan Raveen menangkup rahangnya. Membuat Diane semakin dekat, menyulut sensasi panas yang hampir membakar tubuh Diane dan membuat sekujur tubuh Diane lemas. Selama sesaat Diane berpikir kalau ia tidak ingin melepaskan Raveen. Ia bisa merasakan aroma Raveen selamanya. b******u dengan Raveen seperti ini. Ini jelas bukan tindakan yang pantas untuk seorang wanita terhormat. Tapi siapa yang bisa berpikir dengan akal sehat ketika tawaran menyenangkan sudah ada di depan mata. Ini bukan soal kehormatan. Diane menyukai Raveen, cara lembut pria itu menciumnya, menyulut gairahnya...
Ini jelas bukan soal kehormatan. Diane hanya berusaha mencari kesenangan. Raveen benar-benar luar biasa. Diane sudah pernah membayangkan ini, dan kenyataannya jauh lebih menyenangkan. Belum pernah Diane berpikir tidak akan melepaskan pria sampai seperti ini. Ia selalu berpikir pria itu tidak menyenangkan, egois dan menjengkelkan, tapi pada dasarnya Diane justru menginginkan Raveen sekarang. Lebih dari apapun ia ingin merasakan aroma Raveen lebih lama lagi. Mereka berhenti sejenak untuk mengambil napas dan pada detik berikutnya, Diane menutup jarak itu lagi. Ia tidak menyangka kalau dirinya bisa serakus ini. Ciuman lembut tiba-tiba berubah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Diane tidak bisa menahan kehendaknya lagi. Akal sehatnya sudah mengambang di udara. Semakin tipis dan pudar begitu saja. Yang ia pikirkan hanyalah nafsu berahinya saja.
Raveen membiarkan bagian tubuhnya membaur bersama Diane. Ia sudah memikirkan ini sejak lama. Betapa menyesalnya Raveen karena menyia-nyiakan waktu seindah ini yang bisa ia lewati bersama Diane sejak dulu. Ia menginginkan Diane lebih. Lebih dari sekedar ciuman biasa. Astaga, mereka bisa saja berakhir di ranjang. Seolah pemikiran itu di dengar, Diane menyuarakan pikirannya.
“Ke ranjang!”
Raveen membopong Diane dan menjatuhkan tubuhnya secara perlahan di atas ranjang. Ia bergabung pada detik berikutnya. Satu lengannya memeluk Diane dengan mesra, satu yang lain tidak bisa menahan keinginan kuat untuk menggerayangi tubuh Diane. Meski begitu, Raveen masih peduli soal batasan. Ia tidak akan mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Ranjang menukik karena pergerakan mereka. Diane belum sempat mengambil nafas panjang ketika Raveen mencondongkan tubuhnya untuk mencium wanita itu dengan lebih b*******h. Sampai Diane merasa kelelahan, Raveen menurunkan tubuhnya untuk mencium lekuk leher dan merasakan aroma Diane yang terasa semanis madu.
“Sam pasti membenciku karena ini,” bisik Raveen ketika ia menghunjami rahang Diane dengan ciuman mesra. Diane menarik pria itu, menciumnya lagi dan tertawa rendah.
“Siapa yang peduli soal Sam?”
Raveen menjauh untuk melihat wajah wanita yang ada tepat di bawah tubuhnya. Ia membelai rambut Diane dan berusaha melepaskan jasnya dari tubuh Diane. Jas terlempar ke atas lantai dan kini tubuh mereka hanya terhalang oleh gaun yang sobek dan kemeja. Seandainya Raveen tidak mempedulikan masa depan Diane, ia akan menyikirkan semua pakaian itu dari tubuh mereka. Beruntung ia diberkati oleh pengendalian diri yang kuat. Raveen tidak akan mencuri sesuatu yang bukan haknya. Ia sudah berkomitmen. Diane menginginkannya dan ia berusaha memberi wanita itu dengan senang hati. Raveen tidak akan meminta wanita itu untuk memberinya sesuatu. Karena Raveen berani bertaruh ia tidak akan pernah puas dengan apa yang diberikan Diane. Lebih baik mencegah ketimbang mengambil resiko. Satu-satunya hal baik yang Raveen sadari adalah–Diane tidak mabuk. Itu berarti Diane benar-benar menginginkannya dan dengan senang hati Raveen akan memberi semua yang Diane inginkan malam ini.
