Hanum mengedarkan pandangannya dalam kamar mandi di kamar Pram.
"Kamar mandinya saja lebih luas dari kamar tidurku di kampung," gumam Hanum, ia meraba meja tempat wastafel berada, ditatap wajahnya yang terpantul dari cermin besar di depannya. Ia meraba bibir.
"Apa nanti Tuan Pram akan mencium bibirku? Teh Iie bilang dicium itu enak, enak apanya ya? Bagaimana kalau bibirku tergigit Tuan Pram?"
"Hanum! Kau mandi atau apa?" Teriakan Pram terdengar dari luar pintu kamar mandi, karena sejak tadi ia tidak mendengar bunyi shower yang menandakan Hanum tengah mandi.
"Sebentar Tuan!" Jawab Hanum yang cepat melepasi pakaiannya. Untungnya, meski tinggal di dusun, tapi Hanum cukup tahu caranya mandi dengan menggunakan shower. Cepat ia membasahi tubuhnya, membersihkan dirinya dengan sabun cair yang ada di sana. Membersihkan rambutnya dengan shampoo yang sering dilihatnya di iklan televisi. Cepat pula ia membilas diri, baru mengambil handuk dari lemari kaca yang tergantung di dinding kamar mandi.
Hanum sudah mengeringkan tubuhnya, membumgkus rambutnya yang basah. Ia ragu melangkahkan kakinya untuk ke luar dari dalam kamar mandi. Ditatap dirinya di cermin, digigit bibir bawahnya, saat melihat tubuhnya hanya terbungkus handuk saja.
"Hanum!" Gedoran di pintu membuat Hanum terjengkit kaget. Cepat ia membuka pintu kamar mandi. Dengan wajah tertunduk dalam, Hanum berdiri di hadapan Pram.
"Maju, dan tutup pintu kamar mandinya!" Perintah Pram sambil menggapaikan tangannya. Hanum menutup pintu kamar mandi, lalu dengan langkah ragu ia mendekati Pram, dengan wajahnya yang masih tertunduk dalam.
"Lepaskan handukmu!" Spontan Hanum mengangkat wajahnya, ia menatap Pram dengan mulut ternganga.
"Kenapa? Hmmm, biar aku yang melepaskan handukmu," dengan sekali sentak, handuk di tubuh Hanum jatuh di bawah kakinya.
Wajah Hanum pucat pasi, seumur hidupnya baru kali ini ia bertelanjang polos di depan orang lain. Satu tangannya menyilang di d**a, yang satu lagi menutup aset paling berharga miliknya. Ia tidak berani menatap pantulan tubuhnya dari cermin besar yang menjadi dinding kamar Pram.
Pram menatap setiap inci tubuh Hanum dengan teliti.
"Aku harus memastikan, kalau kau tidak punya penyakit kulit yang menular, kudis, kurap, atau panu. Karena aku tidak ingin tertular penyakitmu!" Ucap Pram di balik punggung Hanum. Hanum memejamkan mata, dan menggigit bagian dalam bibir bawahnya.
Hanum bisa merasakan napas Pram di kulit punggungnya. Lutut Hanum terasa gemetar, rasa takut, rasa cemas, dan entah rasa apa lagi yang ia tidak tahu namanya membuatnya mulai berdiri dengan gelisah.
"Lepaskan tanganmu!" Hanum terjengkit kaget karena Pram sudah berdiri di hadapannya, bertolak pinggang dengan angkuhnya.
Dengan ragu, Hanum menurunkan tangannya yang menutupi d**a, dan melepas tangan yang menutupi bagian bawah tubuhnya.
"Angkat kepalamu!" Perintah Pram, yang berdiri sangat dekat dengan Hanum. Hanum mengangkat kepalanya, ia mendongak hingga Pram bisa meneliti lehernya. Bukan cuma lehernya yang diteliti Pram, tapi lubang telinganya juga. Pram menjatuhkan handuk yang menutupi rambut Hanum. Disibaknya rambut Hanum dengan jemarinya.
"Kau tidak ketombeankan? Tidak ada kutu di kepalamukan?" Pertanyaan Pram dijawab Hanum dengan menggelengkan kepalanya. Fokus Pram beralih ke bahu Hanum, ada memar berwarna merah di sana, bekas dipukul ibu tirinya dengan gagang sapu ijuk.
"Ini kenapa?" Pram menyentuh memar di bahu Hanum.
"Jatuh," jawab Hanum sekenanya.
