Klub telah dipadati oleh beberapa orang. Max menerobos rerumunan orang untuk menemui lima orang rekannya yang sudah menunggu di sofa yang biasa mereka tempati. Ia segera duduk di salah satu sofa kemudian meneguk brendi langsung dari botolnya begitu sampai disana.
“Mendapatkan mangsamu?” tanya salah seorang pria dengan rambut panjang yang duduk di lengan sofa. Max mendengus dengan muak. Hal terakhir yang diinginkannya hanyalah melempar botol itu ke segala arah dan membuat keributan. Menjengkelkan sekali ketika ia berniat menghabiskan malamnya untuk membujuk Diane, menyentuh Diane, mencium Diane, bercinta dengan Diane... hancur karena wanita itu menolaknya secara terang-terangan. Seandainya Max tahu semua akan terjadi seperti ini, ia lebih memilih untuk mencari wanita lain untuk dijadikan mangsanya ketimbang menghabiskan malam di tengah pesta sialan itu.
“Aku butuh wanita,” ujar Max secara terang-terangan. “Apa makelar itu sudah mengirimkan seorang gadis? Ku dengar mereka mengirim beberapa gadis baru. Aku bersedia membayar untuk satu gadis.”
“Sayang sekali,” Joe–salah seorang rekan perdagangan gadis belia menyuarakan pendapatnya. “Mereka akan mengirim gadis-gadis itu besok.”
“Sialan.”
Kurang dari dua bulan terakhir Max menjalankan bisnisnya ini bersama lima rekan lainnya. Ia membuka tempat penjualan gadis-gadis untuk p********n seksual. Tidak sedikit pelanggan yang mereka peroleh. Semua orang membutuhkan kesenangan alami mereka. Max mendapat untung yang besar dari usaha ini tapi kalau ia tidak beruntung, beberapa gadis-gadis yang memberontak akan segera berakhir nasibnya. Rekannya Hugh membawahi Max dan lima anggota lainnya. Hugh yang menjalankan bisnis ini. Max dan lima rekannya hanyalah bagian dari tangan kanan Hugh. Tapi sepertinya Max tidak pernah puas terhadap apapun. Satu-satunya ambisi yang tidak pernah tercapai adalah membunuh Hugh dan menyingkirkan semua yang menghalangi jalan Max. Sekarang Max sudah mengusahakannya. Mirisnya awak media memang benar-benar k*****t. Mereka tidak pernah lepas dari berita sekecil apapun. Sekalipun Max sudah menutupi jejaknya dengan sangat rapat, awak media pasti akan menggalinya juga. Menggendus seperti anjing pelacak kemudian menggali kubur yang dibuat Max. Max beruntung karena sampai saat ini tidak ada yang menyadari apa yang telah terjadi. Bukan berarti ia ada dalam posisi nyaman. Max sudah menyiapkan rencana lain–rencana busuknya.
“Aku pikir aku harus ke toilet.” Max menyingkir dari lima pria itu secepat kedatangannya. Ia menerobos rerumunan orang ditengah cahaya redam redup lampu sorot yang menerangi ruangan sempit dan sesak itu. Begitu Max sampai dilorong–tepatnya di depan toilet wanita, ia bertemu pandang dengan Amy. Clarissa Amy asisten Hugh yang benar-benar cantik. Tidak hanya cantik, tubuh rampingnya yang menggiurkan dan hampir setiap hari dipertontonkan itu membuat darah Max mengalir deras. Sudah sejak lama Max berencana untuk menyetubuhi Amy. Tapi wanita ini tidak mau bekerja sama. Usia Amy terlalu muda untuknya. Gadis pirang yang menggiurkan ini berusia dua puluh empat tahun dan masih sangat muda. Max tidak menjamin apa Amy masih perawan. Tapi siapa yang peduli soal itu selama ia bisa mendapatkan sesuatu yang ia butuhkan?
Amy menyingkir mendorong pinggulnya ke samping dengan cara lamban yang membuat Max harus menonton pinggul wanita itu yang terbuka sampai atas pusar dan celana pendeknya yang memperlihatkan paha mulus tanpa baretan. Max hampir berliur. Mata biru pucatnya tiba-tiba menjadi gelap, kepalanya tertunduk melihat gundukan yang bersembunyi di balik korset itu. Ia beringsut untuk menangkup pinggul Amy sebelum menghimpitnya diantara tubuh besar Max dan dinding. Beruntung hanya ada mereka disana. Max terus menunduk memandang surga dunia. Ia tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menggerayangi setiap lekuk tubuh yang menggiurkan itu.
Amy terlihat cantik. Terlisat sangat mengundang. Terlihat seperti ice cream stroberi. Max ingin melahap wanita itu sekarang juga. Tiba-tiba satu tangannya yang turun dari tengkuk Amy sudah ada di paha lembut Amy. Meski Amy tidak memberontak, kelihatannya gadis itu tidak bekerja sama. Inilah yang dibenci Max dari p*****r sialan yang ada dihadapannya ini. Amy terlalu munafik. Bicara kalau ia hanya bekerja sebagai asisten Hugh seolah-olah Max tidak tahu apa saja yang pernah dilakukan mereka. Siapapun juga bisa menebaknya. Amy bukan sekedar bekerja sebagai asisten pribadi, tapi juga p*****r favorit Hugh. Jadi apa salahnya kalau Max mengambil sedikit kesempatan? Sedikit saja mencuri sesuatu yang dimiliki oleh atasannya. Lagipula sebentar lagi Hugh akan mati di tangannya dan kekuasaan beralih ke tangan Max. Toh, pada akhirnya Amy akan menjadi miliknya. Dan sebenarnya ia sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Max akan aman seandainya Amy mau bekerja sama terutama menutup mulut dari Hugh. Ia harus membuat wanita ini bertekuk lutut dihadapannya.