“Tersenyumlah!” pinta Diane. Tawa rendah melingkupinya.
“Kenapa aku harus tersenyum, Sayang?”
“Tersenyum saja!”
Raveen menuruti keinginan Diane. Ia tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat semakin dalam. Kemudian Diane mengangkat tubuhnya untuk mencium lesung pipit itu sampai membuat Raveen merasa terangsang.
“Kau sudah mendapatkan yang kau inginkan?”
Diane mengangguk. Satu tangannya melingkari tengkuk Raveen, satu yang lain memeluk punggung Raveen. Diane bisa merasakan otot-otot yang kekar dibalik kemeja itu.
“Giliranku. Tutup matamu, Manis!”
Diane ragu sebentar kemudian ia menutup matanya sesuai dengan yang diminta Raveen. Dua detik berikutnya, Raveen sudah mencium kelopak mata Diane dengan sangat lembut kemudian berlalih pada kolopak mata yang lain dengan kelembutan yang sama. Pria itu memberi jarak hingga Diane bisa membuka matanya lagi.
“Aku suka matamu.” Ujar Raveen jauh sebelum Diane menariknya dan menciumnya dengan menggebu. Rambut Diane sudah tidak tertata lagi. Demikian kemeja yang dikenakan Raveen juga sudah tidak serapih sebelum mereka berdekatan sampai seintim ini.
Tangan Diane terus bergerak turun sampai di pinggul ramping Raveen. Ia berhenti ketika merasakan permukaan yang keras terselip diantara pinggul dan jins hitam itu. Kemudian Diane mengangkat tangannya dan entah bagaimana pistol itu sudah ada dalam genggaman. Mata Diane yang membelalak mengalihkan perhatian Raveen. Dengan enggan Raveen mengangkat tubuhnya untuk melihat apa yang ada dalam genggaman Diane.
“Apa saat tidur kau juga membawanya?”
Raveen tersenyum kecut, “Ini pekerjaanku, Manis.”
“Bisa kau menyingkirkannya untuk malam ini?”
Pertanyaan Diane dinilai Raveen sebagai sesuatu yang menghibur. Dengan cepat Raveen meraih senjata itu dan meletakkannya pada meja lampu yang ada di samping ranjang. Ia kembali untuk meredakan gemetar yang dialami Diane dengan mencium wanita itu. Mereka terhanyut dalam sensasi panas dan gairah yang hebat. Selama beberapa menit Diane hanya menginginkan Raveen, begitu pula sebaiknya. Raveen tidak berhenti menghunjami Diane dengan ciuman menggebu di bibir, rahang dan lekuk leher wanita itu. Diane membuka diri. Membiarkan Raveen memberinya kesenangan yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Menbenamkan jemarinya di kepala pria itu ketika Raveen semakin menyulut gairahnya dan membisikkan namanya dengan suara parau.
Semua kesenangan mereka berlangsung sampai suara ketukan pintu terdengar nyaring di tengah kesenyapan. Secara serentak mereka menengadah ke arah pintu sebelum saling bertukar pandang. Bola mata Diane melebar ketika ia teringat akan janjinya dengan seseorang. Ia menatap Raveen dan berbisik,
“Itu Samuel.”
Raveen menoleh ke pintu sekali kemudian menatap Diane dan seolah tidak peduli dengan keberadaan Sam, Raveen membenamkan wajahnya pada lekuk leher Diane sambil berbisik, “Biarkan saja.”
Diane menggeliat seperti cacing ketika cambang Raveen yang baru tumbuh menggesek kulitnya yang sensitif. Ia hampir kehilangan kendali, namun berhasil mengembalikan akal sehatnya dengan cepat. Dengan enggan Diane menarik Raveen hingga pria itu bertemu pandang dengannya. Ia mendelik pada pria itu sebelum bicara,
“Kau pikir situasi apa yang sedang kita hadapi sekarang, Detektif? Sam bisa saja membunuh kita begitu melihat apa yang sedang terjadi. Sebaiknya cepat berpakaian sebelum dia semakin mencurigai kita.”