"Jatuh, setahuku orang kalau jatuh, di bagian kaki itu pasti lutut yang terluka, kalau dibagian tangan, siku atau telapak tangan yang terluka. Tapi kenapa kau jatuh, bahumu yang memar?"
"Kejatuhan balok kayu," jawab Hanum lagi.
"Hmmm, apa rumahmu sangat reyot sampai ada balok kayu yang jatuh ke bahumu?" Pram sepertinya tidak puas dengan jawaban Hanum. Hanum diam saja, ia tidak menyangka kalau Pram ternyata cerewet orangnya.
Fokus Pram beralih ke d**a Hanum yang masih belum matang.
"Dadamu sangat kecil!" Tangan Pram terulur, kedua telapak tangannya menenggelamkam d**a Hanum dalam tangkupannya. Hanum terjengkit mundur, wajahnya semakin pias.
Pram menatapnya dengan tajam.
"Apa kau tidak tahu cara pria, dan wanita berhubungan intim?" Pertanyaan Pram dijawab Hanum dengan gelengan kepalanya.
"Hhhhh, harusnya Pak Basuki mencarikan aku wanita yang sudah janda saja, agar aku tidak perlu mengajarinya. Bukannya gadis bau kencur sepertimu, yang belum mengerti apa-apa!" Pram mendengus dengan perasaan kesal.
"Maju!" Pram memerintahkan Hanum untuk maju mendekatinya. Pram kembali meneliti setiap inci bagian depan tubuh Hanum. Bahkan ia berlutut untuk memeriksa bagian paha, dan kaki Hanum. Lutut Hanum bergetar hebat, ia memejamkan matanya saat wajah Pram berada begitu dekat dengan miliknya.
Pram menegakan punggungnya.
"Cukup bagus, tidak ada kudis, kurap, ataupun panu di tubuhmu. Tapi banyak goresan di kakimu, kenapa?"
"Tergores ranting di hutan," jawab Hanum pelan.
"Tatap aku saat bicara denganku, Hanum!" Hanum mengangkat wajahnya yang menunduk, ditatapnya wajah Pram dengan rasa takut.
"Untuk apa kau ke hutan?"
"Mencari kayu bakar," jawab Hanum polos.
"Kayu bakar? Haah, aku kira di zaman semodern ini tidak ada lagi orang yang memasak dengan kayu bakar! Apa kau juga mencuci pakaianmu di sungai?" Tanya Pram dengan nada sinis mengejek. Hanum menganggukan kepalanya.
"Kau punya ibu tiri dan saudara tirikan?"
Hanum kembali mengangguk.
"Apa saat kau mencuci di sungai, pakaianmu hanyut, lalu kau bertemu dengan seorang nenek yang memberimu labu berisi emas, hahahaha. Hidupmu layaknya cerita bawang putih, dan bawang merah saja, Hanum!" Pram tergelak karena ucapannya sendiri, sedang Hanum menatap wajah Pram tanpa berkedip. Hanum terpesona dengan ketampanan wajah Pram, ia belum pernah melihat pria setampan Pram sebelumnya.
"Hmmm, sebaiknya kita mulai sekarang. Kau tidak boleh menolak ataupun protes terhadap apapun yang akan aku lakukan padamu. Kau paham!?"
"Ya Tuan"
"Berbaringlah!" Pram menunjuk ranjang besar di belakangnya. Hanum melangkah ragu, tapi dikuatkan hatinya. Ia berbaring di atas ranjang besar itu. Pram masuk ke dalam kamar mandi. Hanum menatap langit-langit kamar dengan berbagai bayangan yang membuatnya merasa cemas, dan ketakutan.
'Kata Teh Dedeh, malam pertama itu sakit, perih, pedih, tapi enak. Apa ada luka yang bikin enak? Bagaimana nanti kalau sakit sekali? Bagaimana kalau aku menjerit terus terdengar tetangga? Bagaimana nanti kalau darah yang ke luar banyak? Bagai ....'
Lamunan Hanum terputus, saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Ia menolehkan kepala, mata, dan mulutnya terbuka lebar, Pram berjalan ke arahnya dengan tanpa busana, Hanum merasa pandangannya mengabur, jantungnya berpacu lebih cepat, kepalanya terasa sakit dengan tiba-tiba. Kecemasan luar biasa tengah menyergap perasaannya. Membuat keringat dingin ke luar dari pori-pori kulitnya.
BERSAMBUNG