“Amy, Sayang…” bisik Max, suaranya parau. Max merasakan dorongan tangan Amy yang berusaha menjauhkan tubuhnya, namun tangan sekecil itu tidak mampu mengalahkan kekuatan besar Max. Ia mulai merasakan kemenangan ketika ia mencuri satu-dua ciuman di bawah telinga Amy. Menghembuskan napasnya dan membuat sekujur tubuh Amy bergelenyar. Max tahu tidak lama lagi Amy akan merespon. Amy tidak akan tahan dengan pesonanya.
“Ayolah Sayang, kau tahu aku selalu menginginkanmu. Berikan aku satu malam saja. Satu malam saja…”
Sekali lagi Amy mendorong tubuh Max untuk menjauh, tapi seperti yang sebelumnya, usaha itu terasa sia-sia. Amy tidak bisa berpikir dengan lebih baik ketika Max mulai merapatkan tubuh mereka dan menghunjam lehernya dengan ciuman kasar.
“Hugh akan melihat kita.”
“Tidak akan ada yang melihat kita,” Max merenggut tangan Amy dengan kasar dan berkesan terburu-buru ketika ia membawa wanita itu ke dalam gudang yang dipenuhi oleh setumpuk botol-botol brendi kemudian menutup pintu dan mencium Amy dengan keras. Gairahnya tersulut. Amy sepertinya p*****r yang mudah ditakhlukan karena sekarang wanita itu juga berperan serta. Max sudah mendapatkan kepuasannya malam ini. Sekarang tinggal bagaimana ia membuat Amy tutup mulut tentang percintaan hebat mereka di gudang pada Hugh. Kalau sampai Hugh tahu... Max ragu pria itu tidak akan menendangnya keluar dari bisnis mereka. Bila seandainya itu benar terjadi, Max tidak pernah ragu untuk membunuh Amy. Max tidak pernah ragu membunuh siapapun..
...
Pelayan.
Mereka menyebutnya demikian. Namun Emma tidak kunjung memahami maksud yang tersirat dari kata itu. Pada usianya yang kedua belas ia belum cukup mengerti banyak hal. Termasuk hal ini. Bila dilihat dari kondisinya saat ini yang tekurung bersama dua orang gadis sebaya di sekitarnya maka tidak perlu jadi dewasa untuk mengerti bahwa apapun yang dimakduskan pria-pria dewasa itu berarti buruk. Setidaknya Emma patut bersyukur karena mereka tidak mengurungnya di ruang bawah tanah, tapi jika diperhatikan dengan lebih baik apa bedanya dari gudang? Tidak ada yang jauh lebih baik. Tempat sebaik apapun akan terasa buruk dan menyiksa bila digunakan untuk menyekap tiga orang gadis belia. Astaga, ia harus menghubungi ayahnya dan segera meminta pertolongan. Yang jadi pertanyaannya adalah, apa ayahnya akan membantu Emma melepaskan diri dari para penjahat itu? Bukankah ayahnya yang menginginkan ini? Ayahnya-lah orang yang dengan tega menyerahkan Emma pada sekumpulan pria mengerikan dengan rambut pirang panjang dan cambang yang lebat. Emma berusaha untuk mendelik pada salah seorang pria itu–berniat mengunjukkan bahwa dirinya tidak selemah yang mereka kira, namun ia bodoh karena pria-pria sialan itu hanya menertawai tingkahnya. Seharusnya Emma tahu kalau kekutan gadis belia tidak sebanding dengan kekuatan lima orang pria bertubuh besar seperti raksasa dengan otot-otot yang menurutnya menjijikan itu.
Dan disinilah Emma berada. Tepatnya di gudang yang sempit dan sesak karena dipenuhi kardus-kardus dan barang-barang berkarat. Sabang-sabang ada di setiap sudut ruangan. Bau yang menyengat menerobos masuk melalui satu-satunya ventilasi di ruangan tersebut. Ventilasi yang tinggi dan tebuat dari kayu yang hampir bobrok. Emma sudah bisa menebak bahwa apapun yang ada diluar sana pastilah gundukkan sampah yang sudah membusuk. Ia akan muntah jika tidak segera keluar dari kungkungan mengerikan ini. Hanya saja dua gadis lainnya tidak bekerja sama. Mereka merengek dan menangis sepanjang waktu. Berharap mereka bisa meminta pertolongan dari orang tua mereka, atau setidaknya turun keajaiban Tuhan yang bisa membebaskan mereka dari para penjahat. Memohon dan melakukan apapun yang menurut Emma sama sekali tidak berguna. Emma ingin berteriak. Ingin mencekik ayahnya karena telah membuat ia melewati situasi yang menegangkan ini. Ia bukan bocah ingusan berusia tujuh tahun lagi. Emma sudah remaja dan ia selalu menganggap dirinya dewasa. Didikan keras yang diberikan oleh ayahnya membuat ia tumbuh menjadi gadis remaja yang berbeda dari yang lainnya. Emma sudah tebiasa dengan berbagai bentuk kekerasan. Ayahnya sudah mendidik Emma dengan sangat baik. Jadi penculikan ini sama sekali tidak membuatnya merasa takut. Yang perlu ia lakukan hanyalah mencari cara bagaimana ia bisa keluar dari kurungan ini. Kalau Emma beruntung, dua gadis ini akan ikut pergi bersamanya. Kalau tidak, yah, mereka saling mengadu nasib. Yang lebih buruk lagi, pria-pria itu akan menjadikan mereka pelayan seperti yang didengar Emma selama berulang kali dalam penyergapan ini.
Sambil beringsut, Emma melempar potongan kayu kecil yang sudah lapuk pada dua gadis di sudut ruangan. Diam-diam ia berbisik. Usahanya membuat tangis mereka terhenti.
“Aku akan mengeluarkan kalian dari sini,” bisik Emma. Ia tetap waspada agar pria-pria itu tidak bisa mendengar semua percakapan mereka dan memeroki Emma sedang berusaha melarikan diri. “Berhentilah menangis!”