Raveen tertawa rendah. Yang benar saja. Ungkapan Diane beberapa menit lalu masih terasa segar dalam ingatan. Siapa yang peduli soal Sam? Apa Diane benar-benar melupakannya? Disatu waktu wanita itu bersikap tak acuh di waktu lain Diane sangat panik. Tak mau mengidahkan pernyataan Diane, Raveen bangkit dan melepas tubuh Diane dari himpitan lengannya yang kekar. Ia berdiri dan memberi keleluasaan bagi Diane untuk meraih sweeter tebal di lemarinya kemudian mengenakan sweeter tersebut untuk menutupi sebekan gaunnya. Sementara itu, Raveen meraih jas yang sebelumnya ia lempar ke atas lantai kemudian membenahi kemejanya hingga terlihat lebih rapi dan mengenakan kembali jasnya. Begitu suara ketukan kedua menyusul, Raveen mendekat untuk membenahi rambut Diane sambil memberi isyarat kedipan mata pada wanita itu. Ia mencondongkan tubuhnya hingga dekat dengan telinga Diane, kemudian berbisik.
“Jangan pernah lupakan malam ini, Manis.”
Diane tidak bisa menahan senyumnya ketika ia cepat-cepat bergegas menuju ambang pintu dan memutar kenopnya. Sam menyeruak masuk dengan pembawan khasnya yang hampir tidak mempedulikan sopan santun. Tidak ada sambutan hangat, tidak ada sapaan atau salam, pria itu hanya masuk dan mulai berceloteh tentang banyak hal.
“Akhirnya aku bisa menemui kalian. Apa kau tahu, aku terus bertanya-tanya sudah berapa lama aku meninggalkan kota dan bagaimana aku bisa melupakan kalau kota ini sangat ramai di malam hari? Aku harus menerobos lalu lintas dan mencari jalur tercepat untuk sampai disini. Aku sudah membuat janji akan bertemu dengan rekan bisnisku satu jam dari sekarang dan aku tidak tahu apa aku bisa datang tepat waktu,”
Sam menoleh pada Raveen dan adiknya secara bergiliran. Diane kelihatan membatu di ambang pintu sementara Raveen sedang berupaya menuang segelas air mineral di dekat konter. Ia memperhatikan rona merah yang masih membekas di wajah adiknya, kemudian Sam memperhatikan teman lamanya itu dengan pandangan mengintimidasi. Sam menyipitkan matanya ketika Raveen meneguk air mineral kemudian mulai angkat bicara,
“Aku pikir aku datang di waktu yang tidak tepat.”
Raveen hampir terkekeh begitu melihat bagaimana Diane bereaksi atas pengakuan Sam. Wanita itu tidak hanya menampakkan rona merah di wajahnya, tapi juga mebuka matanya lebar-lebar. Tentu saja Sam bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca situasi tegang ini. Lebih-lebih, penampilan Diane yang agak berantakan mendukung asumsinya tentang apapun yang terjadi jauh sebelum ia datang.
Diane hampir merengut kesal ketika menyadari betapa santainya Raveen bersikap di hadapan Sam–seolah tidak pernah terjadi apapun diantara mereka. Ia bertanya-tanya bagaimana Raveen bisa setenang itu ketika seseorang yang sangat ia kenal berdiri dengan tatapan mengintimidasi dan menuduhkan apa yang Diane ketahui benar adanya. Sial. Diane tidak bisa membiarkan Sam tahu semua yang tejadi. Boleh jadi Sam akan berkuasa atas masalah asmaranya. Sam sudah mencampuri kehidupannya telalu jauh dan Diane tidak akan membiarkan Sam ikut serta menentukan alur asmaranya dengan seseorang, bahkan dengan Raveen sekalipun.
“Tidak ada yang tidak tepat,” sergah Diane dengan ketus. Ketika Sam berpaling ia melayangkan pelototan sengit pada Raveen. Anehnya pria itu tidak merasa terancam, bahkan masih sanggup untuk tersenyum dan menebar pesona yang membuat Diane mati rasa. Astaga, apa yang telah ia lakukan? Apa ia baru saja mencium Raveen? Diane tidak bisa mengatakan bahwa ia menyesal atas semua yang baru saja terjadi karena pada dasarnya, Diane yang menginginkan Raveen. Diane yang berperan besar dalam percintaan singkat mereka. Ironinya Diane masih menginginkan Raveen sebesar ia menginginkan pria itu tetap ada di dekatnya. Hanya satu hal yang tak berani dilakukannya adalah mengambil keputusan. Diane belum siap mengambil keputusan apapun atas apa yang terjadi beberapa menit lalu. Ia hanya menganggapnya sebagai kesenangan belaka. Diane belum benar-benar mengerti apa yang dikatakan hatinya dan ia tidak bisa memastikan apa benar ia mencintai Raveen. Sebaiknya Sam tidak perlu terlibat dalam semua ini.
