Hanum menundukan kepalanya dalam, andai bisa meminjam pintu ajaib Doraemon, ia pasti akan memilih menghilang dari kamar Pram sekarang juga.
'Ya Tuhan, orang ini tidak ada sopan santunnya, tidak punya rasa malu sama sekali sepertinya. Huuuh, aku harus bagaimana? Nah ... dia semakin dekat ... aduuh ... bim salabim, semoga dia jadi patung!'
Tapi tentu saja Pram tidak jadi patung, Pram sudah naik ke atas ranjang, membuat jemari Hanum terasa beku karena rasa takutnya yang luar biasa. Hanum menutup matanya.
"Berbaring dengan benar!" Perintah Pram membuat Hanum membuka mata. Tubuh Hanum terlentang dengan sikap sangat kaku. Kedua lutut Pram berada di sisi kiri, dan kanan paha Hanum, tubuh Pram membungkuk di atasnya. Andai bisa, Hanum ingin menciut jadi kurcaci saja, lalu lari sembunyi di mana bisa, yang penting Pram tidak bisa menjamahnya.
"Kau takut?" Mata Pram lekat menatap wajah Hanum.
"I ... iya, Tuan," suara Hanum bergetar, bibirnya yang memutih gemetar.
"Jangan panggil aku Tuan! Aku jadi merasa akan bercinta dengan pembantu saja!" Sungut Pram yang merasa kesal dengan cara Hanum memanggilnya.
"Bu ... bukankah Tu ... Tuan sendiri yang ... yang mengatakan kalau ... kalau status saya enghh ... sama dengan Paman, dan Bibik, itu ... itu artinya sa ...."
"Hmmm, kau sudah mulai berani mendebatku ya. Kamu boleh memanggilku Tuan di luar sana, tapi di atas ranjangku, panggil saja namaku, Pram!" Potong Pram cepat.
Hanum menggelengkan kepalanya.
"Kata Ibu saya, tidak sopan memanggil orang tua dengan namanya." Hanum mulai lancar berbicara.
"Orang tua! Aku, kau bilang tua!" Mata Pram melotot gusar pada Hanum.
"Tuan, lebih tua dari saya." Hanum menudingkan telunjuknya pada Pram, wajahnya terlihat takut karena melihat kegusaran Pram.
"Ya Tuhan," Pram menghempaskan tubuhnya di sebelah Hanum, ia mendengus kesal karena mendengar ucapan Hanum. Kemudian ia bangun lagi, dan kembali pada posisinya seperti tadi. Membungkuk di atas tubuh Hanum.
"Sekarang diamlah! Jangan bersuara lagi! Ini harus segera dimulai, agar segera cepat berakhir!" Pram mendekatkan wajahnya ke wajah Hanum. Hanum memejamkan matanya dengan rapat. Jantungnya seperti ingin kabur dari tempatnya, karena terasa berdetak dengan sangat cepat.
Mata Hanum terbuka, saat merasakan bibirnya disentuh bibir Pram, tubuh besar Pram menindih tubuhnya. Andai bisa pingsan, Hanum ingin pingsan saja saat ini. Tapi...
"Awww!!" Pram menarik wajahnya, dari wajah Hanum, ia menyeka mulutnya, karena lidahnya yang terasa sakit akibat digigit Hanum.
"Kenapa kau menggigit lidahku!"
"Ehm, kenapa Tuan memasukan lidah Tuan ke dalam mulut saya?" Hanum bukannya menjawab, ia justru balik bertanya.
"Ya Tuhanku, kenapa aku salah pilih wanita untuk aku nikahi!" Geram Pram yang mulai hilang kesabarannya.
"Paman yang meminta saya menikah dengan Tuan, bukan Tuan yang memilih saya," sahut Hanum dengan nada polosnya.
"Haaah! Kalau begini, akan berapa lama aku akan terikat kontrak denganmu!" Pram yang sudah duduk di sebelah Hanum meremas rambutnya.
"Tuan yang sudah mengontrak saya , terserah Tu ...."
"Diamlah! Jangan bicara lagi!"