“Tapi bagaimana cara kau melakukannya?” satu dari gadis itu nampaknya termakan oleh janji Emma hingga senyumnya merekah, namun satu yang lain masih meragukan niat Emma. Emma mendekat hingga berhenti di depan mereka kemudian ia menjulurkan salah satu jarinya ke arah ventilasi ruangan.
“Lewat ventilasi,” bola mata Emma mengerling dari satu gadis ke gadis lainnya untuk memutuskan pilihan yang tepat sebelum akhirnya ia menunjukan salah satu dari mereka. “Kau!” ujar Emma sambil mengacungkan jari telunjuknya pada gadis berambut pirang dengan bola mata berwarna hijau terang.
“Aku?”
“Ya. Kau akan memanjat ke arah ventilasi itu dan kau akan bekerja sama denganku membentu dia memanjat.”
“Lalu apa yang kita lakukan setelah dia memanjat?” Tanya salah seorang gadis lain berambut gelap dengan tubuh yaling besar jika dibandingkan dengan Emma dan gadis pirang itu.
Emma cepat-cepat berlari untuk menggapai sebuah tirai besar di dalah satu sudut ruangan. “Cepat bantu aku!”
Dua gadis itu segera bergabung untuk membantunya melepas tirai dari alat penyangga kemudian melilit tirai itu dalam beberapa ikatan. Tanpa membuang waktu, Emma meminta mereka untuk bersiap di posisi. gadis berambut gelap yang ia tunjuk untuk membantu dipirang memanjat segera menyematkan tangannya dengan tangan Emma.
“Apa kau yakin?”
“Aku aku kelihatan bercanda?” cetus Emma. Mata peraknya mengunjukkan kilat tajam ketika ia menatap mereka. Sikap Emma membuat si pirang bergidik ketakutan. Ia tidak menunggu aba-aba selanjutnya untuk menjadikan tangan dua temannya sebagai panjatan. Ketika si pirang memanjat, gadis berambut gelap itu memekik kesakitan. Reflex tangan yang sebelumnya ia sematkan dengan tangan Emma telepas secara tiba-tiba. Alih-alih si pirang jatuh tejungkal ke belakang dan hampir saja berteriak kesakitan seandainya Emma tidak menutup mulut gadis itu dengan tangannya.
“Jangan berteriak!”
“Aku pikir ini bukan ide yang bagus.”
Emma mencoba memikirkan cara lain sampai pandangannya jatuh pada tumpukkan kayu lapuk di sudut ruangan. Dibantu oleh dua teman barunya, Emma memindahkan tumpukkan kayu ke lantai di bwah ventilasi dan memberi akses bagi si pirang untuk memanjat. Tirai yang mereka siapkan sudah terikat memanjang di pinggul si gadis pirang. Selagi wanita itu berusaha memperbaiki posisi kayunya agar menjadi pijakan yang aman, Emma memberi aba-aba pada mereka.
“Kau pirang, gunakan tirai ini untuk membantu kami memanjat nanti begitu kau sampai di luar. Aku akan memastikan kalian keluar lebih dulu sebelum aku menyusul.”
“Namaku Violet!”
“Terserahlah. Dan kau, bantu aku mengangkat si pirang ini.”
“Kenapa kau meminta kami melakukan semua intruksimu seperti penyuruh begitu?”
Emma mengerling jengkel. “Karena ini ideku. Ikuti saja kalau kalian ingin keluar dengan selamat.”
“Dan kenapa tidak kau saja yang memanjat lebih dulu?” Tanya Violet. Matanya yang membesar mengunjukkan antusiasme dan harapan tinggi untuk segera bebas dari tempat ini.
“Tubuhmu kecil. Kau satu-satunya yang bisa menerobos ventilasi itu dan membantu kami menghancurkan sisanya dari luar. Apa ada pertanyaan lain?”
“Aku rasa tidak.”
“Sebaiknya begitu karena kalau pria itu memergoki ita, kita bukan hanya akan di kurung, tapi kita akan dicincang seperti daging murahan di pasar.”
Senyum di wajah Emma melebar ketika melihat dua temannya meringis ketakutan. Mereka dengan segera menjalankan misinya. Sesuai instruksi, gadis berambut gelap itu membantu Emma mengangkat pinggul Violet agar bisa meriah ventilasi. Emma menggerahkan seluruh kekuatannya untuk menompang kaki Violet dan menjaga agar wanita itu tetap tenang.
“Cepat hancurkan kayunya!” pekik Emma dengan tidak sabaran. Wajahnya memerah menahan beban. Sepertinya gadis berambut gelap itu tidak menjalankan tugasnya dengan sangat baik sehingga Emma harus memikul sebagian berat tubuh Violet dengan dua tangannya.
“Bagaimana aku melakukannya?”
“Pukul saja!” Emma semakin tidak sabaran.
“Nanti tanganku bisa terluka.”
“Astaga, lakukan saja atau kita di cincang!”
Violet menghantam kayu bobrok itu dengan tinju yang mendadak begitu ketakutannya berkumpul menjadi satu kekuatan besar. Ancaman Emma rupanya siasat yang bagus karena sekarang kayu itu sudah benar-benar hancur dan membuka lubang yang lebih besar untuk mereka. Violet menyeringai lebar. Ia menggapai tepian kayu untuk menompang tubuhnya dan mulai memanjat keluar. Setelah Violet sampai di atas, Emma baru bisa bernapas lega. Rona merah di wajahnya menimbulkan keringat yang membasahi dahinya. Kemudian tedengar suara bedebum yang keras. Ia dan gadis berambut gelap itu secara serempak menegadah. Anehnya, gadis berambut geap itu justru cekikikan begitu menyadari bahwa Violet sudah jatuh di bawah sana. Jika Emma tidak membekap mulutnya, mungkin tawa itu sudah di dengar oleh sekumpulan pria bertubuh besar di luar sana.