Sam berpaling pada Raveen. Samar-samar Diane melihat senyum jahil terluas di wajah kakaknya kemudian Raveen memberi anggukan singkat sebagai isyarat yang tak dimengerti Diane. Sial. Dua pria ini berkomunikasi dengan cara mereka. Apapun yang mereka pikirkan suda berarti buruk. Diane bisa memastikannya hanya dengan melihat kilat jahil di mata emas Raveen. Wajahnya semakin merona karena malu. Kemudian Diane memutuskan bahwa yang paling tepat untuk dilakukan saat ini adalah mengabaikan semua hal konyol yang terjadi.
“Katakan saja apa maksud kedatanganmu, Sam. Aku tidak punya banyak waktu.”
Sam berdeham. Ia melangkah mendekati Raveen untuk meraih segelas air yang dituang Raveen untuknya. “Sejujurnya aku tidak berniat mengganggu privasi kalian...”
“Tidak ada privasi apapun disini!” tegas Diane, kedengaran ketus dan sinis. Ia menatap Raveen, berharap pria itu mau membantunya menyangkal semua yang dipikirkan Sam, namun seperti yang diduga Diane, Raveen telah bersekongkol dengan Sam. Pria itu masih tanpak tenang menyesap minumannya. Selama sesaat Diane mengira ia ingin mencekik Raveen. Persetan, Diane ingin mencium Raveen. Tidak, ia ingin melakukan dua hal itu di saat yang bersamaan. Oh ya ampun, Diane mulai melantur.
Kalau pendengarannya tidak salah tangkap–biasanya memang tidak pernah salah tangkap, Diane mendengar tawa rendah Sam ketika pria itu memunggunginya untuk berbisik pada Raveen.
“Kerja bagus, Bung” bisik Sam, berpura-pura meraih air dalam botol mineral itu kemudian menuangnya dalam satu gelas kosong yang lain sementara tatapannya terpusat pada Raveen. “Aku kagum karena kau bisa menaklukannya dengan sangat cepat. Kau memang kuda jantan hebat yang ku kenal.”
“Itu tidak mudah.” Sahut Raveen.
“Apa dia suka padamu?”
“Dia tidak bilang begitu.”
“Persetan, dia mau tidur denganmu, itu berarti dia suka padamu.”
“Aku tidak menidurinya,” aku Raveen sambil menyipitkan matanya. Sam kelihatannya terkejut atas pernyataan itu.
“Apa? Astaga ku pikir kalian melakukannya.”
“Kalau begitu aku bukan kuda jantan hebat yang kau kenal lagi, ya?”
“Yah, kau memang pecundang.”
“Sialan, Sam. Berhenti menyebutku pecundang atau aku...”
Suara bedebum yang keras memenuhi ruangan ketika Diane menjatuhkan salah satu bot yang tertata rapi di raknya. Usaha itu berhasil karena sekarang ia mendapat perhatian mereka.
“Apa yang kau maksud dengan 'kuda jantan’, Sam?”
Sam memasang raut polos seakan tidak tahu-menahu tentang apa yang ditanyakan Diane. “Kuda jantan?”
“Aku mendengarnya. Kalian berdua, menyebut-nyebut soal kuda jantan. Apa untuk itu kau datang kesini, Sam? Kau ingin membahas kuda jantan dengan temanmu ini? Ku pikir sebaiknya kau pergi saja.”
Sam memutar tubuhnya, berjalan kembali mendekati Diane sambil menghela napas panjang. “Ku pikir kau butuh sesuatu untuk menenangkanmu. Kau dan Raveen...”
“Sudah ku bilang tidak ada apapun antara aku dan detektif Alex!” tegas Diane, pandangannya terarah tajam pada Raveen. “Sebaiknya kau selesaikan apa yang menjadi urusanmu disini. Seandainya kau lupa, kau akan mengadakan pertemuan satu jam mendatang dengan seseorang.”
Tidak ada tanggapan, tapi Diane bisa merasa diam-diam kakaknya mulai menggerutu. Diane senang bisa memojokkan Sam, tapi ia juga tidak senang jika Sam membahas privasinya bersama Raveen. Sekarang permainan mereka imbang. Diane sudah berjanji pada dirinya sendiri akan mencerca Raveen karena telah bersekongkol dengan Sam untuk mempermalukannya.
