Akad nikah sudah berlangsung, di dalam kamar hotel tempat Pram menginap.
"Hari ini juga, kita pulang ke Jakarta."
"Baik Tuan," sahut Pak Basuki.
Dalam perjalanan menuju pulang, hari sudah beranjak malam. Pak Basuki duduk di depan bersama Malik, sedang Pram duduk berdua dengan Hanum di jok belakang. Sedikitpun Hanum tidak berani menatap wajah Pram, pandangannya ditujukan ke luar jendela. Menikmati pemandangan yang belum pernah dilihatnya. Karena ini pertama kalinya ia ke luar dari kampungnya.
Pram meminta Pak Basuki berhenti di sebuah rumah makan, untuk makan malam. Hanum tetap saja tidak berani menatap wajah pria yang sudah jadi suaminya. Ada kegelisahan yang dirasakannya, ada kerisauan akan nasibnya, setelah tiba di Jakarta. Bagaimana ia harus bersikap? Apa yang harus ia perbuat? Alhasil, karena kegundahannya, Hanum hanya mengaduk-aduk makanannya saja.
Hanum sudah sering mendengar cerita dari para wanita di kampungnya. Wanita-wanita yang sempat terikat kawin kontrak dengan pria dari Jakarta, bahkan ada yang dari luar negeri. Ada yang berakhir indah dengan dijadikan istri sesungguhnya. Ada pula yang berakhir tragis, karena kekerasan dalam rumah tangga.
Setelah selesai makan malam, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke Jakarta. Tanpa sadar, Hanum tertidur dengan kepala bersandar di pintu mobil. Pram yang duduk di sebelahnya memperhatikan Hanum.
'Sebenarnya dia terlalu muda, belum punya pengalaman sama sekali. Semoga saja dia cepat hamil, agar kontrak kami segera berakhir, dan aku bisa kembali bersama Evita'
"Hanum, bangun Nak," Pak Basuki menggoyangkan lengan Hanum pelan. Hanum membuka matanya, lalu diusap sudut bibirnya.
"Sudah sampai ya, Paman?"
"Iya, kita sudah sampai, turunlah," jawab Pak Basuki. Hanum menegakan punggungnya, lalu ke luar dari mobil, dari pintu mobil yang sudah dibukakan Pak Basuki untuknya.
Hanum mendongakan wajah, menatap rumah besar di depannya. Rumah berlantai dua yang tampak indah meski dilihat dalam kegelapan malam.
"Ayo masuk, Bibimu pasti sudah menunggu di dalam."
"Ya, Paman." Hanum mengikuti langkah Pak Basuki yang memasuki rumah. Ia tidak melihat Malik ataupun Pram di dalam rumah.
Bik Cicih, istri Pak Basuki menyambut Hanum dengan pelukan hangatnya.
"Bagaimana kabarmu, Hanum?"
"Aku baik Bik"
"Untung aku datang tepat waktu, Bu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib Hanum."
"Harusnya kamu kabari kami kalau ada sesuatu, ataupun butuh bantuan, Num. Jangan sungkan, kami ini orang tuamu juga."
"Aku tidak ingin merepotkan Paman, dan Bibik."
"Hhhh, ayo aku antar ke kamarmu." Bik Cicih membawa Hanum ke kamar yang ada di belakang dapur.
"Ini kamarmu, Num. Kamar mandi ada di sampingnya." Bik Cicih membuka pintu. Hanum mengedarkan pandangannya, tampak terlihat sebuah kamar yang cukup luas dengan satu dipan kecil, dan satu lemari kecil serta satu meja, dan satu kursi di dalamnya.
"Kamar Paman, dan Bibik yang mana?" Tanya Hanum.
"Kami tidak tidur di sini, kami pulang ke rumah kami."
"Jadi aku sendirian di sini, Bik?" Tampak kecemasan nyata terdengar dari suara Hanum. Bik Cicih tersenyum, diusapnya pundak Hanum dengan lembut.
"Ada Tuan Pram di sini, kamu tidak sendirian."
"Tapi aku tidak kenal dia, Bik."
"Meski tidak kenal, tapi sekarang dia sudah jadi suamimu. Tuan Pram itu baik orangnya, walau kadang suka bernada keras saat bicara"
"Apa aku harus memasak untuknya, Bik? Aku tidak tahu harus memasak apa."
"Tidak, Tuan tidak pernah makan di rumah. Nanti aku akan mengajarimu cara menggunakan kompor gas, dan penanak nasi. Kau hanya perlu memasak untuk dirimu sendiri. Sekarang istirahatlah, kami harus pulang sekarang." Bik Cicih ke luar dari kamar, Hanum mengiringi langkahnya. Ada rasa takut karena akan ditinggalkan hanya berdua dengan Pram saja.