“Berhentilah tertawa!” Emma membuka matanya lebar-lebar dimana ada sebuah ancaman tersirat yang membuat gadis berambut gelap menghentikan tawanya, kemudian ia menengadah untuk memastikan keadaan Violet. “Apa kau baik-baik saja?”
“Sial, ini sampah. Aku jatuh di tumpukkan sampah!” pekik Violet. Suara gadis itu jadi melengking.
“Lupakan soal sampah dan julurkan saja tirainya!”
Tirai dilempar melewati lubang besar di ventilasi. Emma membantu gadis berambut gelap itu untuk memanjat sementara tirai yang sudah bersiap ditangan si gadis.
“Tarik talinya!” seru Emma pada Violet. Secara bersamaan, tali di tarik. Emma menompang berat tubuh temannya, mendorong gadis itu sampai ke atas ventilasi dan menunggu pertolongan untuk dirinya.
“Aku tidak yakin. Disini tinggi sekali. Aku takut ketinggian!” ujar si gadis berambut gelap yang kini sudah bertengger di tepian ventilasi. Menimbang keputusan untuk melompat dan jatuh di atas tumpukan sampah seperti Violet.
“Tarik talinya!” pinta Emma. Suaranya terdengar lantang dan untuk kali kedua Violet menuruti. Tali yang ada dalam genggaman di gadis berambut gelap itu tertarik hingga membawa tubuhnya jatuh ke atas tumpukan sampah. Terdengar suara teriakkan. Emma berharap pria-pria itu tidak segera menyadarinya. Kemudian tanpa membuang-buang waktu ia menraih tirai yang sudah terjulur untuknya, kemudian menjadikan ikatan demi iktan tirai itu sebagai penyangga untuk memanjat ke atas ventilasi.
“Tarik lebih kuat lagi!”
Dua gadis di luar sana mengikuti perintah Emma untuk menarik tirai lebih kuat hingga Emma berhasil sampai di tepian ventilasi dan membiarkan tubuhnya jatuh dengan cara yang sama seperti dua gadis malang itu. Untunglah Emma pandai memanjat. Kemampuannya itu berguna untuk saat ini. Emma tidak pernah meragukan kemampuannya. Sekalipun Meilyn–bibinya selalu membentak Emma tiap kali Emma mencoba membanjat tebing rumah, Emma tidak pernah berhenti melakukan kebiasaan itu. Dan sekarang semuanya tebukti berguna. Meski ia harus berakhir di atas tumpukkan sampah, setidaknya mereka sudah bebas.
Tiga gadis itu saling memekik kegirangan sampai mereka perlu berhenti untuk mengambil napas. Kemudian terdengar suara nyaring dari tong yang jatuh di dalam gudang dan disaat yang bersamaan Emma segera menarik dua temannya untuk bersembunyi. Ia menunggu selama kurang dari satu jam di balik tebing dekat gudang itu untuk memastikan keadaan aman. Setelah merasa bahwa tidak ada salah satu pria itu yang menyadari kepergian mereka, Emma dan dua temannya segera berlari menjauh dari wilayah lokal tesebut. Membaur dengan keramaian kota dan berharap mereka punya cukup uang untuk bisa kembali ke rumahnya masing-masing. Kalau Emma punya kesempatan, ia akan memilih rumah Bibi Meilyn untuk kembali. Tentu saja. Sampai kapanpun Emma tidak akan tinggal bersama ayahnya lagi. Ia akan mencari Bibi Meilyn dimanapun wanita itu berada. Setidaknya bibi Meilyn tidak akan menyerahkan Emma pada sekumpulan pria sinting yang suka menyekap gadis belia.
...
Kontaknya mengatakan bahwa tidak seorang gadispun yang ikut bersama para makelar itu. Raveen baru saja menerima informasi itu dan sekarang ia sudah semakin buntu. Jika Emma tidak ada bersama para makelar itu maka hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama adalah Emma berhasil melarikan diri, kemungkinan kedua Emma sudah ada di tangan para biadap yang memperbudak gadis kecil untuk memenuhi kepuasannya. Raveen memberitahu Diane informasi yang sama. Ia mengatakan pada wanita itu bahwa kontaknya tidak berhasil melacak jejak Emma. Yang pasti kontaknya telah memastikan bahwa Emma tidak ada bersama para makelar itu.
Diane nampak pucat pagi ini dan semakin pucat ketika Raveen memberi tahunya informasi tersebut. Sepertinya Raveen salah dugaan. Ia menawarkan pada Diane jasanya untuk meminta beberapa polisi lokal untuk menemukan Emma. Diane, tanpa harus berpikir panjang menerima tawaran tersebut. Raveen ingin Diane tetap tenang, namun seperti yang ia duga, wanita keras kepala itu tidak akan bisa duduk tenang selama tidak ada yang bisa menjamin dimana keberadaan Emma. Tanpa sepengetahuan Raveen, Diane pergi dengan mengendarai sedan miliknya menuju sebuah klub tempat teman lamanya berada.
Selama kurang dari tiga puluh menit, Raveen baru saja usai menyelesaikan urusannya dengan toilet umum dan ia sudah tidak melihat batang hidung Diane di apartemennya. Dugaannya terbukti. Ia bodoh karena percaya Diane bersedia untuk menunggu, atau setidaknya duduk tenang selama sehari penuh. Diane memang nekat dan keras kepala. Maka, sesegera mungkin Raveen berpakaian sebelum beranjak ke area parkir dan mengendarai sedan hitam menuju rumah seseorang. Satu-satunya orang yang ia kenal terhubung dengan kasus Emma hanyalah Mrs. Meilyn. Jadi tujuan awal Raveen adalah kediaman Mrs. Meilyn. Kalau ia beruntung, ia akan menemukan Diane disana. Namun dugaan itu tidak sepenuhnya benar ketika Raveen mendapati kediaman Mrs. Meilyn yang kosong. Pintunya terkunci dan tirai panjang menyembunyikan seisi ruang dalam hingga ia tidak bisa mengintip dari jendela. Raveen mencoba mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Ia melakukannya untuk yang kedua kali dan masih tidak ada jawaban. Demikian hal yang sama terus terjadi pada ketukan ketiga, keempat dan berakhir di ketukan kelima. Raveen sudah memutuskan kalau Diane tidak ada disana.