“Siang ini Dad baru saja menghubungiku.”
“Apa yang dia katakan?”
“Dad sudah tahu semuanya,” Sam belum menuntaskan kalimat itu ketika melihat mata adiknya sudah membelalak.
“Kenapa kau mengatakannya?”
“Maaf, Diane, aku tidak mungkin berbohong pada Dad.”
“Oh sial.”
“Kau mengumpat.” Sela Raveen sambil menatap Diane dengan intens. Diane berpaling dengan cepat sambil berseru.
“Ya, memang. Dan kau, Sam! Kalau kau masih berniat mencampuri urusanku, sebaiknya kau pergi dari sini sekarang!”
“Ini bukan sekedar urusanmu, masalahmu adalah masalahku juga. Siapapun yang mengancammu, maka aku akan merasa terancam juga.” Sam mengklaim pernyataan Diane dengan alasan yang sangat baik sampai Diane nyaris tidak bisa menahan keinginan kuat untuk mencekiknya. “Raveen, ayahku ingin bicara denganmu. Dia akan kembali dua hari lagi dan aku harap kau sudah siap untuk menjelaskan seluruh detail teror ini padanya.”
Raveen mengangguk, sesekali memandangi Diane yang bersedekap di sudut ruangan dengan wajah di tekuk. Tentu saja Diane sangat tidak senang dengan semua ini. Raveen bisa merasakan suasana hati wanita itu. Tapi yang dilakukan Sam adalah yang terbaik untuk Diane. Seandainya teror ini terus berlanjut, keterlibatan sang hakim mungkin akan menumpas segalanya. Diane sedang diincar oleh pembunuh di luar sana, Raveen hanya berusaha memberi perlindungan hanya saja tidak ada yang menjamin apa yang akan terjadi setelah ini. Mengambil tindakan cepat adalah keputusan yang bijak. Jadi ia menyetujuinya. Raveen membiarkan Diane berdiri dengan suasana hati yang tidak baik disana sementara ia terus bicara pada Sam. Mencanangkan apa saja yang harus dan tidak perlu dikatakan di hadapan sang hakim. Maccon telah mengidap penyakit jantung sejak lama. Diusia rentannya ini, penyakit itu bisa saja kambuh sewaktu-waktu. Itulah mengapa Sam khawatir kalau berita teror Diane akan membuat papanya kehilangan kendali sehingga penyakitnya kambuh. Setelah bicara dengan Raveen, ia sudah merasa lebih tenang. Setidaknya ia punya seseorang yang bisa diajak bekerja sama. Sam senang karena orang itu sahabatnya sendiri.
Sam telah pergi sepuluh menit yang lalu dan suasana hati Diane masih saja buruk. Ia mengabaikan Raveen dan menyibukkan diri dengan dua peliharaannya di dalam kungkungan. Diane harus memastikan kondisi dua kucing peliharaannya dalam keadaan baik. Persetan, ia hanya berniat menghindari tatapan tajam Raveen yang telah menjarah pikiran Diane. Akhirnya Diane menyerah. Ia berbalik untuk menatap secara langsung wajah yang familier itu.
“Keberatan kalau aku membawa kucingku?”
Raveen mengangkat bahunya dengan acuh. “Keberatan kalau kau tidak bersikap dingin padaku?”
“Kau bersekongkol dengannya.”
“Siapa?”
“Jangan berpura-pura bodoh. Kau tahu siapa yang aku bicarakan.”
Senyum Raveen merekah. “Kenapa kita tidak pergi saja dari sini dan membicarakan semuanya di dalam suiteku?”
Diane tidak mengacuhkannya ketika ia meraih kungkungan kucing serta tasnya dan mulai bernjak pergi menuju ambang pintu. Sepanjang perjalanan Raveen terus mengisi waktu dengan pembicaraan untuk merenggangkan ketegangan di antara mereka, tapi Diane tidak bekerja sama. Wanita itu tidak berkutip ketika Raveen berceloteh tentang makan malam mereka. Sampai mereka di dalam suite, Diane bergegas masuk ke dalam kamar dan berniat mengunci pintunya ketika Raveen menahan palang pintu tersebut.
“Apa?”
Raveen melangkah masuk, menepis tangan Diane dari kenop dan mendorong pintu kamar hingga tertutup.