"Ehmm, maaf" Hanum menggigit bibir bawahnya, wajahnya kembali memucat mendengar suara Pram yang membentaknya.
"Sekarang diamlah, dengarkan aku. Saat aku mencium bibirmu, gerakan bibirmu, buka sedikit mulutmu, biarkan lidahku masuk ke mulutmu!"
"Tuan tidak jijik dengan ludah saya?" Pertanyaan Hanum membuat Pram menggeram kesal.
"Diamlah! Kau hanya boleh mendengarkan aku, Hanum!"
"Maaf ...."
"Huuh, sampai di mana tadi?" Tanya Pram, tapi Hanum hanya diam tidak menjawab pertanyaannya.
"Hanum, aku bertanya padamu, sampai di mana aku menjelaskan padamu tadi!" Seru Pram, mata Hanum melebar mendengar kemarahan Pram padanya.
"Tuan bilang saya harus diam, jadi sa ...."
"Jawab saja pertanyaanku, Hanum. Arggghh aku bisa darah tinggi kalau begini!"
"Ehmm, sampai lidah Tuan masuk ke mulut saya."
"Biarkan lidahku masuk ke mulutmu, jangan kau gigit seperti tadi, kau paham!"
"Lidah Tuan mau apa di mulut saya?"
"Ya Tuhanku, lebih baik aku memeriksa setumpuk berkas di kantorku, dari pada harus menjelaskan hal seperti ini padanya. Owwhhh, huuuhhhh!" Pram menarik napas, lalu menghembuskannya dengan kuat.
"Kau itu tinggal di mana sebenarnya, Hanum?"
"Di dusun Ci ...."
"Bukan itu maksudku!" Pram hampir berteriak saking kesalnya, tubuh Hanum seakan mengkerut jadinya.
"Kau itu hidup di jaman modern, apa kau tidak tahu cara orang berciuman?"
"Tahu." Hanum menganggukan kepalanya.
"Kalau kau tahu kenapa kau menggigit lidahku?"
"Teh Iie cuma bilang, berciuman itu enak, ciuman bibir, tidak bilang kalau lidah dimasukan dalam mulut," jawab Hanum polos, rasanya Pram ingin mencakar-cakar tembok saking kesalnya. Ia merasa waktunya jadi terbuang percuma hanya untuk mengajari Hanum saja. Andai bisa ditukar, rasanya Pram ingin menukar Hanum dengan wanita yang sudah janda saja.
Pram menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia jadi bingung harus bagaimana. Ditatapnya Hanum yang sudah menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Siapa yang menyuruhmu memakai selimut?"
"Maaf ...." Hanum terpaksa mendorong selimut ke bawah dengan kakinya.
Pram ingin cepat menyelesaikan semuanya. Tapi Pram jadi serba salah, ingin mencium Hanum lagi, ia juga takut bibir, dan lidahnya terluka. Akhirnya ia merasa lelah sendiri berpikir harus bagaimana menghadapi Hanum.
"Sekarang sebaiknya kita tidur dulu. Kau boleh memakai selimut itu, tapi awas ya kalau kau tidur mendengkur, maka aku akan menendangmu ke luar dari kamarku!" Ancam Pram.
"Mungkin sebaiknya, saya tidur di kamar saya saja Tuan," ujar Hanum karena cemas Pram benar-benar akan menendangnya. Ditendang ibu tiri, dan kakak tirinya yang perempuan saja sangat sakit terasa, apa lagi kalau ditendang Pram yang seorang pria gagah perkasa, pikirnya.
"Aku Tuannya di sini Hanum! Kau hanya boleh menuruti perintahku. Tetaplah tidur di sini, satu lagi, jangan sampai kau membuat pulau di bantalku ya!"
"Tapi saya takut Tuan tendang, saya mana tahu saat tidur saya mendengkur atau tidak," jawab Hanum dengan wajahnya yang super polos. Pram menggeram dengan mengepalkan kedua telapak tangannya.
"Tuan ingin meninju wajah saya?" Hanum benar-benar mengkerut melihat sikap Pram yang siap menerkam, persis sikap ibu tirinya saat sedang memarahinya.
*******