Dengan segera ia mengendarai sedannya keluar dari kediaman Mrs. Meilyn dan berharap ia punya satu petunjuk untuk mengetahui keberadaan Diane. Kalau Raveen sudah bertemu dengan wanita congkak yang keras kepala itu, ia bersumpah akan mencercanya.
Ayahnya adalah sahabat dekat David Franklyn. Diane mengenal David sejak remaja. David bekerja sebagai mata-mata. David telah mengabdikan dirinya dalam pekerjaan ini sebagai pihak yang independen selama kurang dari dua puluh tahun. Sekarang usianya mencapai enam puluh tahun dan David tidak terlihat tua untuk pekerjaannya. Ia berkerja untuk para klien yang membayar dengan harga tinggi. David memiliki kontak yang tersebar diberbagai penjuru. Informasinya akurat. Ia menyimpan semua berkas-berkas baik yang legal maupun ilegal. Tidak ada yang meragukan jika pria ini mengenal semua agen federal mengingat betapa luasnya informasi yang disempan David. David mengenal hampir semua makelar lokal, mafia, pejabat lokal, dan dalang-dalang pelaku kejahatan lainnya. Diane berharap David bisa membantunya menemukan Emma. Pekerjaan itu tidak akan jadi begitu sulit untuk David. Ia punya kontak yang tersebar untuk melacak keberadaan Emma dengan cepat dan Diane benar-benar berharap usahanya menemui David tidak sia-sia.
Ia memarkirkan sedannya satu blok dari klub tempat mereka menjanjikan pertemuan. Diane membenci klub itu. semuanya tertata seperti bar, hanya saja klub ini jauh lebih besar dan kelihatan formal. Orang-orang yang berdatangan harus mendaftar dan menyelesaikan administrasi mereka di depan kemudian mereka di bebaskan untuk menikmati hidangan bir serta memilih pasangan untuk berdansa. Tempat ini sangat cocok untuk mereka yang ingin mencari pasangan. Semua dibuat sama seperti bar, hanya saja tidak ada bau alkohol yang menyengat dan ruangannya juga tidak penuh dan sesak.
Diane segera menerobos masuk untuk menemui David. Ia tidak ingin membuang-buang waktu terlalu lama di klub ini. Ketika Diane masuk, David tampak serius bicara dengan seorang pria dengan setelan formal. Sampai David menyadari kehadirannya, ia menyudahi pembicaraan tersebut dan meminta pria asing itu untuk keluar. David memberi sambutan hangat pada Diane dan meminta Diane untuk duduk. Diane tidak bicara sampai David memposisikan dirinya untuk duduk berhadap-hadapan.
“Ada apa, Sayang? Kau kelihatannya gelisah sekali,” David mencondongkan tubuhnya dan melihat Diane dengan skeptis. “Pasti ada masalah besar sampai kau datang padaku, ya?”
“Ini hanya masalah sederhana yang keadaannya dibuat rumit.” Diane menceritakan seluk beluk masalah kliennya hingga berujung pada Emma. Diane juga mengatakan semua yang terjadi, tentang Shimon dan para makelar p********n seks itu. David tidak berkomentar sampai Diane menyelesaikan penjelasannya.
“Jadi kau meminta bantuanku untuk menemukan gadis itu?”
“Namanya Emma.”
“Ya, Emma.”
“Apa yang bisa kau lakukan?”
“Bukan hal sederhana tentunya,” ujar David sambil menuang brendi ke dalam gelas kosong dan menyesapnya. Ia menawarkan Diane dan dengan cepat Diane menolak. “Kasus p********n seks itu melibatkan pada gadis belia. Kau tahu? Aku mulai menemui fakta bahwa kasus-kasus pembunuhan yang sedang beredar itu melibatkan para makelar p********n seks. Mereka mencari gadis belia. Mereka memanfaatkan gadis-gadis itu untuk keuntungan para pelanggannya dan gadis yang memberontak akan ditemukan tewas terbunuh.”
Informasi David membuat bulu kuduk Diane meremang. “Apa maksudmu? Mereka tidak mungkin membunuh Emma.”
“Itu fakta yang kutahu tentang makelar p********n seks. Mereka mencari jiwa-jiwa murni yang masih perawan. Kalau kau beruntung, kontakku akan menemukan Emma dalam keadaan selamat.”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin kalau kasus ini terkait dengan pembunuhan yang terjadi?”
David menyeringai lebar hingga memperlihatkan sederet gigi putihnya dan cambangnya bergerak. “Informasiku tidak pernah salah.”
“Aku benar-benar khawatir soal Emma. Aku tidak ingin Emma berakhir sama seperti para gadis malang itu. Apa kau bisa membantuku? Sebutkan saja nominalnya dan aku akan membayar secara tunai.”
Pernyataan terakhir Diane membuat tawa David menggelegar. “Ini bukan soal uang. Aku mengenalmu sebagai puteri dari sahabat baikku, bagaimana aku bisa menolak untuk membantumu. Simpan saja uangmu dan aku akan membantumu. Kau hanya perlu memberikan photo dan identitas gadis itu dan kontakku sudah bisa bekerja untukmu.”
Tak menunggu lama, Diane mengeluarkan beberapa dokumen yang dibutuhkan David dari dalam tasnya kemudian meninggalkan dokumen itu untuk David.
“Aku akan sangat menghargai bantuanmu. Bagaimana aku harus berterima kasih?”