“Kau bisa bicara padaku sekarang.”
“Tidak ada yang ingin aku bicarakan. Kalau kau keberatan aku butuh istirahat.”
“Omong kosong. Katakan apa masalahmu, Diane!”
“Satu-satunya masalahku disini adalah kau.”
“Apa kau tidak suka padaku?”
“Ya.” Sahut Diane, ketus. Ia bersedekap dan membuang tatapannya dari Raveen.
“Tapi kau menciumku.”
Pernyataan Raveen sontak mendapat perhatian penuh dari Diane. Raveen senang melihat Diane membuka matanya lebar-lebar. Meski berkesan sinis, namun ada keindahan yang ia lihat dalam perpaduan kilat tajam dan biru gelap. Warna mata Diane seperti malam dimana kilaunya adalah bintang. Raveen ingin mencium mata itu sekali lagi. Seandainya ia bisa...
“Ya, itu memang benar,” aku Diane tanpa malu-malu. “Sekarang tolong beri aku keleluasaan. Aku butuh istirahat”
Raveen berupaya keras menelan liurnya ketika ia mengambil langkah mundur. Menggulurkan satu tangannya ke balik punggung lalu meletakkan tangan itu pada kenop pintu dan memutar kenop hingga pintu terbuka. Pintu terbuka lebar, Raveen terus melangkah mundur sampai titik dimana ia berada di luar dinding pembatas, ia menutup kembali pintunya dengan pesan singkat yang ditinggalkan untuk Diane.
“Selamat malam, Diane...”
Selamat malam Diane. Diane berharap ia mendengar lebih. Diane bahkan sempat berharap Raveen tetap tinggal disana–bersamanya. Tapi Diane terlalu angkuh untuk mengakui betapa ia menyesal karena telah bersikap dingin. Betapa ia menyesal karena secara terang-terangan mengusir Raveen. Betapa ia menginginkan pria itu...
Semuanya karena Sam! Diane berharap ia punya kekuatan untuk menjauhkan pria malang itu dari hidupnya, namun ia justru mendapati dirinya sendiri terperosok dalam jaring yang dibuat Sam. Seandainya Sam tidak menyewa Raveen, atau setidaknya Sam menyewa detektif lain untuk mengawalnya, Diane tidak akan melewati masa sulit ini. Sekarang ia harus menerima fakta bahwa ia membutuhkan Raveen. Bukan sekedar membutuhkan, namun menginginkan Raveen untuk tetap berada di sampingnya. Sementara itu, Diane tidak bisa menjanjikan suatu hubungan yang lebih khusus pada Raveen.
Raveen terus berusaha menjaganya, memberi keamanan padanya dan Diane tidak pernah bisa berhenti menginginkan lelaki itu. Seandainya saja Sam tidak mengetuk pintu suitenya ketika ia dan Raveen tengah.. melakukan sesuatu yang tidak pantas untuk dijelaskan, Diane tidak pernah bisa membayangkan akan berakhir seperti apa percintaan mereka. Kalau Diane beruntung, ia tidak akan menghilangkan keperawanannya. Raveen adalah racun, zat peransang, sekaligus madu yang lezat dan menggoda. Bagaimana ia bisa mengabaikan tawaran menggiurkan itu? Halnya madu, Raveen mengundang Diane seolah Diane adalah seekor lebah. Mirisnya, Diane yang meminta Raveen untuk melakukan apa yang tidak bisa ia bayangkan. Pada nyatanya, Diane yang mengundang Raveen. Diane beruntung karena Raveen masih mempedulikan batas kewajaran di antara mereka. Seandainya itu tidak terjadi, mungkin ia sudah mendapati dirinya menyesal pada keesokan hari.
Siapa bilang Diane menyesal? Diane sangat menikmatinya, begitu pula Raveen. Diane bisa mengetahui itu hanya dengan melihat pancaran sinar di mata emas Raveen yang menggelap karena gairah. Sudah pasti mereka saling menikmati percintaan yang tidak pantas. Dan betapa bodohnya Diane karena menyerah semudah itu pada kehendaknya sendiri. Sial.
Semua ini tidak akan pernah terjadi jika Sam tidak membawa Raveen dalam kehidupannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Diane harus menerima fakta bahwa ia sudah terjerat dalam jaringnya sendiri. Sulit untuk keluar jika seseorang tidak menolongnya..
-
BAGIAN 14