"Paman, dan Bibik pulang dulu ya, besok pagi kami ke sini lagi. Turuti saja apapun yang dikatakan Tuan Pram, dia orang baik, kau tidak perlu cemas. Kunci pintunya ya Num." Pak Basuki berusaha menghapus kecemasan dari perasaan Hanum.
Hanum tidak punya pilihan, ia hanya bisa menganggukan kepalanya. Setelah mengunci pintu, Hanum ingin kembali ke kamarnya, tapi suara langkah yang menuruni tangga membuat jantung Hanum berdetak lebih cepat.
"Siapa namamu? Aku lupa" Tanya Pram yang sudah berada di dasar tangga.
"Hanum, Tuan." Hanum menundukan kepalanya dalam. Sedikitpun ia tidak berani menatap wajah Pram.
"Angkat kepalamu, tatap aku saat aku bicara padamu!" Ujar Pram bernada sedikit tinggi. Dengan ragu, Hanum mengangakat wajah, di tatapnya wajah Pram dengan perasaan takut.
'Ya Allah, gantengnya Tuan Pram, seperti artis sinetron gantengnya.'
Mata Hanum tidak bisa lepas lagi dari wajah Pram. Ia layaknya ABG yang tengah mengagumi artis idolanya.
"Kenapa? Apa kau baru pertama kali melihat wajah seorang pria?" Tanya Pram tajam, cepat Hanum menundukan kepalanya.
"Maaf Tuan."
"Ikuti aku!" Pram berbalik lalu melangkah menaiki tangga. Mulut Hanum ternganga, ia masih terpaku di tempatnya.
Merasa Hanum tidak mengikuti langkahnya, Pram menolehkan kepala.
"Hey, kau tidak mendengarkan apa yang aku ucapkan!" Seru Pram, ia tampak kesal karena Hanum masih diam saja.
"Maaf, Tuan." dengan ragu, Hanum melangkah menaiki tangga, Pram melanjutkan langkahnya. Pram berhenti di depan salah satu pintu. Hanum berhenti di belakangnya.
Pram membuka pintu di depannya, "Masuklah!" Perintahnya pada Hanum. Dengan langkah ragu Hanum mengikuti Pram masuk ke dalam kamar itu.
Hanum mengedarkan pandangannya, kamar yang sangat luas dengan ranjang sangat besar di tengahnya. Di salah satu sisi dinding kamar terbuat dari kaca yang memantulkan apapun yang ada di hadapannya. Di sisi lain ada lemari besar dengan empat pintu.
"Dengarkan aku Hanum, sesuai kontrak yang sudah kita sepakati, keberadaanmu di sini adalah untuk melayaniku. Kontrak akan berakhir setelah satu tahun, atau setelah kau hamil. Kau mengerti!?"
"Ya Tuan."
"Sekarang mandilah, kita akan mulai semuanya. Lebih cepat kau hamil, itu lebih baik!" Ucapan Pram membuat mulut Hanum terbuka lebar, matanya menatap Pram dengan kecemasan dalam tatapannya.
"Kau mendengarku, Hanum!?"
"I ... iya ...." Hanum memutar tubuhnya, ingin ke luar dari kamar Pram. Ia ingin kembali ke kamarnya, untuk mandi sebagaimana perintah Pram.
"Kau mau ke mana!?" Seruan Pram membuat langkah Hanum terhenti. Diputar tubuhnya, ditatap Pram dengan perasaan bingung.
"Bu ... bukankah Tuan, meminta saya untuk mandi," jawab Hanum dengan suara bergetar.
"Itu kamar mandinya, Hanum!" Pram menunjuk ke sebuah pintu.
"Tapi, tapi saya tidak membawa handuk."
"Di dalam kamar mandi, ada lemari yang berisi handuk!"
"Tapi, tapi saya tidak membawa baju ganti"
"Untuk apa baju ganti, kau tidak perlu baju untuk melayaniku di atas ranjang!"
Mulut, dan mata Hanum kembali terbuka lebar, ia tidak menyangka jika Pram mengucapkan hal seperti itu dengan gamblangnya. Wajah Hanum memerah, jantungnya berpacu cepat. Hatinya semakin terasa cemas.
"Kenapa kau diam! Cepat mandi! Aku tidak ingin membuang banyak waktuku dengan gadis dusun sepertimu. Semakin cepat kau hamil, semakin bagus!"
Hanum menundukan kepalanya, dengan langkah ragu ia menuju pintu yang ditunjuk Pram tadi.
'Ya Allah, ampunilah dosaku, karena sudah mempermainkan sebuah pernikahan.'