“Sampaikan saja salamku pada ayahmu dan itu saja sudah cukup.”
“Papa sedang di luar kota.”
“Ah, jadi Maccon masih menekuni pekerjaannya itu?”
“Begitulah.”
“Kupikir usianya sudah terlalu tua untuk pekerjaannya. Kusarankan sebaiknya ia segera pensiun.”
“Aku juga berpikir begitu, tapi papa tidak pernah mau meninggalkan pekerjaannya.”
David tertawa. “Kalau begitu sampaikan saja salamku saat dia sudah kembali dari tugasnya di luar kota.”
“Akan kusampaikan.”
Setelah menyelesaikan urusannya dengan David, Diane segera pamit. Ia mengucapkan terima kasih dan memberi David pelukan hangat sebagai tanda terima kasih. David sudah begitu dekat dengan Diane sejak Diane masih belia. Pria ini menjadi satu-satunya sahabat terbaik sang hakim sampai Diane berpikir bahwa David sudah seperti saudara papanya. Mereka sudah sangat dekat. Menyenangkan rasanya bisa bertemu lagi dengan David. Tapi Diane tidak bisa menetap terlalu lama. Jika dihitung sudah hampir satu jam ia pergi meninggalkan apartemen tanpa pesan, tanpa izin. Diane khawatir Raveen akan mencarinya. Karena terburu-buru Diane meinggalkan ponselnya di dalam suite. Ia tidak bisa menghubungi Raveen untuk memberitahu keberadaannya, tapi Diane rasa hal itu memang tidak perlu dilakukan. Sudah saatnya Diane menyelesaikan masalah ini secara mandiri.
Sebelum kembali ke apartemen, Diane mengunjungi salah satu toko bunga Janine’s Flower yang bertempat di pinggiran kota. Hari ini pernikahan kakak Regan–Mathews akan diselenggarakan. Diane sudah berjanji akan menghadiri pesta pernikahan itu. Terutama karena ia mengenal Mathews dan calon pengantinnya–Laurence dengan baik. Hanya saja Diane tidak ingin pergi ke acara pesta dengan tangan kosong. Ia akan membeli sebuket mawar kuning dan papan ucapan selamat sebagai hadiah pernikahan. Toko bunga yang dikunjunginya nampak sibuk karena dipadati oleh pelanggan. Tiga tahun yang lalu Diane sangat gemar mengunjungi toko bunga ini. Ia mengenal salah seorang puteri dari pemilik toko bunga yang bernama Nikki. Nikki adalah puteri tunggal Janine. Sudah sejak lama Diane mengenal Nikki. Terakhir ia bertemu dengan wanita itu adalah tiga tahun yang lalu. Saat itu Nikki bekerja paruh waktu untuk bekerja di toko bunga milik ibunya. Disamping niatan untuk membeli hadiah pernikahan, Diane juga berniat untuk menemui teman lamanya itu. Ia ingin melihat apa Nikki masih bekerja paruh waktu disana atau sudah mendapatkan pekerjaan lain.
Diane mengenal Nikki sebagai pribadi yang menyenangkan. Wanita berambut gelap itu berusia sebaya dengannya. Nikki memiliki pribadi yang ramah dan suka membaur. Hal itu sudah bisa ditebak hanya dengan melihat bagaimana cara Nikki melayani para pelanggan. Pertanyaan Diane segera terjawab begitu ia menyeruak masuk ke dalam toko. Nikki dengan antusias menyambut kehadirannya. Terakhir Diane melihatnya, Nikki sudah tampak lebih berisi sekarang meski begitu wanita itu tetap kelihatan cantik dan menarik. Nikki memberi Diane pelukan sebagai sambutan hangat sebelum menarik wanita itu untuk duduk di kursi tunggu yang diperuntukkan bagi pelanggan. Nikki meninggalkan semua pekerjaannya dan berpaling untuk berbagi cerita dengan Diane. Satu hal yang tidak pernah berubah dari Nikki adalah antusiasmenya untuk mendengar semua cerita yang terjadi selama mereka tidak bersama.
“Lama tidak bertemu. Apa saja yang terjadi padamu?”
“Tidak begitu menyenangkan. Bagaimana denganmu.”
“Kau ketinggalan banyak hal menyenangkan,” ujar Nikki dengan antusiasme besar. “Apa kau masih ingat iklan untuk menjadi jurnalis di surat kabar itu?”
Diane mengangguk. “Apa kau sudah diterima?” Ia tahu Nikki sangat antusias dalam pekerjaan itu. Mereka selalu menceritakannya sejak tiga tahun lalu.
“Ya,” pekik Nikki. “Tulisanku sudah dimuat di kolom dan selama sebulan terakhir tulisanku jadi topik utama. Astaga, Diane... aku bahagia sekali.”
Sambil meremas tangan Nikki, Diane ikut memekik bahagia. Ia tersenyum lebar dan memberi ucapan selamat pada wanita itu. “Aku ikut bahagia. Sudah berapa lama kau menekuni pekerjaan itu?”
“Kurang dari setahun. Aku harus melewati tes dan mencoba berulang kali untuk dapat peluang.”
“Dan sekarang kau sudah jadi yang terbaik. Aku ucapkan selamat.”
“Terima kasih. Aku mengangkat topik pembahasan tentang pembunuhan yang beredar selama beberapa hari belakangan dan aku langsung mendapat posisi awal.”
Diane langsung membatu begitu tamannya membicarakan soal pembunuhan. Berita itu terlalu beresiko. Nikki bisa saja mendapat masalah dengan terus mengorek informasi tentang pembunuhan para gadis-gadis muda. Reaksi Diane menimbulkan pertanyaan bagi Nikki. Wanita itu selalu berhasil menebak suasana hati seseorang.
“Kau kelihatan tidak senang?”
“Ya, aku hanya sedikit khawatir.”
“Sesuatu pasti terjadi padamu?”
Diane menggeleng, tapi usaha Nikki untuk memintanya menceritakan teror itu lebih keras hingga Diane terpaksa harus menceritakannya. Ia mengatakan semua detail kejadian teror yang diduga memiliki sangkut paut dengan pembunuhan itu. Nikki meringis mendengar Diane melafalkan isi dari keempat surat yang di temukannya. Pada akhirnya ia hanya bisa mengambil satu kesimpulan bahwa, ‘pembunuh ini ingin mengincar Diane untuk menjadi korbannya’. Hanya saja Nikki tidak bisa menemukan kesan kalau teror yang diterima Diane ada sangkut pautnya dengan pembunuhan yang beredar di kota. Pasalnya Nikki tidak pernah tahu kalau para pembunuh itu akan mengirim lebih dari sepucuk surat sebelum membunuh mangsanya. Jadi Nikki tidak bisa menarik silogisme dengan cepat.
Ia terus bicara dengan Diane, bertanya apa yang ingin sekali ia ketahui, meminta Diane menceritakan detailnya dan berjanji akan membantu Diane menemukan siapa pelaku teror itu. Diane menolak permintaan Nikki yang terakhir. Teror yang dialaminya tidak akan menjadi urusan Nikki. Terlalu berbahaya jika Nikki mulai memasukkan topik itu pada salah satu kolom di surat kabar. Diane tidak berharap itu benar-benar terjadi. Kali ini ia yang meminta Nikki untuk merahasiakan apa yang sudah ia katakan dan atas paksaan, Nikki menyetujuinya. Ia tidak akan memasukkan topik teror itu pada kolomnya sekalipun Nikki menyamarkan nama Diane. Nikki sudah berjanji. Tapi Nikki tidak berjanji pada Diane untuk tidak menyelidiki siapa pelaku teror yang sebenarnya. Jiwa jurnalisnya berniat mengorek kebenaran tersebut. Nikki sudah punya rencana lain untuk Diane.
Tak terasa pembicaraan panjang mereka memakan waktu hingga tiga jam. Diane butuh usaha keras untuk meyakinkan Nikki bahwa ia baik-baik saja. Ia juga menceritakan bagaimana Sam menyewa seorang pengawal pribadi untuknya, dan begitu Nikki menanyakan hal yang tidak lazim lagi tentang dimana pria itu berada, Diane terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan pergi tanpa sepengetahuan Raveen. Diane hanya membumbuinya saja dan semua orang sudah tahu kalau Diane memang pandai berbohong. Setelah merasa puas berbincang-bincang dengan wanita itu, Diane segera menyelesaikan administrasi atas pesanan buket bunga dan papan ucapan selamatnya. Kemudian ia dan Nikki saling bertukar nomor telepon. Menjanjikan pertemuan selanjutnya dan diakhiri dengan salam perpisahan. Sebelum pergi Diane juga memberi Nikki liontin farorit yang menggantung di lehernya sebagai hadiah atas keberhasilan Nikki. Diane memyukai liontin itu. Ia jauh lebih senang jika Nikki yang memakainya dan Nikki dengan senang menerima hadiah pemberian Diane. Liontin itu nampak sangat indah menggantung diseputar leher Nikki. Diane memeluk temannya itu sekali lagi sebelum pamit pergi.
Diane berjalan keluar dari toko bunga. Halaman parkirnya berjarak cukup jauh dari toko. Ia harus menempuh jarak sejauh dua puluh meter untuk menemukan sedan kelabunya terparkir disana. Jalanan yang tiga jam lalu padat pengunjung kini nampak senyap. Hanya ada satu sampai dua mobil yang terparkir tak jauh dari sedan milik Diane.
Ia harus menyeberangi jalan untuk mencapai sedannya dan disaat yang bersamaan sebuah pikap melintas melalui jalur yang sama dangan kecepatan tinggi. Samar-samar Diane mendengar seruan seseorang dari kejauhan. Ia menengadah untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal, matanya membelalak saat sebuah pikap hitam yang berjarak tak jauh dari tempat ia berdiri. Hanya kurang dari lima meter dan dalam htungan detik, Diane pasti sudah tertabrak. Tentu saja itu akan tejadi kalau Raveen tidak lebih tanggap menarik tubuh Diane dan menjauhkannya dari jalan raya. Diane mendekap Raveen dengan sangat erat. Detak jantungnya masih berpacu ketika ia merasakan pergerakan lengan Raveen yang sigap meraih senjata di balik punggungnya, kemudian mengerahkan senjata itu pada pikap yang sudah melaju jauh disana.
Satu tembakan… Dua tembakan... tiga... Diane terus menutup matanya. Membenamkan wajahnya di d**a Raveen dan samar-samar mendengar dengup jantung pria itu seirama dengannya. Sekarang Diane tahu betapa pandainya Raveen menyembunyikan emosi. Pria itu nampak tenang saat membidikkan senjata ke arah sasaran, namun siapa yang tahu kalau jantungnya berpacu dengan sangat cepat?
“Raveen,,”
Raveen menarik Diane dengan cepat. Memintanya untuk masuk ke dalam sedan hitam milik Raveen sebelum bergabung di kursi kemudi.
“Cepat masuk, Diane!”
Diane melihat pria itu menstarter mobil kemudian menginjak pedal gas dengan kecepatan di atas seratus empat puluh kilo meter per jam. Raveen melintas di jalan mengejar pikap itu dengan sangat ugal-ugalan. Beruntung jalan yang dilalui mereka sepi kendaraan. Diane masih tidak sanggup untuk bicara ketika Raveen mengangkat ponsel dan mulai menghubungi beberapa rekannya untuk mengabarkan percobaan pembunuhan yang baru saja terjadi ini. Setelah memastikan polisi lokal sudah mengejar pikap itu, Raveen memutar kemudi menuju tempat yang lebih aman. Ia akan membawa Diane kembali ke apartemen untuk bicara dengan wanita itu. Tidak, Raveen berubah pikiran. Sebaiknya ia membawa Diane untuk menenangkan wanita ini. Diane pasti tidak ingin diajak bicara untuk sementara waktu. Kejadian barusan nampaknya membuat Diane sangat terkejut. Kejadiannya begitu cepat sampai Diane tidak bisa menyadari bahwa ia hampir saja menghadapi ajalnya. Astaga, Diane beruntung karena Raveen segera datang.
Mobil mereka sedang melaju di dekat tepian danau ketika Diane menghentikan Raveen.
“Aku mohon berhenti disini! Tolong,”
Raveen ragu-ragu, namun ia menuruti perintah wanita itu dan mulai menginjak pedal rem dengan sangat perlahan. Mobil berhenti dengan secara beruntun dengan kelambatan stabil.
“Tunggulah disini, aku akan membeli minum untukmu,” Raveen hendak melangkah turun dari sedannya ketika Diane menahan lengan yang dibalut oleh jaket hitam itu.
“Tidak perlu. Aku baik-baik saja...”
“Jangan banyak bicara, Diane. Sebaiknya kau tunggu disini.”
Diane enggan mendebat Raveen. Sebenarnya ia akan melakukan itu seandainya Raveen tidak menepis tangan Diane dengan sangat cepat dan berlalu keluar. Selagi pria itu menghambur entah kemana, Diane mencoba mengatur kembali napasnya. Raveen kembali dengan segelas air hangat hanya dalam hitungan waktu kurang dari dua menit. Nampaknya pria ini tidak benar-benar berniat meninggalkan Diane dalam waklu lama. Raveen harus memaksa Diane untuk meminum air hangat itu sebelum menenangkannya.
“Sudah lebih baik?”
Diane menggeleng. “Aku tidak tahu. Apa yang baru ku alami sepertinya terasa sangat mendadak sampai aku tidak bisa menyadari bahwa aku benar-benar baru saja menghadapi maut.”
“Kau baik-baik saja sekarang.” Satu tangan Raveen meremas lengan Diane dengan pergerakan lembut yang menenagkan pikiran kalut Diane.
“Aku tahu.”
“Berjanjilah kau tidak akan melakukannya lagi!”
Diane menatap Raveen dengan intensitas besar. Berpura-pura tidak mampu membaca situasinya, Diane mengerut heran. “Melakukan apa?”
Kemudian Raveen mendekat dan memperjelas maksudnya dengan tatapan yang lebih tajam. Diane menyerah.
“Baik-baik, aku berjanji tidak akan kabur darimu lagi.”
“Kenapa kau melakukannya? Kau tahu bahaya apa yang sedang kau hadapi ini?”
“Aku pikir ini hanya akan jadi perjalanan biasa saja. Aku hanya berusaha untuk menyelesaikan kasusku lalu aku akan membeli hadiah untuk pernikahan salah seorang temanku dan aku akan kembali dengan selamat. Aku tidak tahu akan seperti ini jadinya. Itu kecelakaan!”
“Itu bukan kecelakaan, Diane. Itu percobaan pembunuhan. Seseorang berniat menabrakmu.”
“Yah, itu tidak temasuk dalam daftar rencanaku pada perjalanan ini, kan?”
“Tetap saja keputusanmu untuk pergi sendiri salah. Apa kau tidak begitu suka dengan aku sampai kau terus berusaha menjauhiku?”
Kerutan pada dahi Diane semakin dalam. Ia menggeleng dengan cepat ketika matanya bertemu pandang dengan Raveen. Diane pikir ia akan melihat amarah disana, nyatanya tidak. Yang Diane lihat hanya ketulusan, kejujuran dari setiap kata yang diucapkan.
“Bagus,” kata Raveen. “Kau tidak berniat menjauhiku. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini, yang ku tahu mulai saat ini kau akan terus ada bersamaku. Apa kau mengerti?”
Diane mengangguk. Raveen menjauhkan tangannya dari Diane. Menghela napas sejenak sambil mengalihkan tatapannya lurus ke depan. Selama beberapa menit tidak ada perbincangan hingga membuat suasana di antara mereka semakin mencekam. Diane memaksakan diri untuk menatap Raveen dan mengumpulkan keberanian untuk bicara dengannya. Pasalnya Raveen kelihatan pendiam sekali dari biasanya. Tidak ada ekspresi sedikitpun yang diunjukkan oleh pria itu meski Diane tahu bahwa amarah sedang bekecamuk dalam pikiran Raveen. Butuh usaha keras bagi Diane untuk menemukan kembali suaranya yang hilang ditelan suasana mencekam itu.
“Apa itu berarti aku masih bisa menghadiri pesta pernikahan temanku?”
Raveen menoleh dengan tatapan dingin yang membuat Diane mengurung kembali niatnya untuk bicara. Namun, ia terkejut ketika Raveen menangkup salah satu tangannya dengan lembut. Diane menengadah dan melihat pria itu sedang berusaha untuk tersenyum hangat.
“Aku tidak bermaksud menghalangi semua rencanamu, Manis. Kau lakukan saja apa yang perlu kau lakukan dan biarkan aku menemanimu. Ini hanya akan berlangsung sampai pelakunya tertangkap.”
Jauh dilubuk hatinya Diane berharap bahwa ini tidak akan berakhir. Bukan berarti ia menginginkan teror itu lebih lama lagi, tapi Diane hanya berharap Raveen ada bersamanya lebih lama. Diane tidak menemukan alasan untuk merasa terusik dengan keberadaan Raveen. Sekeras apapun ia berusaha menghindari pria aneh ini, Diane sama sekali tidak menemukan alasan yang pasti mengapa ia harus menjauhi Raveen. Yang ia tahu, dirinya merasa nyaman dengan keberadaan Raveen. Hanya itu. Tidak lebih.
-
BAGIAN 13